Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis dan Mathematics Self-Efficacy antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing.

(1)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ABSTRAK

Ummi Hasanah (2015): Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis dan Mathematics Self-Efficacy antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya dan belum tercapainya kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy siswa dengan optimal. Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menelaah: (1) perbedaan pencapaian dan peningkatan kemampuan koneksi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran model PBM dan siswa yang memperoleh pembelajaran model penemuan terbimbing; (2) perbedaan pencapaian mathematics self-efficacy antara siswa yang memperoleh pembelajaran model PBM dan siswa yang memperoleh pembelajaran model penemuan terbimbing; dan (3) asosiasi antara kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy siswa. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain pretes-postes. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada siswa kelas VIII di salah satu SMP Negeri di Bandung. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan koneksi matematis, skala mathematics self-efficacy, dan lembar observasi. Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis menggunakan uji perbedaan rerata: Uji Mann Whitney dan Uji-t, serta uji asosiasi: Uji Chi-Kuadrat. Analisis data kualitatif dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian ini adalah (1a) terdapat perbedaan pencapaian kemampuan koneksi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran model PBM dan siswa yang memperoleh pembelajaran model penemuan terbimbing. Perbedaan yang signifikan berada pada indikator menggunakan keterkaitan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari; (1b) terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran model PBM dan siswa yang memperoleh pembelajaran model penemuan terbimbing. Secara umum, nilai rata-rata skor n-gain pada kedua kelas berada pada kategori sedang; (2) tidak terdapat perbedaan pencapaian mathematics self-efficacy antara siswa yang memperoleh pembelajaran model PBM dan siswa yang memperoleh pembelajaran model penemuan terbimbing; dan (3) tidak terdapat asosiasi antara kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy siswa.

Kata Kunci: Kemampuan koneksi matematis, Mathematics Self-Efficacy, Model PBM, Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing


(2)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ABSTRACT

Ummi Hasanah (2015): Comparison of Mathematical Connection Ability and Mathematics Self-Efficacy between Students who Study in Problem-Based Learning Model and Guided Discovery Learning Model

This study was motivated by the importance of mathematical connection ability and mathematics self-efficacy. The aims of this study are to examine: (1) the difference of the achievement and the enhancement of mathematical connection ability between the students who studied under PBL model and those of under guided discovery leaning model; (2) the difference of mathematics self-efficacy between the students who studied under PBL model and those of under guided discovery learning model; (3) the association between the students’ mathematical connection ability and their mathematics self-efficacy. This quasi experimental study used pretest-posttest design and was conducted on 8th grader students in one of junior high schools in Bandung. The instruments of this study were mathematical connection ability test, mathematics self-efficacy scale, and observation sheets. The quantitative data were analyzed by mean difference test: Mann-Whitney test and t-test, and association test: Chi-Square test. The qualitative data was analyzed descriptively. The results of this study are: (1a) there is difference achievement in mathematical connection ability between the students who studied under PBL model and those of under guided discovery learning model. The significant difference was indicated in the second indicator: using the concepts of mathematics in daily life; (1b) there is difference enhancement in mathematical connection ability between the students who studied under PBL model and those of under guided discovery learning model. The n-gain of students who got PBL and guided discovery learning model for mathematical connection ability was medium; (2) there is no difference achievement in mathematics self-efficacy between the students who studied under PBL model and those of under guided discovery learning model (3) there is no association between students’ mathematical connection and their mathematics self-efficacy.

Keywords: Mathematical connection ability, Mathematics self-efficacy, Problem based learning model, Guided discovery learning model.


(3)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Beberapa tahun terakhir semakin berkembang penelitian tentang High- Order Thinking Skill (HOTS) atau dalam bahasa Indonesia disebut kemampuan berpikir tingkat tinggi. Terkait dengan HOTS, National Council of Teachers of Mathematics (NCTM)(2000) menyatakan bahwa terdapat lima kemampuan matematis yang perlu dimiliki oleh siswa, yaitu pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proofing), komunikasi (communication), representasi (representation), dan koneksi (connection). Disebutkan pula di NCTM bahwa mathematical connection merupakan kemampuan matematis yang paling sulit untuk dicapai, namun yang paling membantu dalam meningkatkan motivasi siswa khususnya pada siswa di kelas menengah.

Sejalan dengan hal tersebut, Standar Isi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP) (Depdiknas, 2006, hlm. 8) menyatakan bahwa mata pelajaran matematika memiliki tujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut.

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan Standar Isi Mata Pelajaran Matematika SMP dapat disimpulkan bahwa kemampuan koneksi matematis merupakan salah satu kemampuan yang diharapkan muncul setelah belajar matematika di Indonesia.


(4)

2

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Kemampuan koneksi matematis tampak pada poin pertama, yaitu kemampuan siswa menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikannya dalam pemecahan masalah. Pemecahan masalah berarti menerapkan keterkaitan konsep matematika pada masalah di mata pelajaran lain maupun pada masalah di kehidupan sehari-hari.

Afgani (2011) menyatakan bahwa koneksi matematis muncul berdasarkan kenyataan matematika sebagai body of knowledge, yakni ilmu yang terstruktur dan utuh, yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan. Hal ini menunjukkan bahwa matematika merupakan ilmu yang memiliki konsep-konsep yang saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri. Matematika dapat digunakan pada pemecahan masalah dalam berbagai konteks. Oleh karena itu, kemampuan koneksi matematis perlu untuk dimiliki dan ditingkatkan oleh siswa.

Siswa yang memiliki kemampuan koneksi matematis yang baik akan memperoleh prestasi yang baik dalam matematika (Fauzi, 2011; Sulistyaningsih, Waluyo, & Kartono, 2012; Mandur, Sadra, & Suparta, 2013). Siswa dapat mengaitkan antar topik matematika yang telah ia pelajari dengan yang sedang dipelajari, mengaitkan matematika dengan bidang ilmu lain, dan juga mengaitkan matematika dengan kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut, dengan menghubungkan berbagai macam gagasan atau ide matematis yang mereka terima mengakibatkan kemampuan pemahaman matematis siswa juga dapat berkembang secara optimal (Qohar, 2011; Cheeseman, McDonough, & Ferguson, 2012).

Dalam pembelajaran matematika, kemampuan koneksi antar konsep atau ide-ide matematika akan memfasilitasi kemampuan siswa untuk merumuskan dan memeriksa dugaan-dugaan sementara. Selanjutnya, konsep atau ide-ide matematis yang baru dikembangkan dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah lain dalam matematika (Permana&Sumarmo, 2007, hlm. 117-118). Dengan begitu, koneksi matematis sangat berperan penting dalam penyelesaian soal-soal pemecahan masalah. Glacey (2011) juga menyatakan bahwa siswa yang memiliki kemampuan koneksi matematis akan menjadi seorang pemikir yang baik dan berjiwa kritis.

Berdasarkan pemaparan di atas, kemampuan koneksi matematis merupakan salah satu kemampuan matematika yang perlu dimiliki oleh siswa.


(5)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Namun, beberapa hasil penelitian terdahulu mengindikasikan bahwa kemampuan koneksi matematis siswa masih belum mencapai hasil yang menggembirakan. Sugiman (2008) melakukan penelitian pada siswa SMP kelas IX materi Perbandingan. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa pencapaian pada setiap aspek koneksi siswa adalah 63% untuk koneksi antar topik, 41% untuk koneksi matematika dengan bidang studi lain, dan 55% untuk koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari. Penelitian Mustopa (2014) tentang materi Segitiga dan Segiempat pada siswa kelas VII menemukan bahwa kemampuan koneksi siswa masih perlu untuk ditingkatkan dilihat dari hasil postes siswa hanya sebesar 42,35%. Hasil tersebut masuk kedalam kategori rendah dengan pencapaian terendah pada indikator koneksi antar konsep matematika.

Penelitian lain menyatakan bahwa siswa sekolah menengah pertama merasa kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, dan topik dalam bidang studi lain. Siswa juga merasa kesulitan dalam menjawab hubungan atau konsep matematis terkait yang digunakan dalam soal (Gordah, 2009; Yusmanita, 2012). Kusmaydi (2010) menyatakan bahwa kemampuan koneksi sebagian siswa masih rendah terlihat dari beberapa hal, yaitu (1) siswa tidak dapat menentukan hubungan antar materi yang sedang dipelajari dengan materi yang telah mereka pelajari; (2) siswa merasa kebingungan dalam menyatakan benda nyata, diagram, maupun gambar ke dalam peristiwa kehidupan sehari-hari; (3) siswa kurang mampu menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari; (4) sebagian siswa dapat menyelesaikan permasalah dalam kehidupan sehari-hari namun hanya bersifat prosedural tanpa memahami apa yang mereka kerjakan.

Selain kemampuan kognitif siswa, kemampuan afektif siswa juga penting untuk ditingkatkan. Salah satunya adalah keyakinan siswa atas kemampuannya dalam melakukan tugas-tugas, menyelesaikan masalah, serta mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kemampuan ini lebih dikenal dengan self-efficacy. Pengertian self-efficacy tersebut merujuk pada pengertian yang dinyatakan oleh Bandura (Carmichael, Callingham, Hay, & Watson, 2010), yaitu “beliefs in one’s capabilities to organize and execute the


(6)

4

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Robins, et. al. (Carmichael, Callingham, Hay, & Watson, 2010) menyatakan bahwa self-efficacy merupakan prediksi prestasi terbaik pada sebuah konteks pendidikan. Siswa dengan self-efficacy yang baik akan memiliki prestasi yang baik pula. Begitu juga sebaliknya pada siswa dengan self-efficacy yang rendah. Hal ini disebabkan siswa yang memiliki self-efficacy tinggi akan memiliki keyakinan tinggi dalam mengikuti kegiatan pembelajaran sehingga dapat melakukan tugas yang diberikan guru dengan lebih baik. Hal ini menunjukkan pentingnya menumbuhkembangkan aspek self-efficacy dalam diri siswa.

