ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH12
MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
PRAJABATAN GOLONGAN I DAN II
Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc
Lembaga Administrasi Negara – Republik Indonesia 2006
(2)
Hak Cipta© Pada: Lembaga Administrasi Negara Edisi Tahun 2006
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110
Telp. (62 21) 3868201-06 Ext. 193, 197 Fax. (62 21) 3800188
Etika Organisasi Pemerintah
Jakarta – LAN – 2006 76 hlm: 15 x 21 cm ISBN: 979-8619-97-8
iii
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
KATA PENGANTAR
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2005 – 2009 telah menetapkan bahwa visi pembangunan nasional adalah: (1) terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman, bersatu, rukun dan damai; (2) terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak asasi manusia; serta (3) terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan visi ini, mutlak diperlukan peningkatan kompetensi Pegawai Negeri Sipil (PNS), khususnya para Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang akan menjadi PNS. PNS memainkan peran dan tanggungjawabnya yang sangat strategis dalam mendorong dan mempercepat perwujudan visi tersebut.
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan PNS mengamanatkan bahwa Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Prajabatan dilaksanakan untuk memberikan pengetahuan dalam rangka pembentukan wawasan kebangsaan, kepribadian dan etika PNS, disamping pengetahuan dasar tentang sistem penyelenggaraan pemerintahan negara, bidang tugas, dan budaya organisasi agar mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Untuk mewujudkan PNS yang memiliki kompetensi sesuai dengan amanat PP 101 Tahun 2000 maka seorang CPNS harus mengikuti dan lulus Diklat Prajabatan sebagai syarat untuk dapat diangkat menjadi PNS.
(3)
Untuk mempercepat upaya meningkatkan kompetensi tersebut, Lembaga Administrasi Negara (LAN) telah menetapkan kebijakan desentralisasi dengan pengendalian kualitas dengan standar tertentu dalam penyelenggaraan Diklat Prajabatan. Dengan kebijakan ini, jumlah penyelenggaraan dapat lebih menyebar disamping jumlah alumni yang berkualitas dapat meningkat pula. Standarisasi meliputi keseluruhan aspek penyelenggaraan Diklat, mulai dari aspek kurikulum yang meliputi rumusan kompetensi, mata Diklat dan strukturnya, metode dan skenario pembelajaran dan lain-lain sampai pada aspek administrasi seperti persyaratan peserta, administrasi penyelenggaraan, dan sebagainya. Dengan standarisasi ini, maka kualitas penyelenggaraan dan alumni diharapkan dapat lebih terjamin.
Salah satu unsur Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan yang mengalami penyempurnaan antara lain modul atau bahan ajar untuk para peserta. Oleh karena itu, kami menyambut baik penerbitan modul yang telah disempurnakan ini, sebagai antisipasi dari perubahan lingkungan stratejik yang cepat dan luas di berbagai sektor. Dengan kehadiran modul ini, kami mengharapkan agar peserta Diklat dapat memanfaatkannya secara optimal, bahkan dapat menggali keluasan dan kedalaman substansinya bersama melalui diskusi sesama dan antar peserta dengan fasilitator para Widyaiswara dalam proses kegiatan pembelajaran selama Diklat berlangsung.
Kepada penulis dan seluruh anggota Tim yang telah berpartisipasi, kami haturkan terima kasih. Semoga buku hasil perbaikan ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta, 2006
KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA SUNARNO v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...iiiDAFTAR ISI...v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)... 2
B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)... 2
BAB II ETIKA DAN MORAL ... 4
A. Pengertian Etika dan Moralitas ... 4
B. Konsepsi Etika dan Moralitas... 6
C. Prinsip-prinsip Etika... 10
D. Rangkuman... 15
E. Latihan... 16
BAB III ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA ... 17
A. Latar Belakang ... 17
B. Pokok-Pokok Etika Kehidupan Berbangsa ... 21
C. Rangkuman... 26
D. Latihan... 27
BAB IV ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH... 28
A. Dimensi Etika Dalam Organisasi ... 28
B. Etika dalam Pemerintahan ... 32
C. Etika dalam Jabatan ... 37
D. Rangkuman... 39
E. Latihan ... 41
BAB V ETIKA PEGAWAI NEGERI SIPIL ... 43
A. Kewajiban dan Larangan Bagi Pegawai Negeri Sipil ... 43
B. Kode Etik Pegawai Negeri Sipil... 49
C. Rangkuman... 64
D. Latihan... 66
BAB VI PENUTUP... 68
DAFTAR PUSTAKA... 69
(4)
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pemerintah dan aparatur pemerintah yang menjaga kredibititas dan kewibawaannya yang tinggi akan dihormati oleh masyarakat yang dilayaninya. Aparatur Pemerintah yang memiliki etika dan moralitas yang tinggi dalam menjalankan tugasnya. tentu memiliki akuntabilitas dan penghormatan yang tinggi pula terhadap tuntutan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang dilayani itu. Dalam pemerintahan yang demikian itu pula iklim keterbukaan, partisipatif dan pemberdayaan masyarakat akan dapat terwujudkan, sebagai manifestasi dan gagasan yang dewasa ini mulai dikembangkan, yaitu
kepemerintahan yang baik (good governance).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, pemahaman mengenai etika dan moralitas dalam pemerintahan merupakan kompetensi dasar yang penting dan strategis yang harus dimiliki dan dipraktekkan
secara konsisten oleh setiap individu Pegawai Negeri Sipil (PNS)
sebagai unsur aparatur Negara, abdi Negara dan abdi Masyarakat dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu ruang lingkup mengenai pemahaman dan penerapan konsep etika dan moralitas dalam organisasi pemerintah perlu disosialisasikan sebagai bahan ajar dasar dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan (Diklat) bagi PNS, baik pada tingkat program Diklat Prajabatan maupun setiap tingkatan program Diklat Kepemimpinan (Diklatpim Tingkat IV
(5)
hingga Tingkat I) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000.
Dalam hubungan itu, modul yang sederhana ini dipersiapkan sebagai bahan acuan materi pembelajaran tentang Etika Organisasi Pemerintah bagi para peserta Program Diklat Prajabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Golongan I dan II yang pada umumnya adalah Calon Pegawal Negeri Sipil dengan latar belakang pendidikan Sarjana Muda atau Diploma III dari berbagai disiplin ilmu maupun yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Secara singkat modul ini akan membahas mengenai konsep dasar etika dan moralitas
organisasi pemerintah, dengan berbagai dimensi dan
permasalahannya. Materi Pembelajaran dalam modul ini disusun sedemikian rupa sehingga para peserta Diklat Prajabatan Golongan I dan II setelah pembelajaran selesai dapat menerapkan nilai-nilai Etika Organisasi Pemerintah sebagai Pegawai Negeri Sipil Golongan I dan II di lingkungan kerjanya.
A.
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Setelah pembelajaran selesai peserta diharapkan memiliki etika dan moral yang tinggi dalam menjalankan tugasnya, memiliki akuntabilitas dan penghormatan yang tinggi terhadap tuntutan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang dilayani.
B.
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
Setelah selesai pembelajaran peserta dapat:a. Menjelaskan Pengertian Etika dan Moralitas;
b. Mempraktekkan Pokok-Pokok Etika Kehidupan berbangsa;
c. Memahami dan mengamalkan Dimensi Etika dalam
Organisasi, Etika dalam Pemerintahan dan Etika Dalam Jabatan;
d. Memahami dan mengamalkan kewajiban dan larangan bagi
(6)
4
BAB II
ETIKA DAN MORAL
Dalam bab ini, para peserta Diktat Prajabatan PNS Golongan III akan mendapatkan uraian pengertian mengenai etika dan moralitas, sekaligus contoh kasus bagaimana membedakan antara etika dan moralitas. Selanjutnya modul ini akan menguraikan bagaimana konsepsi atau konseptualisasi mengenai etika dan moralitas serta prinsip-prinsipnya.
A.
Pengertian Etika Dan Moralitas
Dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini, setiap individu anggota masyarakat dalam interaksi pergaulannya dengan anggota masyarakat lainnya atau dengan lingkungannya, tampaknya cenderung semakin bebas, leluasa, dan terbuka. Akan tetapi tidak berarti tidak ada batasan sama sekali, karena sekali saja seseorang melakukan kesalahan dengan menyinggung atau melanggar batasan hak-hak asasi seorang lainnya, maka seseorang tersebut akan berhadapan dengan sanksi hukum berdasarkan tuntutan dari orang yang merasa dirugikan hak asasinya. Hal ini tentu saja berbeda dengan kondisi masyarakat di masa lalu, yang cenderung bersifat kaku dan tertutup karena kehidupan sehari-harinya sangat dibatasi oleh berbagai nilai normatif serta tabu-tabu atau berbagai larangan yang secara adat wajib dipatuhinya.
