TESIS PEMBERIAN EFEDRIN 50 MCG KGBB INTR

TESIS PEMBERIAN EFEDRIN 50 MCG/KGBB INTRAVENA PRAINDUKSI DAPAT MENURUNKAN INTENSITAS NYERI DAN MENJAGA STABILITAS HEMODINAMIK PASCAPEMBERIAN PROPOFOL INTRAVENA I G. N. A. PUTRA ARIMBAWA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

TESIS PEMBERIAN EFEDRIN 50 MCG/KGBB INTRAVENA PRAINDUKSI DAPAT MENURUNKAN INTENSITAS NYERI DAN MENJAGA STABILITAS HEMODINAMIK PASCAPEMBERIAN PROPOFOL INTRAVENA

I G. N. A. PUTRA ARIMBAWA NIM 0914108102

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

PEMBERIAN EFEDRIN 50 MCG/KGBB INTRAVENA PRAINDUKSI DAPAT MENURUNKAN INTENSITAS NYERI DAN MENJAGA STABILITAS HEMODINAMIK PASCAPEMBERIAN PROPOFOL INTRAVENA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

I G. N. A. PUTRA ARIMBAWA NIM 0914108102

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 23 Desember 2014

Oleh Tim Penguji Ujian Tesis Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Udayana No. 4503/UN/14.4/HK/2014 tertanggal 23 Desember 2014

Pembimbing I : Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO Pembimbing II : dr. I Md Gede Widnyana, SpAn. M.Kes. KAR Penguji

: 1. dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC

2. dr. I Made Subagiartha, Sp.An, SH, KAKV

3. Dr. dr. I Putu Pramana Suarjaya, SpAn, M.Kes, KMN, KNA

UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastyastu,

Pertama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena hanya atas asung kerta wara nugraha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di Bagian/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

Pada kesempatan ini pula perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua guru, para senior, dan teman-teman sejawat yang telah memberikan masukan, dukungan, dorongan, koreksi, dan nasehat terhadap penulisan tesis dan keseluruhan proses pendidikan spesialis ini hingga selesai.

Kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD, KEMD selaku Rektor Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perkenannya memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialis di Universitas Udayana.

Kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT (K), M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis juga mengucapkan terima kasih yang Kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT (K), M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis juga mengucapkan terima kasih yang

Kepada dr. I Nyoman Semadi, SpB, SpBTKV selaku Ketua TKP-PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes selaku Direktur Utama RSUP Sanglah, penulis menyampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menjalani pendidikan dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar.

Kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS (K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, penulis menyampaikan terima kasih karena telah diberikan kesempatan untuk menjalani program magister pada program studi ilmu biomedik, kekhususan kedokteran klinik (combine degree) program pascasarjana Universitas Udayana.

Kepada Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd. FAACS selaku Ketua Program Magister IlmuBiomedikProgram PascaSarjanaUniversitasUdayana, penulis menyampaikan terima kasih karena telah diberikan kesempatan untuk menjalani program magister pada program studi ilmu biomedik, kekhususan kedokteran klinik (combine degree) program pascasarjana Universitas Udayana.

Kepada dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC selaku Kepala Bagian/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan, dorongan, inspirasi, dan motivasi yang telah diberikan selama penulis mengikuti program pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada dr. Ida Bagus Gde Sujana, SpAn, M.Si selaku Sekretaris Bagian/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan dan semangat yang telah diberikan selama penulis mengikuti program pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO selaku Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif dan Pembimbing I tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas keteladan dan bimbingan yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan tesis dan menempuh program pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada dr. I Made Gede Widnyana, SpAn, MKes, KAR selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif dan Pembimbing II tesis ini, penulis mengucapkan terima kasihdan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan, terobosan, perubahan, dan motivasi yang telah diberikan selama penulis menempuh program pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada Dr. dr. I Putu Pramana Suarjaya, SpAn, M.Kes, KMN, KNA selaku Ketua Litbang Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan, masukan, dan motivasi yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan tesis dan menempuh program pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada semua guru penulis di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana: dr. I Wayan Sukra, SpAn, KIC; dr. Gde Mangku, SpAn, KIC (alm); dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV, SH; dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, SpAn, KAR; Dr. dr. I Wayan Suranadi, SpAn, KIC;dr. I Gede Budiarta, SpAn, KMN; dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn, KAR; dr. Putu Agus Surya Panji, SpAn, KIC; dr. I Wayan Aryabiantara, SpAn, KIC; dr. I Ketut Wibawa Nada, SpAn, KAKV; dr. Dewa Ayu Mas Shintya Dewi, SpAn; dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, SpAn, KAR; dr. I.G.A.G Utara Hartawan, SpAn, MARS; dr. Pontisomaya Parami, SpAn, MARS; dr. I Putu Kurniyanta, SpAn; dr. Kadek Agus Heryana Putra, SpAn; dr. Cynthia Dewi Sinardja, SpAn, MARS; dr. Made Agus Kresna Sucandra, SpAn; dr. Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, SpAn, M.Kes; dr. Tjahya Aryasa EM, SpAn penulis haturkan hormat yang setinggi-tingginya, penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua bimbingan, nasehat, dan dukungannya tanpa mengenal waktu yang telah diberikan selama menjalani program pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada semua senior dan rekan-rekan residen anestesi, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang baik selama penulis menjalani program pendidikan dokter spesialis ini.

Kepada Ibu Ni Ketut Santi Diliani, SH dan seluruh staf karyawan di Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih atas semua bantuannya selama menjalani program pendidikan dokter spesialias ini, kepada semua karyawan, segenap penata anestesi, dan paramedis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu selama proses pendidikan ini.

Kepada dr.I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid selaku pembimbing statistik,penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan dan kesabarannya meluangkan banyak waktu dan pikiran membimbing, mengajarkan, dan mengoreksi statistik untuk penelitian ini.

Tidak lupa penulis ucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh pasien atas kerja sama dan ilmu yang tak ternilai harganya, baik dalam pendidikan maupun penelitian yang penulis lalui selama ini.