Secara lebih khusus self-efficacy dalam matematika disebut mathematics self-efficacy. Pengertian mathematics self-efficacy merujuk pada pengertian yang dinyatakan oleh Causapin (2012), yaitu “Mathematics self-efficacy is the belief in

a one’s ability to learn and succeed in school mathematics”. Berdasarkan pengertian tersebut mathematics self-efficacy diartikan sebagai keyakinan siswa mengenai kemampuannya dalam menyelesaikan tugas-tugas matematika yang diberikan, mengikuti pembelajaran matematika dengan baik, dan sukses dalam matematika.

Pajares & Schunk (2001) menyatakan bahwa siswa dengan mathematics self-efficacy yang tinggi biasanya menetapkan target yang lebih tinggi, menerapkan usaha yang lebih keras, dan lebih tekun dalam menghadapi situasi sulit serta lebih mandiri. Di sisi lain, siswa dengan mathematics self-efficacy yang rendah, cenderung mudah menyerah dan tidak yakin terhadap kemampuan yang mereka miliki sehingga mereka bahkan tidak mencoba untuk mengatasi hal-hal sulit dalam matematika. Dengan demikian, siswa yang memiliki mathematics self-efficacy tinggi akan mencapai prestasi matematika yang tinggi. Begitu pula sebaliknya, siswa yang memiliki mathematics self-efficacy rendah akan mencapai prestasi matematika yang rendah pula.

Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara mathematics self-efficacy dengan prestasi matematika. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka ada indikasi bahwa kemampuan koneksi matematis juga memiliki asosiasi dengan mathematics self-efficacy siswa. Dimana kemampuan koneksi matematis pada penelitian ini merupakan fokus prestasi matematika yang diteliti.


(7)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Menurut Usher & Pajares (2009), self-efficacy tidak selalu konsisten dengan hasil yang diharapkan. Tidak sedikit terjadi di lapangan, siswa berkemampuan tinggi memiliki mathematics self-efficacy yang rendah. Demikian pula sebaliknya. Hal tersebut juga ditunjukkan pada hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti. Dalam studi pendahuluan, peneliti memberikan pernyataan-pernyataan yang dapat mengukur tingkat mathematics self-efficacy siswa dan membandingkannya dengan perolehan nilai ujicoba tes kemampuan koneksi matematis. Ternyata diperoleh hasil bahwa siswa yang mendapatkan nilai tertinggi memiliki taraf keyakinan matematis yang lebih rendah daripada siswa yang mendapatkan nilai tes rendah. Hal tersebut memerlukan perhatian baik dari guru maupun dari dalam diri siswa.

Salah satu perhatian yang dapat diberikan oleh guru adalah pada saat proses pembelajaran berlangsung. Guru merupakan salah seorang yang dapat berperan aktif dalam meningkatkan mathematics self-efficacy pada diri siswa (Pajares & Usher, 2009). Hal ini dikarenakan kemampuan mathematics self-efficacy merupakan kemampuan yang harus dilatih dan diatur secara efektif. Kemampuan ini tidak akan terbentuk dengan baik apabila tidak mendapatkan perhatian.

Salah satu alternatif solusi untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy siswa adalah melalui penerapan model pembelajaran yang dapat melibatkan keaktifan siswa dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan kedua kemampuan siswa tersebut. Dijelaskan pula dalam

Permendikbud No.65 Tahun 2013 tentang standar proses bahwa “pengetahuan

diperoleh melalui aktivitas mengingat, memahami, menerapkan, melalui aktivitas,

mengevaluasi, dan mencipta.” Dengan demikian, pengetahuan akan diperoleh melalui suatu kegiatan yang aktif, tidak terkecuali dengan kemampuan koneksi matematis. Kemampuan ini dapat dikembangkan dengan baik melalui pembelajaran yang melibatkan siswa untuk mencari ilmu pengetahuan bukan hanya menerima.

Pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif seringkali dilakukan melalui kegiatan pembelajaran berkelompok. Siswa aktif mendiskusikan materi pelajaran dan saling membantu dalam proses memahami materi tersebut. Siswa


(8)

6

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

yang kurang pandai akan dibantu oleh siswa yang lebih pandai. Kegiatan seperti ini memungkinkan siswa lebih percaya diri dan yakin untuk lebih sukses dalam belajar. Hal ini sejalan dengan Bandura (1997, hlm. 234) yang mengemukakan bahwa belajar bersama dalam kelompok dapat menumbuhkembangkan potensi self-efficacy siswa. Pembelajaran aktif seperti dikemukakan di atas dianjurkan dalam pelaksanaan Kurikulum 2013.

Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk semua jenjang pendidikan dilaksanakan menggunakan pendekatan ilmiah (saintifik). Langkah-langkah pendekatan ini meliputi: mengamati, bertanya, pengumpulan data atau informasi, menganalisis, dan mengomunikasikan hasil yang diperoleh dalam berbagai representasi. Hosnan (2014, hlm. 36) mengemukakan bahwa pendekatan ilmiah merupakan salah satu pendekatan yang berpusat pada siswa, melibatkan keterampilan proses sains dalam mengontruksi konsep, dan melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan intelektual, khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa, serta dapat mengembangkan karakter siswa.

Terdapat tiga model pembelajaran yang disarankan dalam Kurikulum 2013, yaitu pembelajaran berbasis masalah (PBM), penemuan (discovery), dan proyek berbasis masalah. Pada ketiga model ini siswa diberikan kesempatan untuk aktif dalam pembelajaran. Siswa tidak bergantung pada pengetahuan yang ditransfer oleh guru, namun siswa aktif mencari, mengolah, mengkonstruksi, dan menggunakan pengetahuan. Siswa juga dibiasakan untuk melakukan pembelajaran secara berkelompok. Dengan demikian, kemampuan sosial siswa dapat tercipta dengan baik. Siswa akan membiasakan diri untuk berkomunikasi, menghargai, bekerjasama, dan bertanggungjawab dengan kelompok belajar. Hal ini juga memungkinkan terjadinya pertukaran pengetahuan yang baik antara siswa dengan siswa lainnya.

Walaupun ketiga model pembelajaran tersebut disarankan untuk diterapkan dalam pembelajaran namun guru tetap diberikan kebebasan untuk menentukan model manakah yang paling tepat untuk digunakan dalam setiap pertemuannya. Oleh karena itu, pentingnya peran guru untuk memahami


(9)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

karakteristik dari ketiga model tersebut sehingga baik guru dan siswa tidak mengalami kesulitan dalam belajar.

Model PBM adalah model pembelajaran dimana siswa diberikan pada masalah auntentik sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri (Arends, 2009, hlm. 396). Model ini bercirikan penyajian masalah kontekstual yang akan didiskusikan siswa dalam kelompok. Model PBM tidak ditujukan bagi guru yang tetap menganggap dirinya sebagai pusat dalam pembelajaran. Model PBM akan berjalan dengan baik jika guru merancang lingkungan pembelajaran yang melibatkan siswa aktif dalam kegiatan dan diskusi. Siswa bekerja dalam kelompok untuk membagi ide dengan sesama anggota kelompok dalam memecahkan masalah.

Di lain pihak model pembelajaran penemuan terbimbing juga diduga dapat membantu menumbuhkembangkan kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy siswa. Model pembelajaran penemuan terbimbing memfasilitasi siswa untuk belajar secara mandiri melalui kegiatan yang dirancang oleh guru. Siswa menyusun konjektur, hipotesis, melakukan verifikasi, dan generalisasi untuk membangun pengetahuan baru.

Ibrahim (2012, hlm. 13) menyatakan bahwa kedua model pembelajaran penemuan dan PBM memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda. Kedua model pembelajaran ini memfasilitasi siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran, lebih menekankan pada proses induktif daripada deduktif, dan siswa menemukan dan mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri. Perbedaan antara model pembelajaran penemuan dan PBM terletak pada masalahnya. Pada pembelajaran penemuan, masalah atau pertanyaan yang akan dijawab oleh siswa sebagian besar berdasarkan disiplin ilmu, penyelidikan siswa berlangsung di bawah bimbingan guru terbatas di dalam lingkup kelas. Pada PBM pembelajaran dimulai dari masalah yang berdasarkan pada masalah sehari-hari atau berdasarkan kehidupan nyata sehingga lebih bermakna. Siswa memiliki kesempatan untuk melakukan penyelidikan di dalam maupun di luar kelas selama diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.


(10)

8

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Pada model PBM, kemampuan koneksi matematis akan terbentuk pada Fase 2 dan Fase 3. Pada Fase 2 siswa mencermati masalah yang diberikan. Siswa mulai mencari kaitan materi yang sedang dipelajari dengan berbagai topik matematika. Pada Fase 3, siswa bersama kelompoknya mencari informasi dan melaksanakan kegiatan untuk menyelesaikan masalah. Pada tahap ini, siswa membangun kemampuan koneksi matematis antar konsep, koneksi dengan bidang studi lain, ataupun koneksi dengan kehidupan sehari-hari bergantung pada masalah yang diberikan oleh guru.

Pada model pembelajaran penemuan terbimbing, kemampuan koneksi matematis siswa akan terbentuk pada tahapan eksplorasi dimana siswa membuat konjektur, melakukan proses penemuan, dan menganalisis data yang diberikan guru. Pada tahap ini siswa menggunakan konsep yang telah ia miliki sebelumnya untuk menemukan konsep baru. Hal ini sesuai dengan pendapat Roshendi (2011) yang meneliti tentang penerapan model pembelajaran terbimbing pada siswa SMA materi Turunan. Proses koneksi muncul pada pertanyaan-pertanyaan yang disajikan di lembar aktivitas siswa.

