MANAJEMEN OPERASI JASA KEUANGAN MIKRO ISLAM

BUKU TEKS

MANAJEMEN OPERASI

JASA KEUANGAN MIKRO ISLAM TEORI DAN PRAKTEK

DR. AHMAD SUBAGYO, SE.MM ARMANTO WICAKSONO,SE.Ak.MM. BUKU INI BERISI TENTANG TEORI DAN PRAKTEK KEUANGAN MIKRO YANG DITULIS BERDASAR PENGALAMAN EMPIRIS DAN DIDUKUNG DENGAN TEORI DASAR KEUANGAN ISLAM

BAB I PERKEMBANGAN KEUANGAN MIKRO DI INDONESIA

A. PERKEMBANGAN LKM DI ZAMAN PENJAJAHAN

Perkembangan LKM di Indonesia dimulai sejak lebih dari satu abad yang lalu, diawali dengan pendirian Hulp en Spaar Bank Der Inlandsche Bestuurs Amtenaren (juga dikenal dengan nama Bank Priyayi Purwokerto ) oleh Raden Aria Wirjaarmadja pada bulan Desember 1895. Bank tersebut didirikan untuk memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah daerah di Purwokerto, Jawa Tengah. Modal awal dikumpulkan dari orang-orang pribumi dan Eropa di Purwokerto oleh pejabat pemerintah Belanda. Tujuan utaman pendiriannya adalah untuk membebaskan pewagai pemerintah daerah (pribumi Indonesia) dari cengkeraman para rentenir ( terutama dari para kaum pelepas uang keturunan Cina dan Arab ) dan untuk memelihara “semangat persaudaraan dan solidaritas “ diantara

penduduk perkotaan ( Schmit, 1994 yang dikutip oleh Arsyad ). Bank tersebut memberikan pinjaman pada anggota-anggotanya dan memobilisasi dana melalui simpanan dan iuran anggota.

Pada tahun 1897 Pejabat Pemerintah Belanda Sieburgh diganti oleh De Wolffvan Westerrode, yang merupakan pendukung setia kredit pertanian. Dia mengembangkan dan mengorganisasi kembali bank tersebut teruatama dari sektor pertanian, dengan nama yang baru yaitu Poerwokertosche Hulp, Spaar en Landbouwcredietbank ( suharto, 1988 ). Bank baru tersebut terinspirasi oleh dan berdasarkan prinsip-prinsip koperasi pionir kredit Jerman Raiffeisen, antara lain bahwa para peminjam harus menjadi anggota koperasi, peminjam diwajibkan memberikan dua orang penjamin, dan tingkat bunga pinjaman yang jauh dibawah bunga yang ditetapkan oleh para rentenir. Bank tersebut memberikan kredit konsumtif bukan hanya untuk pegawai pemerintah ( pribumi Indonesia maupun Belanda ) tetapi juga untuk orang-orang biasa di Purwokerto. Pendirian kedua bank ini pada akhir abad ke 19 melahirkan ribuan bank desa kecil lainnya beserta jutaan peminjam mikro di Jawa, Madura, Sumatra, Bali, Lombok, dan Manado Pada tahun 1897 Pejabat Pemerintah Belanda Sieburgh diganti oleh De Wolffvan Westerrode, yang merupakan pendukung setia kredit pertanian. Dia mengembangkan dan mengorganisasi kembali bank tersebut teruatama dari sektor pertanian, dengan nama yang baru yaitu Poerwokertosche Hulp, Spaar en Landbouwcredietbank ( suharto, 1988 ). Bank baru tersebut terinspirasi oleh dan berdasarkan prinsip-prinsip koperasi pionir kredit Jerman Raiffeisen, antara lain bahwa para peminjam harus menjadi anggota koperasi, peminjam diwajibkan memberikan dua orang penjamin, dan tingkat bunga pinjaman yang jauh dibawah bunga yang ditetapkan oleh para rentenir. Bank tersebut memberikan kredit konsumtif bukan hanya untuk pegawai pemerintah ( pribumi Indonesia maupun Belanda ) tetapi juga untuk orang-orang biasa di Purwokerto. Pendirian kedua bank ini pada akhir abad ke 19 melahirkan ribuan bank desa kecil lainnya beserta jutaan peminjam mikro di Jawa, Madura, Sumatra, Bali, Lombok, dan Manado

Perkembangan lembaga tersebut mencapai puncak dengan didirikannya Algemene Volkscredietbank ( Bank AVB ) pada tahun 1934 yang didasarkan atas Keputusan Gubernur Jendral Belanda pada tanggal 19 Februari 1934 No. 20 ( Staatsbland No. 82 ) yang kemudian menjadi BRI.

B. PERKEMBANGAN LKM DI ZAMAN KEMERDEKAAN

Perkembangan LKM di masa penjajahan telah memberi inspirasi dan mendorong pendirian dan perkembangan LKM di zaman kemerdekaan.

Masa Orde Lama

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno ( 1945 – 1966 ), terutama dari tahun 1957 – 1965, system keuangan formal sangat dikekang dan hampir mengalami kehancuran sebagai akibat dari kebijakan – kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan Soekarno. Kebijakan – kebijakan tersebut berhasil menghapuskan segala kepemilikan atau keterlibatan orang asing dalam system perbankan dan nasionalisasi bank-bank yang dulu menjadi milik Belanda. Hal tersebut diikuti dengan konsolidasi bank-bank hasil nasionalisasi menjadi sebuah lembaga yang menggabungkan fungsi bank sentral dan komersial. ( Cole & Slade, 1996 ). Pada tahun 1966, krisis ekonomi yang diperparah oleh krisis politik yang menyedihkan, yang mendorong terjadinya transisi yang keras, membawa Jederal Soeharto memperoleh kekuasaannya (Lapenu, 2001 ).

Masa Orde Baru sampai sekarang

Salah satu keberhasilan Presiden Soeharto adalah dalam pendirian sistem keuangan formal, terutama LKM, elemen yang membuat pelayanan tabungan dan kredit dapat diakses secara berkelanjutan oleh sekelompok besar populasi Salah satu keberhasilan Presiden Soeharto adalah dalam pendirian sistem keuangan formal, terutama LKM, elemen yang membuat pelayanan tabungan dan kredit dapat diakses secara berkelanjutan oleh sekelompok besar populasi

Dengan kebijakan keuangan Orde Baru, lembaga dana kredit pedesaan ( LDKP ) didirikan selama periode 1970 ( awal periode pemulihan ekonomi ) sampai tahun 1988, ketika paket reformasi keuangan mencabut larangan bank baru. LDKP ( kebangkitan gerakan bank pedesaan paska penjajahan ) merupaka istilah generik untuk beberapa jenis lembaga kredit dan simpanan kecil yang ada, sesuai dengan daerah masing-masing. Lembaga-lembaga ini diperlakukan sebagai lembaga keuangan non bank.