Sembah bakti dan ras terima kasih yang tak terhingga penulis sembahkan kepada ayahanda tercinta I Gusti Putu Suratha, Ibunda tercinta Dra. Gusti Ayu Putu Yuliartini istri tercinta dr. Putu Erika Paskarani, S.Ked, dan ananda tersayang

I Gusti Agung Agastya Putra Arimbawa, yang dengan sabar telah mendampingi penulis, dengan penuh pengorbanan, perjuangan, dan selalu memberikan doa, I Gusti Agung Agastya Putra Arimbawa, yang dengan sabar telah mendampingi penulis, dengan penuh pengorbanan, perjuangan, dan selalu memberikan doa,

Akhir kata penulis haturkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, semoga selalu memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pendidikan dan penyusunan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

ABSTRAK PEMBERIAN EFEDRIN 50 MCG/KGBB INTRAVENA PRAINDUKSI DAPAT MENURUNKAN INTENSITAS NYERI DAN MENJAGA FLUKTUASI HEMODINAMIK PASCAPEMBERIAN PROPOFOL INTRAVENA

Propofol adalah salah satu obat yang paling umum digunakan untuk induksi anestesi. Dosis induksi propofol dapat menyebabkan perubahan hemodinamik seperti hipotensi dan bradikardi. Nyeri pada injeksi adalah efek samping lain dari propofol. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek efedrin 50mcg/kbBB pada status hemodinamik dan intensitas nyeri pasca pemberian propofol intravena.

Penelitian ini adalah suatu uji klinis eksperimental paralel.Penapisan subyek menggunakan teknik consecutive samplingdan sebanyak 46 subyek dialokasikan ke dalam kelompok E (efedrin) dan S (salin normal) masing-masing terdiri dari 23 subyek, menggunakan permuted block randomization tersamar ganda.Dilakukan pemasangan kateter vena 18G pada pembuluh darah distal tangan kanan atau kiri subyek.10ml/kg Ringer Laktat diberikan sebelum perlakuan pada masing-masing kelompok. Dilakukan pengukuran status hemodinamik baseline (TDS, TDD, TAR danDJ).Kemudian, pasien menerima salah satu perlakuan : 5ml saline atau 50mcg/kg efedrin yang diencerkandengan dengan larutan salin hingga volume 5ml. Setelah 30detik semua pasien diberikan 2,5mg/kg propofol dengan kecepatan pemberian 1ml/detik. Pasien diminta untuk mengevaluasi nyeri. Profil hemodinamik diperiksa pada 1menit, 3 menit dan 5 menit setelah induksi.

Efedrin mengurangi nyeri pasca pemebrian propofol intravena. Insiden nyeri sedang hingga berat 7,8% pada kelompok efedrin dan 78,3% pada kelompok salin. Tekanan arteri rerata secara signifikan lebih tinggi pada kelompok efedrin padamenit pertama, ketiga dan kelima pascainduksi. Denyut jantung secara signifikan lebih tinggi pada kelompok efedrin pada menit pertama dan ketiga pascainduksi. Tidak ada perbedaan denyut jantung dimenit kelima pascainduksi.

Efedrin dapat mengurangi intensitas nyeri dan dapat menjaga stabilitas hemodinamik pasca pemberian propofol Kata kunci: Efedrin, Propofol, Nyeri, Hemodinamik

ABSTRACT INTRAVENOUS EPHEDRINE 50 MCG/KGBW PREINDUCTION REDUCE THE INTENSITY OF PAIN AND KEEP THE STABILTY OF THE HEMODYNAMIC AFTER 2.5 MG/KGBW OF INTRAVENOUS PROPOFOL

Propofol is one of the drugs most commonly used during induction of anesthesia. The induction dose of propofol can lead to hemodynamic change such as hypotension and bradycardia. Pain on injection is another side effect of propofol. The purpose of this study was to evaluate the effect of ephedrine 50 mch on hemodynamic status and pain on injection of propofol compared to placebo.

This study was an experimental parallel clinical trial. Subjects was screened using a consecutive sampling technique, total of 46 subjects were allocated to group E (ephedrine) and S (normal saline) using a permuted block randomization double-blind. G18 IV catheter inserted in to the distal part of left or ringht of the patient. 10 ml/kg of ringer lactate was administered from each cannulas. The baseline of hemodynamic profile was measured (SBP, DBP, MAP and HR). Then, patients received either of these pretreatment : 5 ml of saline (group S); 50 mcg/kg then dilute in saline until the volume were 5 ml. after 30 seconds all patient wrer administered 2,5 mg/kg of propofol with a rate of 1 ml/second. The patients were asked to evaluate the pain score (verbal rating scale and face pain scale). Hemodynamic profile were measured at 1 minute, 3 minute and 5 minute postinduction.

Ephedrine reduced the pain on injection of propofol. Incidence of moderate to severe pain 8.7% in Ephedrine group compared to 78,3% in saline group. Mean arterial pressure and heart rate were significantly higher in ephedrine group at the first, third and fifth minutes after the induction. The heart rate were significantly higher in ephedrine group at the first and third minutes. There are no differences in heart rate in the fifth minutes after induction.

ephedrine reduce the intensity of pain on injection of propofol and attenuate mean arterial pressure and heart rate reduction after induction using propofol. Key word :Ephedrine, Propofol, Pain, Hemodynamics

DAFTAR SINGKATAN

ASA

: American Society of Anesthesiologist. BB : berat badan.

cAMP : cyclic adenosine monophosphat. DJ

: Denyut jantung. dkk.

: dan kawan-kawan..

G : gauge. IBS

: Instalasi Bedah Sentral. ICU

: Intensive Care Unit. IM

: intramuskular. IMT

: Indeks Massa Tubuh.

IV : intravena. kg/m 2 : kilogram per meter persegi.

KTP : Kartu Tanda Penduduk. LMA

: Laryngeal Mask Airway.. LCT

: Long Chain Trigliseride MCT/LCT

: Medium Chain Trigliseride/Long Chain Trigliseride MAO

: monoamin oksidase. mcg/kgBB

: microgram per kilogram berat badan.

mg : miligram. mg/kgBB

: miligram per kilogram berat badan.

N 2 O : nitrous oxide. NaCl 0,9%

: Natrium Chloride 0,9% ng/mL

: nanogram per mililiter. O 2 : Oksigen.

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat. RL

: Ringer Laktat SD

: Standard Deviation. SIM

: Surat Ijin Mengemudi. TAR

: Tekanan Arterial Rerata. TB

: tinggi badan.

UGD : Unit Gawat Darurat. Vd : Volume distribusi.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Propofol adalah obat anestesi yang banyak digunakan baik oleh ahli anestesi, dokter intensif dan dokter umum yang bertugas di bagian emergensi. Propofol memiliki mula kerja yang cepat, waktu kerja yang pendek dan efek samping yang relatif rendah namun sering menimbulkan nyeri saat penyuntikan selama proses induksi anestesia.

