KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : TENTANG RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN NASIONAL 2012 - 2031 KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL JAKARTA, OKTOBER 2012

www.djlpe.esdm.go.id

SAMBUTAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Sesuai amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan bahwa Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). RUKN ini berisikan tentang kebijakan ketenagalistrikan nasional, arah pengembangan penyediaan tenaga listrik ke depan, kondisi kelistrikan saat ini, rencana kebutuhan dan penyediaan tenaga listrik untuk kurun waktu dua puluh tahun ke depan, potensi sumber energi primer di berbagai provinsi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik serta kebutuhan investasinya.

Dalam penyusunannya, RUKN ini telah memperhatikan Kebijakan Energi Nasional (KEN), mengikutsertakan Pemerintah Daerah dan telah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sesuai amanat Pasal 7 Undang-undang Nomor

30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan sebelum ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Selanjutnya, RUKN yang telah ditetapkan ini menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah dalam penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) dan bagi pelaku usaha penyediaan tenaga listrik dalam menyusun Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Sesuai dengan perkembangan penyediaan tenaga listrik, RUKN ini akan dimutakhirkan secara berkala setiap tahun, sehingga masukan seluruh stakeholder sektor ketenagalistrikan sangat diperlukan untuk penyempurnaan penyusunan RUKN selanjutnya.

Jakarta, Oktober 2012 Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral,

Jero Wacik

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Data Potensi Sumber Energi Lampiran II : Target Rasio Elektrifikasi Lampiran III : Peta Jaringan Transmisi Lampiran IV : Prakiraan Kebutuhan Dan Penyediaan Tenaga Listrik

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Tenaga listrik mempunyai peranan penting bagi negara dalam menunjang pembangunan di segala bidang dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mengingat arti penting tenaga listrik tersebut, maka dalam rangka penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik yang lebih merata, andal , dan berkelanjutan diperlukan suatu perencanaan yang komprehensif, dengan cakrawala nasional. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional, selanjutnya disebut RUKN, berisikan antara lain tentang kebijakan ketenagalistrikan nasional, arah pengembangan penyediaan tenaga listrik ke depan, kondisi kelistrikan saat ini, rencana kebutuhan dan penyediaan tenaga listrik untuk kurun waktu dua puluh tahun ke depan, potensi sumber energi primer di berbagai provinsi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik serta kebutuhan investasinya.

RUKN ditetapkan sebagai acuan dalam pembangunan dan pengembangan sektor ketenagalistrikan di masa yang akan datang bagi pemerintah daerah, pelaku usaha serta bagi Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, khususnya yang memiliki wilayah usaha. Peranan RUKN akan semakin penting dengan adanya perubahan lingkungan strategis baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.

Dengan adanya RUKN ini diharapkan adanya peningkatan partisipasi Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat pada pembangunan sektor ketenagalistrikan.

Adanya dinamika masyarakat, terutama perubahan ekonomi makro sangat berpengaruh dalam perubahan tingkat kebutuhan akan tenaga listrik. Memperhatikan kondisi tersebut, maka RUKN dapat dimutakhirkan secara berkala setiap tahun. Untuk menyusun perencanaan penyediaan tenaga listrik yang lebih pasti, maka RUKN disusun secara kuantitatif dengan rentang waktu (time horizon) perencanaan selama 20 (dua puluh) tahun.

Sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, bahwa RUKN disusun berdasarkan pada kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. RUKN disusun dengan mengikutsertakan pemerintah daerah dan selanjutnya RUKN ini menjadi dasar bagi penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD). Selanjutnya, sesuai Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 bahwa usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dilaksanakan sesuai dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), dimana RUPTL yang disusun oleh pelaku usaha penyediaan tenaga listrik Sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, bahwa RUKN disusun berdasarkan pada kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. RUKN disusun dengan mengikutsertakan pemerintah daerah dan selanjutnya RUKN ini menjadi dasar bagi penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD). Selanjutnya, sesuai Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 bahwa usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dilaksanakan sesuai dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), dimana RUPTL yang disusun oleh pelaku usaha penyediaan tenaga listrik

1.2. VISI DAN MISI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN Visi

Terwujudnya sektor ketenagalistrikan yang andal, aman, akrab lingkungan, kualitas tinggi, efisien dan rasional untuk memperkokoh pembangunan nasional yang berkelanjutan sehingga memberikan manfaat yang sebesar- besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Misi

1. Menyelenggarakan pembangunan sarana penyediaan dan penyaluran

tenaga listrik untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik nasional.