Modul Diklat Prajabatan Golongan I dan II 5
Batasan-batasan nilai normatif dalam interaksi dengan
masyarakat dan lingkungannya itulah yang kemudian dapat kita katakan sebagai nilai-nilai etika. Sedangkan nilai-nilai dalam diri seseorang yang akan mengendalikan dimunculkan atau tidaknya kepatuhan terhadap nilai-nilai etika dapat kita sebut dengan moral atau moralitas.
Istilah etika dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Yunani: ethos, yang berarti kebiasaan atau watak. Etika juga berasal dari bahasa Perancis : etiquette atau biasa diucapkan dalam bahasa Indonesia dengan kata etiket yang berarti juga kebiasaan atau cara bergaul, berperilaku yang baik. Jadi dalam hal ini etika lebih merupakan pola perilaku atau kebiasaan yang baik dan dapat diterima oleh lingkungan pergaul an seseorang atau sesuatu organisasi tertentu. Dengan demikian, tergantung kepada situasi dan cara pandangnya, seseorang dapat menilai apakah etika yang digunakan atau diterapkan itu bersifat baik atau buruk.
Moralitas atau moral adalah istilah yang berasal dari bahasa
Latin: mos (jamak: mores) yang berarti cara hidup atau
kebiasaan. Secara harfiah istilah moral sebenarnya berarti sama dengan istilah etika, tetapi dalam prakteknya istilah moral atau moril sebenarnya telah jauh berbeda dari arti harfiahnya. Moral
atau morale dalam bahasa Inggris dapat diartikan sebagai
semangat atau dorongan batin dalam diri seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Moral atau moralitas ini dilandasi oleh nilai-nilai tertentu yang diyakini oleh seseorang
(7)
atau organisasi tertentu sebagai sesuatu yang baik atau buruk, sehingga bisa membedakan mana yang patut dilakukan dan mana yang tidak sepatutnya dilakukan.
Dengan demikian dapat dijelaskan perbedaan antara etika dan moralitas sebagai suatu sistem nilai dalam diri seseorang atau sesuatu organisasi. Moralitas tampaknya cenderung lebih merujuk kepada nilai-nilai yang diyakini dan menjadi semangat dalam diri seseorang atau sesuatu organisasi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan etika lebih merupakan nilai-nilai perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang atau sesuatu organisasi tertentu dalam interaksinya dengan lingkungan. Moralitas dengan demikian dapat melatar belakangi etika seseorang atau sesuatu organisasi tertentu.
B.
Konsepsi Etika dan Moralitas
Meskipun uraian dan contoh kasus tersebut diatas secara jelas memberikan gambaran perbedaan pengertian antara etika dan moralitas, namun bagi The Liang Gie (1986: 19) sebagaimana dikutip oleh Gering Supriyadi (2001:4), perbedaan tersebut tidak berarti harus mempertentangkan penggunaan kedua istilah tersebut. Hal itu didasarkan kepada keyakinan bahwa keduanya merujuk kepada persoalan yang sama. Makna epistemologis dari kedua istilah tersebut adalah sama, meskipun istilahnya berbeda.
Gering Supriyadi dalam modul "Etika Birokrasi" yang ditulisnya sebagai bahan pembelajaran Peserta Diktat Prajabatan Golongan III (2001: 5-7) memberikan uraian mengenai konsepsi Etika dan Moralitas dari Solomon (1987) dan Frankena (1982) sehingga lebih jelas lagi perbedaaan diantara kedua konsep tersebut. Uraian dalam modul tersebut akan dikutip kembali dalam modul ini, sebagaimana berikut.
Menurut Solomon, terdapat dua perbedaan antara etika, moral dan moralitas. Etika pada dasarnya merujuk kepada dua hal:
1. Etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari
tentang nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenar- annya dan dalam hal ini etika merupakan salah satu cabang filsafat.
2. Etika merupakan pokok permasalahan dalam disiplin ilmu itu
sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia.
Moral, dalam pengertian umum menaruh penekanan kepada karakter atau sifat-sifat individu yang khusus, diluar ketaatan kepada peraturan. Maka moral merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa, dan sebagainya.
Sedangkan moralitas mempunyai makna yang lebih khusus sebagai bagian dari etika. Moralitas berfokus kepada hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang abstrak dan bebas. Orang yang mengingkari janji yang telah diucapkannya dapat dianggap
(8)
Etika Organisasi Pemerintah
8
sebagai orang yang tidak bisa dipercaya atau tidak etis tetapi bukan berarti tidak bermoral. Namun menyiksa anak atau meracuni mertua bisa disebut tindakan tidak bermoral. Jadi tekanannya disini pada unsur keseriusan pelanggaran. Di lain pihak, moralitas lebih abstrak jika dibandingkan dengan moral. Oleh sebab itu, semata-mata berbuat sesuai dengan moralitas tidak sepenuhnya bermoral, dan melakukan hal yang benar dengan alasan-alasan yang salah bisa berarti tidak bermoral sama sekali.
Dalam persoalan yang sama Frankena (1984 : 4) mengemukakan bahwa etika (ethics) adalah salah satu cabang filsafat, yang mencakup filsafat moral atau pembenaran-pembenaran filosofi (phylosophical judgments). Sebagai suatu falsafah, etika berkenaan dengan moralitas beserta persoalan-persoalan dan pembenaran-pembenarannya. Dan moralitas merupakan salah satu instrumen kemasyarakatan apabila suatu kelompok sosial
menghendaki adanya penuntun tindakan (action guide) untuk
segala pola tingkah laku yang disebut bermoral. Maka moralitas
akan serupa dengan hukum di satu pihak dan etiket (etiquette) di
lain pihak. Tetapi berlainan dengan konvensi atau etiket, moralitas memiliki pertimbangan-pertimbangan jauh lebih tinggi tentang apa yang disebut "kebenaran" dan "keharusan". Moralitas juga dapat dibedakan dari hukum. sebab tidak tercipta atau tidak dapat diubah melalui tindakan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Sanksi yang dikenakan oleh moralitas tidak seper ti pada norma hukum yang melibatkan paksaan fisik ataupun
Modul Diklat Prajabatan Golongan I dan II 9
ancaman, melainkan lebih bersifat internal, misal isyarat-isyarat verbal, rasa bersalah, sentimen, atau rasa malu.
Berdasarkan kedua pandangan tersebut makin jelas sebenarnya bagaimana konsepsi etika dan moralitas serta perbedaan diantara kedua istitah tersebut. Secara konseptual, istilah etika memiliki kecenderungan dipandang sebagai suatu sistem nilai apa yang baik dan buruk bagi manusia dan masyarakat.
Dalam implementasinya, penggunaan istilah etika banyak dikembangkan dalam suatu sistem organisasi sebagai norma-norma yang mengatur dan mengukur profesionalisme seseorang. Kita mengenal misalnya tentang Etika Kedokteran, Etika Jurnalistik, Etika hukum dan sebagainnya.
Konsepsi Moralitas di sisi yang lain, dimaksudkan untuk menentukan sampai seberapa jauh seseorang memiliki dorongan untuk melakukan tindakan sesuai dengan prinsip-prinsip etika moral. Tingkat moralitas seseorang akan dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pendidikan, dan pengalaman; dan karakter
individu adalah sebagian diantara faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat moralitas seseorang. Dorongan untuk mencari kebenaran dan kebaikan senantiasa ada pada diri manusia, yang membedakan tingkat moralitas adalah kadar kuat tidaknya dorongan tersebut (Supriyadi, 2001: 6-7).
(9)
C.
Prinsip-Prinsip Etika
Dalam modul "Etika Birokrasi" (Supriyadi, 2001: 19-20; lihat juga The Liang Gie, 1987) dikemukakan bahwa dalam sejarah peradaban manusia sejak abad ke-4 Sebelum Masehi para pemikir telah mencoba menjabarkan berbagai corak landasan etika sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Dalam hubungan itu, sedikitnya terdapat 120 macam "ide agung" (Great Ideas) yang merupakan landasan moralitas manusia, sebagaimana diungkapkan dalam buku yang berjudul "The Great Ideas: A Syntopicon of Great Books of Western World" yang diterbitkan pada tahun 1952. Dalam buku Adler 12 seluruh gagasan atau "ide-ide agung" tersebut diringkaskan menjadi 6 (enam) prinsip dapat dikatakan merupakan landasan prinsipil dari etika.