Angka insiden terjadinya nyeri pasca penyuntikan propofol intravena antara 40% hingga 86%. Nyeri yang digambarkan sebagai nyeri tajam atau terbakar hingga nyeri berat. Tingginya insiden nyeri saat penyuntikan intravena yang dihubungkan dengan formula tradisional propofol telah dimasukkan sebagai peringkat ketujuh masalah anestesi modern (Marcario 1999).

Sampai saat ini mekanisme propofol menyebabkan nyeri pasca penyuntikan intravena masih belum jelas. Propofol merupakan bagian dari kelompok fenol yang secara langsung dapat mengiritasi kulit, membrane mukosa dan intima dari pembuluh darah yang akan dengan cepat menstimulasi ujung saraf bebas yang akhirnya menimbulkan respon nyeri (Ambesh SP, 1999).

Ohmiso H, 2005, dalam penelitiannya mengungkapkan terdapat peningkatan yang signifikan kadar bradikinin darah setelah pemberian propofol intravena, Klemen W (1991), mengungkapkan konsentrasi propofol bebas dalam plasma dan Ohmiso H, 2005, dalam penelitiannya mengungkapkan terdapat peningkatan yang signifikan kadar bradikinin darah setelah pemberian propofol intravena, Klemen W (1991), mengungkapkan konsentrasi propofol bebas dalam plasma dan

Propofol dapat menyebabkan suatu kondisi hipotensi dan penurunan laju jantung serta curah jantung yang diikuti oleh suatu penurunan nilai parameter kardiovaskular di bawah nilai baseline. Efek hipotensi yang ditimbulkan oleh propofol menunjukkan terjadinya suatu penurunan resistensi vaskular sistemik atau curah jantung yang disebabkan oleh terjadinya kombinasi antara vasodilatasi arteri dan vena, gangguan mekanisme baroreflek dan penurunan kontraktilitas miokardium. Inhibisi sistem saraf simpatis menjelaskan suatu efek perubahan pada kardiovaskular yang dipicu oleh pemberian propofol, serta adanya pengaruh langsung terhadap vasodilatasi dan efek inotropik negatif juga sedikit mempengaruhinya.

Beberapa metoda telah digunakan untuk mengurangi efek samping nyeri yang ditimbulkan oleh propofol sedangkan untuk mengatasi ketidakstabilan hemodinamik belum terdapat konsensus yang pasti. Beberapa metoda yang telah dilakukan untuk mengurangi nyeri setelah pemberian propofol intravena diantaranya adalah dengan mendinginkan, menghangatkan atau mengencerkan Beberapa metoda telah digunakan untuk mengurangi efek samping nyeri yang ditimbulkan oleh propofol sedangkan untuk mengatasi ketidakstabilan hemodinamik belum terdapat konsensus yang pasti. Beberapa metoda yang telah dilakukan untuk mengurangi nyeri setelah pemberian propofol intravena diantaranya adalah dengan mendinginkan, menghangatkan atau mengencerkan

Lidokain merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengurangi kejadian nyeri pascapemberian propofol intravena. Lee P (2004), pada penelitiannya mengungkapkan pemberian lidokain lebih baik jika dalam pemberiannya dicampur dalam emulsi propofol dibandingkan jika diberikan sebelum pemberian propofol intravena dan dosis yang direkomendasikan adalah

40 mg. Masaki (2003) dalam penelitiannya mengungkapkan penambahan lidokain 20-40 mg pada propofol 200 mg dapat menimbulkan droplet minyak yang menyatakan bahwa larutan tidak kompatibel secara fisika-kimia. Meskipun secara klinis tidak ada bukti terjadinya komplikasi berupa emboli paru setelah pemberian lidokain yang dicampur dengan propofol, disarankan untuk menghindari untuk penggunaan klinis campuran propofol 1% 20 ml dengan lidokain lebih dari 20 mg, kecuali jika diberikan segera setelah campuran obat dibuat.

Sharifnia (2013) dalam penelitiannya mengungkapkan terdapat penurunan tekanan darah sistolik, diastolik dan frekuensi jantung setelah pemberian induksi dengan propofol dicampur dengan lidokain, penurunan tekanan darah sistolik, diastolik dan frekuensi jantung pada pemberian propofol dicampur dengan lidokain sama dengan pemberian propofol tanpa dicampur dengan lidokain.

Pemberian obat golongan opioid juga sering menjadi pilihan untuk mengurangi nyeri akibat pemberian propofol intravena. Picard dan Tramer (2000) dalam penelitiannya mengungkapkan petidin merupakan opioid yang dapat mengurangi nyeri pasca penyuntikan propofol lebih baik jika dibandingkan dengan pemberian fentanyl maupun alfentanyl. Sedangkan Saadawy (2007) mengungkapkan reaksi hipersensitifitas akibat penggunaan pethidine untuk mengurangi nyeri pascapemberian propofol intravena mencapai angka 40%.

Berdasarkan pada hasil penelitian-penelitian diatas, masih diperlukan alternatif obat lain yang dapat untuk mengurangi insiden nyeri dan dapat untuk menjaga kestabilan hemodinamik pascapemberian propofol intravena. Efedrin merupakan salah satu alternatif obat untuk hal tersebut.

Efedrin merupakan simpatomimetik yang sering dipilih digunakan untuk meningkatkan tekanan darah sistemik yang terjadi akibat blokade yang dihasilkan oleh anestesi regional atau hipotensi berhubungan dengan anestesi inhalasi atau intravena. Penggunaan efedrin untuk mengurangi insiden nyeri pascapemberian propofol intravena masih jarang dilakukan (Stoelting, 2007).

Greenberg (1991) mengungkapkan bradikinin menginhibisi keluarnya norepinephrine dari ujung saraf simpatis yang menginervasi arteri pulmonalis dan mesenterika pada anjing. Cheong Mi (2002) dalam penelitiannya mengungkapkan pemberian efedrin dengan dosis 30 mcg/kgBB hingga 70 mcg/kgBB dapat menurunkan kejadian nyeri pascapemberian propofol intravena.

Propofol juga menyebabkan hipotensi setelah pemberian induksi intravena Propofol juga menyebabkan hipotensi setelah pemberian induksi intravena

Efedrin searing digunakan sebagai obat untuk meningkatkan tekanan darah akibat pemberian propofol. Duta V (2012) dalam penelitiannya mengungkapkan pemberian efedrin 0,2 mg/kgBB secara signifikan dapat mencegah penurunan tekanan darah setelah pemberian propofol dibandingkan dengan pemberian cairan kristaloid 20 ml/kg 15 menit sebelum induksi propofol.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah pemberian efedrin 50 mcg/kgBB intravena prainduksi dapat mengurangi intensitas nyeri pascapemberian propofol intravena?