Dengan memperhatikan uraian di atas, maka peneliti berupaya mengungkapkan perbandingan kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy antara siswa yang memperoleh pembelajaran model PBM dengan penemuan terbimbing.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana perbedaan kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy antara siswa yang memperoleh pembelajaran model PBM dengan penemuan terbimbing. Secara terperinci masalah-masalah dalam penelitian ini dijabarkan dalam rumusan masalah sebagai berikut.

1. Apakah terdapat perbedaan pencapaian dan peningkatan kemampuan koneksi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran model PBM dan siswa yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing?


(11)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2. Apakah terdapat perbedaan pencapaian mathematics self-efficacy antara siswa yang memperoleh pembelajaran model PBM dan siswa yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing?

3. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy siswa.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka tujuan penelitian ini antara lain untuk mengetahui dan menelaah:

1. Ada atau tidaknya perbedaan pencapaian dan peningkatan kemampuan koneksi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran model PBM dan siswa yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing.

2. Ada atau tidaknya perbedaan pencapaian mathematics self-efficacy antara siswa yang memperoleh pembelajaran model PBM dan siswa yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing.

3. Ada atau tidaknya asosiasi antara kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy siswa.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut:

1. Dari segi teori: diharapkan dapat dijadikan penguat teori yang menjelaskan tentang penerapan model PBM, penemuan terbimbing, kemampuan koneksi matematis, dan mathematics self-efficacy.

2. Dari segi praktik:

a) Bagi siswa, diharapkan mendapatkan pengalaman belajar yang dapat menumbuhkembangkan kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy siswa.

b) Bagi guru, diharapkan dapat membantu kesulitan guru dalam mengajar dengan memberikan gambaran pembelajaran melalui model PBM dan penemuan terbimbing, serta memberikan gambaran perbandingan hasil


(12)

10

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dari keduanya terhadap kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy.

3. Dari segi kebijakan: diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam menerapkan dan mengembangkan Kurikulum 2013 di sekolah dalam upaya lebih memperhatikan keaktifan siswa.

E. Definisi Operasional

Untuk memperoleh kesamaan persepsi tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini maka perlu dijelaskan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut, yaitu:

1. Kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan mengaitkan konsep-konsep matematika antar konsep-konsep dalam matematika itu sendiri maupun mengaitkan konsep matematika dengan konsep dalam bidang studi lain serta mengaitkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari. Indikator kemampuan koneksi matematis siswa dalam penelitian ini adalah: (1) menggunakan keterkaitan antar konsep matematika; (2) menggunakan keterkaitan matematika dengan bidang studi lain; dan (3) menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

2. Mathematics self-efficacy diartikan sebagai keyakinan siswa mengenai kemampuannya dalam menyelesaikan tugas-tugas matematika yang diberikan, mengikuti pembelajaran matematika dengan baik, dan sukses dalam matematika berdasarkan pengalaman keberhasilan. Mathematics self-efficacy dalam penelitian ini diperoleh dari pernyataan-pernyataan dalam skala Mathematics self-efficacy yang menggunakan 11 respon skala dengan interval 0-10.

3. Model pembelajaran berbasis masalah (PBM) adalah model pembelajaran yang diawali dengan pemberian masalah, menekankan pada keaktifan siswa dalam melakukan pengamatan, dan menerapkan pengetahuan untuk membangun konsep secara mandiri dan memecahkan masalah. Model ini terdiri dari lima tahapan pembelajaran, yaitu orientasi pada masalah, pengorganisasian belajar, membimbing penyelidikan kelompok atau individu, menyajikan hasil diskusi, dan evaluasi.


(13)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

4. Model pembelajaran penemuan terbimbing adalah model pembelajaran yang menekankan pada pentingnya membantu siswa dalam memahami ide utama materi melalui pembelajaran aktif dimana memungkinkan siswa untuk mengaitkan topik yang telah ia pelajari sebelumnya untuk menemukan konsep baru. Model ini terdiri dari empat tahapan pembelajaran, yaitu menyajikan masalah, melakukan eksplorasi di bawah bimbingan guru, verifikasi dan generalisasi.


(14)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Fraenkel, Wallen, & Hyun (2012, hlm. 275) menyebutkan apabila peneliti tidak dapat melakukan pengambilan sampel secara acak maka penelitian tersebut merupakan penelitian kuasi eksperimen. Dalam penelitian ini peneliti tidak dapat melakukan pengambilan sampel secara acak dikarenakan hal tersebut dapat mengganggu jadwal yang sudah diterapkan oleh pihak sekolah. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen.

Pada penelitian ini dipilih dua kelas, yaitu kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Sebelum pembelajaran, pada kedua kelompok diberikan pra-respon, yaitu pretes kemampuan koneksi matematis dan skala mathematics efficacy awal untuk melihat kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy siswa sebelum diberikan perlakuan. Kelas eksperimen 1 diberikan perlakuan model PBM, sedangkan kelas eksperimen 2 diberikan perlakuan model pembelajaran penemuan terbimbing. Setelah penelitian kedua kelompok diberikan pos-respon, yaitu postes kemampuan koneksi matematis dan skala mathematics self-efficacy akhir yang berfungsi untuk melihat pencapaian kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy siswa setelah pembelajaran dilaksanakan.

Selain itu, data yang diperoleh dari pretes dan postes kemampuan koneksi matematis juga digunakan untuk menentukan peningkatan (N-gain) kemampuan koneksi matematis siswa. Penentuan N-gain perlu dilakukan karena meskipun pencapaian siswa berbeda ada kemungkinan peningkatan tidak berbeda begitu pula sebaliknya. Tabel 3.1 berikut menggambarkan kegiatan pra-respon, perlakuan, dan pos-respon yang dilaksanakan.

Tabel 3.1 Pola Desain Eksperimen

Kelompok Pra-Respon Perlakuan Pos-Respon Pengempolokan

menggunakan teknik

purposive

Eksperimen 1 - Pretes - Tes

mathematics self-efficacy

PBM - Tes

mathematics self-efficacy - Postes

Eksperimen 2 Penemuan


(15)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Desain penelitian yang digunakan, yaitu desain pretes-postes yang dimodifikasi berdasarkan desain pretes-postes dari Fraenkel, Wallen, & Hyun (2012, hlm. 275) dapat digambarkan sebagai berikut.

Tabel 3.2 Desain Pretes-Postes

Kelompok Pretest Perlakuan Postest

Eksperimen 1 O X1 O

Eksperimen 2 O X2 O

Keterangan:

O : pra-respon/pos-respon (soal dan skala yang digunakan sama) X1 : perlakuan pada kelas eksperimen 1 menggunakan model PBM

X2 : perlakuan pada kelas eksperimen 2 menggunakan model pembelajaran penemuan terbimbing

--- : subjek tidak dikelompokkan secara acak

B. Variabel Penelitian

Penelitian ini mengkaji perbandingan kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy antara siswa yang belajar melalui model PBM dengan siswa yang belajar melalui penemuan terbimbing di SMP. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model PBM dan penemuan terbimbing. Variabel terikat, yaitu kemampuan koneksi matematis dan tingkat mathematics self-efficacy. Keterkaitan antara variabel bebas dan terikat disajikan pada Tabel 3.3 berikut ini.

Tabel 3.3 Keterkaitan antara Variabel Penelitian

Koneksi (K) Mathematics Self Efficacy (MSE) Model Pemb.

PBM (PBM)

Model Pemb. Penemuan Terbimbing

(PT)

Model Pemb. PBM (PBM)

Model Pemb. Penemuan Terbimbing

(PT)

K-PBM K-PT MSE-PBM MSE-PT

Keterangan:

K-PBM adalah kemampuan koneksi matematis siswa di kelas model PBM. K-PT adalah kemampuan koneksi matematis siswa di kelas model pembelajaran penemuan terbimbing.

MSE-PBM adalah mathematics self-efficacy siswa di kelas model PBM. MSE-PT adalah mathematics self-efficacy siswa di kelas model pembelajaran penemuan terbimbing.


(16)

36

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII salah satu SMP di Bandung, semester genap Tahun Pelajaran 2014/2015. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive, yaitu berdasarkan pertimbangan guru di sekolah tersebut. Hal ini bertujuan agar tidak mengganggu jadwal pelajaran yang sudah ada di sekolah tersebut dan mempermudah dalam urusan administratif.

Dari segi kemampuan, sekolah yang dipilih adalah sekolah dengan kategori menengah. Hal ini dengan pertimbangan pada sekolah kategori menengah model pembelajaran yang dipilih dapat diterapkan. Siswa yang berada di sekolah tersebut memiliki kemampuan yang heterogen sehingga diharapkan pada tahap implementasi dapat dilihat respon dari siswa yang pintar hingga siswa yang kurang pintar.

Alasan pemilihan kelas VIII adalah dikarenakan materi matematika yang diperoleh kelas VIII memadai untuk melihat kemampuan koneksi matematis siswa. Apabila dipilih siswa kelas VII materi matematika yang diperoleh belum cukup memadai sedangkan jika dipilih kelas IX dikhawatirkan mengganggu persiapan Ujian Nasional siswa dan tidak mendapatkan izin dari sekolah. Selain itu, umumnya siswa SMP kelas VIII masih berada pada masa remaja. Pada masa ini terjadi proses pencarian jati diri dan pertumbuhan self-efficacy.

