Agroindustri untuk Otonomi Daerah Indonesia
OLEH: M. SYUKRI NUR
AGROINDUSTRI UNTUK OTONOMI DAERAH
PENYUSUN: M. Syukri Nur
DISAIN/LAYOUT: Sandi Yusandi
PENERBIT: PT Calprint Indonesia Sampoerna Strategic Square, S outh Tower Level 19 Jl. Jend. Sudirman Kav. 45-46, Jakarta 12930 Phone: +62 21 57950855, Fax: +62 21 57950850
ISBN 978-602-95060-1-3 PERCETAKAN:
CV BOROBUDUR Printing Cetakan Pertama, Juli 2009
Agroindustri untuk Otonomi Daerah: Strategi Pengembangan Kemitraan Agroindustri Terpadu Di Era Otonomi Daerah.
Pemikiran dasar untuk strategi pelaksanaan dan pengembangan agroindustri di daerah dengan membangun kemitraan kerja dan kesepadanan bagi hasil antara petani dan koperasi, perusahaan dan pemerintah daerah, serta mitra usaha nasional.
PP P P Pe n en en en yusun e nyusun yusun yusun: yusun M. Syukri Nur
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit.
Ketentuan Pidana Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002. 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) di pidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
> AGROINDUSTRI UNTUK OTONOMI DAERAH i
PRAKA PRAKA PRAKA PRAKA PRAKAT T T T TA A A A A
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan butir-butir pemikiran yang harus disampaikan pula ke segenap insan dunia untuk mengambil sisi manfaatnya, terutama pada sisi pemanfaatan pemikiran ini untuk pembangunan agroindustri di daerah.
Pembangunan Indonesia di era otonomi daerah memerlukan pemikiran-pemikiran yang tajam dan tindakan pelaksanaan yang lebih bijkasana dengan melibatkan semua komponen pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi daerah. Mulai dari tingkat petani yang tergabung dalam asosiasi maupun kelembagaan koperasi, perusahaan daerah dan pemerintah daerah, dan pengusaha yang menjadi mitra, serta lembaga keuangan bank dan non bank. Bahkan lembaga penelitian dan universitas yang sudah tersedia dan bekerja di masing-masing wilayahnya.
Buku ini disebut butir-butir pemikiran karena terdiri dari artikel-artikel yang tertulis sepanjang pengalaman penulis berinteraksi dengan pustaka, petani, koperasi, pengusaha, dan pejabat daerah untuk menggagas perwujudannya di masyarakat. Tak ubahnya dengan mutiara yang menjadi contoh butiran, maka perlu dirangkai menjadi sebuah “gelang atau rantai” yang dapat dipakai dan digunakan. Boleh jadi kami hanya sempat melahirkan butiran ini namun pemirsa berkesempatan merangkai dan mewujudkannya.
Buku “Agroindustri untuk Otonomi daerah” ini dimulai dengan pemahaman agroindustri, penggalian potensi sumberdaya alam daerah, identifikasi pelaku bisnis dan pengambil kebijakan yang dapat berperan sebagai langkah nyata otonomi daerah, kemudian pemikiran untuk menjalankan agroindustri daerah dengan berbasis pada kemitraan kerja dan potensi keuntungan sesuai dengan proporsi tanggung jawab dan hak masing-masing. Kemudian dituliskan pula kriteria yang sistematis dan dapat dikuantifikasi untuk menilai kemitraan tersebut. Diakhir tulisan disampaikan pemikiran dasar bagaimana sumberdaya manusia yang terdidik dari kampus dan yang tersedia di daerah dapat dididik menjadi wirausaha melalui inkubator bisnis untuk menopang kelanjutan dan pengembangan agroindustri di daerah.
Karena bersifat butiran pemikiranlah maka banyak celah yang harus diisi oleh penulis dan pemirsa. Ter utama disisi kelayakan finansial dan hukum karena jarak jangkauan pemikiran kami yang terbatas. Semoga Allah SWT selalu memberikan hidayah dan rahmat-Nya supaya kita terus dapat mencari dan menemukan ridho-Nya melalui pemikiran dan pelaksanaan agroindustri di Indonesia. Amin.
Jakarta, Juli 2009 M. Syukri Nur
ii AGROINDUSTRI UNTUK OTONOMI DAERAH <
UCAP UCAP UCAPAN UCAP UCAP AN AN AN AN TERIMAKASIH TERIMAKASIH TERIMAKASIH TERIMAKASIH TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini penulis haturkan ucapan terimakasih kepada rekan-rekan di Agritech Research, SEAMEO BIOTROP, PT. Virama Karya, PT. Tekno BIG Nusantara, dan PT. Mitra Tani Tekno
Nusantara, serta Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Sulawesi Selatan, Koperasi Primer INTI AGRO yang telah memberikan wacana berpikir dalam diskusi dan perdebatan hangat untuk membangun kesamaan visi di bidang pertanian secara luas, khususnya pelaksanaan dan pengembangan agroindustri di Indonesia.
Kesan yang mendalam dalam diskusi dan perdebatan juga memberikan satu semangat tersendiri dalam pelaksanaan dan pengembangan agroindustri Indonesia bersama H. Idrus Hafied, Nurdiana, Nurdianto, Ivan Donovan, Arif, Suwito, Prayitno, Winarno Arifin, dan Ahmad Yani. Juga kepada Istriku Sulastri yang selalu tabah bersama ananda Nurfajriah Julianti Syukri dan Nur Ramadani Meliani Syukri ketika tulisan ini mulai dibuat di awal Ramadhan 1425 H.
Tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada Penebar Swadaya yang telah menerbitkan tulisan ini dalam bentuk buku.