2. Melaksanakan pengaturan usaha penyediaan dan usaha penunjang tenaga listrik.

3. Melaksanakan pengaturan keselamatan ketenagalistrikan dan lindungan lingkungan.

1.3. TUJUAN PERUBAHAN RUKN

Pada prinsipnya tujuan perubahan RUKN ini adalah sebagai antisipasi perubahan lingkungan strategis yang terjadi yang mempengaruhi sektor ketenagalistrikan. Hal ini penting mengingat RUKN merupakan pedoman

serta acuan bagi pemerintah daerah, dan pelaku usaha serta Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dalam menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di wilayah usahanya masing-masing. Diharapkan bahwa RUKN ini dapat memberikan arahan dan informasi yang diperlukan bagi berbagai pihak yang turut berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.

Adanya perubahan regulasi di sektor ketenagalistrikan juga menjadi dasar perlunya dilakukan perubahan RUKN karena beberapa peraturan di bidang usaha penyediaan dan penunjang tenaga listrik telah mengalami penyesuaian yang sangat signifikan sesuai dengan dinamika perkembangan sektor ketenagalistrikan. Beberapa regulasi yang menjadi pertimbangan perlunya perubahan RUKN adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2012 tentang Jual Beli Tenaga Listrik Lintas Negara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2012 tentang Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik.

Melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 jo. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2009, PT PLN (Persero) ditugaskan untuk melakukan pembangunan pembangkit tenaga listrik menggunakan batubara dengan kapasitas total sebesar 10.000 MW sampai dengan tahun 2014. Kemajuan yang telah dicapai dari program percepatan 10.000 MW tahap I tersebut sampai dengan akhir bulan September 2012 adalah sebanyak 6 proyek 12 unit dengan total kapasitas 4.450 MW atau 45,05% telah beroperasi secara komersial (Commercial Operation Date – COD). Selanjutnya diharapkan secara bertahap beberapa proyek tersebut dapat COD sampai dengan akhir tahun 2012 adalah 729 MW, 2013: 2.961,5 MW, dan 2014: 1.736,5 MW.

Dengan belum diselesaikannya semua proyek Program Percepatan 10.000 MW tahap I tersebut, maka rencana penambahan kapasitas pembangkit tenaga listrik baru sebesar kurang lebih 10.000 MW di sistem ketenagalistrikan nasional yang semula diharapkan selesai pada tahun 2009 mengalami pergeseran ke tahun 2014. Oleh karena itu, perlu dilakukan revisi RUKN untuk menyusun kembali rencana proyek yang mundur atau kemungkinan mundur (slippage) dari jadwal sehingga mempengaruhi kebutuhan penambahan kapasitas pembangkit tenaga listrik per tahun secara nasional.