Pada tahun 1972 Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Sumatera Barat mendirikan beberapa lembaga keuangan non bank yang mereka sebut sebagai lembaga perkreditan kecamatan (LPK) berdasarkan keputusan Gubernur Jawa Barat No. 171 tahun 1972, dan Lumbung Pitih Nagari (LPN) organisasi kredit desa berdasarkan Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 085 tahun 1972. Pada era Soeharto, Pemerintah RI meluncurkan program untuk mencapai kemandirian dalam produksi beras (1969). Pemerintah menggunakan BRI untuk menjalankan kebijakan kreditnya yang oleh pemerintah disebut dengan Program Kredit Bimbingan Masyarakat ( BIMAS ). BRI dibagi menjadi dua jaringan utama yaitu Sistem Unit Desa BRI dan KUD. Pada tahun 1984 BRI mulai menjalankan program baru seperti Kredit Umum Pedesaan (KUPEDES). Pada tahun 1985 diluncurkan sebuah paket instrument simpanan yaitu SIMPEDES dan SIMASKOT. Oktober 1988 pemerintah RI meluncurkan Keputusan Pemerintah tentang Reformasi Perbankan dan Sektor Keuangan yang disebut PAKTO 88.

Salah satu efek penting reformasi pakto 88 adalah munculnya salah satu jenis LKM, yaitu Bank Perkreditan Rakyat ( BPR ).

Indonesia telah mengembangkan keuangan mikro Islam (IMF) yang melayani masyarakat, baik simpanan maupun pembiayaan di Indonesia adalah Baitul Mal wat Tamwil (BMT), istilah lain seperti Baitul Qiradh di Aceh. Lembaga Keuangan Mikro Islam dalam badan hukum Koperasi pertama kali yang

didirikan di Indonesia adalah BMT „Ridho Gusti” pada tahun 1990 di Bandung 1 . BMT terdaftar secara resmi sebagai koperasi keuangan syariah di Departemen

Koperasi Republik Indonesia. Jumlah BMT di Indonesia pada tahun 1995 sebanyak 300 dan pada akhir tahun 1997 telah bertambah menjadi 1.501, lalu tahun 1998 menjadi 2.470 BMT. Tahun 2005 yang terdaftar dalam anggota PINBUK sebanyak 3,037 BMT. Jumlah asset sekitar Rp. 1 triliun dengan jumlah pekerja sebanyak 30.000 orang dan 40%-nya adalah wanita. BMT telah melayani

2 juta penyimpan dan didistribusikan ke pengusaha mikro dan kecil lebih dari 1,5 juta pengusaha mikro. (Aziz, 2000). Prinsip keuangan syariah yang digunakan dalam produk BMT ada dua yang paling utama, yaitu jual beli (murabaha, istisna, bai-salam), Bagi hasil (mudarabah dan musyarakah). Namun yang paling banyak

digunakan adalah murabahah, dibandingkan produk lainnya. 2 Evolusi keuangan mikro Islam di Indonesia, dibagi dalam beberapa

tahap, yaitu 3 : (1) Tahap pertama, Perkenalan : Pendirian Koperasi Syariah pada

tahun 1990. (2) Tahap Kedua, Pertumbuhan yang sangat cepat : berdirinya PINBUK tahun 1995 yang mensponsori dan mensosialisasikan koperasi syariah di Indonesia, tahun 1997 s/d 1998

1 Seibel (2005). Islamic Microfinance in Indonesia, GTZ. Hal. 18.

2 Lihat dalam artikelnya Wahyuni (2007) yang berjudul The Accountability of Islamic Microfinance Institution: Evidence from Indonesia, dalam The first International

Conference on Inclusive Islamic Financial Secgtor Development. Volume 2. 531. 3 Hans Dieter Seibel, Islamic Microfinance The Challenge of Institutional

Diversity . Jurnal ICMIF Takaful. No. 12: October 2007.4

(3) Tahap Ketiga, Pertumbuhan melambat: pasca krisis moneter, tahun 2000 (4) Tahap Keempat, Stagnan dan menurun : tahun 2003

Tabel 2.1. Evolusi Keuangan Islam di Indonesia

No. Fase

Periode

Jumlah

1 Initial growth 1990-1995 300

2 Rapid growth

3 Slowing-down

4 Stagnasi dan penurunan

2856 Sumber : dikutip dari Seibel (2007)

Tiap-tiap negara memiliki karakteristik produk yang berbeda-beda dalam mempraktekkan lembaga keuangan mikro yang berbasis pada prinsip- prinsip keuangan islam. Produk – produk keuangan Islam yang dominan di masing-masing negara yang diuraikan di atas, adalah :

Tabel 2.2 : Mode produk keuangan mikro islam di berbagai negara

Nama Negara Produk

Nama

Berdiri

Keuangan Mikro Lembaga

Tahun

1983 Indonesia

Sudan

Murabaha

Murabaha,

Baitul Maal

Mudarabah, ZIS

wat-Tamwil (BMT)

Sudan

Murabahah

Sudan Islamic 1992 Bank (SIB)

Banglades

Murabaha

Islamic Bank

Bangladesh Limited (IBBL)

1996 Yaman

Malaysia

Rahn

Ar-Rahnu

Murabaha

the Hodeidah 1997 Microfinance Program (HMFP)

Syria

1998 Iran

Murabaha

Sanduq

Murabaha, Ijarah

Al-Taha

Gharzul- Hasanah Fund

Nama Negara Produk

Berdiri Keuangan Mikro Lembaga

Nama

Tahun

Pakistan

Murabaha

Australia

murabaha,

melalui the 2004

musharaka,

Muslim

mudaraba, qord

Community

hasan dan dana

Co-operative

zakat.

Australia Limited (MCCA)

Sumber : Primer diolah dari berbagai artikel Tahun 2000-an, batas antara keuangan mikro tradisional “ sistem

keuangan informal” dengan keuangan mikro modern “ sistem keuangan mikro formal” menjadi terbuka tanpa sekat pemisah yang jelas di antara keduanya. Keuangan mikro sudah menjadi salah satu produk dalam sistem keuangan modern (formal). Awal tahun 2000-an, di Indonesia berdiri unit-unit usaha (divisi) kredit mikro di beberapa Bank Nasional di Indonesia. Bank Mandiri membuka divisi kredit mikro, Bank Danamon mendirikan Danamon Simpan Pinjam, Bank BTPN membuka unit usaha Mikro, dan sebagainya.