> AGROINDUSTRI UNTUK OTONOMI DAERAH iii
D DAFT D D D AFT AFT AFTAR ISI AFT AR ISI AR ISI AR ISI AR ISI
Prakata ii Ucapan Terimakasih
iii BAB 1 BAB 1 BAB 1 BAB 1 B A B 1 Prinsip Dasar Agroindustri Prinsip Dasar Agroindustri Prinsip Dasar Agroindustri Prinsip Dasar Agroindustri Prinsip Dasar Agroindustri
Pengertian agroindustri 2 Interaksi antra subsistem
3 Kelayakan pelaksanaan agroindustri
4 Enam faktor penentu agroindustri
5 BAB 2 BAB 2P BAB 2 BAB 2 BAB 2 Per P PP erencanaan Ka er er er encanaan Ka encanaan Ka encanaan Ka encanaan Kaw w asan Ag w w w asan Ag asan Ag asan Ag asan Agrrrrroindustri Di Daerah oindustri Di Daerah oindustri Di Daerah oindustri Di Daerah oindustri Di Daerah
Pendahuluan 12 Pewilayahan komoditi
13 Dukungan Pemda dan DPRD
20 Dukungan infrastruktur
21 Dukungan sumberdaya manusia
21 Dukungan lembaga keuangan
22 Ketersediaan pelaksana agroindustri
22 Jaringan pemasaran untuk mencapai target pasar
23 BAB 3 BAB 3 BAB 3 BAB 3 B A B 3 Kemitraan Untuk Agroindustri Kemitraan Untuk Agroindustri Kemitraan Untuk Agroindustri Kemitraan Untuk Agroindustri Kemitraan Untuk Agroindustri
Peranan agroindustri 26 Prinsip dasar kemitraan
27 Kesepakatan kepemilikan saham
33 Pengaturan Keuntungan
33 Analisa sistem agroindustri
34 Keunggulan dan kelemahan
36 Strategi dan langkah taktis
39 Dampak dan kendala
40 Penutup
41 BAB 4 BAB 4 BAB 4 BAB 4 B A B 4 Mengukur Kinerja Agroindustri Sistem Kemitraan di Daerah Mengukur Kinerja Agroindustri Sistem Kemitraan di Daerah Mengukur Kinerja Agroindustri Sistem Kemitraan di Daerah Mengukur Kinerja Agroindustri Sistem Kemitraan di Daerah Mengukur Kinerja Agroindustri Sistem Kemitraan di Daerah
Kepentingan agroindustri daerah 44 Sistem bagi hasil
46 Kriteria penilaian
iv AGROINDUSTRI UNTUK OTONOMI DAERAH <
BAB 5 BAB 5 BAB 5P BAB 5 BAB 5 PP P Per er er er er usahaan Daerah dan Ag usahaan Daerah dan Ag usahaan Daerah dan Ag usahaan Daerah dan Ag usahaan Daerah dan Ag rrrrroindustri K oindustri Kemitraan oindustri K oindustri K oindustri K emitraan emitraan emitraan emitraan Perubahan paradigma
54 Kelayakan investasi dan ketidakjelasan
55 Mewujudkan perusahaan daerah yang ideal
56 Program kerja perusahaan
61 Penutup
63 BAB 6R BAB 6 BAB 6 BAB 6 BAB 6 R R R Reeeeevitalisasi K vitalisasi K vitalisasi K vitalisasi K vitalisasi Koperasi untuk Membangun operasi untuk Membangun operasi untuk Membangun operasi untuk Membangun operasi untuk Membangun CEO koperasi
66 Langkah penertiban
67 BAB 7 BAB 7 BAB 7 BAB 7 B A B 7 Strate Strate Strate Strate g i P Strate gi P gi P gi P g i Pemilihan Mesin P emilihan Mesin P emilihan Mesin P emilihan Mesin Pabrikasi Ag emilihan Mesin P abrikasi Ag abrikasi Ag rrrrroindustri abrikasi Ag abrikasi Ag oindustri oindustri oindustri oindustri
Tujuan pendirian pabrik 76 Sentra produksi dan bahan baku
77 Prinsip teknis mesin-mesin pertanian
78 SDM pengelola pabrik
81 Penutup
82 BAB 8 BAB 8 BAB 8 BAB 8 B A B 8 Inkubator Inkubator Inkubator Inkubator Inkubator W W W W Wirausaha Ag irausaha Ag rrrrroindustri Berbasis K irausaha Ag irausaha Ag irausaha Ag oindustri Berbasis K oindustri Berbasis K oindustri Berbasis K oindustri Berbasis Kemitraan emitraan emitraan emitraan emitraan
Kelahiran ide inkubator wirausaha 86 Filosopi kemitraan
87 Konsep dasar inkubator
89 Pelaksana inkubator
89 Alur kerja
90 Peluang bisnis untuk teknologi
91 Peranan jasa keuangan dan perusahaan
92 Penutup
93 D D D D DAFT AFT AFT AFT AFTAR PUST AR PUST AR PUST AR PUST AR PUSTA K A AKA AKA AKA AKA
94
> AGROINDUSTRI UNTUK OTONOMI DAERAH v
BBBBBAB 1 AB 1 AB 1 AB 1 AB 1
PRINSIP DASAR AGROINDUSTRI
T T T T Tujuan P ujuan Penulisan ujuan P ujuan P ujuan P enulisan enulisan enulisan enulisan T T T T Tujuan penulisan bagian ini adalah: ujuan penulisan bagian ini adalah: ujuan penulisan bagian ini adalah: ujuan penulisan bagian ini adalah: ujuan penulisan bagian ini adalah:
1. Untuk menjelaskan prinsip-prinsip dasar agroindustri
2. Untuk menerangkan interaksi yang terjadi antara subsistem di dalam sistem agroindustri.
3. Untuk menjelaskan faktor penentu kelayakan pelaksanaan agroindustri.
4. Untuk memberikan beberapa saran strategis dan taktis dalam pelaksanaan konsep ini.
Sasaran Sasaran Sasaran Sasaran Sasaran Penulisan ini merupakan sumbang saran kami yang ditujukan kepada praktisi, pengamat
masalah pertanian, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah serta para pengusaha yang bergerak di sektor agroindustri di Indonesia.
> PRINSIP DASAR AGROINDUSTRI 1
PENGERTIAN AGROINDUSTRI
I produksi pertanian atau usaha tani; (3) subsistem pengolahan hasil pertanian; (4) subsistem
stilah agribisnis dan agroindustri dianggap sama dalam pelaksanaan usaha tani karena melibatkan empat subsistem yang saling berkaitan satu sama lain. Keempat subsistem tersebut adalah: (1) subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi; (2) subsistem
pemasaran hasil-hasil pertanian (Desai, 1974 dalam Saragih, 2004). Keterkaitan empat subsistem tersebut dapat digambarkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Empat subsistem penyusun agroindustri dan subsistem layanan pendukungnya. Berdasarkan Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa pertanian itu tidak hanya sistem budidaya
yang kerapkali kita saksikan dimana petani mengolah lahannya kemudian memberi pupuk dan memanen serta menjualnya. Namun lebih dari itu, harus didukung oleh penyediaan sarana produksi seperti benih, pupuk, modal, ilmu pengetahuan dan teknologi, manajemen, tenaga kerja dan kelembagaan. Panen petani juga harus diolah, dikemas, dan dipromosikan untuk mencapai konsumen sehingga diperoleh nilai tambah ekonomi.
Jika pertanian hanya dianggap sebagai budidaya maka nilai tambah ekonomi yang diperoleh dari produk sebatas harga produk dikurangi dengan biaya tanam. Namun jika dianggap sebagai bisnis apalagi dikembangkan sebagai industri dengan istilah agroindustri maka akan diperoleh nilai tambah ekonomi yang lebih besar. Sebagai ilustrasi, kopi yang dijual petani Rp 15.000/ kg dapat berubah menjadi Rp.250.000,-/kg karena sudah diolah menjadi kopi instan dengan kombinasi susu, dan penyajian dalam bentuk kemasan dan suasana di restoran ataupun kafe.
Kondisi ideal untuk memberikan nilai tambah ekonomi bagi pertanian tidaklah semudah membalik telapak tangan karena sejumlah kendala masih menghadang para pelakunya. Bahkan setiap interaksi antar subsistem, pelaku masih bersikap menang sendiri tanpa ada kepedulian
2 PRINSIP DASAR AGROINDUSTRI < 2 PRINSIP DASAR AGROINDUSTRI <
III dan IV dikuasai oleh perusahaan dengan kekuatan modal, teknologi, dan pasar. Penyebabnya mungkin karena pelaku di setiap subsistem itu berbeda kekuatannya. Mungkin juga karena pengaruh mekanisme pasar.