Selain itu, sebagai upaya untuk mempercepat diversifikasi energi untuk pembangkit tenaga listrik ke non bahan bakar minyak dan dalam rangka penambahan pasokan tenaga listrik untuk pemenuhan kebutuhan tenaga listrik, maka Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010 menugaskan PT PLN (Persero) untuk melakukan percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan, batubara dan gas atau lebih dikenal dengan Program Percepatan 10.000 MW Tahap II hingga tahun 2014. Kemajuan yang telah dicapai dari program percepatan 10.000 MW tahap II tersebut sampai dengan bulan September 2012 untuk proyek yang dilaksanakan oleh PT PLN (Persero) adalah 2 proyek (40 MW) dalam tahap konstruksi, 3 proyek (1.314 MW) tahap pra konstruksi, 5 proyek (320 MW) tahap eksplorasi, 1 proyek (1.000 MW) proses pendanaan, 13 proyek (1.008 MW) proses lelang, 1 proyek (20 MW) dalam proses penetapan WKP dan 1 proyek (55 MW) dalam tahap Feasibility Study (FS). Adapun kemajuan yang dicapai sampai dengan bulan September 2012 untuk proyek yang dilaksanakan oleh swasta adalah 2 proyek (105 MW) dalam tahap konstruksi, 3 proyek (270 MW) proses eksploitasi, 7 proyek (820 MW) dalam proses eksplorasi, 3 proyek (381 MW) proses pendanaan, 26 proyek (3.013 MW) proses Power Purchase Agreement (PPA), 2 proyek (267 MW) proses jaminan kelayakan usaha, 4 proyek (184 MW) proses Letter of Intent (LOI), 7 proyek (258 MW) proses negosiasi, 1 proyek (83 MW) proses penunjukan langsung, 13 proyek (805 MW) proses lelang Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP), 5 proyek (104 MW) proses lelang PLTU.

Adanya dinamika yang berkembang atas rencana pelaksanaan proyek Program Percepatan 10.000 MW tahap II telah menyebabkan beberapa proyek yang ada dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 02 Tahun 2010 tentang Daftar Proyek-Proyek Percepatan Pembangunan Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas serta Transmisi Terkait mengalami berubahan sehingga Adanya dinamika yang berkembang atas rencana pelaksanaan proyek Program Percepatan 10.000 MW tahap II telah menyebabkan beberapa proyek yang ada dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 02 Tahun 2010 tentang Daftar Proyek-Proyek Percepatan Pembangunan Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas serta Transmisi Terkait mengalami berubahan sehingga

Hal lain yang juga menjadi pertimbangan untuk melakukan perubahan RUKN ini adalah dengan telah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada tanggal 20 Mei 2011. MP3EI dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang, berkeadilan dan berkelanjutan. Dalam program ini, Indonesia dibagi menjadi 6 koridor ekonomi, dimana untuk mendukung program pada masing-masing koridor tersebut sangat dibutuhkan ketersediaan pasokan tenaga listrik yang cukup.

1.4. LANDASAN HUKUM RUKN

Dasar penyusunan RUKN ini adalah:

1. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

2. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.

BAB II KEBIJAKAN KETENAGALISTRIKAN NASIONAL

Kebutuhan tenaga listrik sudah menjadi bagian dari hajat hidup orang banyak, oleh karena itu pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan harus menganut asas manfaat, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, optimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya energi, mengandalkan pada kemampuan sendiri, kaidah usaha yang sehat, keamanan dan keselamatan, kelestarian fungsi lingkungan, dan otonomi daerah.

Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan telah ditetapkan bahwa dalam usaha penyediaan tenaga listrik, kepada badan usaha milik negara diberi prioritas pertama untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Sedangkan untuk wilayah yang belum mendapatkan pelayanan tenaga listrik, Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya memberi kesempatan kepada badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi sebagai penyelenggara usaha penyediaan tenaga listrik terintegrasi. Dalam hal tidak ada badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi yang dapat menyediakan tenaga listrik di wilayah tersebut, Pemerintah wajib menugasi badan usaha milik negara untuk menyediakan tenaga listrik.

Sebagai pelaksanaan dari kewajiban Pemerintah di bidang ketenagalistrikan, Pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan Pemerintah dalam usaha penyediaan dan penunjang tenaga listrik untuk mendorong perkembangan ketenagalistrikan nasional yang sehat, efisien berkeadilan dan berkelanjutan yang pada akhirnya dapat menyediakan tenaga listrik yang andal, aman, berkualitas baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

2.1 PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

2.1.1 Kebijakan Penyediaan Tenaga Listrik

Penyediaan

negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah. Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.

Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilakukan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Namun demikian, badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Untuk penyediaan tenaga listrik tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilakukan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Namun demikian, badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Untuk penyediaan tenaga listrik tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan

Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum meliputi jenis usaha pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik dan/atau penjualan tenaga listrik. Disamping itu, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dapat dilakukan secara terintegrasi. Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dilakukan oleh satu badan usaha dalam satu wilayah usaha. Pembatasan wilayah usaha juga diberlakukan untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang hanya meliputi distribusi tenaga listrik dan/atau penjualan tenaga listrik.

2.1.2 Kebijakan Bauran Energi Primer Untuk Pembangkitan Tenaga Listrik

Sebagaimana diketahui bahwa dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan ditetapkan bahwa sumber energi primer yang terdapat di dalam negeri dan/atau berasal dari luar negeri harus dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan kebijakan energi nasional untuk menjamin penyediaan tenagalistrik yang berkelanjutan, dan selanjutnya ditetapkan juga bahwa dalam pemanfaatan tersebut diutamakan sumber energi baru dan terbarukan.

Kebijakan tersebut diatas sejalan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi bahwa energi dikelola berdasarkan asas kemanfaafan, rasionalitas, efisiensi, berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlajutan, ksejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional.

Untuk menjaga keamanan pasokan batubara untuk pembangkitan tenaga listrik, Pemerintah telah menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Dalam rangka pengurangan ketergantungan kepada bahan bakar minyak, Pemerintah terus mengupayakan agar untuk menjamin pasokan gas bagi pembangkitan tenaga listrik diberlakukan kebijakan DMO.

Kebijakan pemanfaatan energi primer setempat untuk pembangkit tenaga listrik dapat terdiri dari fosil (batubara lignit/batubara mulut tambang, gas marginal) maupun non-fosil (air, panas bumi, biomassa, dan lain-lain). Pemanfaatan energi primer setempat tersebut memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan dengan tetap memperhatikan aspek teknis, ekonomi, dan keselamatan lingkungan.

Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional bahwa peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional untuk energi baru dan energi terbarukan lainnya, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin menjadi lebih dari 5% pada tahun 2025.

Energi nuklir sebagai salah satu opsi terakhir pemanfaatan sumber energi baru dimungkinkan untuk dimanfaatkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga listrik untuk program jangka panjang, mengurangi efek rumah kaca dan dalam rangka meningkatkan jaminan keamanan pasokan tenaga listrik serta pemanfaatan energi fosil yang ada dapat diperpanjang penggunaannya setelah energi baru dan energi terbarukan lainnya dioptimalkan pemanfaatannya. Pemanfaatan energi nuklir ini harus mempertimbangkan ketersediaan sumber energi yang ada, sains dan teknologi, sumber daya manusia, aspek keselamatan yang ketat dan daya dukung lingkungan serta aspirasi masyarakat yang berkembang.

2.1.3 Kebijakan Manajemen Permintaan Tenaga Listrik

Pemenuhan kebutuhan tenaga listrik di berbagai wilayah/daerah belum terpenuhi baik secara kualitas maupun kuantitas sesuai yang dibutuhkan konsumen. Hal ini disebabkan permintaan listrik yang tinggi tetapi tidak dapat diimbangi dengan penyediaan tenaga listrik.

Kebijakan yang dapat diterapkan untuk memaksimalkan kapasitas pembangkit yang ada dalam memenuhi kebutuhan listrik yang lebih luas baik secara kualitas maupun kuantitas yaitu dengan melaksanakan program di sisi permintaan (Demand Side Management) dan di sisi penyediaan (Supply Side Management). Program Demand Side Management dimaksudkan untuk mengendalikan pertumbuhan permintaan tenaga listrik, dengan cara mengendalikan beban puncak, pembatasan sementara sambungan baru terutama di daerah krisis penyediaan tenaga listrik, dan melakukan langkah-langkah efisiensi lainnya di sisi konsumen. Program Supply Side Management dilakukan melalui optimasi penggunaan pembangkit tenaga listrik yang ada dan pemanfaatan captive power.