PENTINGNYA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

Urgensi Lembaga Keuangan Mikro di tengah-tengah masyarakat kita adalah karena kondisi perekonomian masyarakat kita yang memang membutuhkannya. Ketika masyarakat miskin sulit untuk menjangkau jasa pelayanan keuangan formal (perbankan), padahal mereka sangat membutuhkan modal, media penyimpanan dana, media pengiriman dana (transfer) dan asuransi. Maka keuangan mikro menjadi suatu kebutuhan primer bagi mereka.

Berdasarkan pendapatannya atau tingkat kemampuan finansialnya, struktur masyarakat Indonesia akan membentuk piramida dari paling lemah hingga paling kuat secara finansial. Di bagian paling atas piramida tersebut adalah masyarakat yang memiliki kekuatan finansial, kemudian di level kedua dibawahnya merupakan masyarakat mampu yang terbebas dari masalah finansial, sedangkan di level ketiga merupakan masyarakat menengah yang tidak terganggu dengan masalah finansial. Umumnya masalah finansial tumbuh berkembang di level keempat dimana masyarakatnya merupakan masyarakat biasa yang kadang- kadang mengalami masalah finansial, dan di level kelima atau level terendah dimana masyarakatnya merupakan masyarakat fakir miskin yang akan selalu menghadapi masalah finansial dari sejak lahir hingga maut menjemput.

Dilihat dari proporsinya, populasi masyarakat level bawah ini merupakan populasi terbesar di Indonesia dan ironisnya kelompok ini merupakan kelompok yang nyaris tidak tersentuh jasa pelayanan perbankan walaupun sesungguhnya mereka membutuhkan jasa layanan tersebut. Problem struktural maupun problem teknis usaha merupakan alasan utama yang menyebabkan kelompok ini tidak tersentuh atau tidak mendapatkan pelayanan jasa keuangan dari perbankan.

Problem struktural untuk yang umumnya dihadapi masyarakat fakir miskin adalah permasalahan seperti beragam kebijakan pemerintah berupa peraturan yang Problem struktural untuk yang umumnya dihadapi masyarakat fakir miskin adalah permasalahan seperti beragam kebijakan pemerintah berupa peraturan yang

Bahkan dalam Makalah Dampak Pemberian Kredit Mikro untuk Perempuan (Sulikah Asmorowati , 2009 ), kalangan perempuan tertimpa dua hal sekaligus problem struktural. Pertama beragam kebijakan pemerintah berupa

peraturan yang tidak adil dan sertifikasi kelayakan produk baik di pusat mau-pun daerah, dan peraturan kelembagaan seperti perbankan yang memberi layanan kredit, serta ketidaksetaraan relasi dalam rantai produksi dan perdagangan. Kedua, hambatan struktural yang berkaitan dengan tubuh perempuan, yaitu perempuan merasa kesulitan dalam pengembangan usaha akibat ketimpangan relasi antara perempuan dengan keluarga dan suami di ranah domestik dan di masyarakat.

Sementara problem teknis pengusaha mikro mengalami hambatan yang sama sebagaimana pelaku usaha mikro umumnya, seperti kekurangan modal, keterbatasan penguasaan teknologi tepat guna, terbatasnya jaringan pasar, terbatasnya keterampilan manajemen dan penguasaan ketrampilan teknis produksi.

Hasil survei menemukan beberapa alasan mengapa kalangan perbankan kurang menyentuh kebutuhan layanan jasa keuangan bagi kalangan masyarakat paling bawah, diantaranya:

1. Permintaan layanan jasa keuangan tinggi tetapi produk bank umumnya tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi peminjam.

2. Kesulitan akses, umumnya peminjam berlokasi jauh dari institusi bank.

3. Umumnya biaya transaksi kredit relatif tinggi;

4. Adanya anggapan berlebihan terhadap besarnya resiko kredit pinjaman.

5. Persyaratan bank teknis kurang dipenuhi (agunan, proposal).

6. Monitoring dan penagihan kredit sering tidak efisien, menyebabkan biaya operasional bank.

7. Tingginya biaya pelayanan kredit karena bank harus menyediakan bantuan teknis .

8. Umumnya bank memiliki segmen pasar yang jelas sehingga belum terbiasa dengan pembiayaan kepada UKM masyarakat bawah.

Ringkasnya layanan jasa keuangan perbankan diselenggarakan atas pertimbangan komersial membuat masyarakat bawah sulit memenuhi persyaratan teknis perbankan, terutama soal agunan dan persyaratan administratif lainnya.

Bila layanan jasa keuangan digambarkan dalam bentuk skema, sesungguhya tiap level kelompok masyarakat telah memiliki lembaga keuangan untuk melayani kebutuhan mereka, kecuali untuk masyarakat level paling bawah, yaitu kelompok fakir miskin hampir sebagian besar belum tersentuh layanan jasa keuangan. Bentuk piramida dibawah ini akan menggambarkan level masyarakat dan layanan jasa keuangan yang mereka peroleh:

INTERNASIONAL

Top

SINDIKASI BANK NASIONAL

Atas

BANK BESAR NASIONAL

Menengah

BANK UMUM/ BPR

Bawah

BMT/ KOPERASI

Fakir Miskin

Adanya permintaan layanan jasa keuangan di level terbawah inilah yang menjadi area operasional LKM. Tujuan utama dari pendirian LKM adalah hidup dengan menghidupi masyarakat, selain itu tujuan pendirian LKM diantaranya adalah : pertama masyarakat mampu menolong dirinya sendiri dengan membuka akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan, kedua masyarakat mampu menolong orang lain dengan menciptakan kesempatan yang sama bagi seluruh masyarakat untuk produktif karena belum sepenuhnya sumber daya manusia masyarakat fakir miskin dimanfaatkan untuk bekerja.

MENGAPA PENTING MELAYANI MASYARAKAT FAKIR MISKIN

Dari sisi hak dan kewajiban, ada dua alasan utama, adanya hak masyarakat untuk dilayani dan kewajiban pihak pemangku kepentingan (stakeholder) untuk melayani.

Alasan pertama adalah semua masyarakat memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayanan jasa keuangan, tidak perlu ada diskiriminatif bagi masyarakat fakir miskin karena bukan kemauan mereka untuk hidup miskin, sehingga layanan jasa keuangan juga perlu diberikan bagi mereka. Yang perlu dipertimbangkan adalah layanan jasa keuangan ini harus dapat membuat kehidupan mereka lebih baik, untuk memandirikan dan memerdekakan mereka secara finansial

Adanya pelayanan finansial bagi masyarakat fakir miskin akan membantu mereka untuk meningkatkan kesejahteraannya, Adanya pelayanan jasa kredit mikro memudahkan masyarakat memperoleh modal, yang akan menumbuhkan UMKM dan nantinya berdampak positif pada pertumbuhan usaha-usaha di keluarga miskin agar mandiri, agar pendapatannya meningkat sehingga otomatis taraf hidupnya meningkat.