INTERAKSI ANTAR SUBSISTEM
Kendati telah teridentifikasi empat subsistem tersebut oleh analis dan peneliti pertanian, namun dalam kenyataannya setiap subsistem tersebut masih dilaksanakan secara parsial baik oleh setiap petani, perusahaan kecil, pengumpul, pedagang kecil, dan pedagang besar. Akibatnya setiap subsistem ke subsistem lainnya akan mengalami empat hal yaitu:
Pertama, selalu terjadi posisi tawar menawar karena setiap pelaku dalam subsistem tersebut berupaya keras mendapatkan keuntungan dari setiap produk atau kerja yang dihasilkannya. Keuntungan yang diperoleh oleh pelaku dari setiap subsistem tidak mungkin dibagihasilkan dengan pelaku lainnya. Bahkan usaha tani pada komoditi yang sama, sering terjadi persaingan terhadap sesama pelaku untuk mencapai keuntungan maksimum kendati menggunakan istilah persaingan pasar.
Kedua, jika terjadi kerugian pada satu subsistem baik oleh pelaku maupun akibat dari subsistem lainnya maka tak dapat diharapkan pelaku dan subsistem lainnya untuk membantu kerugian tersebut. Kata lain adalah keuntungan dan resiko dinikmati/ditanggung sendiri.
Ketiga, pada setiap subsistem ke subsistem lainnya terbuka peluang bagi pelaku di luar sistem yang memanfaatkan kelemahan yang tersedia. Terutama pada penguasaan subsistem pengadaan dan distribusi input pertanian. Umumnya, pelaku ini sering disebut pengijon yang memberikan “umpan” lebih dulu kepada petani yang menjadi pelaku subsistem kegiatan produksi pertanian. Akibatnya adalah pengijon lebih berkuasa pada hasil akhir petani.
Keempat, adalah setiap pelaku dan subsistem harus secara langsung berhubungan dengan pelaku di subsistem layanan pendukung terutama pada pinjaman kredit dari perbankan dengan persyaratan yang mungkin menyulitkan karena harus menyiapkan agunan dan persiapan adminsitrasi lainnya. Bagi pengusaha hal tersebut dapat diatasi namun kesulitan besar bagi petani yang umumnya bergerak sendiri.
> PRINSIP DASAR AGROINDUSTRI 3
KELAYAKAN PELAKSANAAN AGROINDUSTRI
Pertanian dalam arti luas (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan) merupakan upaya pengelolaan sumberdaya alam melalui sistem usaha tani yang harus dikerjakan dengan lima kriteria kelayakan.
Pertama, layak teknis produksi yang mencakup dukungan potensi daerah dan lingkungannya untuk memproduksi bahan baku industri. Kondisi ini disebut pembentukan sentra produk untuk jaminan ketersediaan bahan baku industri pertanian. Pembentukannya harus sesuai dengan dukungan agroekologi dan perencanaan pemerintah daerah, serta ketersediaan infrastruktur yang membuktikan bahwa daerah memilikian kemauan keras untuk membangun wilayahnya menjadi wilayah agroindustri.
Kemampuan untuk mendirikan dan mengelola pabrik yang akan mengolah dan mengemas hasil pertanian dan menjadikannya produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar sehingga mencapai target nilai tambah ekonomi.
Kedua, layak manajemen yang berarti ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) dan dukungan kelembagaan untuk mendukung suatu usaha yang akan dilaksanakan. Ketersediaan SDM ini dapat diperoleh melalui serapan tenaga kerja untuk katagori petani dan penyuluh pertanian, operator mesin, pemelihara mesin, dan supervisor serta perencana dan pengambil keputusan di tingkat perusahaan. Bahkan dukungan SDM juga diperlukan dalam kelembagaan pemerintah, koperasi, dan lembaga keuangan (bank dan non-bank) untuk mendapatkan kesamaan persepsi kendati langkahnya berbeda sesuai dengan target dari lembaga yang diwakilinya.
Ketiga, layak keuangan yang berarti tersedia informasi yang akurat mengenai sumber dana dan penggunaannya serta nilai-nilai yang meyakinkan untuk investasi. Prinsip dasar dalam bagin ini adalah semua hal tentang keuangan haruslah akuntable dan feasible sehingga inves- tor ataupun lembaga keuangan akan yakin dengan dana yang diinvestakannya
Keempat, layak pasar yang menunjukkan potensi pasar dan sistem jaringan pasar yang dibuat untuk mendukung unit usaha tersebut. Kelayakan pasar di dalam agroindustri ini tidak sebatas kemampuan membaca potensi yang dapat diserap pasar tetapi pada informasi akurat tentang kepastian pembelian, harga, waktu, dan kapasitas serapan produk serta jaminan pembayaran dengan melibatkan sistem perjanjian yang normal dilakukan diantara pelaku bisnis.
4 PRINSIP DASAR AGROINDUSTRI <
Kelima, Layak sosial dan ekonomi, dan hukum yang menunjukkan bahwa unit usaha yang mengerjakan suatu usaha telah memiliki bentuk hukum yang jelas serta hasil kegiatannya berdampak positif pada masyarakat dan memberikan nilai ekonomi pada wilayah tersebut.
Menurut Sumodiningrat (2004), pertanian harus dijalankan sebagai bentuk usaha ekonomi produktif dan dikelola secara moderen, profesional, dan berorientasi keuntungan. Posisi petani harus dipersepsikan sebagai subyek pembangunan dan dipersiapkan secara aktif menjadi seorang pengusaha. Pada akhirnya mereka mampu mentransformasikan usaha pertanian menjadi salah satu sektor bisnis yang menguntungkan sehingga layak bank.
Untuk mencapai target tersebut, Sumodiningrat (2004) menyarankan lima langkah yang harus dijalani yaitu:
1. Harus dilakukan transformasi usaha pertanian ke dalam sistem agrobisnis.
2. Arus utama anggaran pemerintah dalam mendukung usaha pertanian
3. Kerangka regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang tegas.
4. Perlindungan, pelestarian dan revitalisasi kearifan lokal dan kelembagaan ditingkat petani.
5. Penguatan peran pemerintah daertah dalam pemberdayaan petani. Pemerintah daerah harus berperan untuk menanamkan pengertian bahwa pertanian adalah sumber kesejahteraan petani yang harus dikelola secara profesional dan berdaya saing tinggi.
Aplikasi kelima langkah yang disampaikan oleh Sumodiningrat (2004) dapat dijalankan pada satu sistem usahatani dengan melibatkan tiga stakeholder utama yaitu petani, pemerintah daerah, dan pengusaha dalam satu unit usaha berbadan hukum yang disebut perusahaan terbatas (PT) Patungan. Hal inilah yang mendasari lahirnya konsep kemitraan dalam mengembangkan agroindustri di suatu daerah.