2. Apakah pemberian efedrin 50 mcg/kgBB prainduksi dapat menjaga stabilitas hemodinamik pascapemberian propofol intravena?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mencari alternatif obat untuk mengurangi intensitas nyeri dan dapat menjaga stabilitas hemodinamik pascapemberian induksi propofol

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Untuk mengetahui efektifitas efedrin 50 mcg/kgBB intravena dalam mengurangi intensitas nyeri pascapemberian propofol intravena

2. Untuk mengetahui efektifitas efedrin 50 mcg/kgBB intravena dalam menjaga stabilitas hemodinamik pascapemberian propofol intravena.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Klinis

Efedrin diharapkan dapat mengurangi efek nyeri setelah penyuntikan propofol intravena serta dapat menjaga stabilitas hemodinamik pascapemberian propofol intravena, sehingga efedrin dapat dijadikan sebagai alternatif obat intravena untuk menurunkan intensitas nyeri dan menjaga stabilitas hemodinamik pascapemberian propofol intravena.

1.4.2 Manfaat Pendidikan

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan mengembangkan hasil penelitian-penelitian terdahulu serta dapat menjadi rujukan atau acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Propofol

Propofol (2,6-diisopropylfenol) terdiri dari sebuah cincin fenol dengan dua kelompok isopropil yang berikatan (Gambar 2.6). Propofol tidak larut dalam air, tetapi tersedia sediaan larutan 1 % (10 mg/mL) untuk pemberian intravena, sebagai emulsi minyak dalam air yang mengandung minyak kedelai, gliserol, dan lesitin telur. Riwayat alergi telur bukan merupakan kontraindikasi pemakaian propofol karena sebagian besar alergi telur melibatkan reaksi terhadap putih telur (albumin telur), sedangkan lesitin telur diekstraksi dari kuning telur. Formulasi ini dapat menyebabkan nyeri selama suntikan (jarang terjadi terjadi pada pasien- pasien yang lebih tua) yang dapat dikurangi dengan suntikan awal dengan lidokain atau dengan pencampuran lidokain dengan propofol sebelum suntikan (2 mL lidokain 1% dalam 18 mL propofol) (Morgan dkk., 2006).

Formulasi propofol ini dapat mendukung pertumbuhan bakteri, sehingga teknik sterilitas yang baik harus dilakukan selama persiapan dan penyimpanannya. Pemberian propofol harus sudah dilakukan dalam 6 jam setelah membuka ampul. Formulasi propofol yang ada saat ini berisi 0,005% disodium edetate atau 0,025% sodium metabisulfite untuk membantu memperlambat tingkat pertumbuhan dari bakteri, meskipun demikian, produk tahan bakteri ini masih belum berdasarkan standar United States Pharmacopeia (USP) (Morgan dkk., 20a06).

Gambar 2.1 Struktur kimia propofol (Dikutip dari Morgan dkk., 2006)

Biokimia Propofol (C 12 H 18 O), merupakan golongan fenol yang memiliki sifat stabil secara kimia dan memiliki efek biotoksisitas yang lebih rendah dibandingkan dengan golongan fenol yang lain. Namun, seperti sebagian besar golongan fenol, propofol dapat mengiritasi kulit dan membrane mukosa. Propofol tidak larut dalam air, yang merupakan alasan sediaan komersial yang tersedia berupa emulsi lipid isotonik bukan buffer dengan rentang pH 6,0-9,0 (Tan, 1998) Sediaan

Propofol pada konsentrasi 10-20 mg/ml secara tradisional telah diformulasikan dalam emulsi lemah yang mengandung 10% LCT minyak kedelai, tetapi sejak 1995, propofol juga tersedia secara komersial dalam formula MCT/LCT yang 26-40% lebih rendah kandungannya dibandingkan formula LCT, menyebabkan penurunan 0,2-0,14% dari total konsentrasi (Babl 1995, Yamakage 2005). Memodifikasi komposisi lemak emulsi tidak memiliki efek pada pharmakokinetik dan efikasi propofol (doenicke 1997). Meskipun konsentrasi

LCT dan MCT/LCT, terdapat tendensi elimiasi tigliserida yang lebih cepat pada pemberian formula MCT/LCT dibandingakan LCT (Theilen 2002). Cara Menyiapkan

Propofol harus disiapkan secara asepsis untuk penggunaan segera, untuk mencegah proliferasi mikrobakteri yang cepat setelah kontaminasi bakteri (McHugh 1995). Aktivitas antimikroba dari anestesi lokal yang ditambahkan pada emulsi propofol sebelum pemberian untuk menurunkan nyeri pada tempat injeksi hanya akan membatasi namun tidak mencegah pertumbuhan mikroba pada membrane sel (Ohsuka 1991, Ozer 2002). Farmakokinetik

Konsentrasi propofol dalam darah meningkat dengan cepat setelah pemberian bolus intravena sedangkan peningkatan konsentrasi cerebral lebih lambat. Waktu untuk mencapai efek penurunan kesadaran/tidak sadar ditentukan oleh dosis total yang diberikan

2.1.1 Farmakologi Klinik Propofol

Propofol merupakan obat anestesi intravena yang paling sering digunakan saat ini, baik untuk induksi dan pemeliharaan anestesi maupun untuk sedasi di dalam dan di luar ruang operasi. Propofol digunakan secara luas dalam bidang kedokteran karena efeknya yang menguntungkan bagi pasien-pasien yang menjalani pemulihan anestesia dan insiden mual dan muntahnya yang kecil (Smith dkk., 1994).

Propofol memberikan mula kerja dan akhir kerja yang cepat serta memiliki efek antiemetik (Reves dkk., 2005). Daya larut lipidnya yang tinggi menyebabkan mula kerja yang hampir secepat thiopental (one-arm-to-brain circulation time). Membangunkan pasien setelah dosis bolus tunggal propofol juga cepat karena waktu paruh distribusi awal yang sangat singkat (2-8 menit). Sebagian besar peneliti meyakini pemulihan dari propofol lebih cepat dan disertai dengan rasa tidak nyaman yang lebih sedikit dibandingkan pemulihan dari metoheksital, thiopental, ataupun etomidat. Hal ini membuatnya sebagai suatu obat yang baik untuk pasien anestesi rawat jalan (Morgan dkk., 2006).