D. Bahan Ajar

Dalam penelitian ini dirancang perangkat pembelajaran dan bahan ajar yang didasarkan pada prinsip dan karakteristik model PBM untuk kelas eksperimen 1 dan model pembelajaran penemuan terbimbing untuk kelas eksperimen 2. Perangkat pembelajaran dalam penelitian ini adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang terdiri dari 7 kali tatap muka. Bahan ajar yang digunakan dalam penelitian ini berupa Lembar Masalah Kelompok (LMK) untuk kelas PBM dan Lembar Aktivitas Siswa (LAS) untuk kelas penemuan terbimbing.

Sebelum digunakan pada kelas kedua eksperimen, perangkat dan bahan ajar ini dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Hal ini dilakukan untuk


(17)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

mengetahui kualitas perangkat pembelajaran dan bahan ajar apakah sudah sesuai dengan model pembelajaran yang diterapkan.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tes kemampuan koneksi matematis, skala mathematics self-efficacy, dan lembar observasi. Berikut ini merupakan penjelasan tentang instrumen yang digunakan dalam penelitian ini. 1. Tes Kemampuan Koneksi Matematis

Kemampuan koneksi matematis diukur menggunakan instrumen tes berbentuk tes uraian. Hal ini dikarenakan tes uraian lebih memberikan gambaran tentang proses penyelesaian jawaban sehingga didapatkan kemampuan koneksi matematis yang akurat. Adapun indikator kemampuan koneksi matematis, yaitu: (1) menggunakan keterkaitan antar topik matematika; (2) menggunakan keterkaitan matematika dengan bidang studi lain; dan (3) menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Data hasil tes berupa jawaban-jawaban siswa terhadap soal kemampuan koneksi matematis dengan penilaian berdasarkan pedoman penskoran yang dibuat. Data kemampuan koneksi matematis berasal dari pretes dan postes yang digunakan untuk mencari peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa (gain ternormalisasi). Adapun pedoman penskoran yang digunakan dalam menilai hasil pretes-postes kemampuan koneksi matematis siswa berdasarkan Cai, Lane, dan Jakabcsin (Utami; 2014). Pedoman tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.4 berikut.

Tabel 3.4 Pedoman Penskoran Kemampuan Koneksi Matematis

Skor

Menggunakan keterkaitan antar topik matematika

Menggunakan keterkaitan matematika dengan

bidang studi lain

Menggunakan matematika dalam

kehidupan sehari-hari

0 Tidak ada jawaban, kalaupun ada hanya melibatkan ketidakpahaman tentang konsep sehingga informasi yang diberikan tidak berarti apa-apa. 1 Hanya sedikit dari penjelasan yang benar.

2 Penjelasan secara matematis masuk akal dan mengarah pada solusi atau jawaban jika diterapkan dengan benar.

3 Penjelasan secara matematis masuk akal dan benar, meskipun tidak tersusun secara logis atau terdapat sedikit kesalahan perhitungan. 4 Penjelasan secara matematis masuk akal dan jelas serta tersusun secara


(18)

38

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

2. Skala Mathematics Self-efficacy

Skala mathematics self-efficacy digunakan untuk mengukur keyakinan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas matematika yang diberikan, mengikuti pembelajaran matematika dengan baik, dan memiliki motivasi untuk sukses dalam matematika. Skala mathematics self-efficacy diberikan kepada masing-masing kelompok siswa sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Skala mathematics self-efficacy awal digunakan untuk melihat mathematics self-efficacy yang dimiliki siswa sebelum diberikan perlakuan sedangkan skala mathematics self-efficacy akhir digunakan untuk melihat mathematics self-self-efficacy yang dimiliki siswa setelah diberikan perlakuan.

Format respon skala Likert pada umumnya menggunakan lima pernyataan sikap. Namun, menurut Bandura (2006) skala self-efficacy lebih baik menggunakan 11 respon skala dengan interval 0-10 atau 0-100. Hal ini didukung oleh Panjares, Hartley, & Valiante (Bandura, 2006) yang menyatakan bahwa format respon 0-100 merupakan prediktor yang lebih baik dari pada skala dengan format 1-5. Peneliti lebih memilih menggunakan format respon skala dengan interval 0-10 dengan pertimbangan format ini lebih mudah dimengerti oleh siswa SMP. Bentuk skala ini termasuk dalam skala bentuk ordinal.

Terdapat beberapa langkah yang dilakukan untuk mendapatkan instrumen skala mathematics self-efficacy yang baik, yaitu.

a. Penyusunan kisi-kisi skala mathematics self-efficacy.

b. Menyusun pernyataan skala mathematics self-efficacy berdasarkan dengan kisi-kisi yang telah ditentukan.

c. Melakukan uji validitas teoritik, yaitu dengan meminta pertimbangan ahli yang merupakan salah satu dosen dan pemerhati dunia psikologi.

d. Melakukan uji validitas empirik serta uji reliabilitas dengan cara melakukan uji coba skala mathematics self-efficacy pada siswa non subyek penelitian. e. Melakukan analisis hasil uji coba instrumen untuk melihat apakah diperlukan

revisi atau tidak.

f. Melakukan revisi dan meminta pertimbangan dosen ahli untuk menentukan pernyataan-pernyataan yang digunakan.


(19)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

3. Lembar Observasi

Lembar observasi digunakan untuk melihat aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung di kedua kelas. Tujuan observasi ini adalah untuk melihat apakah proses pembelajaran di kedua kelas telah diterapkan dengan maksimal. Perangkat pendukung lainnya adalah tabel ringkasan hasil observasi aktivitas siswa. Kategori atau aktivitas yang diamati dalam instrumen ini disusun dengan memperhatikan prinsip-prinsip maupun karakteristik pembelajaran di kedua kelas eksperimen. Observasi ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi agar pembelajaran berikutnya dapat menjadi lebih baik. Data hasil penilaian lembar observasi aktivitas siswa yang diperoleh selama penelitian adalah berupa data dalam lima kriteria penilaian, yaitu kriteria “Sangat baik” diberi skor 5, kriteria “Baik” diberi skor 4, kriteria “Cukup” diberi skor 3, kriteria “Kurang” diberi skor 2, dan kriteria “sangat kurang” diberi nilai 1. Selanjutnya, dihitung nilai rata-rata dan dipersentasekan.

F. Teknik Analisis Instrumen

Sebelum soal dan skala mathematics self-efficacy digunakan, dilakukan ujicoba terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk menguji apakah instrumen tersebut memenuhi kriteria instrumen yang layak digunakan. Kriteria tersebut meliputi validitas dan reliabilitas (Fraenkel, 2012; Sugiyono, 2014; Creswell, 2014). Analisis taraf kesukaran juga dilakukan sebagai analisis tambahan. Uji coba ini dilakukan pada kelas di luar sampel, yaitu kelas IX di sekolah yang sama. Pengolahan data ini menggunakan analisis teori respon butir model Rasch. Analisis dilakukan menggunakan Software MiniStep 3.78. Berikut ini adalah teknik analisis instrumen penelitian yang dilakukan.

1. Tes Kemampuan Koneksi Matematis a. Uji Validitas

Untuk mengetahui tingkat keabsahan atau kevalidan butir soal maka dilakukan uji validitas teoritik dan emprik butir soal. Uji validitas teroritik dilakukan dengan cara meminta validasi dari empat orang ahli, yaitu tiga orang ahli dengan kualifikasi doktoral di bidang Pendidikan Matematika dan seorang


(20)

40

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

guru matematika di jenjang SMP yang memiliki pengalaman mengajar dengan kualifikasi sarjana pendidikan matematika. Tes yang dikategorikan valid adalah yang telah dinyatakan sesuai dengan indikator yang diukur, kesesuaian isi tes dengan isi kisi-kisi tes yang diukur, dan kesesuaian bahasa yang digunakan dalam tes dengan kemampuan bahasa siswa yang dilakukan menggunakan daftar check list.

Untuk mendapatkan kesimpulan apakah hasil timbangan para penimbang tersebut sama atau tidak, dilakukan analisis menggunakan statistik Uji Q-Cochran dengan bantuan Software IBM SPSS 20. Adapun kriteria uji yang digunakan adalah terima H0 jika asym.sig yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi α = 0,05. Tabel 3.5 Berikut adalah ringkasan hasil uji Q-Cochran.

Tabel 3.5 Hasil Uji Q-Cochran Instrumen Kemampuan Koneksi Matematis

Aspek Asym. Sig Keputusan Uji Kesimpulan

Validitas Muka 0,063 H0 diterima Para penimbang memberikan pertimbangan yang seragam atau sama. Validitas Isi 0,013 H0 ditolak Para penimbang

memberikan pertimbangan yang tidak seragam atau berbeda

Berdasarkan Tabel 3.5 di atas, dapat diketahui bahwa pada aspek validitas muka diperoleh nilai asym.sig sebesar 0,063. Hal ini berarti para penimbang memberikan pertimbangan yang seragam atau sama. Berbeda dengan aspek validitas isi, nilai asym.sig yang diperoleh sebesar 0,013. Hal ini berarti para penimbang memiliki pertimbangan yang berbeda. Perbedaan ini terjadi dikarenakan ada ahli menimbang bahwa soal-soal yang diajukan sudah sesuai untuk mengukur indikator namun tergolong mudah sehingga ia memberikan nilai 0 pada poin ini. Di lain pihak penimbang yang lain tidak terlalu memperhatikan tingkat kesulitan soal.

Berdasarkan pertimbangan para ahli maka dilakukan revisi pada soal-soal yang diajukan. Revisi dilakukan berdasarkan saran-saran yang diberikan oleh para penimbang, yaitu mengganti soal, meningkatkan kompleksitas soal, dan mengurangi jumlah soal. Setelah soal direvisi, dosen pembimbing diminta untuk


(21)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

A B

C

D E

F

memberikan pertimbangan. Tabel 3.6 berikut merupakan revisi soal yang dilakukan.