ENAM FAKTOR PENENTU AGROINDUSTRI
Enam faktor penentu untuk pelaksanaan dan pengembangan agroindustri yang baik dalam skala ekonomi di suatu daerah:
1. Kawasan Agroindustri 1. Kawasan Agroindustri 1. Kawasan Agroindustri 1. Kawasan Agroindustri 1. Kawasan Agroindustri Kawasan industri di suatu daerah harus ditentukan berdasarkan kesesuaian agroekologinya dengan mempertimbangkan kondisi tanah, iklim, topografi serta nilai ekonomi komoditi yang akan diusahakan. Kesesuaian agroekologi tersebut menunjukkan daya dukung teknis lingkungan yang kemudian ditindaklanjuti dengan daya dukung ekonomi dan kebijakan
> PRINSIP DASAR AGROINDUSTRI 5 > PRINSIP DASAR AGROINDUSTRI 5
Kenyataan yang ada, pemerintah daerah belum mempertimbangkan dan menentukan sentra- sentra produksi untuk agroindustri. Pembentukan sentra produksi terjadi secara alamiah dengan munculnya pemukiman yang dikerjakan oleh masyarakat karena keterdesakan ekonomi untuk mencari lahan-lahan pertanian baru. Akhirnya terjadilah sentra pertanian dadakan yang bercampur dengan pemukiman. Bahkan kecenderungan yang terjadi pemukiman dan daerah industri mengalahkan kepentingan sentra pertanian. Contoh kasus adalah pengubahan lahan sawah atau kawasan konservasi menjadi kawasan pemukiman.
2. P 2. P 2. P 2. P 2. Pabrikasi Ag abrikasi Ag rrrrroindustri abrikasi Ag abrikasi Ag abrikasi Ag oindustri oindustri oindustri oindustri Kawasan industri harus juga didukung oleh pabrikasi yang akan mengolah barang mentah (hasil/produksi) dari pertanian menjadi barang setengah jadi. Langkah ini disebut pengolahan pasca panen. Keunggulan dengan berdirinya suatu pabrik di daerah yang menjadi mata rantai sistem produksi pertanian adalah memberikan jaminan kualitas dan kuantitas produk, serta ketepatan waktu sehingga memudahkan dalam penentuan harga pasar.
Kondisi sebagian besar kawasan agroindustri yang dicanangkan di suatu daerah belum memiliki pabrikasi sehingga petani selalu menghadapi kendala jaminan pasar dan “permainan harga” baik dalam skala lokal maupun nasional.
3. Kualitas Sumber 3. K 3. K 3. K 3. K ualitas Sumber ualitas Sumber ualitas Sumber ualitas Sumberda da da da dayyyyya Manusia dan Or a Manusia dan Or a Manusia dan Or a Manusia dan Or a Manusia dan Or ggggganisasi P anisasi P anisasi Pelaksana anisasi P anisasi P elaksana elaksana elaksana elaksana
Agroindustri memerlukan dukungan sumberdaya manusia (SDM) dan bentuk organisasi yang baik dan efisien. Kuantitas dan kualitas SDM harus mampu menunjukkan kinerja yang bagus sebagai bentuk pemahaman yang tinggi pada profesionalisme industri. SDM tersebut juga harus merata pada semua strata baik pada aparat pemda maupun di tingkat praktisi baik pengusaha lokal maupun pada tingkat petani.
Perseroan Terbatas merupakan bentuk organisasi pelaksana agroindustri yang profesional dan memiliki kekuatan hukum yang baik dalam setiap transaksi bisnis tanpa harus memikirkan terlebih dahulu fungsi-fungsi sosial kepada masyarakat. Hal inilah yang menjadi harapan untuk melahirkan Perusahaan Daerah yang berperan sebagai kanal pemasukan dana pembangunan daerah.
6 PRINSIP DASAR AGROINDUSTRI <
Namun demikian, harapan tersebut ternyata masih jauh dari kenyataan. Pelaksana yang dapat digolongkan perencana dan pelaksana baik pada tingkat pemerintah daerah dan pelaksana teknis di lapangan belum tersedia dalam jumlah kualitas yang bagus untuk mendukung agroindustri di suatu daerah.
Kenyataan lain, Perusahaan daerah (Perusda) masih dianggap lembaga yang non-profit karena “ruh” pelaksananya ditempati mantan-mantan pejabat yang memiliki hubungan erat dengan pejabat yang sedang berkuasa. Akibatnya adalah peluang-peluang bisnis tidak dapat ditangkap dan dikerjakan dengan baik. Penempatan dana pemda menjadi sia-sia. Alhasil, jadilah perusda “momok” bagi sebagian besar aparat pemda dan masyarakat di daerah. Jika demikian, apakah institusinya yang dilikuidasi ataukah direksi dan komisarisnya yang diganti? Jawabnya terletak pada pengembalian tujuan pendirian perusda yaitu untuk mencari dana pembangunan daerah sehingga aspek akuntabilitas, bankable, dan profesionalitas menjadi prioritas dalam penempatan SDM.
Organisasi yang potensial juga untuk membangun agroindustri daerah adalah koperasi karena memiliki jaringan kerja yang cukup baik. Tak ubahnya dengan induk perusahaan “holding company” dengan sejumlah anak perusahaannya di setiap kabupaten dan kotamadya. Peranan ini akan bertambah baik jika mampu melaksanakan penertiban pada sisi logika dan niat; organisasi dan anggota; rencana dan usaha; administrasi dan keuangan; serta melakukan evaluasi dan pengawasan.
4. Dukungan Finansial 4. Dukungan Finansial 4. Dukungan Finansial 4. Dukungan Finansial 4. Dukungan Finansial Tanpa dukungan finansial dari pemerintah, petani, maupun mitra usaha serta lembaga keuangan maka pelaksanaan agroindustri di suatu daerah akan menjadi hayalan belaka. Lembaga keuangan dapat berasal dari bank, asuransi, dan reksadana. Saat ini lebih banyak diperoleh dukungan finansial dari bank dalam bentuk kredit. Pada masa mendatang, diharapkan lembaga perbankan dapat lebih aktif mendukung pelaksanaan agroindustri secara teknis ke para pelakunya dengan memberikan bantuan panduan penyusunan rencana bisnis dan rencana anggaran, serta informasi harga dan kebutuhan pasar.
5. J 5. J 5. J 5. Jaring 5. J aring aring aring aringan P an P an P an P an Pasar dan P asar dan Pemasaran asar dan P asar dan P asar dan P emasaran emasaran emasaran emasaran Jaringan pasar dan sistem pemasaran yang baik sangat diharapkan dalam pelaksanaan agroindustri di daerah. Jaringan pasar dapat dibentuk dalam skala lokal di tingkat provinsi
maupun nasional dan internasional yang sangat tergantung pada kemampuan kerjasama dengan mitra usaha. Oleh karena itu, bagian ini harus digunakan sebagai kriteria penentu dalam menjalin kerjasama dengan mitra usaha nasional.
> PRINSIP DASAR AGROINDUSTRI 7
Kelemahan mendasar bagi daerah adalah ketidakmampuan menjalin mitra usaha yang memiliki jaringan pasar, baik dalam skala nasional maupun internasional. Kelemahan ini mengakibatkan rendahnya semangat petani dan dinas-dinas terkait untuk mendukung penuh sektor pertanian sebagai basis agroindustri di daerahnya.