Peningkatan taraf hidup kelompok masyarakat akan mengeluarkan mereka dari kelompok fakir miskin, berpindah ke golongan masyarakat yang lebih sejahtera. Bila terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga mereka keluar dari level fakir miskin, hal ini akan menambah populasi masyarakat sejahtera. Artinya terbentuk pasar baru bagi kalangan perbankan untuk menawarkan produk-produk mereka. Artinya pelayanan jasa keuangan mikro sesungguhnya menciptakan pasar baru bagi industri perbankan dan turut membantu pertumbuhan dan perkembangan perbankan itu sendiri. Pada akhirnya pengentasan kemiskinan melalui pelayanan jasa keuangan kredit mikro akan membentuk rantai peningkatan taraf hidup masyarkat dan dampaknya juga akan membentuk pasar baru untuk turut mengembangkan industri-industri finansial diatasnya sesuai dan seiring dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat.

Alasan kedua adalah kewajiban, para pemangku kepentingan yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat itu sendiri (tentunya yang sudah sejahtera) wajib

memberikan layanan jasa keuangan bagi kalangan masyarakat fakir miskin. Pemerintah wajib memberikan layanan jasa keuangan bagi masyarakat fakir miskin karena merupakan tanggung jawab negara. Kalangan swasta terutama perbankan wajib memberikan layanan jasa keuangan bagi masyarakat fakir miskin dengan tujuan pengentasan kemiskinan akan membentuk masyarakat yang makmur sejahtera yang juga merupakan pasar bagi produk perbankan. Sedangkan masyarakat yang makmur sejahtera wajib menyediakan layanan jasa keuangan mikro bagi masyarakat fakir miskin karena pengentasan kemiskinan adalah tanggung jawab bersama, membantu masyarakat miskin menolong dirinya sendiri untuk mandiri merupakan tanggung jawab bersama karena bila mereka telah mampu mandiri maka mereka juga akan mampu untuk menolong orang lain. Sebaliknya bila kewajiban memberikan layanan jasa keuangan tidak dilakukan oleh masyarakat makmur sejahtera maka lambat laun biaya sosial yang harus mereka tanggung untuk mendapatkan kedamaian dan keamanan akan semakin meningkat bahkan dapat mengganggu kestabilan tatanan sosial kemasyarakatan itu sendiri.

Persoalannya adalah banyak kalangan yang merasa segan untuk memberikan layanan jasa keuangan mikro bagi masyarakat. Kalangan masyarakat makmur sejahtera umumnya belum merasa pengentasan kemiskinan sebagai kewajiban bagi mereka, kalangan swasta perbankan segan “mencapai” mereka, karena biaya bank (over head cost) yang “terlalu mahal” untuk pembiayaan kecil – kecil dan banyak jumlahnya. Dalam hal ini perlu peran pemerintah sebagai pemberi kemudahan, bukan sebagai penyedia jasa keuangan secara langsung. Pemerintahan nasional memainkan peran penting dalam membentuk lingkungan kebijakan yang mendukung yang mendorong pengembangan jasa keuangan serta melindungi tabungan masyarakat miskin. Langkah-langkah kunci yang bisa ditempuh sebuah pemerintah untuk keuangan mikro adalah mempertahankan stabilitas keuangan makro, menghindari penetapan ambang batas suku bunga, dan menahan diri dari mengubah kondisi pasar dengan berbagai program pinjaman bersubsidi yang rawan akan tunggakan dan tak berkelanjutan.

PROSES PENGENTASAN KEMISKINAN

Pemerintah juga dapat mendukung penyediaan jasa keuangan untuk masyarakat miskin dengan menyempurnakan lingkungan bisnis bagi para pengusaha, membasmi korupsi, dan memperbaiki akses pasar dan infrastruktur. Dalam beberapa situasi istimewa, pendanaan dari pemerintah untuk lembaga-lembaga keuangan mikro yang sehat dan independen bisa dibenarkan manakala dana lainnya tidak tersedia.

Bila dipahami, dapat dikatakan bahwa dengan membuka layanan jasa keuangan bagi golongan masyarakat fakir miskin akan berdampak turut mengentaskan kemiskinan dan akhirnya akan mengembangkan industri perbankan itu sendiri. Dengan kata lain kewajiban pemerintah, kalangan perbankan, dan masyarakat makmur sejahtera untuk melayani masyarakat fakir miskin sesungguhnya akan berdampak positif bagi pengembangan industri perbankan itu sendiri.

Dari sisi konsep supply-demand, sesungguhnya terdapat potensi pasar yang besar sehubungan terbentuknya permintaan mikro kredit dari masyarakat. Adanya pasar atau kebutuhan layanan jasa keuangan mikro juga merupakan peluang bagi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) untuk aktif mengambil pilihan bekerja dan berperan sebagai institusi “alternatif” dalam penyediaan modal usaha bagi keluarga miskin atau kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Kelompok masyarakat yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan formal (bank dan BPR) karena lembaga formal telah berorientasi pasar, bisnis dan mengutamakan keuntungan sehingga menuntut jaminan serta prasyarat lain yang tidak dapat dipenuhi oleh kelompok usaha kecil dan mikro.

Pinjaman dalam bentuk kredit kecil dan mikro merupakan upaya yang tepat dalam menangani dan mengentaskan kemiskinan, mengingat kata kunci pemberdayaan keluarga miskin adalah menjadikannya sebagai wirausaha yang tangguh. Karena itu program subsidi keuangan dengan jenis pinjaman “mikro”, terutama buat masyarakat berkategori miskin tetapi memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor) dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (lower income), adalah insentif sekaligus stimulus hadirnya pelaku ekonomi kecil dan ekonomi mikro yang mandiri. Dengan kredit usaha kecil dan mikro kelak lahir dan berkembang pengusaha-pengusaha kecil diberbagai lapisan masyarakat (utama di pedesaan), yang kemudian bersinergi sebagai produktivitas nasional bersama pelaku ekonomi di sektor lainnya.

BAGAIMANA MELAYANI KEBUTUHAN JASA KEUANGAN BAGI MASYARAKAT FAKIR MISKIN

Mengapa masyarakat miskin? Umumnya karena masyarakat fakir miskin tidak memiliki akses untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya, padahal untuk menjadi manusia mandiri, minimal masyarakat harus memiliki 3 hal yaitu:  Akses terhadap sumber daya alam  Akses terhadap teknik/pengetahuan produksi  Akses terhadap modal kerja

Ketiga hal diatas amat penting karena merupakan modal dasar untuk mengentaskan kemiskinan, bila mereka belum memiliki usaha maka dengan adanya akses kepada 3 hal tersebut membuat mereka dapat membuka yang usaha produktif, untuk mampu memenuhi kebutuhan subsistennya. Bila mereka telah memiliki usaha maka akses kepada 3 hal tersebut diatas akan membuat masyarakat mampu mandiri dan mengentaskan kemiskinannya.