Prinsip-prinsip etika tersebut adalah sebagai berikut (Supriyadi, 2001: 20):
1. Prinsip Keindahan (Beauty).
Prinsip ini mendasari segala sesuatu yang mencakup penikmatan rasa senang terhadap keindahan. Banyak filsuf mengatakan bahwa hidup dan kehidupan manusia itu sendiri sesungguhnya merupakan keindahan. Dengan demikian berdasarkan prinsip ini, etika manusia adalah berkaitan atau
memperhatikan nilai-nilai keindahan. Itulah sebabnya
seseorang memerlukan penampilan yang serasi dan indah atau enak dipandang dalam berpakaian, dan menggunakannya pada waktu yang tepat. Tidaklah etis jika seseorang memakai pakaian olahraga dalam waktu jam kerja. Atau tidak sepatutnya seseorang menghadapi tamunya dengan berpakaian
tidur. Etika dalam pengelolaan kantor yang ditandasi oleh nilai-nilai estetika antara lain diwujudkan dengan perancangan tata ruang, furnitur dan hiasan-hiasan dinding serta aksesoris lainnya yang bersifat ergonomis dan menarik, sehingga membuat orang bersemangat tinggi dalam bekerja.
2. Prinsip Persamaan (Equality).
Hakekat kemanusiaan menghendaki adanya persamaan antara manusia yang satu dengan yang lain. Setiap manusia yang terlahir di bumi ini serta memiliki hak dan kewajiban masing-masing, pada dasarnya adalah sama atau sederajat.
Konsekuensi dari ajaran persamaan ras juga menuntut persamaan diantara beraneka ragam etnis. Watak, karakter, atau pandangan hidup masing-masing etnis di dunia ini memang berlainan, namun kedudukannya sebagai suatu kelompok masyarakat adalah sama. Tuhan juga telah menciptakan manusia dengan jenis kelamin pria dan wanita, dengan bentuk fisik yang berlainan, tetapi secara hakiki diantara keduanya membutuhkan persamaan dalam pengakuan atas hak-hak asasi mereka, dan kedudukannya dihadapan Tuhan adalah sama. Etika yang dilandasi oleh prinsip
persamaan (equality) ini dapat menghilangkan perilaku
diskriminatif, yang membeda-bedakan, dalam berbagai aspek interaksi manusia. Pemerintah sesungguhnya tidak dapat membeda-bedakan tingkat pelayanan terhadap masyarakat, karena kedudukan mereka sebagai warga negara adalah sama. Yang membedakan dalam pemberi an layanan pemerintah
(10)
Etika Organisasi Pemerintah
12
kepada masyarakat adalah tinggi rendahnya tingkat urgensinya, sehingga dapat diberikan prioritas-prioritas tertentu.
3. Prinsip Kebaikan (Goodness).
Secara umum kebaikan berarti sifat atau karakterisasi dari
sesuatu yang menimbulkan pujian. Perkataan baik (good)
mengandung sifat seperti persetujuan, pujian, keunggulan, kekaguman, atau ketepatan. Dengan demikian prinsip kebaikan sangat erat kaitannya dengan hasrat dan cita manusia.
Apabila orang menginginkan kebaikan dari suatu ilmu pengetahuan, misalnya, maka akan mengandalkan obyektivitas ilmiah, kemanfaatan pengetahuan, rasionalitas, dan sebagainya. Jika menginginkan kebaikan tatanan sosial, maka yang diperlukan adalah sikap sadar hukum, saling menghormati,
perilaku yang baik (good habits), dan sebagainya. Jadi lingkup
dari ide atau prinsip kebaikan adalah bersifat universal. Kebaikan ritual dari agama yang satu mungkin berlainan dengan agama yang lain. Namun kebaikan agama yang berkenaan dengan masalah kemanusiaan, hormat-menghormati diantara sesama, berbuat baik kepada orang lain, kasih sayang, dan sebagainya merupakan nilai-nilai kebaikan yang sudah pasti diterima. Dalam pemerintahan, tujuan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik pada dasarnya adalah untuk men ciptakan kebaikan dan perbaikan bagi masyarakat warga negaranya.
Modul Diklat Prajabatan Golongan I dan II 13
4. Prinsip Keadilan (Justice).
Suatu definisi tertua yang hingga kini masih sangat relevan untuk merumuskan keadilan (justice berasal dari zaman Romawi kuno; 'justitia est contants et perpetua voluntas jus suum cuique tribuendi' (Keadilan adalah kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya).
5. Prinsip Kebebasan (Liberty).
Secara sederhana kebebasan baru dapat dirumuskan sebagai keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak berdasarkan pilihan yang tersedia bagi seseorang. Kebebasan muncul dari doktrin bahwa setiap orang memiliki hidupnya sendiri serta memiliki hak untuk bertindak menurut pilihannya sendiri kecuali jika pilihan tindakan tersebut melanggar kebebasan yang sama dari orang lain. Maka kebebasan manusia mengandung pengertian:
Kemampuan untuk menentukan sendiri;
Kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan;
Syarat-syarat yang memungkinkan manusia untuk
melaksanakan pilihan-pilihannya beserta konsekuensi dari pilihan itu.
Oleh karena itu, tidak ada kebebasan tanpa tanggung jawab, dan begitu pula tidak ada tanggungjawab tanpa kebebasan. Semakin besar kebebasan yang dimiliki oleh seseorang, semakin besar pula tanggung jawab yang dipikulnya.
(11)
6. Prinsip Kebenaran (Truth).
Ide kebenaran biasanya dipakai dalam pembicaraan mengenai logika ilmiah, sehingga kita mengenal kriteria kebenaran dalam berbagai cabang ilmu, misal: matematika, ilmu fisika, biologi, sejarah, dan juga filsafat.
Namun ada pula kebenaran mutlak yang dapat dibuktikan dengan keyakinan, bukan dengan fakta yang ditelaah oleh teologi dan ilmu agama. Kebenaran harus dapat dibuktikan dan ditunjukkan kepada masyarakat agar masyarakat merasa yakin akan kebenaran itu. Untuk itu, kita perlu menjembatani antara
kebenaran dalam pemikiran (truth in the mind) dengan
kebenaran dalam kenyataan (truth in reality) atau kebenaran yang terbuktikan. Betapapun doktrin etika tidak selalu dapat diterima oleh orang awam apabila kebenaran yang terdapat didalamnya belum dapat dibuktikan.
Keenam ide-ide agung atau dapat juga kita sebut dalam modul ini sebagai prinsip-prinsip etika, yang menjadi prasyarat dasar bagi pengembangan nilai-nilai etika atau kode etik dalam hubungan antar manusia, manusia dengan masyarakat, dengan
pemerintah dan sebagainya. Dengan perkataan lain,
serangkaian etika yang disusun sebagai aturan hukum yang mengatur jalan hidup dan kehidupan manusia, masyarakat, organisasi, instansi pemerintah dan pegawai negeri, dan sebagainya harus benar-benar dapat menjamin terciptanya keindahan, persamaan, kebaikan, keadilan, kebebasan, dan kebenaran bagi setiap orang.
D.
Rangkuman
Berdasarkan uraian pada pokok dan sub pokok bahasan tersebut di atas dapat dirangkum secara ringkas beberapa pengertian mengenai etika dan moralitas, serta prinsip-prinsip etika dalam kehidupan manusia, sebagai berikut:
1. Etika secara umum dapat diartikan sebagai nilai-nilai
normatif atau pola perilaku seseorang atau sesuatu badan/ lembaga/organisasi sebagai suatu kelaziman yang dapat diterima umum dalam interaksi dengan lingkungannya.
2. Pengertian moralitas lebih mengacu kepada nilai-nilai norma
tif yang menjadi keyakinan dalam diri seseorang atau sesuatu badan/lembaga/organisasi yang menjadi faktor pendorong untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Moralitas seseorang dapat menjadi faktor pendorong terbentuknya perilaku yang sesuai dengan etika, tetapi nilai-nilai moralitas seseorang mungkin saja bertentangan dengan nilai etika yang berlaku dalam lingkungannya.
3. Secara konseptual, etika merupakan bagian dari disiplin ilmu
filsafat yang berfokus pada nilai-nilai yang diyakini dan dianut oleh manusia beserta pembenarannya, termasuk nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku
manusia. Secara konseptual, istilah etika memiliki
kecenderungan dipandang sebagai suatu sistem nilai apa yang baik dan buruk bagi manusia dan masyarakat. Dalam
implementasinya, penggunaan istilah etika banyak
dikembangkan dalam suatu sistem organisasi sebagai norma-norma yang mengatur dan mengukur profesionalisme seseorang.
(12)
Etika Organisasi Pemerintah
16
4. Sedangkan moral dan moralitas secara konseptual menaruh
penekanan kepada karakter atau sifat-sifat individu yang khusus, diluar ketaatan kepada peraturan yang bersifat eksternal. Konsep moralitas lebih abstrak daripada nilai-nilai atau hukum yang mengatur manusia.
5. Moralitas dimaksudkan untuk menentukan sampai seberapa
jauh seseorang memiliki dorongan untuk melakukan tindakan sesuai dengan prinsip-prinsip etika. Tingkat moralitas seseorang akan dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman, dan karakter individu adalah sebagian diantara faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat moralitas seseorang.