6. P 6. Penentuan Sistem P 6. P 6. P 6. P enentuan Sistem P enentuan Sistem P enentuan Sistem P enentuan Sistem Pendukung Ag endukung Ag endukung Ag endukung Ag endukung Ag rrrrroindustri oindustri oindustri oindustri oindustri Daerah juga memerlukan sistem yang dapat mendukung kelima faktor tersebut supaya
mendapatkan hasil yang baik. Filosopi yang sederhana dan patut digunakan adalah “Semua Untung” atau “Win-Win Solution” atau “Semua Kebagian”. Semua pihak yang terlibat baik itu petani, pemerintah, maupun mitra usaha harus mendapatkan keuntungan finansial dan sosial ekonomi yang proporsional sesuai dengan kontribusi masing-masing.
Kenyataan yang ada tidak semua sistem yang dikembangkan memiliki filosopi tersebut. Masing- masing pihak, terutama petani belum mendapatkan posisi tawar yang bagus sehingga mereka selalu mengalami kerugian. Disisi lain pengusaha dengan keunggulan strategi dan taktis telah mampu meraup keuntungan besar dengan kendati hanya memperhatikan sedikit “kepentingan” aparat pemerintah. Tanggung jawab sosial bagi masyarakat di wilayah kerjanya masih menjadi wacana. Kondisi ini tidak dapat diubah oleh pemda karena rancangan pelaksanaan sistem pendukung agroindustri tidak dipelajari dengan baik dan bijak.
Berdasarkan kerangka pemikiran dengan menggunakan enam faktor penentu tersebut, maka siapapun pelaku agroindustri di daerah harus mampu menyatukan persepsi masyarakat dan pemerintah daerah serta pelaku lainnya dalam pengembangan sistem agroindustri di daerahnya.
8 PRINSIP DASAR AGROINDUSTRI <
> PRINSIP DASAR AGROINDUSTRI 9
10 PRINSIP DASAR AGROINDUSTRI <
BBBBBAB 2 AB 2 AB 2 AB 2 AB 2
PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH
T T T T Tujuan penulisan bagian ini adalah: ujuan penulisan bagian ini adalah: ujuan penulisan bagian ini adalah: ujuan penulisan bagian ini adalah: ujuan penulisan bagian ini adalah:
1. Memberikan informasi dasar mengenai strategi penentuan kawasan agroindustri di daerah dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan daerah.
2. Penentuan aspek-aspek pendukung untuk melaksanakan pengembangan kawasan agroindustri tersebut dilihat dari segi sarana dan prasarana, ketersediaan sumberdaya manusia, dan lembaga keuangan, serta kelembagaan di pemerintahan dan DPRD.
Sasaran Sasaran Sasaran Sasaran Sasaran Sasaran penulisan ini adalah agar keterlibatan pemerintah dan aparatnya serta DPRD di
suatu daerah dapat lebih jelas dan berdasar sehingga tidak setengah hati dalam mengembangkan potensi daerahnya untuk agroindustri. Ruang lingkup Pemahaman komoditas pertanian harus menyangkut tanaman pangan, perkebunan, hortikulutura, peternakan, perikanan dan kelautan yang memerlukan suatu areal dan keterlibatan manusia dan kelembagaan sehingga ruang lingkup pembahasannya dibagi menjadi tujuh bagian.
Ketujuh bagian tersebut adalah Pewilayahan Komoditas; Dukungan Infrastruktur; Dukungan SDM; Dukungan Pemda dan DPRD; Ketersediaan Pelaksana Agroindustri; Dukungan Lembaga Keuangan; dan Jaringan Pemasaran untuk Mencapai Target Pasar.
> PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH 11
PENDAHULUAN
K pertanian sebagai tulang punggung ekonomi. Hal ini harus segera dipahami dan dilaksanakan
emampuan pemerintah daerah untuk mengenali potensi wilayahnya sehingga dapat dijual kepada investor atau mitra usaha merupakan strategi penting dalam menjalankan roda pembangunan di daerah. Terutama pada daerah-daerah yang masih mengandalkan
oleh Bupati dan jajarannya supaya dapat menerapkan peluang bisnis dalam kerangka pelaksanaan otonomi di daerahnya.
Jika investor atau mitra usaha datang pada suatu daerah, terkadang informasi potensi wilayah tersebut disajikan dalam bentuk informasi kualitatif, tanpa mempertimbangkan kemampuan atau daya dukung daerahnya. Hasil adalah data statistik yang tidak akurat. Terutama dalam penentuan luasan dan lokasi yang tepat untuk pengembangan agroindustri di daerah.
Investor atau mitra usaha datang pada suatu daerah memiliki misi bisnis. Namun secara keseluruhan mereka menginginkan suatu kontrol pada sentra produksi yang dibangun sehingga dapat menentukan kuantitas, kualitas, waktu, jarak distribusi, serta harga produk yang akan dijual ke pasar. Jika kelima faktor tersebut tidak terpenuhi maka investor/mitra usaha akan pasti tidak berminat menanamkan modalnya. Jadi pengelola daerah jangan hanya terpaku pada jargon sosial seperti perluasan kesempatan tenaga kerja dan pembangunan ekonomi masyarakat, karena ujung-ujungnya selisih antara nilai jual dan biaya produksi yang dipertimbangkan keuntungan bagi investor/mitra usaha.
Hal inilah yang mendasari argumentasi kenapa suatu daerah segera perlu menetapkan kawasan- kawasan produksinya, baik untuk kawasan pertanian maupun untuk kawasan-kawasan konservasi bahkan pertambangan. Penetapan suatu kawasan agroindustri berarti telah membuat langkah awal dalam kepastian hukum dan perlu ditindaklanjuti dengan kondisi sosial yang kondusif untuk terselenggaranya agroindustri yang dijalankan oleh pengusaha.
Penetapan kawasan tersebut seyogyanya mempertimbangkan pertama kali aspek agroekologi, kemudian penentuan kebijakan sosial dan ekonominya yang diperlukan untuk menunjang kondisi tersebut. Jika langkah ini terbalik maka resiko yang harus dibayar oleh masyarakat maupun pemerintah tentu akan lebih mahal karena kondisi alam tak mampu mendukung rencana tersebut kecuali harus dilakukan investasi mahal untuk mengubahnya. Perubahan kondisi alam inilah yang kelak menjadi bencana namun harus dihindari melalui perencanaan yang sistematis dan berbasis pada kearifan penggunaan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini.
12 PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH <
PEWILAYAHAN KOMODITI
Pewilayahan komoditi adalah upaya manusia untuk mengenal karakteristik lingkungan dan beradapatasi dengan alam sehingga mendapatkan dukungan terhadap semua tindakan dalam sistem usahataninya. Usahatani ini melibatkan komoditi yang digunakan untuk tanaman pangan, peternakan, perkebunan, perikanan, dan hortikultura, bahkan agroforestri.
Pengertian tersebut juga perlu dipertajam dengan mempertimbangkan tidak hanya aspek iklim (Sering disebut Kesesuaian Agroklimat), tetapi semua aspek seperti tanah (Kesesuaian Tanah), daya adaptasi tanaman atau ternak, dan kemampuan manusia untuk mengatasinya dengan melibatkan tenaga, waktu, dan modal serta ketersediaan teknologi yang dimilikinya.