Bila digambarkan dalam bentuk skema, ketersediaan atau akses yang diperlukan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri adalah sebagai berikut :

SDA SDM IPTEK MODAL

Berdasarkan pengalaman studi di beberapa lokasi, umumnya masyarakat fakir miskin dapat mengatasi masalah ketersediaan atau akses terhadap SDA atau IPTEK, tetapi amat sulit untuk membuka akses dan mengatasi masalah ketersediaan finansial. Mengapa hal ini terjadi, karena memang ada diskriminasi untuk masyarakat fakir miskin.

Walaupun mereka memerlukan layanan jasa keuangan, belum banyak LKM yang melayani kebutuhan mereka sehingga mereka beralih kepada layanan jasa keuangan yang disediakan oleh renternir, tengkulak atau yang mereka istilahkan bank keliling. Ironisnya layanan jasa keuangan yang disediakan oleh bank keliling bukan bertujuan untuk menolong peminjam agar mandiri dan mampu menolong orang lain tetapi lebih untuk mengeksploitasi masyarakat, sehingga berapapun jasa layanan keuangan yang diperoleh, masyarakat tetap saja miskin dan tidak mampu menolong dirinya sendiri.

Masyarakat fakir miskin tidak memerlukan pinjaman dalam jumlah besar, mereka lebih memerlukan kredit mikro. Mengapa lebih fokus kepada kredit mikro? Ada beberapa alasan sebaiknya fokus kepada kredit mikro. Alasan pembangunan berbasis manusia ( people centered development ) melalui pendekatan Masyarakat fakir miskin tidak memerlukan pinjaman dalam jumlah besar, mereka lebih memerlukan kredit mikro. Mengapa lebih fokus kepada kredit mikro? Ada beberapa alasan sebaiknya fokus kepada kredit mikro. Alasan pembangunan berbasis manusia ( people centered development ) melalui pendekatan

Mengapa kredit mikro? Menurut Micro-credit Summit 1997, kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil kepada warga yang paling miskin untuk membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri untuk menghasilkan pendapatan yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya (Woller et al., 2001:265). Beberapa kecenderungan dalam program kredit mikro saat ini adalah: 1) lebih banyak ditujukan untuk perempuan, 2) kredit disalurkan pada individu sebagai anggota suatu kelompok, 3) pembayaran kembali bergantung pada ketepatan dan kedisiplinan kelompok (Kabeer, 2001:63). Program mikro kredit seringkali dipandang sebagai obat dari masalah kemiskinan. Program ini tidak hanya dijadikan instrumen agar kelompok miskin mempunyai akses pada lembaga keuangan formal, tapi lebih lanjut telah menjadi suatu gerakan untuk memberdayakan masyarakat miskin, khususnya perempuan, yaitu dalam menanggulangi kemiskinan mereka, memperbaiki kualit as hidup dan mengembangkan kemampuan dan pengetahuan kelompok sasaran untuk berpartisipasi aktif baik secara ekonomi maupun sosial (Rajivan, 2001).

Seperti telah diketahui, investasi dalam bentuk keuangan atau modal adalah sangat penting bagi pembangunan ekonomi. Faktor inilah yang khususnya menjadi penghalang bagi kaum miskin yang punya sedikit atau bahkan tidak punya akses sama sekali terhadap keuangan dan modal. Sementara itu kredit seringkali adalah mata rantai yang hilang bagi keluarga miskin yang mencoba Seperti telah diketahui, investasi dalam bentuk keuangan atau modal adalah sangat penting bagi pembangunan ekonomi. Faktor inilah yang khususnya menjadi penghalang bagi kaum miskin yang punya sedikit atau bahkan tidak punya akses sama sekali terhadap keuangan dan modal. Sementara itu kredit seringkali adalah mata rantai yang hilang bagi keluarga miskin yang mencoba

Untuk mengatasi permasalahan diatas maka program kredit mikro diperlukan, yaitu untuk menyed iakan modal baik ditujukan untuk memulai atau melanjutkan suatu usaha mikro atau kecil sebagai usaha peningkatan pendapatan ( income generating) . Namun kenyataan yang ada selama ini adalah bahwa usaha berskala besar mempunyai akses yang lebih (atau sangat) mudah terhadap kredit perbankan, sementara usaha mikro, terutama yang dijalankan rumah tangga miskin sering harus bangkrut atau bahkan tidak dapat dimulai karena kurangnya akses terhadap kredit.

BAB II LANDASAN FILOSOFIS KEUANGAN MIKRO SYARIAH

Lembaga keuangan adalah lembaga intermediasi yang berfungsi untuk menghubungkan pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana (defisit). Melalui fungsi tersebut bank atau lemabga keuangan sejenis akan mampu untuk menjadi media redistribusi kekayaan bagi suatu wilayah atau negara. Sehingga ekonomi seringkali menjadikan kesehatan perbankan nasional sebagai indikator bagi kesehatan/ kesetabilan ekonomi nasional.

Fungsi intermediasi ini penting, karena pertumbuhan ekonomi sangat tergnatung terhadap adanya investasi, sementara investasi akan terkendala

manakah perbangkan memberlakukan “uang ketet” dengan penerapan marjin yang tinggi atas pembiayaan akan mengepaskan calon debitor dan investor akan mengurungkan niatnya untuk investasi. Hal ini terjadi pada masa awal-awal tahun

2000-an di Indonesia sampai pertengahan 2005, pada tahun 2007 Indonesia mengalami tingkat pertumbuhan tertinggi dalam dekade terakhir dengan sebesar 5,6%, dan pada pertengahan semester tertinggi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi di angka 6,4%.