Dosis induksi yang lebih kecil direkomendasikan pada pasien-pasien lanjut usia oleh karena volume distribusi (V d ) mereka yang lebih kecil. Wanita bisa memerlukan dosis propofol yang lebih besar daripada laki-laki dan pemulihan kesadarannya lebih cepat (Morgan dkk., 2006). Pada tahun 1981, Major dkk. meneliti 3 dosis induksi anestesia propofol (1,5, 2,0 dan 2,5 mg/kgBB) pada wanita sehat yang menjalani tindakan ginekologi singkat. Mereka menemukan bahwa 3 pasien dengan dosis 1,5 mg/kgBB dan satu pasien dengan dosis 2 mg/kgBB tidak mengalami kehilangan kesadaran, namun semua pasien mengalami kehilangan kesadaran dengan dosis 2,5 mg/kgBB. Durasi rata-rata untuk mulainya kehilangan kesadaran adalah 47,4 detik pada kelompok 1,5 mg/kgBB, 39,9 detik pada kelompok 2 mg/kgBB dan 38,2 detik pada kelompok 2,5 mg/kgBB. Insiden apneu yang tampak nyata secara klinis adalah 4, 7 dan 12 pasien pada masing-masing kelompok 1,5, 2, 2,5 mg/kgBB. Perubahan Dosis induksi yang lebih kecil direkomendasikan pada pasien-pasien lanjut usia oleh karena volume distribusi (V d ) mereka yang lebih kecil. Wanita bisa memerlukan dosis propofol yang lebih besar daripada laki-laki dan pemulihan kesadarannya lebih cepat (Morgan dkk., 2006). Pada tahun 1981, Major dkk. meneliti 3 dosis induksi anestesia propofol (1,5, 2,0 dan 2,5 mg/kgBB) pada wanita sehat yang menjalani tindakan ginekologi singkat. Mereka menemukan bahwa 3 pasien dengan dosis 1,5 mg/kgBB dan satu pasien dengan dosis 2 mg/kgBB tidak mengalami kehilangan kesadaran, namun semua pasien mengalami kehilangan kesadaran dengan dosis 2,5 mg/kgBB. Durasi rata-rata untuk mulainya kehilangan kesadaran adalah 47,4 detik pada kelompok 1,5 mg/kgBB, 39,9 detik pada kelompok 2 mg/kgBB dan 38,2 detik pada kelompok 2,5 mg/kgBB. Insiden apneu yang tampak nyata secara klinis adalah 4, 7 dan 12 pasien pada masing-masing kelompok 1,5, 2, 2,5 mg/kgBB. Perubahan

2.1.2 Efek Pada Sistem Organ

Kardiovaskular Efek mayor propofol terhadap sistem kardiovaskular adalah penurunan tekanan darah arteri akibat penurunan drastis tahanan pembuluh darah sistemik (inhibisi aktivitas vasokonstriktor simpatik), kontraktilitas jantung, dan preload. Hipotensi yang terjadi lebih berat dibandingkan dengan thiopental, tetapi umumnya dipulihkan oleh rangsangan akibat laringoskopi dan intubasi.

Propofol dapat diberikan pada pasien dengan penyakit jantung koroner dengan monitoring dan supervisi ketat. Dosis induksi normal akan menurunkan tekanan darah sistolik (Coates 1985) dengan efek bervariasi pada laju denyut jantung dan juga dapat menurunkan curah jantung (Coates 1987). Propofol juga pernah dilaporkan mempengaruhi reflek baroreseptor yang dapat menyebabkan penurunan laju denyut jantung selain menurunkan tekanan darah sistolik (Cullen 1987) dan memiliki efek minimal pada fungsi dan hepar (Robinson 1985, Stark 1985). Faktor-faktor yang memperburuk hipotensi antara lain dosis pemberian yang besar, suntikan cepat, dan umur tua. Propofol dengan jelas mengganggu respon normal baroreflek arterial terhadap hipotensi, khususnya pada keadaan normokarbia atau hipokarbia (Morgan dkk., 2006).

Induksi anestesia dengan propofol telah menunjukkan efek terhadap Induksi anestesia dengan propofol telah menunjukkan efek terhadap

Waktu paling kritis terjadinya bradikardia dan hipotensi saat anestesia adalah segera setelah induksi dan sebelum intubasi trakeal, saat tercapainya efek puncak obat-obat induksi anestesia dengan stimulasi yang minimal (Masjedi dkk, 2014). Penurunan drastis preload, yang dapat menyebabkan bradikardia yang diperantarai oleh refleks vagal, jarang terjadi. Perubahan pada denyut jantung dan curah jantung biasanya bersifat sementara dan tidak signifikan pada pasien yang sehat, tetapi dapat berubah menjadi sangat berat sampai terjadi asistole, terutama pada pasien-pasien dengan usia ekstrim, dalam terapi kronotropik negatif, atau sedang dalam tindakan operasi yang berhubungan dengan reflek okulokardiak (Morgan dkk., 2006).

Pasien dengan gangguan fungsi ventrikel dapat mengalami penurunan curah jantung yang drastis sebagai akibat penurunan tekanan pengisian ventrikel dan kontraktilitas. Meskipun konsumsi oksigen miokard dan aliran darah koroner Pasien dengan gangguan fungsi ventrikel dapat mengalami penurunan curah jantung yang drastis sebagai akibat penurunan tekanan pengisian ventrikel dan kontraktilitas. Meskipun konsumsi oksigen miokard dan aliran darah koroner

Menurut Aun dan Major (1984), pada kondisi tanpa disertai penyakit kardiovaskular, dosis induksi 2-2,5 mg/kgBB menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 25 sampai 40%. Begitu juga tampak pada tekanan arterial rerata dan tekanan darah diastolik. Reich dkk. (2005) mendapatkan 9% pasien mengalami hipotensi berat 0 sampai 10 menit setelah induksi anestesi umum.

Penurunan tekanan arterial berkaitan dengan penurunan curah jantung/indeks jantung (15%), indeks volume sekuncup (20%), dan tahanan pembuluh darah sistemik (15-25%) (Prys-Roberts dkk., 1983; Coates dkk., 1987). Indeks kerja sekuncup ventrikel kiri juga mengalami penurunan (30%) (Claeys dkk., 1988). Penurunan tekanan darah sistemik setelah dosis induksi propofol tampaknya disebabkan oleh vasodilatasi dan depresi miokard. Kedua efek tersebut tergantung pada dosis dan konsentrasi plasma (Pagel dan Warltier, 1993). Efek vasodilatasi propofol disebabkan oleh penurunan aktivitas simpatis (Ebert dkk., 1992) dan efek langsung mobilisasi kalsium intraselular otot polos (Xuan dkk., 1996).