6. Terbentuknya etika sebagai nilai-nilai filosofis yang berlaku dan diyakini dalam pergaulan hidup manusia dalam lingkungannya, secara umum dilandasi oleh prinsip-prinsip yang diarahkan untuk menjamin terciptanya keindahan, persamaan, kebaikan, keadilan, kebebasan, dan kebenaran bagi setiap orang.
E.
Latihan
1. Jelaskan pengertian umum mengenai etika dan moralitas!
2. Secara konseptual, bagaimana Saudara dapat membedakan
antara etika dan moralitas seseorang?
3. Berikan contoh bagaimana seseorang berusaha mematuhi
etika umum yang berlaku di lingkungannya, tetapi sebenarnya bertentangan dengan moralitas dirinya sendiri?
4. Sebutkan prinsip-prinsip yang melandasi etika pergaulan
manusia!
17
BAB II
ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA
Sebelum lebih jauh membahas mengenai etika dalam organisasi pemerintahan, sejalan dengan perkembangan yang berlaku dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara, modul ini akan
mengungkapkan mengenai pokok-pokok etika kehidupan berbangsa yang telah menjadi komitmen nasional berdasarkan Ketetapan (TAP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
A.
Latar Belakang
Dalam konsiderans Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 tersebut
dalam Menimbang huruf a) dinyatakan: "bahwa sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial."
Hal ini pula yang selama ini kita kenal sebagai Tujuan Nasional atau cita-cita luhur bangsa, yang harus selalu menjadi acuan seluruh masyarakat bangsa maupun pemerintah Negara Republik
(13)
Indonesia dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Selanjutnya dinyatakan dalam Menimbang huruf b) TAP MPR tersebut; "bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, diperlukan pencerahan dan sekaligus pengamalan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia." Pernyataan ini didasarkan kepada sinyalemen para wakil rakyat di MPR sebagaimana dinyatakan dalam huruf c) konsiderans
tersebut: "bahwa etika kehidupan berbangsa dewasa ini
mengalami kemunduran yang turut menyebabkan terjadinya krisis multidimensi." Sehingga sebagaimana dinyatakan dalam huruf d): "bahwa untuk itu diperlukan adanya rumusan tentang pokok-pokok etika kehidupan berbangsa sebagai acuan bagi pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia dalam rangka menye lamatkan dan meningkatkan mutu kehidupan berbangsa itu."
Latar belakang munculnya kekhawatiran para wakil rakyat di MPR tersebut terungkap dalam Latar Belakang TAP MPR
Nomor VI/MPR/2001, bahwa sejak terjadinya krisis
multidimensi, muncul ancaman yang serius terhadap persatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal itu tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap
ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya yang disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Faktor-faktor yang berasal dari dalam negeri, yang menjadi penyebab memudarnya pelaksanaan etika kehidupan berbangsa itu, sebagaimana terungkap dalam latar belakang TAP MPR Nomor VIIMPR/2001 tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama dan
munculnya pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru dan sempit, serta tidak harmonisnya pola interaksi antara umat beragama;
2. Sistem sentralisasi pemerintahan di masa lampau yang
mengakibatkan terjadinya penumpukan kekuasaan di Pusat dan pengabaian terhadap kepentingan daerah dan timbulnya fanatisme kedaerahan;
3. Tidak berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas
kebinekaan dan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa;
4. Terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan
dalam kurun waktu yang panjang, melewati ambang batas kesabaran masyarakat secara sosial yang berasal dari kebijakan publik dan munculnya perilaku ekonomi yang bertentangan dengan moralitas dan etika;
5. Kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian
pemimpin dan tokoh bangsa;
6. Tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal, dan
lemahnya kontrol sosial untuk mengendalikan perilaku yang menyimpang dari etika yang secara alamiah masih hidup di
(14)
Etika Organisasi Pemerintah
20
tengah-tengah masyarakat;
7. Adanya keterbatasan kemampuan budaya lokal, daerah, dan
nasional dalam merespons pengaruh negatif dari budaya luar;
8. Meningkatnya prostitusi, media pornografi, perjudian, serta pemakaian, peredaran, dan penyelundupan obat obat terlarang.
Sedangkan faktor-faktor yang berasal dari luar negeri meliputi, antara lain, (1) pengaruh globalisasi kehidupan yang semakin
meluas dengan persaingan antar bangsa yang semakin tajam; (2)
makin kuatnya intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional.
Faktor-faktor yang menjadi penghambat dan sekaligus menjadi ancaman tersebut dinyatakan akan dapat mengakibatkan bangsa Indonesia mengalami kemunduran dan ketidakmampuan dalam mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya untuk
mencapai persatuan, mengembangkan kemandirian,
keharmonisan dan kemajuan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk mengingatkan kembali warga bangsa dan mendorong revitalisasi khazanah etika dan moral yang telah ada dan bersemi dalam masyarakat sehingga menjadi salah satu acuan dasar dalam kehidupan berbangsa. Tentu saja dalam hal ini tidak terkecuali bagi Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat.
Modul Diklat Prajabatan Golongan I dan II 21
B.
Pokok-Pokok Etika Kehidupan Berbangsa
Etika Kehidupan Berbangsa sebagai konsep nilai moral diartikan oleh MPR berdasar Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 sebagai: "...rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, den nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa." Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa sebagaimana tertuang dalam Tap MPR tersebut mengedepankan kejujuran,amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja,
kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa. Uraian Etika Kehidupan Berbangsa berdasarkan Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 adalah sebagai berikut:
1. Etika Sosial dan Budaya
Etika sosial dan budaya bertolak dari rasa kemanusia an yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa. Sejalan dengan itu, perlu menumbuh kembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, juga perlu ditumbuhkembangkan kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat.
(15)
Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kembali kehidupan berbangsa yang berbudaya tinggi dengan menggugah, menghargai dan mengembangkan budaya nasional yang bersumber dari budaya daerah agar mampu melakukan adaptasi, interaksi dengan bangsa lain, dan tindakan proaktif sejalan dengan tuntutan globalisasi. Untuk itu, diperlukan penghayatan dan pengamalan agama yang benar, kemampuan adaptasi, ketahanan dan kreativitas budaya dari masyarakat.
2. Etika Politik dan Pemerintahan
Etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan
berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar
penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara.
Masalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah. Etika politik dan pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan.
Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertatakrama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.
3. Etika Ekonomi dan Bisnis
Etika ekonomi dan bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi dan bisnis, baik oleh perseorangan, instansi maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi dapat
(16)
Etika Organisasi Pemerintah
24
melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan
persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong
berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan. Etika ini mencegah terjadinya praktek-praktek monopoli, oligopoly, kebijakan ekonomi yang mengarah kepada perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme, diskriminasi yang berdampak negatif terhadap persaingan sehat, dan keadilan serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan.
4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Etika penegakan hukum yang berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakukan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.
Modul Diklat Prajabatan Golongan I dan II 25
5. Etika Keilmuan
Etika keilmuan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. Etika ini diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif dalam karsa, cipta dan karya yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif dan komunikatif, dalam kegiatan membaca, belajar, meneliti, menulis, berkarya serta menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Etika keilmuan menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan menghargai dan memanfaatkan waktu, disiplin dalam berpikir dan berbuat, serta menepati janji dan komitmen diri untuk mencapai hasil yang terbaik. Di samping itu, etika ini mendorong tumbuhnya kemampuan menghadapi hambatan, rintangan dan tantangan dalam kehidupan, mampu mengubah
tantangan menjadi peluang, mampu menumbuhkan
kreativitas untuk penciptaan kesempatan baru, dan tahan uji serta pantang menyerah.
6. Etika Lingkungan
Etika Iingkungan menegaskan pentingnya kesadaran
menghargai dan melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.
(17)
C.
Rangkuman
1. Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 mengamanatkan: "bahwa
untuk mewujudkan cita-cita Iuhur bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, diperlukan pencerahan dan sekaligus pengamalan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia."
2. Konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan
santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya merupakan gejala krisis multidimensi yang menjadi ancaman yang serius terhadap persatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa; yang disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal baik dari dalam maupun dari luar negeri.
3. Pokok-pokok etika kehidupan berbangsa merupakan acuan
bagi pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia dalam rangka
menyelamatkan dan meningkatkan mutu kehidupan
berbangsa.
4. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa sebagaimana
tertuang dalam TAP MPR tersebut mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos
kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu,
tanggungjawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.
5.Etika Kehidupan Berbangsa berdasarkan TAP MPR Nomor
VI/MPR/2001 adalah mencakup Etika Sosial Budaya, Etika
Politik dan Pemerintahan, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan, Etika Keilmuan, dan Etika Lingkungan.
D.
Latihan
1.Gejala apakah yang menunjukkan terjadinya krisis
multidimensi yang mengancam persatuan bangsa dan kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa?
2.Sebutkan faktor-faktor dari dalam negeri apa saja
menyebabkan terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi bangsa Indonesia?
3.Sikap apa saja yang dikedepankan dalam pokok-pokok etika
kehidupan berbangsa?