Angka-angka makro yang dijadikan indikator dalam mengukur keberhasilan ekonomi suatu negara ternyata tidak sepenuhnya benar karena dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi selama ini, disisi lain ternyata tingkat pengangguran juga tinggi, sesuatu yang normal, pertumbuhan yang tinggi seharusnya mampu lowongan pekerjaan baru karena adanya investasi baru tapi di Indonesia terjadi yang selakunya. Dari laporan Bank Dunia dan ADB ditulis bahwa tahun 2004 angka kemiskinan di Indonesia sebesar 17,4% (+ 36 juta jiwa) ketika pertumbuhan ekonomi 4,6%/ tahun, dan pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi Angka-angka makro yang dijadikan indikator dalam mengukur keberhasilan ekonomi suatu negara ternyata tidak sepenuhnya benar karena dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi selama ini, disisi lain ternyata tingkat pengangguran juga tinggi, sesuatu yang normal, pertumbuhan yang tinggi seharusnya mampu lowongan pekerjaan baru karena adanya investasi baru tapi di Indonesia terjadi yang selakunya. Dari laporan Bank Dunia dan ADB ditulis bahwa tahun 2004 angka kemiskinan di Indonesia sebesar 17,4% (+ 36 juta jiwa) ketika pertumbuhan ekonomi 4,6%/ tahun, dan pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi

Analisis sederhana ini menemukan suatu pertanyaan baru, efektifitas pembangunan yang mengejar angka pertumbuhan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia?.

Jika ditinjau dari aspek perbankan sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam menstranformasikan dana tidak berjalan efektif “walaupun dilaporkan oleh

bank Indonesia bahwa perbankan nasional kondisinya “SEHAT” namun perlu di pertanyakan plafond kredit atas pembiayaan” terbesar dari Perbankan Nasional

diberikan kepada siapa?. Sudah pasti bisa diduga, dana luar lari kepada pihak- pihak “pengusaha besar” dinegeri ini, sementara masyarakat miskin hanya bisa menjadi penonton saja. Ada produk “Kredit Usaha Rakyat atau KUR” tapi nyatanya juga tidak bisa

berjalan karena lagi-lagi perbankan membuat persyaratan kredit yang Rigid, sehingga UKM dan masyarakat miskin dianggap tidak Bankable.

Dalam catatan ADB dalam sebuah working paper disebutkan bahwa Indonesia memiliki orang miskin sebanyak 129 juta orang, separoh lebih dari jumlah penduduknya pada tahun 2007 jika tidak ada pendekatna baru dalam isstem perbankan di tanah air, maka bisa dipastikan masalah pengangguran dan

kemiskinan tidak akan berubah dan dunia perbankan berjalan di “jalannya” sendiri, sementara orang miskin” ada di jalan lain.

Pendekatan baru tersebut adalah keuangan Mikro. Keuangan mikro atau microfinance berasal dari micro enter prises finance atau pembiayaan kepada usaha mikro, yang melayani jasa keuangan mikro berupa tabungan, simpanan, pembiayaan, transfer dan asuransi. Standar operasi model-model bank tidak dapat dijadikan sebagai acuan karena karakteristik seharusnya berbeda, dimana Pendekatan baru tersebut adalah keuangan Mikro. Keuangan mikro atau microfinance berasal dari micro enter prises finance atau pembiayaan kepada usaha mikro, yang melayani jasa keuangan mikro berupa tabungan, simpanan, pembiayaan, transfer dan asuransi. Standar operasi model-model bank tidak dapat dijadikan sebagai acuan karena karakteristik seharusnya berbeda, dimana

a. Bentuk jaminan dari tradisional-konvensional ke arah yang lebih fleksibel.

b. Prosedur birokrasi pelayanan diper pendek sehingga lebih cepat (1-3 hari)

c. Persyaratan kreditnya, relatif lebih sedikit

d. Plafonnya relatif lebih kecil Jika perbankan sudah melakukan penyesuaian tersebut harulah “orang

miskin”, dapat mengakses lembaga berupa “Bank”, Cuma di Indonesia ada kendala yuridis, karena bank terikat dengan PBI “benturan bank Indonesia” yang

harus membentuk PPAP (pencadangan penghapusan aktiva produktif) dengan ketentuan tertentu, antara lain jika suatu kredit tidak menggunakan angunan “jaminan” maka bank harus mencadangkan biaya “beban” fisika kreditnya sebesar 100%, artinya bank akan kehialngan dana produktifnya sebesar dana yang dialokasikan kepada debitur “orang miskin” ini. Maka selama peraturan bank

Indonesia tidak dirubah, selama itu pula masyarakat miskin tidak dapat mengakses keuangan di lembaga keuangan formal “Bank” di Indonesia.

Nikmat dalam artikel yang ditulis dalam jurnal “low income houshehold access to financial service” menyatakan bahwa keterbatasan akses keuangan yang

terjadi di masyarakat akan mengakibatkan minimnya pilihan bagi warga dalam menentukan cara kerja dan hidup mereka. Sehingga perluasan kemampuan mengakses jasa keuangan akan berpengaruh secara signifikan terhadap efisiensi alokasi sumber daya dan keuangan, pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita dan redistribusi asset bagi masyarakat banyak.

Untuk menjangkau masyarakat miskin seluas mungkin diperlukan pemahaman terhadap kebutuhan mereka. Orang miskin sering menghadapi Untuk menjangkau masyarakat miskin seluas mungkin diperlukan pemahaman terhadap kebutuhan mereka. Orang miskin sering menghadapi

Ketakutan dan kekhawatiran para Bunker dalam upaya untuk melayani orang miskis sebenarnya tersantahkan dengan adanya bukti empiris yang mengatakan bahwa pengalaman gramen bank membuktikan masalahnya yang semuanya adalah orang-orang miskin memiliki tingkat pengembalian sebesar 99% artinya, hanya 1% yang macet.

Pengalaman di Indonesia, sebenarnya proses dilakukan oleh BRI melalui Badan Kredit Desa dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang ternyata juga sukses dengan tingkat kemacetan di bank 5%. Bahkan dari sisi luasnya jangkauan BRi dianggap berhasil oleh berbagai manca negara.

Ada beberapa lembaga keuangan mikro (LKM) di Indonesia yang dianggap berhasil dalam menerapkan asas-asas keuangan mikro antara lain :

a. Koperasi Mitra Dhuafa (KOMIDA), koperasi ini berdiri tahun 2005 dan saat ini beranggotakan 8.986 orang dengan tingkat kemacetan Cuma 0,18%

b. Koperasi Wanita “Setia” Swadaya koperasi ini memiliki anggota sebanyak 11.998 orang NPLnya + 0,6%

c. Kospin Jasa memiliki anggota 3,177 orang dan beraset 1,1 triliun

d. Yayasan Para Sahabat beranggotakan 54.649 orang Peran lembaga keuangan baik Islam maupun komersional tidak terlalu signifikan dalam pemerataan kesejahteraan masyarakat di Indonesia, namun keberadaan lembaga keuangan alternatif yaitu lembaga keuangan miskin mampu menutup lubang kekurangan yang menganga diantara orang miskin dan lembaga keuangan formal. Berbagai riset tentang dampak layanan jasa keuangan mikro d. Yayasan Para Sahabat beranggotakan 54.649 orang Peran lembaga keuangan baik Islam maupun komersional tidak terlalu signifikan dalam pemerataan kesejahteraan masyarakat di Indonesia, namun keberadaan lembaga keuangan alternatif yaitu lembaga keuangan miskin mampu menutup lubang kekurangan yang menganga diantara orang miskin dan lembaga keuangan formal. Berbagai riset tentang dampak layanan jasa keuangan mikro

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Timohon (2007) mengenai tingkat akses penduduk terhadap jasa keuangan menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang telah berhasil berhubungan Indonesia yang telah berhasil berhubungan dengan bank, untuk mendapatkan jasa layanan baik berupa tabungan, pembiayaan dan jasa keuangan lainnya hanya 40% saja, masyarakat yang tidak dapat mengakses jasa keuangan ini pada umumnya masyarakat urban perkotaan dan masyarakat pedesaan.