Duta V (2012) dalam penelitiannya mengungkapkan pemberian efedrin 0,2 mg/kgBB secara signifikan dapat mencegah penurunan tekanan darah setelah pemberian propofol dibandingkan dengan pemberian cairan kristaloid 20 ml/kg 15 menit sebelum induksi propofol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Singh V (2005) yang menyatakan pemberian efedrin 10-20 mg dapat menumpulkan respon hipotensi yang diakibatkan oleh pemberian bolus induksi

Respirasi Seperti barbiturat, propofol merupakan suatu depressant pernapasan yang dalam, yang biasanya menyebabkan apneu setelah dosis induksi. Sebagian besar studi menunjukkan propofol menyebabkan depresi respirasi yang menurunkan laju respirasi begitu juga volume tidal (Goodman 1987). Bahkan ketika digunakan untuk pemberian sedasi dengan dosis subanestesi, propofol menghambat hypoxic ventilatory drive dan menekan respon normal terhadap hiperkarbia. Depresi reflek jalan nafas atas yang diinduksi oleh propofol lebih baik daripada thiopental dan terbukti sangat menolong selama intubasi atau insersi LMA tanpa pemakaian pelumpuh otot. Meskipun propofol dapat menyebabkan pelepasan histamin, induksi dengan propofol dapat menyebabkan timbulnya wheezing pada penderita asma maupun bukan asma, dengan angka kejadian yang lebih rendah dibandingkan dengan barbiturat atau etomidat, dan hal ini tidak dikontraindikasikan pada pasien-pasien yang menderita asma (Morgan dkk., 2006). Serebral

Seperti barbiturate, propofol terikat dengan reseptor GABA tapi juga memiliki mekanisme kerja melibatkan berbagai reseptor protein. Efek cerebralnya adalah hipnotik dan mungkin juga analgetik (Canavero 2004, Zacny 1996). Pada Pasien dengan patologi intrakranial, propofol seperti kebanyakan agen induksi

anestesi, menurunkan CBF, Meningkatkan CVR dan menurunkan CMRO 2 (Vandesteene 1988, Stephan 1987).

Propofol mengurangi aliran darah serebral dan tekanan intrakranial. Pada pasien-pasien dengan tekanan intrakranial yang meningkat, propofol dapat menyebabkan penurunan kritis tekanan perfusi serebral (<50 mmHg), kecuali jika dilakukan tindakan untuk menopang tekanan arterial rerata. Propofol dan thiopental bisa memberikan derajat proteksi serebral yang sama selama iskemia fokal.

Yang unik dari propofol adalah efek anti gatalnya. Efek antiemetiknya (memerlukan konsentrasi propofol 200 ng/mL dalam darah) membuat propofol sebagai obat yang lebih disukai untuk pasien anestesi rawat jalan. Induksi kadang- kadang disertai oleh gejala eksitasi seperti kejang otot, gerakan spontan, opistotonus, atau cegukan, mungkin akibat terjadinya antagonis glisin subkortikal. Meski reaksi-reaksi ini kadang-kadang bisa menyerupai kejang tonik –klonik, propofol tampaknya secara predominan memiliki efek anti kejang (dengan kata lain, menekan lonjakan), yang berhasil digunakan untuk mengakhiri status epileptikus, dan dapat dengan aman diberikan pada pasien epilepsi. Propofol menurunkan tekanan intraokular. Toleransi tidak terjadi setelah pemberian propofol jangka panjang (Morgan dkk., 2006).

2.2 Nyeri Propofol

2.2.1 Tanda Klinis dan Kejadian

Pemberian injeksi propofol intravena menyebabkan nyeri pada tempat penyuntikan, angka insidennya bervariasi kurang dari 10% pada fossa antecubiti hingga 90% pada vena di punggung tangan (Scott 1988, Stark 1985, Johnson

Nyeri sering dilaporkan sebagai nyeri berat hingga nyeri yang tidak bisa ditoleransi. Angka insiden yang tinggi sering dihubungkan dengan formula LCT dan telah ditempatkan oleh ahli anestesi sebagai rangking ketujuh masalah anestesi modern (Marcario, 1999). Angka kejadian thrombosis atau phlebitis setelah pemberian intravena dilaporkan kurang dari 1% (Stark 1985)

2.2.2 Mekanisme

Mekanisme pasti timbulnya nyeri pada tempat penyuntikan intravena propofol masih belum diketahui secara pasti. Nyeri vascular segera setelah penyuntikan propofol intravena sering dihubungkan dengan efek iritasi langsung obat terhadap pembuluh darah (Tan 1998) dengan menstimulasi reseptor nosiseptif pada pembuluh darah atau ujung saraf bebas dengan transmisi sentral impuls saraf oleh serat A delta yang kecil (Erickson 1998). Efek ini mungkin diasosiasikan dengan konsentrasi propofol bebas (Doenicke 1996).

Nyeri yang disebabkan oleh pemberian propofol diduga diakibatkan oleh aktivasi sistem kinin dan kalikrein, yang menginduksi dilatasi vena dan hiperpermeabilitas pembuluh darah yang dapat menyebabkan kontak dengan ujung saraf bebas di dinding pembuluh darah yang akhirnya menyebabkan nyeri (Nishiyama 2005). Konsentrasi bradikinin yang tinggi didapatkan pada darah yang bercampur dengan propofol LCT atau MCT/LCT dibandingkan dengan darah yang bercampur dengan salin (Ohmizo 2005). Prostanoid yang merupakan prostaglandine E2, dilepaskan ke plasma setelah pemberian intravena propofol pada tikus (Ando 2005). Pemberian inhibitor prostaglandin telah dilaporkan dapat

Faktor yang menentukan intensitas dan kejadian nyeri pasca pemberian propofol intravena selain konsentrasi propofol bebas juga telah dikemukakan, seperti umur pasien, tempat penyuntikan, ukuran pembuluh darah vena, temperature, pH dari sediaan, kecepatan penyuntikan dan cairan yang menyertai.

2.2.3 Teknik untuk Menurunkan Kejadian Nyeri

Modifikasi komposisi obat Propofol dengan emulsi lemak yang lebih rendah, Ampofol, megandung minyak kedelai 50% lebih rendah memiliki potensiasi yang baik untuk kepentingan sedasi intraoperatif tetapi mengakibatkan nyeri yang lebih berat dibandingkan dengan sediaan LCT (Song, 2004). Penggunaan propofol bebas lemak, Cleofol, digunakan secara klinis di India menurunkan risiko kontaminasi bakteri dibandingkan emulsi LCT (Sosis,1993, Ozer, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Dubey, 2005 menunjukkan insiden nyeri yang lebih tinggi hingga dua kali dibandingkan dengan sediaan propofol LCT.