Tabel 3.6 Revisi Soal

Soal Soal Revisi

Indikator 3: Menggunakan keterkaitan luas permukaan balok dalam kehidupan sehari-hari.

Ayah akan membuat sebuah akuarium berbentuk kubus dengan panjang rusuk 90 cm. Rangka akuarium terbuat dari kaca dengan bagian atas akuarium terbuka. Jika harga kaca per meter persegi adalah Rp 80.000,00. Hitunglah biaya yang diperlukan untuk membeli kaca tersebut.

Ayah membuat sebuah akuarium berbentuk kubus dengan panjang rusuk 90 cm. Akuarium terbuat dari kaca dengan bagian atas akuarium terbuka. Harga kaca per meter persegi adalah Rp 60.000,00. Biaya lain-lain yang dihabiskan ayah adalah Rp 50.000,00. Ayah ingin menjual akuarium tersebut dan mendapatkan keuntungan 20% dari total biaya yang dikeluarkan untuk membuat akuarium. Berapakah harga jual akuarium tersebut?

Indikator 1: Menggunakan keterkaitan antar konsep (unsur-unsur dan volum prisma dengan konsep phytagoras dan jumlah sudut dalam segitiga) Perhatikan gambar di samping.

ABC.DEF adalah sebuah prisma dengan alas berbentuk

segitiga siku-siku di C. a. Tentukanlah 4 pasang

rusuk prisma yang sejajar. b. Tentukanlah bidang

sisi yang sejajar. c. Jika diketahui

AB = 13 cm, dan AD = 9 cm.

Berapakah panjang AE.

Perhatikan gambar di samping. ABC.DEF adalah sebuah prisma dengan alas berbentuk segitiga.

BAC = 370 dan ABC = 530. Jika diketahui

panjang AB = 13 cm, DF = 12 cm, dan Luas BCEF = 90 cm2. Tentukanlah volum prisma ABC.DEF.


(22)

42

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Indikator 2: Menggunakan keterkaitan konsep volum balok dengan konsep massa jenis pada bidang studi fisika.

Pada saat kelas 7 kamu sudah mempelajari tentang massa jenis zat ( ). Dapatkah kamu menentukan massa jenis sebuah besi berbentuk kubus dengan panjang rusuk 5 cm dan massa besi tersebut adalah 500 gr?

(diberikan: )

Sebuah bak penampungan air berbentuk balok berukuran panjang 120 cm, lebar 70 cm, dan tinggi 50 cm terisi air penuh. Sebuah kayu dengan massa jenis 0,8 gr/cm3 dan massa 800 gr dimasukkan ke dalam bak air tersebut sehingga ada air yang tertumpah keluar. Berapakah volum air yang tersisa di dalam bak penampungan tersebut?

(keterangan: massa jenis suatu benda adalah hasil bagi massa benda dengan volum benda tersebut)

Indikator 1: Menggunakan keterkaitan antar konsep (konsep luas permukaan kubus dan limas dengan konsep perbandingan) Akan dibuat balok dengan perbandingan

panjang : lebar : tinggi = 4 : 3 : 2. Jika lebar balok tersebut 12 cm. Tentukanlah volume balok tersebut.

Diketahui sebuah limas segiempat dengan panjang alas = 12 cm dan lebar alas = 4 cm. Jika perbandingan volum limas dengan volum kubus yang memiliki panjang rusuk 8 cm adalah 1 : 4. Tentukan tinggi limas segiempat tersebut.

Indikator 3: Menggunakan keterkaitan luas permukaan kubus dan limas dalam kehidupan sehari-hari.

Andi membuat mainan rumah-rumahan seperti tampak pada gambar di bawah. Rumah-rumahan tersebut merupakan gabungan kubus sebagai bagian bawah dan limas sebagai atapnya. Panjang rusuk bagian bawah adalah 40 cm. Pada salah satu sisi, Andi membuat celah berbentuk lingkaran dengan jari-jari 7 cm. Andi ingin menutupi setiap bagian luar mainan tersebut dengan kertas kado. Berapakah luas minimal kertas kado yang dibutuhkan?

Andi membuat mainan rumah-rumahan seperti tampak pada gambar di bawah. Rumah-rumahan tersebut merupakan

gabungan kubus sebagai bagian bawah dan limas sebagai atapnya. Panjang rusuk bagian bawah adalah 40 cm dan tinggi dari dasar ke puncak mainan adalah 55 cm. Agar bagian dalam bisa digunakan Andi membuat celah berbentuk lingkaran dengan jari-jari 7 cm. Andi ingin menutupi setiap bagian luar mainan tersebut dengan kertas kado. Berapakah luas minimal kertas kado yang terpakai oleh untuk Andi menutupi setiap bagian luar mainan tersebu?


(23)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Indikator 3: Menggunakan keterkaitan volum kubus dan balok dalam kehidupan sehari-hari.

Ibu memiliki kotak kue besar berbentuk balok dengan panjang 50 cm, lebar 20 cm, dan tinggi 35 cm. Ke dalam kotak tersebut akan diisi kotak kue kecil dengan panjang rusuk 10 cm. Berapa paling banyak kotak kue kecil yang dapat dimasukkan kedalam kotak kue besar?

Ditiadakan (karena soal untuk mengukur indikator ini sudah ada sebanyak 2 soal)

Indikator 2: Menggunakan keterkaitan konsep volum prisma dengan konsep debit pada bidang studi fisika.

Debit air adalah kecepatan aliran zat cair persatuan waktu. Misalnya debit air sungai adalah 3.000 liter/detik. Artinya setiap 1 detik air yang mengalir di sungai adalah 3.000 liter.

Jika terdapat tangki penampungan air berbentuk prisma yang alasnya berbentuk belah ketupat yang panjang diagonal-diagonalnya adalah 4 m dan 3 m. Tinggi tangki 2,5 m. Pada dasar tangki terdapat kran yang dapat mengalirkan air rata-rata 75 liter setiap menitnya. Jika tangki terisi air penuh, berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan air dari tangki itu sampai habis?

(keterangan: Debit = )

Ditiadakan.

40 cm

55 cm 15 cm


(24)

44

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Setelah instrumen direvisi berdasarkan validitas teoritik dan mendapatkan persetujuan dosen pembimbing, dilakukan uji validitas empirik dengan cara mengujicobakan instrumen kepada non subjek penelitian.

Dalam penelitian ini, validitas ítem dihitung menggunakan model rasch berbantuan Software MiniStep 3.78. Menurut Sumintono & Widhiarso (2013, hlm. 111) validitas ítem tes dapat dilihat berdasarkan nilai Output Mean Square (MNSQ), Out-fit Z-Standard (ZSTD), dan Point Measure Correlation (Pt Mean Corr). Kriteria validitas ítem tes dapat dilihat pada Tabel 3.7 berikut.

Tabel 3.7 Kriteria Validitas Item Tes

Nilai Interval Penerimaan

Output Mean Square (MNSQ) 0,5 < MNSQ < 1,5 Out-fit Z-Standard (ZSTD) - 2,0 < ZSTD < +2,0 Point Measure Correlation (Pt Mean Corr) 0,4 < Pt Mean Corr < 0,85

Jika ítem tes memenuhi minimal dua kriteria di atas, maka butir soal atau pernyataan tersebut dapat dikatakan valid. Dengan kata lain ítem tersebut dapat digunakan. Tabel 3.8 adalah hasil dari uji validitas tes kemampuan koneksi matematis siswa.

Tabel 3.8 Hasil Uji Validitas Tes Kemampuan Koneksi Matematis No Soal Outfit

MNSQ

Outfit ZSTD

Pt Mean

Corr Kesimpulan Keterangan

1 1,65 1,7 0,55 Diterima Digunakan

2 0,78 -0,7 0,69 Diterima Digunakan

3 1,30 0,9 0,64 Diterima Digunakan

4 0,83 -0,5 0,72 Diterima Digunakan

5 0,51 -1,6 0,71 Diterima Digunakan

Berdasarkan Tabel 3.8 di atas kelima soal yang diujikan memiliki nilai MNSQ, ZSTD, dan Pt. Mean Corr. yang masuk kedalam daerah kriteria validitas. Oleh karena ini, dapat disimpulkan bahwa kelima soal kemampuan koneksi matematis layak untuk digunakan.

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas tes adalah tingkat keajegan (konsistensi) suatu tes, yaitu sejauh mana suatu tes dapat dipercaya untuk menghasilkan skor yang relatif tidak berubah walaupun diteskan pada situasi yang berbeda-beda (Arikunto, 2013).


(25)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Pada penelitian ini uji koefisien reliabilitas dihitung dengan bantuan Software MiniStep 3.78. Pada software tersebut, tidak hanya dapat diketahui reliabilitas tes namun juga reliabilitas item. Adapun klasifikasi nilai reliabilitas tes dan reliabilitas item dimodifikasi berdasarkan pendapat Sumintono & Widhiarso (2013, hlm. 109). Klasifikasi nilai reliabilitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.9 dan Tabel 3.10 sebagai berikut.

Tabel 3.9 Klasifikasi Nilai Test Reliability Nilai Alpha Cronbach Klasifikasi

0,00 r < 0,50 Buruk 0,50 r < 0,60 Jelek 0,60 r < 0,70 Cukup 0,70 r < 0,80 Bagus

0,80 r ≤ 1,00 Bagus Sekali

Tabel 3.10 Klasifikasi Nilai Item Reliability Nilai Item Reliability Klasifikasi

0,00 r < 0,67 Lemah 0,67 r < 0,80 Cukup 0,80 r <0,90 Bagus 0,90 r < 0,94 Bagus Sekali 0,94 r ≤ 1,00 Istimewa

Tabel 3.11 berikut ini adalah hasil dari uji reliabilitas tes kemampuan koneksi matematis siswa.