Irsal et al (1990) mengemukakan konsepsi dasar pewilayahan (zonasi) komoditi secara bertahap diawali dengan studi agroekologi utama yang hanya mempertimbangkan faktor bio-fisik, yaitu iklim, tanah dan topofisiografi. Faktor lingkungan biologis, sosial ekonomi, kebijaksanaan/politik dan faktor penunjang lainnya dipertimbangkan pada tahap-tahap berikutnya (Gambar 1.)
Pakar Perhimpi (1989) dalam Irsal (1992), Penggunaan faktor iklim dan topografi sebagai parameter utama dalam pewilayahan komoditi suatu daerah didasarkan kepada beberapa pertimbangan antara lain:
1. Iklim dan topografi secara teknis operasional sangat sulit dimodifikasi.
2. Iklim merupakan salah satu komponen agroekosistem yang sulit didiga
3. iklim dalam batas tertentu dapat digunakan untuk mengindikasikan komponen agroekosistem lain, terutama faktor tanah dan vegetasi.
Iklim menentukan kesesuaian lahan dari tiga sisi yaitu melalui kemungkinan tumbuh tidaknya suatu komoditi, tinggi rendahnya (magnitude) hasil panen, kemantapan stabilitas hasil komoditi.
> PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH 13
Gambar 2. Tahapan pembuatan zona komoditi prioritas berdasarkan zona agroekologi alamiah, faktor sosial ekonomi dan kebijakan pemerintah, serta prasana fisik dan teknologi.
Gambar 2. menjelaskan tahapan pembuatan zona komoditi prioritas yang menjadi target utama pewilayahan komoditas berdasarkan pertimbangan, iklim, tanah, dan fisiografi. Ketiga aspek lingkungan itu dimasukkan dalam analisis untuk mendapatkan kejelasan informasi suatu wilayah sehingga ditetapkan sebagai zona agroekologi alamiah. Langkah selanjutnya adalah memasukkan pertimbangan teknologi dan fisik, prasarana yang tersedia dan kebutuhan ekologis setiap komoditi yang direncanakan atau yang akan diperoleh untuk mendapatkan hasil zona agroekologi pragmatik yang dapat dipilah menjadi zona agroekologi spesifik, zona potensi pertanaman, dan zona kesesuaian komoditi. Zona komoditi prioritas dapat diperoleh setelah dimasukkan faktor sosial ekonomi dan kebijaksanaan pemerintah.
14 PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH <
Hasil akhir berupa zona komoditas prioritas inilah yang dimanfaatkan karena bernilai informasi yang kuantitatif karena berisi data luasan, jenis komoditi, dan bahkan dapat ditambahkan peraturan-peraturan pengelolaan daerah dan aturan investasi sehingga investor dapat mengambil keputusan yang lebih cepat untuk menanamkan modalnya.
Rincian-rincian masing-masing data yang diperlukan dari faktor iklim, tanah, dan fisiografi dalam pewilayahan komoditas sehingga diperoleh informasi lengkap kesesuaian wilayah terhadap suatu komoditi (Lihat Gambar 3).
Tingkat kesesuaian ini dibuat dengan mempertimbangkan besaran biaya, teknologi, dan waktu yang akan digunakan untuk mengubahn kondisi tersebut. Nilai sesuai misalnya, akan berimplikasi bahwa lokasi tersebut lebih tepat digunakan untuk suatu komoditas tanpa mengeluarkan banyak biaya dan tenaga dalam mencapai hasil yang optimum. Hal ini berbeda dengan lokasi yang tidak sesuai, yang berarti bahwa lokasi tersebut memang tidak diperuntukan untuk suatu komoditi karena pertimbangan kemiringan lahan atau ketersediaan air yang minim, atau juga sudah diplotkan untuk kawasan konservasi.
Gambar 3. Rincian data yang diperlukan untuk penyusunan peta kesesuaian agroekologi dalam pewilayahan komoditas.
> PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH 15
Alur pemikiran yang lebih sistematis dan spesifik telah diterapkan di Kabupaten Manggarai Propinsi Nusa Tenggara Timur. Mulai dengan pemilihan 35 komoditi sampai pada penentuan sembilan komoditi yang layak secara ekonomi dikembangkan untuk agroindustri komoditi perkebunan di wilayah tersebut (Gambar 4). Konsep Departemen Pertanian RI menjelaskan bahwa komoditi Unggulan ditetapkan berdasarkan pada pertimbangan nilai perdagangan, volume produksi, produktivitas, jumlah petani, keunggulan komperatif dan kompetitif, letak geografis.
Pengembangan konsep pewilayahan komoditas sudah semakin pesat. Terlebih dengan kemajuan teknologi informasi, konsep tersebut juga telah didukung oleh sistem informasi geografi, penginderaan jauh, dan sistem pangkalan data ( database system) sehingga informasi yang diperoleh dapat segera diperbaharui sesuai dengan kondisi lapangan
Gambar 4. Skema penyusunan peta kesesuaian agroekologi untuk mengetahui potensi pewilayahan komoditas.
16 PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH < PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH <
Ilustrasi penggunaan alur pemikiran untuk konsep pewilayahan komoditas diberikan dengan mengambil contoh kasus kesesuaian kopi robusta (Tabel 1) yang dapat dibagi menjadi sangat sesuai (S1), sesuai (S2), cukup sesuai (S3) dan Tidak sesuai (N) yang diterapkan di wilayah Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (Gambar 5).
T T Tabel 1. Kriteria k T T abel 1. Kriteria k abel 1. Kriteria k abel 1. Kriteria k abel 1. Kriteria kesesuaian lahan untuk k esesuaian lahan untuk k esesuaian lahan untuk k esesuaian lahan untuk k esesuaian lahan untuk kopi r opi r ob opi r opi r opi r ob ob ob obusta usta usta usta usta
Hasil akhir adalah peta pewilayahan kopi robusta yang disajikan dalam bentuk peta (cetak atau digital) yang dapat disajikan kepada peminat (investor/mitra usaha). Peta seperti pada Gambar 4 untuk pewilayahan komoditi harus menunjukkan informasi luasan, lokasi, tipe tanaman, kondisi sosial ekonomi, tipe kebijaksanaan yang diterapkan. Bahkan perkembangan pelaksanaan konsep ini telah dapat menunjukkan nominal jika zona tersebut digunakan untuk suatu usahatani oleh investor atau mitra usaha.
> PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH > PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH 17
Gambar 5. Contoh kasus penerapan pewilayahan komoditas kopi robusta di Kabupaten Manggarai, provinsi Nusa Tenggara Timur (BKPM dan PT. Virama Karya, 2003).
Salah satu perkembangan terakhir upaya mengembangkan konsep pewilayahan komoditi adalah
A A A A AGR GROPOLIT GR GR GR OPOLIT OPOLIT OPOLIT OPOLITAN AN yang telah mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial ekonomi, dan AN AN AN teknologi. Bahkan pemerintah melalui Departemen Pertanian telah melakukan program sosialisasi untuk mendukung keberhasilan program tersebut di semua subsektor pertanian seperti peternakan, tanaman pangan, perkebunan, ditambah perikanan dan kelautan, serta kehutanan.