Obat baru yang larut air, GPI 15715, dihidrolisis untuk melepaskan propofol, telah diperiksa keamanannya, tolerabilitas, farmakokinetik dan farmakodinamik kliniknya dan dilaporkan menyebabkan kejadian nyeri yang lebih rendah (Fechner, 2003). Dua dari Sembilan subjek penelitian merasakan nyeri terbakar yang tidak nyaman saat penyuntikan intravena. Propofol dengan partikel lemak yang lebih kecil, Anepol (Abbot), telah dilaporkan memiliki kejadian nyeri yang lebih rendah dibandingkan dengan propofol LCT, meskipun tidak terdapat perbedaan signifikan pada kejadian nyeri berat.

Terdapat penurunan kejadian nyeri pada pemberian sediaan propofol dengan suhu 4 0

C (McCrirrick, 2005). Konsentrasi obat bebas pada sediaan MCT/LCT tidak mengalami perubahan, namun terdapat peningkatan pada sediaan LCT. Mendinginkan propofol dapat menginhibisi system kinin-kalikrein dan transmisi nyeri dari ujung saraf bebas. Mendinginkan propofol tidak mempengaruhi konsentrasi propofol bebas (Yamakage, 2005) Menghangatkan sediaan

Menghangatkan propofol hingga suhu tubuh sebelum pemberian secara signifikan menurunkan konsentrasi propofol bebas pada sediaan propofol LCT maupun MCT/LCT (Yamakage, 2005). Lingkungan yang hangat akan memicu pertumbuhan bakteri pathogen pada sediaan yang tidak mengandung agen bakteristatik (Sosis 1993, Sosis 1995). Pada satu studi metaanalisis, baik proses mendinginkan maupun menghangatkan tidak memiliki efek signifikan pada nyeri saat penyuntikan propofol intravena (Picard, 2000). Mengasamkan sediaan

Mengasamkan sediaan propofol dilaporkan menurunkan konsentrasi propofol bebas dengan efek nyeri yang lebih ringan pada tempat penyuntikan intravena tanpa adanya penurunan potensi anestesi (Yamakage, 2005). Dilution of formula Mengencerkan sediaan

Mengencerkan propofol LCT baik dengan dekstrosa 5% maupun emulsi lemak 10% menurunkan konsentrasi propofol dan dilaporkan berhubungan Mengencerkan propofol LCT baik dengan dekstrosa 5% maupun emulsi lemak 10% menurunkan konsentrasi propofol dan dilaporkan berhubungan

Penambahan darah pada emulsi propofol telah dilaporkan sama efektif dengan penambahan lidokain untuk menurunkan kejadian nyeri pada tempat penyuntikan intravena (McDonald, 1996)). Penjelasan yang mungkin untuk keadaan ini adalah kelarutan darah dan lemak menurunkan konsentrasi propofol bebas atau sebagai larutan penyangga sediaan propofol. Filtrasi sediaan

Pemberian propofol melalui mikrofilter (0,2 μm) telah dilaporkan dapat menurunkan insiden dan intensitas nyeri pada tempat penyuntikan intravena (Davies, 2002). Penggunaan mikrofilter 5 μm tidak menurunkan insiden dan intensitas nyeri (Hellier, 2003). Mekanisme untuk menjelaskan hal ini mash belum jelas. Lokasi penyuntikan

Kejadian nyeri pada injeksi intravena propofol berkisar antara 25-90% pada vena yang berlokasi pada punggung tangan (Scott 1988,Stark 1985, Johnson 1990, McCulloch 1985) dan 3-36% pada lokasi yang lebih proksimal pada ekstremitas atas ((Scott 1988,Stark 1985, Johnson 1990, McCulloch 1985). Menginjeksi propofol pada vena besar relatif mudah, reliable dan aman untuk menurunkan insiden nyeri pasca pemberian propofol intravena. Meskipun mekanisme pastinya belum diketahui, efek dilusi (pengenceran) menyebabkan penurunan kontak antara Kejadian nyeri pada injeksi intravena propofol berkisar antara 25-90% pada vena yang berlokasi pada punggung tangan (Scott 1988,Stark 1985, Johnson 1990, McCulloch 1985) dan 3-36% pada lokasi yang lebih proksimal pada ekstremitas atas ((Scott 1988,Stark 1985, Johnson 1990, McCulloch 1985). Menginjeksi propofol pada vena besar relatif mudah, reliable dan aman untuk menurunkan insiden nyeri pasca pemberian propofol intravena. Meskipun mekanisme pastinya belum diketahui, efek dilusi (pengenceran) menyebabkan penurunan kontak antara

Pemberian intravena yang perlahan saat induksi anestesi dilaporkan meningkatkan insiden nyeri setelah pemberian propofol intravena (Scott, 1988), dan pemberian propofol dengan cepat dilaporkan menurunkan insiden nyeri (Shimizu, 2005). Penjelasan untuk keadaan ini adalah laju pemberian berhubungan dengan kecepatan induksi anestesi. Pemberian propofol secarah perlahan memperpanjang waktu induksi sehingga memicu nyeri pada pasien yang masih dalam kondisi sadar. Sebaliknya, pemberian intravena yang cepat mungkin menurunkan risiko nyeri sedang hingga berat sebelum pasien tidak sadar.

2.2.4 Obat untuk mengurangi nyeri propofol

Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengurangi atau mencegah nyeri pada tempat penyuntikan propofol. Beberapa hal yang sering dilakukan adalah dengan menambahkan obat hipnotik, analgetik, anti inflamasi atau obat anestesi lokal. Lidokain

Lidokain merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengurangi kejadian nyeri pasca pemberian propofol intravena. Lee P (2004), pada penelitiannya mengungkapkan pemberian lidokain lebih baik jika dalam pemberiannya dicampur dalam emulsi propofol dibandingkan jika diberikan sebelum pemberian propofol intravena dan dosis yang direkomendasikan adalah

40 mg.

Masaki (2003) dalam penelitiannya mengungkapkan penambahan lidokain 20-40 mg pada propofol 200 mg dapat menimbulkan droplet minyak yang menyatakan bahwa larutan tidak kompatibel secara fisika-kimia. Meskipun secara klinis tidak ada bukti terjadinya komplikasi berupa emboli paru setelah pemberian lidokain yang dicampur dengan propofol, disarankan untuk menghindari untuk penggunaan klinis campuran propofol 1% 20 ml dengan lidokain lebih dari 20 mg, kecuali jika diberikan segera setelah campuran obat dibuat.