Berbeda dengan Malaysia, penduduk Malaysia yang mengakses layanan kelembagaan keuangan sebesar 57%. Lembaga keuangan mikro (UKM) di Malaysia dibentuk dan dioperasikan secara profesional dengan menggunaka prinsip syariah dengan akad yang digunakan adalah Rahn.

Efektifitas peran perbankan di Malaysia kita bisa lihat dari tingkat pengangguran di Malaysia dari tahun 2005 s/d 2008, berkisar antara 3%-3,6% sedangkan tingkat pertumbuhan ekonominya berkisar natara 5,2% s/d 7,1%, sedangkan tingkat inflasi dari tahun 2005-2008 berkisar antara 1,3% s/d 3,8%.

Memperhatikan dari laporan terakhir performance perbankan Malaysia menunjukan NPLnya + 1%, artinya tingkat kemaceatan rendah dan IDR-nya tinggi mendekati angka 100%. Hal ini menunjukkan perbankan di Malaysia cukup efektif dalam memberikan kontribusi terhadap pemerataan kesejahteraan masyarakatnya.

UNIVERSALISME LANDASAN TEOLOGIS KEUANGAN MIKRO SYARIAH

Perkembangan keuangan mikro Islam mengalami proses perjalanan yang panjang sejak Muhammad Saaw yang mewariskan prinsip dan dasar keuangan Islam sbagaimana termaksud dalam kitab suci Al- Qur‟an. Keteladanan Nabi Muhammad SAW dilanjutkan oleh para sahabat dan dilanjutkan oelh pemikir muslim dalam mengembangkan prinsip-prinsip dasar keuangan islam, yang kemudian dipraktekan oleh pemerintahan Islam dalam menjalankan kebijakan bai dibidang keuangan negara maupun keuangan publik.

Beberapa prinsip dasar yang melunsai gerak dan ruang lingkup kegiatan keuangan mikro Islam antara lain :

a. Sumber hukum ekonomi Islam Sumber hukum ekonomi Islam menurut Manun adalah Al-quran, sunnah dan handist, lira dan qiyas.

b. Landasan akhidah (etika) Akhlak dalam kajian ekonomi sering diartikan dengan norma atau etika, al- Tahanawi mendefinisikan etika adalah ilmu tentang kemasyarakat individu atau pengaturan rumah tangga dan masyarakat. Menurut Yusuf Qardawi bahwa Islam juga mengaitkan masalah muamalah dengan etika, yaitu kejujuran, amanah, adil, Ikhlas, silahturahmi dan kasih sayang. Etika tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang muslim.

c. Mode transaksi (akad) Akad dalam transaksi syariah terbagi menjadi dan yaitu akad terbaru dalam akad hijar.

Dasar-dasar keuangan mikro yang dikembangkan dewasa ini dibangun dengan dua lembaga filosofi yaitu (1) Humanity “kemanusiaan”, dan

(2) komersial, dalam hal ini tidak melibatkan unsur-unsur keahlian- spiritualitas”, karena lembaga keuangan mikro yang tumbuh berdiri diatas dasar-dasar kapitalisme. Maka banyak pemikir berpendapat bahwa kelemahan paling mendasar dalam sistem yang dikembangkan mengabaikan terhadap dimensi moral, nilai-nilai sosial dan etika.

Nilai-nilai moral dan etika yang dikembangkan sebagai pijakan dalam keuangan mikro antara lain :

a. Prinsip keadilan (Justice) Salah satu konsep penitng dalam membahas keuangan mikro Islam adalah adanyatujuan magoshidal syariah yang MENEGASKAN BAHWA HUKUM Islam disyariatkan untuk menunjukan dan memelihara maslahat untuk manusia. Primitay maslahat terbagi menjadi 3, yaitu daruriyat, tajiyat dan talasiriyat, sedangkan dari kemeslahatan umat maka setiap ada aturan hukum apa pun jika bertentangan dengan tujuan syariah, yang meliputi perlindungan terhadap (1) keyakinan (agama), (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan dan (5) harta, maka harus ditolak.

b. Prinsip kemitraan (palthership) Dengan dilarangnya riba, maka terbuka bentuk jalinan / keuntungan yang lain dalam bermuamadah. Islam sangat mendornog umatnya untuk bekerjasama dalam menjelaskan usahanya. Ketika seseorang melakukan hubungan kerjasama berarti ada juga pengakuan kesetaraan dalam memandang masing- masing pihak, dalam islam sejak awal telah diajarkan oleh Rasulullah tentang bentuk-bentuk kerjasama ini, antara lain, mundarobah, masyarakat, syairlah, mutera‟ah, masyarakat dan bentuk pengembangan lainnya.

c. Kejujuran (amanah) Kejujuran dalam islam menjadi hal yuang utama, kerusakan, kejahatan dan

bentuk keaktifan lainnya perawal dari ketidak adaan “kejujuran” dalam perilaku manusia.

Keuangan mikro islam bukanlah lembaga dilatropi atau lembaga amal, walaupun dalam prakteknya tetap harus menggunakan prinsip-prinsip maslahat keuangan mikro sebagai mana dipahami bahwa lembaga yang menjalankan kegiatna untuk melayani lembaga yang menjalankan kegiatan untuk melayani jasa keuangan kepada masyarakat miskin harus tetap bisa berlanjut tanpa mengandalkan dana-dana hibah, donor dan sumbangan-sumbangan, tapi dapat menghimpun dana dari masyarakat secara mandiri melalui simpanan dan tabungan.