Tabel 3.11 Hasil Uji Reliabilitas Tes Kemampuan Koneksi Matematis Nilai Reliabilitas Klasifikasi Reliabilitas Tes

(Crobanch Alpha) 0,71 Bagus

Reliabilitas Item 0,90 Bagus Sekali

Berdasarkan Tabel 3.11, koefisien reliabilitas tes dan reliabilitas ítem pada tes kemampuan koneksi matematis berturut-turut adalah 0,71 dan 0,90. Berdasarkan klasifikasi nilai reliabilitas pada Tabel 3.9 dan Tabel 3.10, nilai tersebut termasuk dalam klasifikasi bagus dan bagus sekali. Hal ini berarti instrumen tes kemampuan koneksi matematis akan memberikan hasil yang hampir sama jika diujikan kembali kepada siswa.


(26)

46

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

c. Tingkat Kesukaran

Arikunto (2012) menyatakan bahwa “soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar”. Soal yang terlalu mudah tidak memberikan tantangan bagi siswa. Soal yang terlalu sukar dapat menyebabkan siswa putus asa dan tidak bersemangat dalam mengerjakan soal. Pada hasil perhitungan menggunakan bantuan Software MiniStep 3.78 tingkat kesukaran soal dapat dilihat dari nilai logit item (measure). Soal diurutkan dari tingkat kesulitan tersulit hingga termudah. Berikut ini urutan tingkat kesulitan tes kemampuan koneksi matematis.

Tabel 3.12 Hasil Uji Tingkat Kesulitan Tes Kemampuan Koneksi Matematis

Item Measure

5 1,05

2 0,01

4 -0,21

3 -0,36

1 -0,49

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa soal nomor 5 merupakan soal tersulit atau soal yang paling sedikit siswa dapat mengerjakannya. Diikuti dengan soal nomor 2, 4, dan 3. Soal termudah atau soal yang paling banyak siswa dapat mengerjakannya adalah soal nomor 1.

2. Skala Mathematics Self-Efficacy a. Uji Validitas

Sama halnya dengan tes kemampuan koneksi matematis, skala mathematics self-efficacy juga dilakukan uji validitas teoritik dan empirik. Uji validitas teoritik dilakukan dengan cara meminta pertimbangan dari satu dosen ahli bidang psikologi di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menggunakan daftar ceklis untuk menyatakan ítem-item yang dibuat sudah sesuai dengan dimensi dan indikator yang diukur. Berdasarkan validitas teoritik tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki antara lain:

1) Memperbaiki pemilihan kalimat agar lebih mudah dipahami oleh siswa dan tidak menimbulkan makna ganda.


(27)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

2) Pernyataan yang digunakan hanya pernyataan positif dengan pertimbangan bahwa keyakinan tidak memuat keyakinan negatif. Perbedaannya hanyalah tingkat atau taraf keyakinan saja, mulai dari keyakinan tertinggi hingga keyakinan terendah.

Setelah melakukan revisi berdasarkan saran-saran yang diberikan pada saat uji validitas teoritik dan mendapatkan persetujuan dari ahli, dilakukan uji validitas empirik dengan cara mengujicobakan skala mathematics self-efficacy kepada siswa non subjek penelitian. Hasil uji validitas skala mathematics self-efficacy dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.13 Hasil Uji Validitas Skala Mathematics Self-efficacy No Soal Outfit

MNSQ

Outfit ZSTD

Pt Mean

Corr Kesimpulan Keterangan

1 0,45 -2,8 0,76 Diterima Digunakan

2 0,74 -1,1 0,59 Diterima Digunakan

3 0,73 -1,2 0,66 Diterima Digunakan

4 0,53 -2,4 0,65 Diterima Digunakan

5 0,55 -2,3 0,68 Diterima Digunakan

6 0,76 -1,1 0,56 Diterima Digunakan

7 0,53 -2,3 0,56 Diterima Digunakan

8 0,66 -1,6 0,53 Diterima Digunakan

9 0,6 -1,9 0,69 Diterima Digunakan

10 0,67 -1,5 0,5 Diterima Digunakan

11 1,07 0,4 0,47 Diterima Digunakan

12 0,8 -0,8 0,51 Diterima Digunakan

13 2,83 5,5 0,49 Direvisi Digunakan

14 1,99 3,4 0,54 Direvisi Digunakan

15 1,66 2,4 0,54 Direvisi Digunakan

16 0,67 -1,5 0,74 Diterima Digunakan

17 1,42 1,6 0,54 Diterima Digunakan

18 0,67 -1,5 0,69 Diterima Digunakan

19 0,61 -2,0 0,71 Diterima Digunakan

20 1,29 1,3 0,41 Diterima Digunakan

21 1,37 1,6 0,37 Diterima Digunakan

22 1,51 2,1 0,46 Diterima Digunakan

Berdasarkan kriteria validitas ítem ites pada Tabel 3.7, maka ítem pernyataan nomor 13, 14, dan 15 memiliki nilai MNSQ dan ZSTD yang berada di luar jangkauan kriteria pernyataan yang dapat digunakan. Oleh karena itu, ketiga ítem tersebut tidak memenuhi kriteria dan perlu direvisi. Namun, dikarenakan ítem nomor 13 sampai dengan ítem nomor 16 merupakan pernyataan yang sejenis


(28)

48

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

dan berhubungan maka peneliti memutuskan untuk merevisi juga ítem nomor 16. Revisi yang dilakukan adalah memperbaiki tata bahasa pada pernyataan tersebut. Revisi yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 3.14 berikut.

Tabel 3.14 Revisi Skala Mathematics Self-Efficacy

No. Pernyataan Pernyataan Revisi

JIKA DIBERIKAN 5 SOAL TENTANG BANGUN RUANG SISI DATAR,

13. … saya (…..) mampu

menyelesaikan dengan benar paling sedikit 1 soal.

… saya (…..) mampu

menyelesaikan dengan benar 1 soal.

14. … saya (…..) mampu

menyelesaikan dengan benar paling sedikit 2 soal.

… saya (…..) mampu

menyelesaikan dengan benar 2 soal.

15. … saya (…..) mampu

menyelesaikan dengan benar paling sedikit 3 soal.

… saya (…..) mampu

menyelesaikan dengan benar 3 soal.

16. … saya (…..) mampu

menyelesaikan dengan benar paling sedikit 4 soal.

… saya (…..) mampu

menyelesaikan dengan benar 4 soal.

b. Uji Reliabilitas

Hasil yang diperoleh berdasarkan uji reliabilitas skala mathematics self-efficacy adalah sebagai berikut.

Tabel 3.15 Hasil Uji Reliabilitas Skala Mathematics Self-efficacy Nilai Reliabilitas Klasifikasi Reliabilitas Tes

(Crobanch Alpha) 0,90 Bagus Sekali

Reliabilitas Item 0,83 Bagus

Koefisien reliabilitas tes dan reliabilitas ítem pada skala mathematics self-efficacy berturut-turut adalah 0,90 dan 0,83. Berdasarkan klasifikasi nilai reliabilitas pada Tabel 3.9 dan Tabel 3.10, nilai tersebut termasuk dalam klasifikasi bagus sekali dan bagus. Hal ini berarti instrumen skala mathematics self-efficacy akan memberikan hasil yang hampir sama jika diujikan kembali kepada siswa.


(29)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

c. Tingkat Kesukaran

Untuk tingkat kesukaran, pada model Rasch juga diperlihatkan urutan butir pernyataan yang paling sulit. Urutan kesulitan yang dimaksud, yaitu pernyataan yang berada pada urutan pertama adalah pernyataan yang paling sulit bagi siswa untuk menyatakan keyakinannya. Tabel 3.16 berikut menunjukkan urutan kesulitan pernyataan mathematics self-efficacy.

Tabel 3.16 Hasil Uji Tingkat Kesulitan Pernyataan Mathematics Self-Efficacy

Item Measure

2 0.39

17 0.35

10 0.34

1 0.28

12 0.25

9 0.24

3 0.22

7 0.10

16 0.10

18 0.09

15 0.02

14 -0.04

5 -0.08

8 -0.08

13 -0.08

4 -0.12

11 -0.20

6 -0.21

21 -0.29

22 -0.32

19 -0.45

20 -0.51

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pernyataan nomor 2 merupakan pernyataan yang paling sulit dinyakatan keyakinannya. Diikuti dengan pernyataan nomor 17, 10, 1, 12, 9, 3, 7, 16, 18, 15, 14, 5, 8, 13, 4, 11, 6, 21, 22, dan 19. Pernyataan termudah atau pernyataan yang paling banyak siswa jawab dengan yakin adalah soal nomor 20.

G. Analisis Data

Dari penelitian ini diperoleh dua jenis data, yaitu (1) data kuantitatif berupa data hasil tes kemampuan koneksi matematis, dan hasil pengukuran skala


(30)

50

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

mathematics self-efficacy, (2) data kualitatif berupa data hasil observasi. Data-data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan bantuan software IBM SPSS 20 dan Microsoft Excel 2010. Berikut ini diuraikan tahap analisis untuk kedua jenis data tersbut.

1. Data Kuantitatif

Terdiri dari data hasil tes kemampuan koneksi matematis dan data hasil skala mathematics self-efficacy.

a. Pengolahan Data Hasil Tes Kemampuan Koneksi Matematis

Analisis data digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang ada atau tidaknya perbedaan pencapaian dan peningkatan kemampuan koneksi matematis antara siswa yang belajar melalui model PBM dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran penemuan terbimbing. Data diperoleh melalui tahap-tahap sebagai berikut.

1) Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan pedoman penskoran yang digunakan.

2) Membuat tabel yang berisikan skor pretes-postes hasil kedua kelas eksperimen.

3) Membuat tabel yang berisikan skor peningkatan kemampuan koneksi matematis. Besarnya peningkatan akan dihitung dengan rumus N-gain dikarenakan Meltzer (2002) mengemukakan bahwa kebanyakan penelitian sebelumnya mendapatkan bahwa gain absolut yang diperoleh dari selisih antara pretes dan postes berkorelasi negatif tinggi terhadap skor pretes. Hal ini berarti siswa yang memperoleh skor pretes rendah cenderung akan mendapatkan gain yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh skor pretes tinggi. Rumus N-gain dikembangkan oleh Hake (Meltzer, 2002, hlm. 3), yaitu.

N-gain

=

4) Melakukan interpretasi hasil perhitungan n-gain dengan klasifikasi berdasarkan Hake (1999, hlm. 1) sebagai berikut.


(31)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Tabel 3.17 Klasifikasi N-Gain

Besarnya n-gain Klasifikasi

g ≥ 0.7 Tinggi

0.30 ≤ g < 0.7 Sedang

g < 0.30 Rendah

5) Melakukan uji normalitas untuk mengetahui kenormalan distribusi data skor pretes, skor postes, dan skor n-gain menggunakan uji statistik One-sample Kolmogorov-smirnov. Adapun hipotesis dinyatakan sebagai berikut.

H0: Data berasal dari populasi berdistribusi normal. H1: Data berasal dari populasi berdistribusi normal. Kriteria uji sebagai berikut:

Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak. Jika nilai Sig. (p-value) ≥ α (α =0,05), maka H0 diterima.

6) Menguji homogenitas varians skor pretes, skor postes, dan skor n-gain menggunakan uji statistik Homogenity of Variance (Levene-statistic). Adapun hipotesis dinyatakan sebagai berikut.

H0: Varians skor kelas ekperimen 1 dan kelas eksperimen 2 homogen.

H1: Varians skor kelas ekperimen 1 dan kelas kelas eksperimen 2 tidak homogen.

Kriteria uji sebagai berikut:

Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak. Jika nilai Sig. (p-value) ≥ α (α =0,05), maka H0 diterima. 7) Melakukan uji hipotesis, dengan langkah sebagai berikut.

a) Apabila diperoleh kedua kelas berdistribusi normal dan memenuhi homogenitas varians maka dilanjutkan dengan uji-t menggunakan uji statistik Compare Mean Independent Sample Test. Adapun hipotesis dinyatakan sebagai berikut.

: Rataan skor kelas eksperimen-1 sama dengan rataan skor kelas eksperimen-2.

: Rataan skor kelas eksperimen tidak sama dengan rataan skor kelas eksperimen-2.

Kriteria uji sebagai berikut:

Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak. Jika nilai Sig. (p-value) ≥ α (α =0,05), maka H0 diterima.


(32)

52

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

b) Apabila diperoleh kedua kelas berdistribusi normal namun tidak homogen maka analisis yang digunakan adalah uji-t’ menggunakan uji statistik Compare Mean Independent Sample Test.

c) Apabila diperoleh salah satu atau keduanya tidak normal maka tidak perlu melakukan uji homogenitas varians, dan analisis yang digunakan adalah uji nonparametrik sebagai pengganti uji-t, yaitu uji Mann-Witney.

8) Pengambilan kesimpulan.

b. Pengolahan Data Hasil Skala Mathematics Self-Efficacy

Sebagai analisis yang lebih mendalam, skor akhir mathematics self-efficacy siswa dari masing-masing kelas dikelompokkan kedalam tiga kategori. Kategori tersebut adalah kategori tinggi, sedang, dan rendah. Menurut Azwar (2012, hlm. 154) acuan dalam mengelompokkan ke dalam tiga kategori adalah sebagai berikut.

Tabel 3.18. Kriteria Kategori Mathematics Self-Efficacy

Skor Kategori

s Tinggi

s Sedang

s Rendah

Keterangan:

x : skor yang diperoleh : rerata skor

s : deviasi standar skor

Setelah dilakukan pengelompokan, kemudian dihitung frekuensi masing-masing kategori dan dihitung persentasenya. Analisis deskriptif juga dilakukan pada kasus-kasus ekstrim yang ditemukan. Hal tersebut bertujuan diperoleh hasil penelitian dan pembahasan yang lebih mendalam.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang ada atau tidaknya perbedaan pencapaian mathematics self-efficacy antara siswa yang belajar melalui model PBM dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran penemuan terbimbing dilakukan analisis data melalui tahapan sebagai berikut.


(33)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

2) Melakukan uji hipotesis menggunakan uji nonparametrik, yaitu uji Mann-Witney.

3) Pengambilan kesimpulan.

c. Asosiasi antara Kemampuan Koneksi Matematis dan Mathematics Self-efficacy Siswa

Untuk menguji asosiasi antara kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy siswa dilakukan uji kontingensi (C) dengan bantuan software IBM SPSS 20. Teknik ini mempunyai kaitan erat dengan chi-kuadrat yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif sampel independen. Oleh karena itu, rumus yang digunakan mengandung nilai chi-kuadrat. Tahap pengujian adalah sebagai berikut.

1) Mengubah data kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy menjadi data nominal.

2) Membuat tabel kontingensi.

3) Menyatakan hipotesis sebagai berikut.

H0: Tidak terdapat asosiasi antara kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy siswa.

H1: Terdapat asosiasi antara kemampuan koneksi matematis dan mathematics self-efficacy siswa.

4) Menguji hipotesis dengan uji statistik Pearson-Chi Square. Adapun kriteria uji sebagai berikut:

Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak. Jika nilai Sig. (p-value) ≥ α (α =0,05), maka H0 diterima.

5) Untuk melihat kebermaknaan asosiasi dapat dilakukan dengan melihat koefisien kontingensi yang dihasilkan pada output software SPSS.

6) Pengambilan kesimpulan.

2. Data Kualitatif

Data kualitatif diperoleh dari laporan observasi. Data ini akan dihitung rata-rata, dipersentasekan, dan dibahas secara deskriptif. Untuk menghitung persentase ketercapaiannya, digunakan rumus berikut.


(34)

54

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Keterangan:

P = persentase ketercapaian aktivitas = rata-rata skor kolektif yang diperoleh

= skor maksimum ideal dari suatu aspek aktivitas, dalam penelitian ini 5

H. Prosedur Penelitian

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.


(35)

Ummi Hasanah, 2015

Perbandingan Kemampuan Koneksi Matematis Dan Mathematics Self-Efficacy Antara Siswa yang Memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing

Studi pendahuluan : Identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, studi literatur, dll

Penyusunan instrumen dan bahan ajar

Uji coba instrumen

Pemilihan sampel penelitian

Pos-respon

Pengumpulan data

Pengolahan dan analisis data

Pembahasan

Kesimpulan & Laporan Lembar observasi

Valid dan reliabel? tidak

ya

Revisi Instrumen

Selesai Mulai

Uji Normalitas

Uji Mann Whitney

Ya Tidak

Pembelajaran dengan model PBM

Pembelajaran dengan model pembelajaran penemuan terbimbing

Pra-respon

Uji Homogenitas

Uji-t

Ya Tidak

Uji-t’

Gambar 3.1 Prosedur Penelitian


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Afghani, D., J. (2011). Analisis Kurikulum Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.

Aisyah, S. (2012). Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Melalui Mathematical Modelling dalam Model Problem Based Learning. SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Akanmu. M., A., & Fajemidagba, M., O. (2013). Guided-Discovery Learning Strategy and Senior School Student Performance in Mathematics in Ejigbo, Nigeria. Journal of Education and Practice. Vol. 4 No. 12. ISSN 2222-1735.

Alldred, C. C. (2013). A Study of Eigth Grades Students’ Self-efficacy as It Relates to Achievement, Gender, and Socioeconomic Status. Dissertation. Liberty University: Lynchburg.

Alwisol. (2010). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press. Arends, R., I. (2009). Learning to Teach. New York: Mc.Graw-Hill.

Arikunto, S. (2013). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Askew, et. al. (1997). What do Connectionist Teacher do?. [On line]. Tersedia:

http://topdrawer.aamt.edu.au/Reasoning/Good-teaching/Making-mathe-matical-connections/What-do-connectionist-teachers-do. [18 Oktober 2014].

Azwar, S. (2008). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Standar Isi untuk Satuan Pendidikan

Dasar dan menengah: Standar Kompetensi dan Komptensi Dasar SMP/MTS. Jakarta.

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy; The Exercise of Control. New York: W.H Freeman and Company.

_________. (2006). Self-Efficacy Beliefs of Adolescents. Information Age Publishing: New York. [On line]. Tersedia: http://www.uky.edu/~eushe2 /Bandura/BanduraGuide2006.pdf. [1 September 2014].

Carmichael, C., Callingham, C., Hay, I., & Watson, J. (2010). Statistical Literacy in The Middle School: The Relationship Between Interest, Self-Efficacy and Prior Mathematics Achievement. Australian Journal of Educational and Development Psychology. Vol 10, pp. 83-93.