Konsep pewilayahan komoditas ini oleh Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian RI untuk dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan kebutuhannya dalam pengembangan sektor peternakan di seluruh Indonesia. Bahkan telah ada kebijakan politik untuk melakukan sosialisasi kepada pemerintah daerah dan masyarakat pelaksana usaha peternakan (Gambar 6).
Apabila pewilayahan komoditas ini dapat diterapkan pada suatu daerah maka berarti telah terbentuk suatu kawasan pertanian yang akan mendukung ketersediaan bahan baku daerah tersebut telah siap memasuki tahap selanjutnya sebagai daerah agroindustri. Daerah dengan. sentra-sentra produksi pertanian yang akan melaksanakan tahapan tanam, petik, olah, kemas, dan jual dengan berbasis pada pertanian.
18 PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH <
Hasil pewilayahan komoditas ini perlu didukung lebih lanjut lagi oleh pemerintah daerah dan DPRD, penyiapan sumberdaya manusia, lembaga keuangan, dukungan infrastruktur, mekanisme kerjasama, serta pelaksana agroindustri.
> PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH 19
DUKUNGAN PEMDA DAN DPRD
Jika suatu daerah sudah sesuai atau sangat sesuai untuk pengembangan komoditas demi pelaksanaan investasi agroindustri maka beberapa pertanyaan dasar muncul.
1. Apakah Pemda dan DPRD telah sepaham dan sepakat mengalokasikan wilayahnya untuk pendirian pabrik pengolahan hasil pertanian?
2. Apakah Pemda dan DPRD memberikan dukungan berupa insentif bagi mitra usaha atau pelaku bisnis berupa kemudahan perizinan, jaminan keamanan serta fasilitas untuk mendapatkan kredit?
3. Apakah Pemda dan DPRD bersedia menjalankan paradigma baru untuk “ Clear and Clean” dalam mendukung terciptanya iklim investasi dan ekonomi daerahnya ?
Jika jawaban ketiga pertanyaan dasar tersebut adalah Tidak, maka dapat dipastikan juga bahwa terjadi kegagalan dalam membuat langkah awal untuk menjalankan roda ekonomi daerah. Kemudahan dan bebas biaya hanya sekadar fasilitas sederhana yang dapat merangsang pengusaha untuk berinvestasi. Demikian juga dengan persetujuan bupati/walikota dan DPRD tidak akan berarti apa-apa.
Pengusaha membutuhkan kepastian hukum terhadap penggunaan kawasan dalam skala waktu yang sesuai dengan perhitungan ekonomi minimal 25 tahun. Dan paling ideal adalah 50 tahun. Sudah tentu kepastian hukum ini tidak dapat diganti hanya karena pergantian jabatan bupati/walikota ataupun anggota dewan.
Jika persyaratan ini dipenuhi maka muncul konflik kepentingan lagi pada generasi pejabat di masa mendatang yang boleh jadi akan menyalahkan pejabat terdahulu yang terlibat langsung dalam persetujuan penggunaan lahan. Oleh karena itu, dukungan pemda dan DPRD yang paling ideal adalah penyertaan saham. Langkah tersebut membuktikan dengan jelas dukungan terhadap suatu investasi agroindustri. Pada sisi lain, akan menerima pendapatan untuk peningkatan PAD sebagai konsekuensi logis saham yang dimilikinya.
Gagasan inilah yang juga memunculkan bahwa pemda bukan lagi hanya fasilitator tetapi aktor pembangunan ekonomi daerahnya dengan tidak hanya mengandalkan sumber pendapatan dari pajak dan retribusi. Untuk mencapai hal tersebut konsep kemitraan dalam agroindustri menjadi solusi terbaik karena melibatkan petani, pemerintah daerah dan pengusaha untuk keuntungan dan manfaat bersama dari suatu usaha. Kemitraan tersebut melibatkan komponen petani, pemda, dan pengusaha membentuk perusahaan patungan. Konsep ini dijelaskan dalam tulisan “Agroindustri Berbasis Kemitraan Melalui Pembentukan Perusahaan Patungan.”
20 PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH <
DUKUNGAN INFRASTRUKTUR
Dukungan prasarana jalan utama, ketersediaan listrik, air bersih dan pelabuhan laut dan udara merupakan dukungan infrastruktur yang dibutuhkan untuk mengundang pengusaha ke suatu daerah. Terutama jika sudah terbentuk kawasan agroindustri. Namun demikian, karena keterbatasan dana pembiayaan yang dimiliki pemda maka dukungan infrastruktur tidak dapat terpenuhi seluruhnya. Kendati ditahun-tahun mendatang solusi pembiayaan dapat terpenuhi melalui penerbitan oblikasi daerah, namun pada awal investasi, pengusaha juga perlu pengertian terhadap keterbatasan dukungan fasilitas infrastruktur. Yang terpenting, pengertian itu juga bukan berarti suatu keharusan bagi pengusaha untuk membangun infra struktur yang seharusnya dibangun oleh pemda.
DUKUNGAN SUMBERDAYA MANUSIA
Kendala klasik yang dihadapi setiap daerah adalah keterbatasan sumberdaya manusia (SDM) dalam kualitas yang dapat memenuhi kebutuhan sebagai pelaksana agroindustri. Jika dapat dipilah dua yaitu pengusaha dan pemerintah, maka keduanya perlu memiliki kearifan dalam berpikir dan bertindak sehingga semua lapisan SDM yang tersedia dapat dimanfaatkan dengan baik.
Pada sisi pengusaha, kendati penggunaan SDM harus sesuai dengan target kebutuhan mereka terutama di bagian pabrikasi namun tidaklah melupakan petani. Petani harus diberdayakan melalui penyuluhan/bimbingan teknis dan pemberian jaminan sosial berupa bantuan dana pendidikan dan kesehatan, serta kepastian pemasaran dari hasil jerih payah mereka. Bahkan masyarakat yang tidak berprofesi sebagai petani, juga dapat dilibatkan sebagai tenaga kerja borongan ataupun tenaga kasar. Karena di wilayah petanilah penyediaan bahan baku agroindustri dapat dilaksanakan.
Pengusaha juga harus mendidik SDM yang memiliki pendidikan menengah atau sarjana melalui kegiatan pengembangan masyarakat ( community development) sehingga kesempatan kerja dan harkat mereka juga terangkat. Hal ini perlu dipahami untuk meyakinkan masyarakat bahwa industri pertanian ini adalah milik mereka.
Pada sisi pemerintah, pendidikan formal tidak lagi hanya mengandalkan pendekatan teoritis tetapi juga praktik dan perencanaan jenis pendidikan yang dibutuhkan oleh industri. Peranan pasti pemda yang dibutuhkan adalah menjembatani kebutuhan tenaga kerja sektor agroindustri dengan ketersediaan SDM yang melimpah kendati menghadapai segala problematika pendidikan dan kehidupannya.
> PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH 21
DUKUNGAN LEMBAGA KEUANGAN
Seindah apapun konsep pewilayahan komoditas yang dilakukan oleh daerah maka tanpa peranan lembaga keuangan terutama perbankan maka pelaksanaannya tidak akan terwujud. Disinilah perlu dukungan bank dan non-bank untuk mendanai proyek ini dengan garansi pemda dan DPRD.