4.Uraikan secara ringkas pokok-pokok etika kehidupan
berbangsa sebagaimana dirumuskan dalam TAP MPR Nomor VI/MPR/2001?
(18)
28
BAB III
ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH
Dalam bab sebelumnya telah diuraikan dan dibahas pengertian dan konsepsi etika dan moralitas manusia, prinsip-prinsip etika dalam kehidupan manusia, serta pokok-pokok etika kehidupan berbangsa. Berlandaskan latar belakang tersebut, dalam bab ini akan diuraikan dan dibahas mengenai dimensi etika organisasi pemerintah, yang antara lain mencakup etika dalam organisasi, etika dalam pemerintahan, etika dalam jabatan, serta nilai-nilai kepemerintahan
yang baik (good governance) sebagai trend global etika
pemerintahan.
A.
Dimensi Etika Dalam Organisasi
Telah dikemukakan bahwa etika pengertiannya adalah cara bergaul atau berperilaku yang baik. Nilai-nilai etika terungkap dalam aturan-aturan maupun hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bagaimana seseorang harus bersikap dan berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain dan lingkungan masyarakatnya, termasuk juga dengan pemerintah. Dalam konteks organisasi, maka etika organisasi dapat berarti pola sikap dan perilaku yang diharapkan dari setiap individu dan kelompok anggota organisasi, yang secara keseluruhan akan
membentuk budaya organisasi (organizational culture) yang
sejalan dengan tujuan maupun filosofi organisasi yang bersangkutan.
Modul Diklat Prajabatan Golongan I dan II 29
Organisasi sebagai sebuah struktur hubungan antar manusia dan antar kelompok tentu saja memiliki nilai-nilai tertentu yang menjadi kode etik atau pola perilaku anggota organisasi yang bersangkutan, betapapun kecilnya organisasi yang bersangkutan. Salah satu nilai etika yang secara umum berlaku bagi setiap anggota organisasi jenis apapun adalah apa yang dirumuskan sebagai: "Menjaga nama baik organisasi". Berdasarkan nilai tersebut setiap anggota organisasi apapun harus mampu bersikap dan berperilaku yang mendukung terjaganya nama baik organisasinya. Bahkan jika memungkinkan sebenarnya bukan hanya menjaga nama baik tetapi juga meningkatkan nama baik organisasi. Internalisasi nilai etika tersebut dalam diri setiap anggota organisasi secara efektif akan membangun moral ataupun moralitas pribadi anggota organisasi yang bersangkutan. Sedangkan pola perilaku yang ditekankan dalam upaya terjaganya nama baik organisasi, biasanya dituangkan dalam sejumlah aturan mengenai apa yang harus dan terlarang untuk dilakukan oleh setiap anggota organisasi, misalnya setiap
anggota diwajibkan selalu menggunakan simbol-simbol
organisasi, baik itu berupa pakaian, peralatan, hingga kartu nama; sedangkan larangan yang diberlakukan antara lain adalah berjudi, mabuk-mabukan, meminta tips kepada pelanggan atau klien, dan sebagainya.
Secara konseptual, model organisasi yang ideal sebagaimana dirumuskan oleh Max Weber – yaitu birokrasi – memiliki karakteristik yang sekaligus menjadi nilai-nilai perilaku bagi para anggota organisasi tersebut. Beberapa karakteristik
(19)
organisasi yang ideal atau birokrasi menurut Weber (Indrawijaya, 1986: 17) yang penting diantaranya adalah adanya:
1. Spesialisasi atau pembagian pekerjaan;
2. Tingkatan berjenjang (hirarkhi);
3. Berdasarkan aturan dan prosedur kerja;
4. Hubungan yang bersifat impersonal;
5. Pengangkatan dan promosi anggota/pegawai berdasarkan
kompetensi (Sistem Merit).
Sedangkan setiap anggota birokrasi tersebut diharapkan memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut (Wallis, 1989: 3-4): 1. Bebas dari segala urusan pribadi (Personally Free) selain
yang berkaitan dengan tugas-tugas yang telah ditetapkan:
2. Setiap anggota harus mengerti tugas dan ruang lingkup
jabatan atau kedudukannya dalam hirarkhi organisasi;
3. Setiap anggota harus mengerti dan dapat menerapkan
kedudukan hukumnya dalam organisasi, dalam arti memahami aturan yang menetapkan kewajiban dan kewenangannya dalam organisasi;
4. Setiap anggota bekerja berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja dengan kompensasi tertentu seuai dengan tugas dan tanggungjawab yang dibebankan organisasi kepadanya;
5. Setiap anggota diangkat dan dipromosikan berdasarkan merit
atau prestasi dan kompetensi;
6. Setiap anggota organisasi diberikan kompensasi berdasarkan
tarif standar yang sesuai dengan kedudukannya, maupun tugas pokok dan fungsinya;
7. Setiap anggota organisasi wajib mendahulukan tugas pokok
dan fungsinya daripada tugas-tugas lain selain apa yang telah dibebankan kepadanya oleh organisasi;
8. Setiap anggota organisasi ditempatkan dengan struktur karir yang jelas;
9. Setiap anggota organisasi harus berdisiplin dalam perilaku kerjanya dan untuk itu dilakukan pengawasan.
Pandangan Max Weber mengenai model organisasi ideal tersebut secara ringkasnya mendudukan setiap anggota organisasi dalam hirarkhi struktural, setiap pekerjaan diselesaikan berdasarkan prosedur dan aturan kerja yang berlaku, setiap orang terikat dengan ketat terhadap aturan aturan dalam organisasi tersebut, dan hubungan diantara setiap anggota maupun kelompok dan dengan pihak luar terbatas hanya kepada urusan-urusan pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing anggota. Jadi dalam model organisasi yang ideal ini sifatnya mekanistis, kaku, dan impersonal (tidak pribadi).
Karena itu, pandangan Weber tersebut banyak mendapatkan kritik, karena model organisasi yang ideal tersebut tidak mengakomodasi hubungan-hubungan yang bersifat personal dan sangat membatasi perilaku para anggota organisasi tersebut dengan berbagai aturan yang ketat. Model birokrasi ideal seperti itu tidak menjamin terciptanya interaksi yang dinamis dalam hubungan kerja antara anggota dengan kelompok, antar kelompok, maupun dengan organisasi, dan dengan klien atau masyarakat yang dilayani. Bagaimanapun, karakteristik birokrasi
(20)
Etika Organisasi Pemerintah
32
atau model organisasi yang ideal menurut Weber tersebut, tampaknya sangat mewakili kondisi-kondisi berbagai organisasi dalam pemerintahan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dimensi perilaku manusia dalam organisasi dengan nilai-nilai etikanya, mencakup beberapa dimensi, yaitu:
1.Dimensi hubungan antara anggota dengan organisasi yang
tertuang dalam perjanjian atau aturan-aturan legal;
2.Hubungan antara anggota organisasi dengan sesama anggota
lainnya, antara anggota dengan Pejabat dalam struktur hirarkhi;
3.Hubungan antara anggota organisasi yang bersangkutan
dengan anggota dan organisasi lainnya; dan
4.Hubungan antara anggota dengan masyarakat yang
dilayaninya.
B.
Etika Dalam Pemerintahan
Dalam organisasi administrasi publik atau pemerintah, pola-pola sikap dan perilaku serta hubungan antar manusia dalam organisasi tersebut, dan hubungannya dengan pihak luar organisasi pada umumnya diatur dengan peraturan perundangan yang berlaku dalam sistem hukum negara yang bersangkutan. Bagi aparatur pemerintah, budaya dan etika kerja merupakan hal yang penting untuk dikembangkan baik pada tingkat pemerintahan Pusat maupun Daerah, pada tingkat Departemen atau organisasi maupun unit-unit kerja dibawahnya. Adanya etika ini diharapkan mampu membangkitkan kepekaan birokrasi
Modul Diklat Prajabatan Golongan I dan II 33
(pemerintah) dalam melayani kepentingan masyarakat (Nicholas Henry, 1988).
Tujuan yang hakiki dari setiap pemerintah di negara manapun adalah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat warga negara yang bersangkutan. Namun demikian pola atau cara-cara yang ditempuh dan perilaku pemerintah dalam hal itu berbeda dari satu negara ke negara lainnya, tergantung kondisi dan situasi yang berlaku di negara masing-masing. Dalam negara yang demokratis, mendahulukan kepentingan rakyat menjadi tujuan dan sekaligus etika bagi setiap penyelenggara negara dan pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis berlaku norma: "dari, oleh dan untuk rakyat”. Sehingga etika kerja aparatur dalam sistem pemerintahan ini adalah selalu mengikutsertakan rakyat dan berorientasi kepada aspirasi dan kepentingan rakyat dalam setiap langkah kebijakan dan tindakan pemerintah. Transparansi, keterbukaan, dan akuntabilitas menjadi nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan diwujudkan dalam etika pergaulan antara pemerintah dengan rakyatnya.