(2)

Causapin, M., G., A. (2012). Mathematics Self-Efficacy and Its Relation to Proficiency-Promoting Behavior and Performance. Dissertation. Columbia University. Columbia. [On line]. Tersedia: http:// academiccommons.columbia.edu/catalog/ac%3A160627. [1 September 2014]

Cheeseman, J., McDonough, A., & Ferguson, S. (2012). The Effect of Creating Rich Learning Environment for Children to Measure Mass. In J. Dindyal, L. P. Cheng & S. F. Ng (Eds.), Mathematics education: Expanding horizons (Proceedings of the 35th annual conference of the Mathematics Education Research Group of Australasia (pp.178-185). Singapore: MERGA

Coxford, A.F. (1995). The Case for Connections”, dalam Connecting Mathematics across the Curriculum. Editor: House, P.A. dan Coxford, A.F. Virginia: NCTM.

Cozzola, M. (2008). Problem-Based Learning and Mathematics: Possible Synergical Actions. In L. G´omez Chova, D. Mart´ı Belenguer, and I. Candel Torres (Editors), ICERI2008 Proceeding, IATED (InternationalAssociation of Technology, Education and Development), Valencia, Spain, 2008 ISBN: 978-84-612-5091-2.

Curriculum and Standards. (2004). Pedagogy and Practice Teaching and Learning in Secondary Schools. Unit 2: Teaching Models. Department for Educations and Skills. [On line]. Tersedia: www.standards.dfes.gov.uk. [29 Agustus 2014]

Dzulfikar, A. (2014). Kemampuan Pemecahan Masalah, Mathematics Self-Efficacy, dan Math-Anxiety Siswa SMP dalam Cooperative Learning Tipe Group Investigation. SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Fauzi, M, A. (2011). Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa dengan Pendekatan Pembelajaran Metakognitif di Sekolah Menengah Pertama. Presented at International Seminar and the Fourth National Conference on Mathematics Education 2011, July 21-23, 2011. Yogyajarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Fraenkel, J., R., Wallen, N., E., & Hyun, H., H. (2012). How to Design and

Evaluate Research in Education. Newyork: McGraw Hill.

Glacey, K. (2011). A Study of Mathematical Connection through Children’s Literature in a Fifth- and Sixth-Grade Classroom. Lincoln: University of Nebraska.

Gordah, E. K. (2009). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis Melalui Pendekatan Open-Ended. SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.


(3)

Herman, T. (2007). Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Journal EDUCATIONIST , Vol. I No. I Januari 2007. ISSN : 1907 – 8838.

Hosnan, M. (2013). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21: Kunci sukses Implementasi Kurikulum 2013. Bogor: Ghalia Indonesia.

Kusmaydi. (2010). Pembelajaran Matematika Realistik untuk Meningkatkan kemampuan Koneksi dan Pemecahan masalah Matematis Siswa SMP. SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Liu, X., & Koirala, H. (2009). The Effect of Mathematics Self-Efficacy on Mathematics Achievement of High School Students. Northeastern Educational Research Association (NERA) Annual Conference. Proceedings 2009. Paper 30. [On line]. Tersedia: http://digitalcommons.unconn.ed/nera_2009/30. [9 September 2014] Markaban. (2008). Model Penemuan Terbimbing pada Pembelajaran Matematika

SMK. Yogyakarta: P4TK.

May, D., K. (2009). Mathematics Self-Efficacy and Anxiety Questionaire. Dissertation. University of Georgia: Georgia. [On line]. Tersedia: http://academiccommons.columbia.edu/catalog/ac%3A160627.[1 Septem-ber 2014].

Mustafa, A., N. (2014). Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif serta Self-Efficacy dalam Pembelajaran Matematika Melalui Discovery Learning. SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Mustopa, A., D. (2014). Meningkatkan Kemampuan Koneksi, Representasi, dan Self-Efficacy Matematis Siswa SMP Melalui Pendekatan Kontekstual dengan Strategi Formulate-Share-Listen-Create (FSLC). SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM.

Noer, S., H. (2010). Evaluasi Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa SMP. Jurnal Pendidikan MIPA. Jurusan P.MIPA. Bandar Lampung: Unila. Nordheimer, S. (2011). Mathematical Connection at School: Understanding and

Facilatating connections in Mathematics. [On line]. Tersedia: http://didaktik.mathematik.huberlin.de/files/mathematical_connections_1. pdf. [1 September 2014]


(4)

Nurfayziah, P. (2012). Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis dan Self-Efficacy melalui Pembelajaran Matematika Model CORE. SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Pajares, F., & Schunk, D. (2001). Self-Beliefs and School Success:Self-Efficacy, Self-Concept, and School Achievement. [On line]. Tersedia: http://des.emory.edu/mfp/PajaresSchunk 2001.html [2 Juni 2015]

Permana, Y., & Sumarno, U. (2007). Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal EDUCATIONIST, Vol 1 No. 2 Hal 116-123.

Permendikbud. (2013). Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdikbud.

Permenegpan No. 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Kreditnya.

Prasad, K., S. (2011). Learning Mathematics by Discovery. Academic Voices A Multidisciplinary Journal. Vol.1 No. 1. [On line]. Tersedia: https://www.unilorin.edu.ng/publications/akanmuma/Guided-discovery%2 0learning%20strategy.pdf. [22 Oktober 2014]

Qohar, A. (2011). Asosiasi Antara Koneksi Matematis dan Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP. [On line]. Tersedia di: http://eprints.uny.ac.id/6967/ 1/Makalah%20Peserta%203%20-%20Abd .%20 Qohar1.pdf. [31 Desember 2013]

Robins, S, B., et al. (2004). Do Psychosocial and Skill Factors Predict College Outcomes? A Meta-Analysis. Psychological Bulletin. Vol.130, No.2. pp. 261-288.

Roshendi, U. (2011). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA melalui Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing. SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Sapti. (2010). Kemampuan Koneksi Matematis (Tinjauan Terhadap Pendekatan Pembelajaran Savi): Jurnal Pendidikan Matematika. [On line].Tersedia: http://ejournal.umpwr.ac.id/index.php/limit/article/viewFile/26/247. [1 Agustus 2014]

Somakin. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Self-Efficacy Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Penggunaan Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi tidak diterbitkan: SPS UPI Bandung.


(5)

Stephani, A. (2015). Perbandingan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar antara Siswa yang Belajar dengan Problem Based Learning dan Discovery Learning. SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Sugiman. (2008). Koneksi Matemamatik dalam Pembelajaran Matematika di

Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.

Sulistyaningsih, D., Waluya, S.B., & Kartono. (2012). Model Pembelajaran Kooperatif Tipe CIRC dengan Pendekatan Konstruktivisme untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik. Unnes Journal of Mathematics Education Research. Vol 2, pp.121-127.

Sumarmo, U. (2013). Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya. Kumpulan Makalah. Jurusan Pendidikan Matematika, FPMIPA. Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumintono, B., & Widhiarso, W. (2012). Aplikasi Model Rasch untuk Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Bandung: Trim Komunikata Publishing House.

Suparno, P. (2001). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kaninus.

Suparta, K., Sadra, I. W., & Mandur, I. N. (2013). Kontribusi Kemampuan Koneksi, Kemampuan Representadi, dan Disposisi Matematis Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa SMA Swasta di Kabupaten Manggarai. Jurnal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Vol. 2. Syamsul, M. (2012). Meningkatkan kemampuan Analogi dan Generalisasi

Matematis Siswa SMP Menggunakan pembelajaran dengan Metode Discovery. SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Usher, E. L., & Pajares, F. (2009). Sources of Self-Efficacy in Mathematics: A Validation Study. Contemporary Educational Psychology. (34) 89-101. Utami, D. (2014). Perbandingan Antara Pembelajaran Matematika dengan

Problem Posing Tipe Pre-Solution dan Tipe Within Solution dalam Peningkatan Kemampuan Kemampuan Koneksi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP. SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran: Pelengkap

untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon Guru Profesional. Bandung: UPI.

Yolanda, F. (2015). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Self-Efficacy Siswa SMP. SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.


(6)

Yusmanita. (2012). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matem-atis Siswa SMA dengan Menggunakan Pendekatan Metakognitif. SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.


Dokumen yang terkait

Penggunaan bahan ajar berbasis penemuan terbimbing untuk meningkatkan kemampuan penalaran induktif matematis siswa

1 8 197

PERBEDAAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS DAN SELF-REGULATED LEARNING SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN PENEMUAN TERBIMBING DI SMAN 1 BINJAI KABUPATEN LANGKAT.

0 4 29

PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA ANTARA PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN PENEMUAN TERBIMBING DI SMP NEGERI 5 STABAT.

2 20 47

PERBEDAAN PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK DAN SELF EFFICACY ANTARA SISWA YANG MENDAPAT PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING BERBANTUAN GEOGEBRA DENGAN TANPA GEOGEBRA DI SMPN 22 MEDAN.

2 6 51

PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KREATIVITAS MATEMATIK ANTARA SISWA YANG MENDAPAT PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING BERBASIS MASALAH OPEN-ENDED DENGAN SISWA YANG MENDAPAT PEMBELAJARAN EKSPOSITORI.

0 1 54

Perbandingan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematik Antara Siswa yang Mendapat Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Siswa yang Mendapat Pembelajaran Penemuan Terbimbing.

1 5 63

PERBANDINGAN PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SERTA SELF-EFFICACY ANTARA SISWA MTs YANG MEMPEROLEH PEMBELAJARAN BERBASIS FENOMENA DIDAKTIS DAN BERBASIS KURIKULUM 2013 MELALUI PENDEKATAN INVESTIGASI.

17 43 41

PENGARUH PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KECEMASAN MATEMATIS SISWA KELAS VII.

15 51 43

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN METODE PENEMUAN TERBIMBING.

0 0 44

PERBANDINGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR ANTARA SISWA YANG MEMPEROLEH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING - repository UPI T MTK 1207189 Title

0 0 3