Sasaran dari pembiayaan keuangan mikro Islam adalah orang miskin, sedangkan orang miskin adalah salah satu bagian dari 8 anggota. Namun orang miskin ini mendapat perhatian khusus dalam kajian fiqih karena “orang miskin” ini secara fiqih memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatna ekonomi yang produktif tetapi tidak ada kesempatan sehingga untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri saja tidak mampu. Dengan adanya modal yang diberikan oleh Sasaran dari pembiayaan keuangan mikro Islam adalah orang miskin, sedangkan orang miskin adalah salah satu bagian dari 8 anggota. Namun orang miskin ini mendapat perhatian khusus dalam kajian fiqih karena “orang miskin” ini secara fiqih memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatna ekonomi yang produktif tetapi tidak ada kesempatan sehingga untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri saja tidak mampu. Dengan adanya modal yang diberikan oleh

Menurut Umar bin Khattab bahwa orang miskin adalah bukan karena tidak memiliki harta tapi miskin miskin karena orang tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka diperlukan lemabga yang memfasilitasi kebutuhan mereka tersebut. Ada suatu riwayat yang menyisahkan tentang tindakan Umar bin

Khattab “ketika Thindun binti Kattab ditolak Abu Siyyan, dia datang kepada Umar dan meminjam uang dari Baitul Mal sebanyak empat ribu dirham untuk

berdagang dan berjanji untuk membayar kembali, maka Umar bin Khatab meminjamkannya olalu Thindun keluar ke daerah Kalb untuk melaukan jual- beli”.

Tindakan Umar Bin Khattab ini memberikan dasar kepada umat setelahnya, bahwa, untuk memberdayakan orang lain yang „kurang mampu secara ekonomi” akan lebih baik kalau bukannya diberi secara cuma-Cuma tapi diberikan pinjaman karena ada tanggung jawab untuk mengembalikan, sehingga mereka bersungguh- sungguh berusaha.

Dalam mempraktekan keuangan mikri Islam ada dua prinsip yang diajarkan oleh para khulaftor masyidin yaitu :

1. Prinsip pemerataan kententraman, dengan diajarkan dipraktekkan oleh Umar Ibn Khattab, dan

2. Prinsip persamaan, yang dipraktekkan oleh Ali ibn Abi Thalib. Prinsip keutamaan menurut Umar bin Khattab adalah bahwa cara pendistribusian dana kepada orang miskin berdasarkan tingkat kebutuhan masing- masing, sehingga manakala terjadi kelebihan dana yang terhimpun di baitul mall harus disimpan untuk sementara waktu sambil menunggu sewaktu-waktu dibutuhkan.

Prinsip persamaan menurut Ali bin Abi Thalib bahwa dana yang dapat terhimpun dari masyarakat berapapun jumlahnya harus dapat disalurkan kembali Prinsip persamaan menurut Ali bin Abi Thalib bahwa dana yang dapat terhimpun dari masyarakat berapapun jumlahnya harus dapat disalurkan kembali

Sebenarnya kedua prinsip tersebut dapat dipergunakan/ dipraktekan dalam keuangan mikro modern, dalam keuangan mikro Islam modern, ada beberapa istilah indikator, antara lain :

1. LDR (Loan to Deposit ratio) Yaitu perbandingan antara dana yang dihimpun (tabungan / deposit) dengan dana yang disalurkan dalam bentuk kredit (pembiayaan). Dalam prinsip ini, seharusnya angka LDR mendekati 100% itu yang ideal, karena artinya dana yang dihimpun dari masyarakat dapta disalurkan secara penuh. Kembali ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan karena dana yang tidak terpakai (idle fund) akan menjadi beban (biaya) bagi lembaga keuangan. Sedangkan kita tahu bahwa perbankan saat ini masih banyak dana yang idle. Maka prinsip pinjaman Ali bin Abi Thalib sangat sesuai.

2. NPL (non Performing loan) Yaitu perbandingan antara dana yang disalurkan (ounstanding) dengan

dana yang macet. Makin tinggi nilai NPL maka makin jelas karena menunjukkan performa kreditnya jelas yaitu pembiayaan/ tingkat pembayaran kembali para nasabah peminjam rendah. NPL tinggi disebabkan karena tidak tepatnya cara pendistribusian dana kepada para debiturnya, antara lain jumlah plafond kredit tidak sesuai dengan kebutuhan peminjam sehingga ketika mendapatkan dana pinjaman dipergunakan tidak sesuai dengna kebutuhan tujuan pinjaman. Ketika jatuh tempo waktu pengembalian nasabah tidak mampu mengembalikan. Hal ini terjadi karena melanggar prinsip Umar yaitu prinisp keutamaan. Prinsip-prinsip dasar yang berawal dari budaya dan terbagi islam tidak ada yang bertentangan dengan asas-asas keuangan modern. Sehingga ketika dana yang macet. Makin tinggi nilai NPL maka makin jelas karena menunjukkan performa kreditnya jelas yaitu pembiayaan/ tingkat pembayaran kembali para nasabah peminjam rendah. NPL tinggi disebabkan karena tidak tepatnya cara pendistribusian dana kepada para debiturnya, antara lain jumlah plafond kredit tidak sesuai dengan kebutuhan peminjam sehingga ketika mendapatkan dana pinjaman dipergunakan tidak sesuai dengna kebutuhan tujuan pinjaman. Ketika jatuh tempo waktu pengembalian nasabah tidak mampu mengembalikan. Hal ini terjadi karena melanggar prinsip Umar yaitu prinisp keutamaan. Prinsip-prinsip dasar yang berawal dari budaya dan terbagi islam tidak ada yang bertentangan dengan asas-asas keuangan modern. Sehingga ketika

1. Pemberian bantuan kepada orang miskin yang didasari belas kasihan dan cuma-cuma tidak akan membantu mereka dari jerat kemiskinan.

2. Setiap bantuan kepada orang miskin harus dilandasai keikhlasan dan bersedia untuk mendampingi (mentoring).

3. Kredit hanya sebagai entry point saja dari serangkaian kegiatan penguatan kepada orang miskin.

KONSEP KEADILAN DALAM KEUANGAN MIKRO SYARIAH

Gagasan Islam tentang keadilan telah dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu dan sebaliknya. Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis dikalangan cendikiawan Islam muncul.

Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiyah, yang akhirnya melahirkan dua madzeb utama teologi dialihfikan Islam yaitu muhtarilah dan asyariyah.

Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi landasan dalam mencapai cita keadilan ekonomi Islam yaitu al-maqorshid al- syadi‟ah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyariatkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat manusia. Konsep ini telah dialami oleh para ulama dan oleh karena itu mereka menformasikan suatu kaidah yang cukup populer “dimana ada maslahat, disana terdapat hukum tuhan” teori maslahat keadilan ini menurut Masdor F.

Masudi sama dengan teori keadilan sosial. Inti dari konsep magashid al-syariah adalah untuk mewujudkan atau menarik manfaat dan manelaah monderat, istilah yang sepadan ialah maslahat, karena penetapan hukum dalam islam kurang bernuasa kepada maslahat.