Sebaliknya, dalam negara yang pemerintahannya bersifat otoriter, maka kepentingan kekuasaannyalah yang menjadi prioritas. Sehingga etika kerja aparatur sangat diarahkan pada
terwujudnya keamanan dan kelangsungan kekuasaan
pemerintahan. Dalam hal ini, kerahasiaan dan represi menjadi pola kebijakan dan perilaku aparatur pemerintah.
(21)
Dalam modul "Etika Birokrasi", Gering Supriyadi (2001: 54) mengemukakan beberapa asas umum pemerintahan yang diberlakukan di negara Belanda, sebagai berikut:
1. Asas kepastian hukum (Principle of Legal Security);
2. Asas keseimbangan (Principle of Proportionality;
3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (Principle of
Equality);
4. Asas bertindak cermat (Principle of Carefulness);
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (Principle of
Moti-vation);
6. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan (Principle of
non misuse of competence) yang bisa juga berarti Asas tidak menyalahgunakan kekuasaan;
7. Asas permainan yang layak (Principle of Fairplay);
8. Asas Keadilan dan kewajaran (Principle of Reasonable or
Prohibition of Arbitrariness);
9. Asas menanggapi penghargaan yang wajar (Principle of
Meeting Raised Expectation) atau bisa juga berarti Asas pemenuhan aspirasi dan harapan yang diajukan;
10. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal
(Principle of Undoing the Consequencies of Annuled Decision);
11. Asas perlindungan atas pandangan/cara hidup pribadi
(Principle of Protecting the Personal Way of Life);
12. Asas kebijaksanaan (Sapientia);
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (Principle of
Public Service).
Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, asas-asas
pemerintahan yang menjadi nilai-nilai etika pemerintahan,
tampaknya cukup terwakili dengan pernyataan dalam
Mukadimah UUU 1945 alinea keempat yang menyatakan: "...untuk membentuk pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehiduan bangsa, dan turut serta dalam memelihara ketertiban dunia dan perdamaian yang abadi..."
Sedangkan nilai-nilai filosofis yang melandasinya adalah ideologi negara yang kita kenal sebagai Pancasila, yaitu: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan tugas pemerintahan negara dan filosofi negara itulah pemerintah negara Indonesia menjalankan fungsinya. Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 beserta ketentuan dalam amandemennya, menjadi kerangka pedoman kebijakan dan tindakan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik tercermin dalam Ketetapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi,
(22)
Etika Organisasi Pemerintah
36
dan Nepotisme. Dalam Pasal 3 dan Penjelasan nya ditetapkan mengenai asas-asas umum pemerintahan yang mencakup: 1. Asas Kepastian Hukum; yaitu asas dalam negara hukum
yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undang an, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara;
3. Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;
4. Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;
5. Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara;
6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Modul Diklat Prajabatan Golongan I dan II 37
7. Asas Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara
Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Asas-asas umum pemerintahan sebagaimana diterapkan di Indonesia berdasarkan Undang-undang tersebut dewasa ini, tidak terlepas dari kecenderungan global berlakunya paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dikenal dengan
paradigma kepemerintahan yang baik (Good Governance).
C.
Etika Dalam Jabatan
Para penyelenggara Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para penyelenggara negara, termasuk PNS, sebelum memangku jabatannya diwajibkan untuk mengangkat sumpah/janji sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Presiden dan Wakil Presiden, Anggota dan Pimpinan Lembaga tertinggi dan Tinggi Negara lainnya juga diwajibkan untuk mengangkat sumpah/janji sebelum menjalankan jabatannya itu. Para Menteri, Kepala LPND, Gubernur, Bupati, Walikota beserta para wakil
(23)
mereka, serta para Pejabat Eselon dan Pejabat Fungsional dan jabatan-jabatan lainnya juga diwajibkan untuk mengangkat sumpah/janji. Sumpah/janji inilah yang menjadi kesepakatan dan komitmen terhadap nilai-nilai, standar-standar sebagai kode etik jabatan.
Dalam Undang-undang Nomor 28 Tabun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 5 ditetapkan mengenai kewajiban Setiap Penyelenggara Negara sebagai berikut:
1. Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya
sebelum memangku jabatannya;
2. Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan
setelah menjabat;
3. Melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan
setelah menjabat;
4. Tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
5. Melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama,
ras, dan golongan;
6. Melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan
tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
7. Bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan
nepotisme serta dalam perkara Iainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan hak sebagai penyelenggara negara diatur dalam Pasal 4 UU No. 28 Tahun 1999, yang meliputi hak-hak:
1. Menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan
dari atasannya, ancaman hukuman, dan kritik masyarakat;
3. Menyampaikan pendapat di muka umum secara
bertanggungjawab sesuai dengan wewenangnya; dan
4. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang tersebut ditegaskan ketentuan bahwa: Hubungan antar Penyelenggara Nega ra dilaksanakan dengan mentaati norma-norma kelembagaan, kesopanan, kesusilaan, dan etika yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Bagi PNS yang duduk dalam jabatan struktural Eselon V sampai dengan Eselon I pada dasar- nya masih berlaku ketentuan Disiplin sebagai etika perilaku dalam jabatan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, seperti telah diuraikan sebelumnya, selain ketentuan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tersebut di atas.
D.
Rangkuman
1. Etika dalam lingkup organisasi merupakan pola sikap dan
perilaku yang diharapkan dari setiap individu dan kelompok anggota organisasi, yang secara keseluruhan akan membentuk
budaya organisasi (organizational culture) yang sejalan
(24)
Etika Organisasi Pemerintah
40
2. Dalam model organisasi ideal yang disebut birokrasi menurut Max Weber setiap anggota organisasi dibatasi oleh norma-norma yang mengatur hubungan baik antar anggota organisasi maupun dengan pihak luar organisasi yang bersangkutan. Norma umum yang menjadi etika dalam birokrasi model Weber adalah: bekerja dengan keahlian dan spesialisasi dan karenanya pola promosi didasarkan kepada kompetensi dan merit, patuh dan taat terhadap perintah atasan dalam jalur hierarkhi, bekerja sesuai dengan aturan dan prosedur kerja yang baku, mendahulukan kepentingan organisasi daripada kepentingan pribadi, dengan pola interak si antar anggota maupun dengan pihak Iuar bersifat impersonal.
3. Dalam lingkup pemerintahan, etika dengan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya sangat bermanfaat untuk
membangkitkan kepekaan para birokrat dalam melayani kepentingan masyarakat. Dalam negara yang demokratis,
aparatur pemerintah secara etika diharapkan selalu
mengikutsertakan rakyat dan berorientasi kepada aspirasi dan kepentingan rakyat dalam setiap langkah kebijakan dan tindakan pemerin tah. Sebaliknya dalam sistem pemerintahan yang otoriter, etika kerja aparatur sangat di arahkan pada
terwujudnya keamanan dan kelangsungan kekuasaan
pemerintah, sehingga kerahasiaan dan represi menjadi norma yang berlaku di lingkungan aparatur.
4. Sejalan dengan perkembangan kedewasaan sosio politik
masyarakat post modern, etika dalam pemerintahan juga berkembang, mengarah kepada perwujudan kepemerintahan yang baik. Berdasarkan komitmen untuk mewujudkan penye
Modul Diklat Prajabatan Golongan I dan II 41
lenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), di Indonesia berlaku norma umum penyelenggara negara berdasarkan asas-asas kepastian hukum, tertib penyelenggara negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
5. Sebagai Pejabat dalam hirarkhi organisasi pemerintahan,
seorang penyelenggara negara/pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah memiliki beberapa kewajiban, yang mencakup kewajiban: mengucapkan sumpah atau janji sesuai agamanya sebelum menduduki jabatan tertentu; melaporkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; tidak melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme; melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan; bekerja penuh tanggung jawab dan tanpa pamrih; bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN maupun perkara lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
E.
Latihan
1. Mengapa etika dalam organisasi dapat berkembang menjadi
budaya organisasi?
2. Bagaimana karakteristik birokrasi ideal menurut Max Weber
dan mengapa karakteristik yang ideal tersebut justru mendapatkan banyak kritik?
3. Mengapa etika pemerintahan diperlukan dalam negara yang
demokratis, apa bedanya dengan etika dalam pemerintahan demokratis dengan pemerintahan yang otoriter?
(25)
Indonesia dan sebutkan peraturan perundang-undangan mana saja yang mengatur norma-norma etika umum Pemerintahan, Pegawai Negeri Sipil, dan Jabatan!