Kendati pemerintah daerah dan DPRD bersedia bertindak sebagai avalis dalam pelaksanaan agroindustri terpadu di suatu daerah, namun pihak perbankan masih perlu ekstra hati-hati dengan berpijak pada prinsip-prinsip bankable (memberikan nilai untung bagi bank), akuntable (layak administrasi dan keuangan), dan feasible (layak usaha).
Jika semua mitra yang terlibat dalam pengembangan suatu wilayah menuju agroindustri terpadu dapat menunjukkan ketiga aspek tersebut maka jaminan bisnis untuk menggunakan pinjaman bank tidak lagi hanya terpaku pada jaminan asset perusahaan tapi cukup pada jaminan Pemda dan DPRD.
KETERSEDIAAN PELAKSANA AGROINDUSTRI
Jika wilayah sudah layak secara ekologi, tersedia dana dan SDM, dan dukungan infrastruktur maka pelakulah yang dicari ditambah dengan aturan mainnya (mekanisme kerjasama) sehingga pelaksanaan agroindustri terpadu dapat terwujud.
Ketiga pelaku yang teridentifikasi dalam mekanisme kerjasama kemitraan yang dibahas dalam pemikiran ini adalah kelompok petani, perusahaan daerah atau koperasi primer di tingkat provinsi, dan mitra usaha nasional. Ketiganya memiliki hak dan tanggung jawab masing- masing. Petani yang tergabung dalam koperasi harus mampu menyediakan bahan baku dengan kualitas dan jumlah yang sesuai untuk menjalankan suatu usaha berskala industri. Perusahaan daerah yang menjadi ujung tombak pemda dalam mencari sumber-sumber PAD juga diharapkan bersedia menjalankan pabrikasi dan penggunaan dana yang baik dan bekerja sebaik mitranya di perusahaan patungan. Mitra usaha nasional pun juga harus menegakkan loyalitas dan keteguhan hati untuk tetap bermitra dengan memberikan jaminan pasar, alih pengetahuan dan teknologi serta profesionalisme usaha yang baik.
22 PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH <
Mekanisme kerjasama kemitraan adalah dasar sistem kerja yang akan dilaksanakan oleh ketiga pelaksana agroindustri ini menuju tercapainya keberhasilan bersama dan harkat serta martabat bangsa Indonesia yang lebih baik di masa mendatang.
JARINGAN PEMASARAN UNTUK MENCAPAI TARGET PASAR
Kawasan agroindustri harus didukung strategi pemasaran melalui empat langkah yaitu riset pasar, promosi, pengembangan model distribusi, dan pelayanan konsumen. Alokasi dana, waktu, sumberdaya manusia, dan skala strategi pemasarannya ditentukan oleh pengelola baik yang melibatkan pemerintah daerah dan swasta atau khusus menggunakan jasa perusahaan yang bekerja di bidang pemasaran.
Kawasan agroindustri memerlukan aplikasi teknologi informasi pada sistem produksi di pabrik dan jaringan pemasaran produk yang telah dikembangkan oleh Mitra Usaha Nasional seperti pada Gambar 7.
Gambar 7. Rancangan aplikasi teknologi informasi dan jaringan pemasaran untuk sebuah perusahaan.
> PERENCANAAN KAWASAN AGROINDUSTRI DI DAERAH 23
BBBBBAB 3 AB 3 AB 3 AB 3 AB 3
KEMITRAAN UNTUK AGROINDUSTRI TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk menjelaskan konsep agroindustri berbasis kemitraan melalui pembentukan perusahaan patungan.
2. Untuk menerangkan kendala yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaan konsep tersebut.
3. Untuk menjelaskan keunggulan dan kelemahan dari konsep ini.
4. Untuk memberikan beberapa saran strategis dan taktis dalam pelaksanaan konsep ini.
SASARAN
Penulisan makalah ini merupakan sumbang saran kami yang ditujukan kepada praktisi, pengamat masalah pertanian, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah serta para pengusaha yang bergerak di sektor agroindustri di Indonesia.
> KEMITRAAN UNTUK AGROINDUSTRI 25
PERANAN AGROINDUSTRI
B piranti hukum berupa UU No 22/1999 dan No 25/1999 tentang pelaksanaan pemerintah
erlandaskan pengalaman dari diskusi, serangkaian perjalanan ke daerah dan studi pustaka, ternyata agroindustri merupakan sentra utama yang harus dikembangkan pemerintah daerah di Indonesia untuk memajukan ekonominya. Terlebih lagi dengan tersedianya
daerah dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah sehingga otonomi daerah akan lebih memiliki kekuatan ekonomi dengan pelaksanaan agroindustri yang baik dan profesional.
Argumentasi untuk mengembangkan agroindustri adalah Indonesia memiliki modal dasar sumberdaya alam yang hanya dapat diusahakan melalui suatu sistem pertanian yang terpadu dan profesional dalam skala ekonomi yang layak. Suatu sistem usaha tani yang seringkali disebut agribisnis ataupun agroindustri merupakan empat rangkaian subsistem yaitu pengadaan sarana produksi, subsistem produksi, pengolahan hasil, pemasaran. Keempat subsistem ini dilakoni oleh empat institusi yang berbeda yaitu pelaku sarana produksi pertanian baik oleh perorangan, koperasi, ataupun pedagang, serta perusahaan. Namun demikian, pelaku utama dari keempat subsistem tersebut adalah petani yang kerapkali terperosok karena ketidakmampuan mereka mengendalikan “dinamika” subsistem lainnya sehingga mereka tidak memiliki posisi tawar terhadap produk yang dihasilkannya. Produk pertanian memiliki nilai rendah manakala terjadi panen dan mengalami nilai jual tinggi jika tidak diproduksi. Hasilnya akhirnya adalah petani kesulitan untuk meraih harapan hidup yang lebih baik apalagi untuk kesejahteraannya.
Pada sisi mikro, sektor industri yang menggunakan bahan baku dari hasil pertanian hanya memandang dirinya sebagai satu institusi yang terpisah dari mata rantai produksi lain di suatu daerah. Petani dan pemerintah daerah dianggap mitra tetapi tidak memiliki posisi untuk menentukan ritme, arah, dan kecepatan sistem usaha tani. Ketimpangan ini tidak dapat diatasi oleh pemerintah daerah karena masih banyak celah kelemahan dari sistem yang dijalankan saat ini dalam menjalankan suatu usaha di daerah. Misalkan, harga suatu komoditas pertanian anjlok maka pemerintah hanya dapat menerima keluhan petani tetapi tidak dapat berbuat banyak untuk mengubahnya. Demikian juga jika terjadi kelebihan produksi maka pemerintah dan pengusaha juga tidak banyak membantu. Argumentasi yang kerap kali kami temukan di lapangan dan juga dirasakan oleh Darusman et al. (2004) adalah tidak ada jaminan pasar dan harga tidak stabil sehingga merugikan petani. Belum lagi jika melibatkan pemain- pemain dalam mata rantai di sistem usaha tani yang lebih banyak menguntungkan pemain antara seperti tengkulak, pedagang kecil, dan pedagang besar daripada petani selaku produsen. Hal ini menunjukkan bahwa petani selalu dalam posisi paling lemah.
26 KEMITRAAN UNTUK AGROINDUSTRI <