Sharifnia (2013) dalam penelitiannya mengungkapkan terdapat penurunan tekanan darah sistolik, diastolik dan frekuensi jantung setelah pemberian induksi dengan propofol dicampur dengan lidokain, penurunan tekanan darah sistolik, diastolik dan frekuensi jantung pada pemberian propofol dicampur dengan lidokain sama dengan pemberian propofol tanpa dicampur dengan lidokain. Thiopental

Tiopental dapat mengurangi nyeri saat pemberian propofol belum diketahui dengan jelas namun dapat melibatkan beberapa mekanisme. Pertama, sifat fisik alkali thiopental dan kelarutannya dalam lemak dapat mengurangi konsentrasi propofol yang bebas pada tempat penyuntikan (Klement 1991).

Hal kedua, pemberian dosis subanestesi thiopental mungkin menginhibisi persepsi nyeri (Anker-Moller 1991). Thiopental juga mungkin memblokade pelepasan bradikinin, yang dapat menyebabkan dilatasi dan hiperpermeabilitas vena yang memicu paparan propofol bebas terhadap saraf tepi pada endovascular yang dapat memicu nyeri (Scott, 1988)

Ketamin resemik memiliki efek hipnotik dan analgetik. Angka insiden nyeri pasca pemberian propofol dapat dikurangi hingga 30% dengan pemberian ketamin 5-10 mg (Koo, 2006). Sebagai antagonis reseptor NMDA tidak kompetitif, ketamin memblokade reseptor NMDA di sistem saraf pusat dan di perifer. Lebih lanjut, farmakodinamik ketamin yang dapat menyebabkan pelepasan noradrenalin dapat juga berperan.

Ketamin diharapkan dapat mengurangi nyeri pasca pemberian propofol intravena dan dapat menjaga stabilitas hemodinamik karena efek simpatomimetiknya. Seung W K (2006) pada penelitianya mengungkapkan ketamin dosis rendah (100 mcg/kgBB) dapat menurunkan insiden nyeri pasca pemberian propofol secara intravena, namun pada penelitian ini juga disebutkan terdapat 11 dari keseluruhan 30 sampel yang menerima dosis ketamin 50 mcg/kgBB mengalami sedasi ringan hingga sedang. Kondisi ini dapat mengaburkan penilaian derajat nyeri pada sampel. Opioids

Opioid merupakan analgetik yang dimediasi oleh reseptor sentral. Field, 1980, telah mengkonfirmasi bahwa terdapat juga reseptor opiod di perifer. Pemberian petidin 40 mg dengan penggunaan tourniquet selama 1 menit memilik efek setara dengan lidokain 60 mg untuk mengurangi nyeri pasca pemberian propofol (1998). Terdapat efek samping berupa reaksi hipersensitifitas terhadap pethidin. Sedangakan efek morfin dan fentanyl untuk mengurangi nyeri pasca pemberian propofol secara statistik tidak signifikan (Wrench 1996).

Pemberian obat golongan opioid juga sering menjadi pilihan untuk mengurangi nyeri akibat pemberian propofol intravena. Picard dan Tramer (2000) dalam penelitiannya mengungkapkan petidin merupakan opioid yang dapat mengurangi nyeri pasca penyuntikan propofol lebih baik jika dibandingkan dengan pemberian fentanyl maupun alfentanyl. Sedangkan Saadawy (2007) mengungkapkan reaksi hipersensitifitas pada kulit akibat penggunaan pethidine untuk mengurangi nyeri pasca pemberian propofol intravena mencapai angka 40%. Obat Anti Inflamasi Bukan Steroid

Terdapat kontroversi penggunaan NSAID untuk mengurangi nyeri pasca pemberian propofol karena NSAID sendiri menyebabkan nyeri pada tempat penyuntikan. Meskipun mekanisme nyeri yang dipicu pemberian propofol masih belum jelas, kinin mungkin terlibat (scott 1988). Oleh karena itu, NSAID mungkin mengurangi nyeri dengan cara menginhibisi sintesis prostaglandin dan atau mempengaruhi kaskade kinin.

2.3 Efedrin

Efedrin merupakan non-katekolamin sintetik yang bekerja tidak langsung menstimulasi reseptor alfa dan beta adrenergik. Efek farmakologi pada obat ini berhubungan dengan pelepasan norepinefrin endogen (aksi tidak langsung), tetapi obat juga memiliki efek stimulan langsung pada reseptor adrenergik (aksi langsung) (Stoelting dan Hillier, 2006). Struktur kimia efedrin ditunjukkan pada

Gambar 2.2 Struktur kimia efedrin (Dikutip dari Stoelting dan Hillier, 2006)

Dokumen yang terkait

KARAKTERISTIK PAVING BLOCK FINE COARSE AGREGAT (FCA) DENGAN PEMBERIAN VARIASI PRESSING PADA PROSES PEMBUATANNYA (Studi Penelitian)

0 67 2

ANALISIS EFEKTIFITAS PEMBERIAN TERAPI CAIRANUNTUK GANGGUANKESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADAAN.Z DENGAN GASTROENTERITIS AKUT DI RUANG EMPU TANTULAR RSUD KANJURUHAN KEPANJEN KABUPATEN MALANG

0 53 22

PERAN PERAWAT DALAM IMPLEMENTASI KOLABORATIF PEMBERIAN TERAPI INSULIN SEBAGAI TINDAKAN DALAM PENURUNAN KADAR GULA DALAM DARAH PADA KLIEN DENGAN HIPERGLIKEMI DI RUANG AIRLANGGA RSUD KANJURUHAN KEPANJEN TAHUN 2012

1 55 23

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) SEBAGAI ADJUVAN TERAPI CAPTOPRIL TERHADAP KADAR RENIN PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI

37 251 30

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

“PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI DOSIS JUS JERUK MANIS (Citrus sinensis) TERHADAP KADAR GSH (Glutation sulfhidril) HATI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIPAPAR ASAP ROKOK”

1 35 1

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

PENGARUH PEMBERIAN KUNYIT DAN TEMULAWAK MELALUI AIR MINUM TERHADAP GAMBARAN DARAH PADA BROILER

12 105 39

EFEK KEMOPREVENTIF PEMBERIAN INFUSA DAUN SIRSAK (Annona muricata L.) PADA EPITEL DUKTUS JARINGAN PAYUDARA TIKUS BETINA GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIINDUKSI SENYAWA 7,12-DIMETHYLBENZ[A]ANTHRACENE (DMBA)

1 60 56

PENGARUH PEMBERIAN JINTAN HITAM (Nigella sativa) TERHADAP RESPON IMUN NON-SPESIFIK KAKAP PUTIH (Lates calcarifer B.) YANG DIINFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

4 47 55