43
BAB V
ETIKA PEGAWAI NEGERI SIPIL
Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai unsur aparatur negara adalah abdi negara dan abdi masyarakat. Dengan demikian jelaslah
kedudukan PNS tersebut dalam konteks penyelenggaraan
pemerintahan negara. Sebagai abdi negara seorang PNS terikat dengan segala aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, yang mengatur jalannya pemerintahan dan hubungan antara Pemerintah dengan PNS yang bersangkutan. Selain itu pada tingkat organisasi, hubungan antara organisasi dengan PNS sebagai pegawai di lingkungan organisasi yang bersangkutan juga diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemegang otoritas kelembagaan tersebut. Sedangkan dalam hubungannya dengan masyarakat, kewajiban dan hak PNS juga ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai konvensi lainnya yang disepakati baik oleh masyarakat maupun pemerintah, dalam hal ini PNS.
A.
Kewajiban dan Larangan bagi Pegawai Negeri
Sipil
Bagi PNS berlaku ketentuan seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah
(26)
Etika Organisasi Pemerintah
44
dan Janji Pegawai Negeri Sipil, juga Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai. Berdasarkan PP Nomor 30 tahun 1980 itu terdapat 26 butir kewajiban dan 18 butir larangan bagi PNS sebagai berkut:
Kewajiban bagi Pegawai Negeri Sipil meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah;
2. Mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan
golongan atau diri sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan Negara oleh kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain;
3. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat negara,
pemerintah, dan Pegawai Negeri Sipil;
4. Mengangkat dan mentaati sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil
dan sumpah/janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Menyimpan rahasia negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;
6. Memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan
Pemerintah baik yang langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum;
7. Melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan
dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
Modul Diklat Prajabatan Golongan I dan II 45
8. Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk
kepentingan Negara;
9. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan,
persatuan, dan kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil;
10. Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui
ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan Negara/ Pemerintah, terutama dibidang keamanan, keuangan, dan materiil;
11. Mentaati ketentuan jam kerja;
12. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik;
13. Menggunakan dan memelihara barang-barang milik Negara
dengan sebaik-baiknya;
14. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada
masyarakat menurut bidang tugasnya masing-masing;
15. Bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana
terhadap bawahannya;
16. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya;
17. Menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik
terhadap bawahannya;
18. Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi
kerjanya;
19. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk
mengembangkan karier;
20. Mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan tentang
(27)
21. Berpakaian rapi, sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun kepada masyarakat, sesama PNS, dan terhadap atasannya;
22. Hormat menghormati antara sesama warga negara yang
memeluk agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang berlainan;
23. Menjadi teladan sebagai warganegara yang baik dalam
masyarakat;
24. Mentaati segala peraturan perundang-undangan dan
peraturan Kedinasan yang berlaku;
25. Mentaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang;
26. Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya
setiap laporan yang diterima mengenai pelanggaran disiplin.
Sedangkan larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar oleh setiap PNS adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan
atau martabat Negara, Pemerintah, atau Pegawai Negeri Sipil;
2. Menyalahgunakan wewenangnya;
3. Tanpa izin Pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing;
4. Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat
berharga milik Negara;
5. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan,
atau meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik Negara secara tidak sah;
6. Melakukan kegiatan bersama-sama dengan atasan, teman
sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan Negara;
7. Melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud
membalas dendam, terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya;
8. Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja
dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga
bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin
bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri yang bersangkutan;
9. Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan
kehormatan atau martabat Pegawai Negeri Sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan;
10. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
11. Melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan
suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya, sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;
(28)
Etika Organisasi Pemerintah
48
13. Membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang
diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain;
14. Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau
golongan untuk mendapat pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah;
15. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan
usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
16. Memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatan usahanya
tidak berada dalam ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifat pemilikannya itu sedemikian rupa sehingga me lalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan;
17. Melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi maupun
sambilan, menjadi direksi, pimpinan, atau komisaris perusahaan swasta bagi yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a keatas, atau yang memangku jabatan Eselon I.;
18. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga
dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain.
Selanjutnya ditegaskan dalam ketentuan tersebut bahwa setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan mengenai kewajiban dan larangan tersebut, dianggap sebagai pelanggaran disiplin. Termasuk dalam
Modul Diklat Prajabatan Golongan I dan II 49
pelanggaran disiplin tersebut adalah setiap perbuatan
memperbanyak, mengedarkan, mempertontonkan, menem-pelkan, menawarkan, menyimpan, memiliki tulisan atau rekaman yang berisi anjuran atau hasutan untuk melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 30 tahun 1980 Pasal 2 dan 3, kecuali untuk kepentingan dinas.
B.
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil
Pada tahun 2003, Pemerintah melalui Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengambil inisiatif untuk menjabarkan pokok-pokok Etika Kehidupan Berbangsa ke dalam Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, yang akan dirumuskan ke dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP). Namun demikian, sampai dengan modul ini ditulis dan diterbitkan, Rancangan PP mengenai Kode Etik PNS tersebut masih belum dapat diselesaikan dan disahkan menjadi PP. Meskipun begitu, tidak ada salahnya dalam modul ini
disampaikan apa yang sebenarnya dirumuskan dalam
Rancangan PP (RPP) tersebut.
1. Pengertian, Maksud dan Tujuan Kode Etik PNS Dalam Rancangan PP mengenai Kode Etik PNS dalam Bab I Pasal 1 ayat (1) dijelaskan pengertian Kode Etik PNS
(1)
c. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas Kode Etik dan jiwa Korps dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara;
d. Tata cara pemeriksaan dan persidangan pelanggaran kode
Etik PNS ditetapkan oleh Komisi Kode Etik PNS Pusat.
4. Kode Etik PNS Di Luar Kedinasan
Di luar kedinasan, setiap PNS harus tetap menjaga rnartabatnya dengan tetap menunjukkan pola sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan Kode Etik PNS. Hal ini sangat penting, karena di luar kedinasan itu setiap PNS akan berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya dan dirinya sendiri sebagai warga masyarakat yang memiliki jati sebagai PNS. Untuk itu dalam RPP mengenai Kode Etik PNS dirumuskan ketentuanketentuan yang mengatur sikap PNS di luar kedinasan dengan rumusan ketentuan sebagai berikut: "Setiap Pegawai Negeri Sipil harus memiliki sikap, tingkah laku dan perbuatan yang mencerminkan moral aparatur negara di luar kedinasan, yaitu:
a. Berkelakuan baik dan tidak melakukan perbuatan yang
dapat merendahkan martabat Pegawai Negeri Sipil;
b. Tidak menyalahgunakan wewenang yang dimiliki;
c. Tidak melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Tidak menggunakan sarana dan prasarana kedinasan
untuk kepentingan pribadi;
e. Tidak menggunakan sarana dan prasarana kedinasan
sesuai maksud dan tujuan sarana dan prasarana itu diadakan
5. Pembinaan Jiwa Korsa Pegawai Negeri Sipil
Sebagaimana kita ketahui setiap PNS tergabung atau terdaftar dengan sendirinya sebagai anggota Korps Pegawai Negeri Sipil. Dengan menyadari kedudukan tersebut, dalam hubungan kedinasan setiap PNS harus selalu memelihara kesetiakawanan, kekompakan dan kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil. Dalam hubungan itu, RPP mengenai Kode Etik PNS merumuskan ketentuan sebagai berikut:
"Setiap Pegawai Negeri Sipil harus senantiasa membina jiwa korps dengan menciptakan dan memelihara kesetiakawanan, kekompakan, dan kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil dalam hubungan kedinasan yang meliputi:
a. Hubungan PNS selaku bawahan terhadap atasan;
b. Hubungan PNS terhadap sesama Pegawai Negeri Sipil;
c. Hubungan PNS selalu atasan terhadap bawahan;
d. Sikap, tingkah laku dan perbuatan PNS terhadap
(2)
Etika Organisasi Pemerintah 62
Sedangkan dalam rangka pembinaan jiwa korsa PNS dalam RPP mengenai Kode Etik PNS dirumuskan ketentuan sebagai berikut:
"Ruang lingkup pembinaan Korps Pegawai Negeri Sipil mencakup:
a. Pemupukan dan peningkatan kesadaran cinta terhadap
bangsa, negara dan tanah air melalui berbagai kegiatan penyadaran yang diperlukan untuk itu;
b. Peningkatan kerjasama antar Pegawai Negeri Sipil untuk
memelihara dan memupuk kesetiakawanan dalam rangka meningkatkan jiwa Korps Pegawai Negeri Sipil baik dalam tugas kedinasan maupun pergaulan sehari-hari;
c. Partisipasi dalam penyusunan kebijakan pemerintah yang
terkait dengan PNS melalui pemberian sumbangan pemikiran baik secara individu atau kelompok;
d. Peningkatan budaya kerja dalam rangka meningkatkan
produktivitas kerja secara profesionalitas;
e. Usaha-usaha bagi terwujudnya kesejahteraan Pegawai
Negeri Sipil dengan memberikan sumbang saran pemikiran dan pelaksanaan tugas sesuai bidangnya.
Pembinaan jiwa korps sebagaimana dimaksud dalam ketentuan-ketentuan tersebut dilakukan lebih lanjut oleh
masing-masing instansi berdasarkan penjabaran dari
ketentuan mengenai Kode Etik PNS tersebut.
Modul Diklat Prajabatan Golongan I dan II 63
Selain itu, Pegawai Negeri Sipil yang secara non kedinasan tergabung dalam organisasi Korps Pegawai Republik
Indonesia (KORPRI) juga memiliki kode etik tersendiri yang
disebut Panca PrasetyaKORPRI, berisi lima butir janji atau
komitmen PNS terhadap Negara, Pemerintah, dan
masyarakat. Bunyi sumpah atau janji KORPRI tersebut adalah sebagai berikut:
"Kami anggota KORPS Pegawai Republik Indonesia, adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjanji:
1. Setia dan taat kepada kepada Negara Kesatuan dan
Pemerintah Republik Indonesia, yang berdasarkan Panca sila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta
memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara;
3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di
atas kepentingan pribadi dan golongan;
4. Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta
kesetiakawanan KORPS Pegawai Republik Indonesia;
5. Menegakkan kejujuran, keadilan dan disiplin serta
meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme."
Dengan segala ketentuan mengenai Kode Etik PNS sebagaimana tersebut di atas, apabila RPP mengenai Kode
(3)
Etik PNS tersebut dapat disahkan, sesungguhnya terdapat jaminan yang cukup memadai bagi terwujudnya sosok PNS yang profesional, berwibawa, bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sehingga PNS akan mampu mengembangkan citra dan jati dirinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
C.
Rangkuman
1. Kedudukan PNS sebagai unsur aparatur negara, abdi negara
dan abdi masyarakat terikat oleh aturan hukum dan perundang-undangan serta ketentuan lainnya mengenai norma dan etika yang disebut dengan Kode Etik PNS. Selain itu, setiap PNS terikat dengan Sumpah dan Janji PNS sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 21 tahun 1975.
2. Berdasarkan ketentuan yang mengatur PNS sebagaimana
tertuang dalam PP nomor 30 Tabun 1980, terdapat 26 butir kewajiban dan 18 butir larangan.
3. Kode Etik PNS sebagaimana dirumuskan dalam Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai Kode Etik Pegawai Negeri Sipil tahun 2003 yang disusun oleh Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, mengartikan Kode
Etik PNS sebagai berikut: "Norma-norma sebagai pedoman
sikap, tingkah laku dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil yang diharapkan dan dipertanggungjawabkan dalam
melaksanakan tugas pengabdiannya kepada bangsa, negara, masyarakat dan tugas-tugas kedinasan organisasinya serta pergaulan hidup sehari-hari sesama PNS dan individu-individu di dalam masyarakat”.
4. Kode Etik PNS sebagaimana dirumuskan dalam RPP
mengenai Kode Etik PNS tahun 2003 tersebut mencakup norma-norma yang mengatur tentang pola sikap dan tingkah laku PNS dalam: (1) Hubungan PNS dengan Tuhan YME; (2) Hubungan PNS dengan Negara; (3) Hubungan PNS dengan Pemerintah; (4) Hubungan PNS dengan Organisasi; (5) Hubungan PNS dengan Masayarakat; dan (6) Hubungan PNS dengan Diri Sendiri.
5. Dalam pelaksanaan tugasnya setiap PNS harus memahami
dan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, menjunjung
tinggi ketidakberpihakan terhadap semua golongan,
masyarakat, individu, serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan. Di samping itu, setiap Pegawai Negeri Sipil harus menunjukkan akuntabilitasnya dengan mempertanggungjawabkan seluruh pelaksanaan tugas yang dibeban kan kepadanya baik kepada bangsa dan negara
maupun masyarakat melalui pimpinan atau atasan
langsungnya.
6. Setiap Pegawai Negeri Sipil harus memiliki sikap, tingkah
laku dan perbuatan yang mencerminkan moral aparatur negara di luar kedinasan, yaitu: (1) Berkelakuan baik dan
(4)
Etika Organisasi Pemerintah 66
tidak melakukan perbuatan yang dapat merendahkan martabat Pegawai Negeri Sipil; (2) Tidak menyalahgunakan wewenang yang dimiliki; (3) Tidak melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (4) Tidak menggunakan sarana dan prasarana kedinasan untuk kepentingan pribadi; dan (5) Tidak menggunakan sarana dan prasarana kedinasan sesuai maksud dan tujuan sarana dan prasarana itu diadakan.
7. Pembinaan jiwa korsa PNS secara nonkedinasan dilakukan
melalui Korps Pegawai Negeri (KORPRI) yang memiliki landasan kode etik atau janji anggota KORPRI yang disebut Panca Prasetya KORPRI.
D.
LATIHAN
1. Sebagai PNS terdapat kewajiban dan larangan yang harus
dipatuhi, sebutkan apa dasar hukumnya, berapa butir jumlah kewajiban dan larangan tersebut?
2. Apa yang dimaksud dengan Kode Etik PNS?
3. Sebutkan ruang lingkup norma yang menjadi pedoman
tingkah laku PNS berdasarkan rancangan PP mengenai Kode Etik PNS?
4. Sebutkan norma-norma etika PNS dalam hubungannya
dengan negara dan masyarakat, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat?
5. Bagaimana seharusnya sikap dan tingkah laku PNS di luar
Modul Diklat Prajabatan Golongan I dan II 67
kedinasan?
(5)
68
BAB VI
PENUTUP
Sesuai dengan tujuan instruksional umum modul "Etika Organisasi Pemerintah" untuk peserta Program Diklat Prajabatan Golongan I dan II, telah membahas dan menguraikan mengenai konsep dasar dan, pengertian etika dan moralitas, konsep dasar etika organisasi, dimensi-dimensi etika dalam pemerintahan, etika pegawai negeri, maupun etika dalam jabatan.
Keseluruhan materi modul yang sederhana ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran yang cukup memadai dan efektif dalam meningkatkan kompetensi kognitif, afektif, maupun psiko-motorik para peserta Diklat Prajabatan Golongan I dan II, sehingga mampu memiliki kemampuan menganalisis dan menerapkan norma norma etika dan moralitas dalam organisasi pemerintah dimana yang bersangkutan akan ditempatkan. Dengan demikian diharapkan dapat turut memberikan andil yang cukup berarti dalam upaya mewujudkan kepemerintahan yang baik di negara Republik Indonesia yang kita cintai ini.
69
DAFTAR PUSTAKA
Indrawijaya, Adam I (1986), Perilaku Organisasi, Bandung, Penerbit
Sinar Baru.
Japan Association For Civil Service Training and Education, "How
To Win Public Confidence As Government Officials": 100 Sheets For Effective And Efficient Public Administration.
Mustopadidjaja, AR. (1997), "Transformasi Manajemen Menghadapi
Globalisasi Ekonomi", dalam Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Vol. 1. No. 1, 1997, ISSN 1410-5101, PP PERSADI, Jakarta.
Mustopadidjaja, AR, dan Desi Fernanda, (2000), Manajemen
Pembangunan Nasional: Kebijakan, Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengawasan, makalah disampaikan pada Suskomsos TNI - TA 1999/2000, SESKO TNI, LAN-RI, Bandung, 28 Februari 2000.
Nainggolan, H, (1983), Pembinaan Pegawai Negeri Sipil, Jakarta,
PT. Inaltu.
Osborne, David, and Ted Gaebler, (1992), Reinventing Government:
How Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Co.Inc.
Sudiman, Drs., (2001), Modul Diklat Prajabatan Golongan III:
(6)
70
Suhady, Idup dan Desi Fernanda, Modul Diklatpim Tingkat IV:
Dasar-Dasar Kepemerintahan Yang Baik, Jakarta, LAN RI.
Supriyadi, Gering, Drs., MM. (2001), Modul Diklat Pajabatan
Golongan III: "Etika Birokrasi", Jakarta, LAN-RI.
Syafiie, Inu Kencana, Djamaludin Tandjung, dan Supardan
Mordeong, (1999), llmu Administrasi Publik, Jakarta,
Penerbit Rineka Cipta.
UNDP, 1997, Governance for Sustainable Development - A Policy
Document, New York : UNDP, 1999, UNDP and
Governance: Experiences and Lesson Learned, Lesson Learned Series No. 1, New York: UNDP Management Development and Governance Division, Downloaded Internet document file.
Wallis, Malcolm, (1989), Bureaucracy: Its Roles In The Third Worid
Development, Basingstoke: London, McMillan Publisher Ltd.
71
PERATURAN PERUNDANGAN
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara
Negara Yang Bersih dan Bebas Daeri Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara Tahun 1999-2004.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelengga ra
Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 Tentang Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan.
Rancangan Peraturan Pemerintah Tahun 2003 mengenai Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, dikeluarkan oleh Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, tahun 2003.
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Laporan