2.1.4 Kebijakan Penanggulangan Krisis Penyediaan Tenaga Listrik

Dalam upaya menanggulangi daerah-daerah yang mengalami krisis penyediaan tenaga listrik, dilakukan melalui dua pendekatan kebijakan, yaitu Jangka Pendek dan Jangka Menengah/Panjang.

Penanggulangan jangka pendek dilakukan untuk penyelesaian krisis penyediaan tenaga listrik secara cepat sebelum pembangkit yang sudah direncanakan selesai dibangun, sehingga pemadaman yang terjadi dapat dihindari secepat mungkin. Program yang dapat dilakukan dalam kebijakan ini antara lain pembelian kelebihan daya yang dimiliki oleh perusahaan swasta (excess power), sewa genset, revitalisasi/relokasi mesin, mempercepat waktu pemeliharaan pembangkit dan jaringan, rekonfigurasi/manuver jaringan dan himbauan pengurangan/penghematan penggunaan tenaga listrik (demand side management).

Penanggulangan jangka menengah/panjang dilakukan dengan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang baru, baik oleh PLN maupun swasta/IPP yang memerlukan waktu konstruksi 3 - 5 tahun.

2.1.5 Kebijakan Perizinan

Perizinan usaha penyediaan tenaga listrik merupakan tahap awal dalam pembangunan infratsruktur ketenagalistrikan. Kebijakan perizinan dalam usaha penyediaan tenaga listrik adalah penerapan prinsip-prinsip

mengedepankan transparansi, efisiensi dan akuntabilitas. Kemudahan perizinan merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan investasi.

Koordinasi dengan instansi terkait akan terus dilakukan sebagai upaya untuk percepatan proses perizinan. Penggunaan teknologi informasi sangat dimungkinkan diaplikasikan di masa yang akan datang sebagai sarana untuk mempermudah proses perizinan.

2.1.6 Kebijakan Penetapan Wilayah Usaha

Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum meliputi jenis usaha pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik dan/atau penjualan tenaga listrik. Disamping itu, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dapat dilakukan secara terintegrasi. Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum secara terintegrasi dilakukan oleh satu badan usaha dalam satu wilayah usaha.

Penetapan wilayah usaha merupakan kewenangan Pemerintah di bidang ketenagalistrikan. Untuk usaha penyediaan tenaga listrik yang dilakukan secara terintegrasi, usaha distribusi, atau usaha penjualan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya menerbitkan izin usaha penyediaan tenaga listrik setelah adanya penetapan wilayah usaha dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Guna menghindari tumpang tindih penetapan wilayah usaha penyediaan tenaga listrik antar badan usaha, kebijakan penetapan wilayah usaha oleh Pemerintah dengan menerapkan prinsip kehati- hatian, transparansi, dan akuntabilitas.

Karena wilayah usaha penyediaan tenaga listrik bukan merupakan wilayah administrasi pemerintahan, penetapan wilayah usaha memerlukan koordinasi dengan instansi terkait termasuk pemerintah daerah sebagai pemberi rekomendasi.

2.1.7 Kebijakan Harga Jual Dan Sewa Jaringan Tenaga Listrik

Untuk mendorong minat investor dan menjaga iklim usaha yang baik, pada prinsipnya harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat.

Pemerintah mempunyai kewenangan untuk memberikan persetujuan atas harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh Pemerintah. Persetujuan harga jual tenaga listrik dapat berupa harga patokan.

Untuk mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan untuk pembangkit tenaga listrik perlu terus berupaya melakukan penyempurnaan pengaturan harga jual tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi baru terbarukan.

2.1.8 Kebijakan Tarif Tenaga Listrik Dan Subsidi

2.1.8.1. Kebijakan Tarif Tenaga Listrik

Kebijakan Pemerintah mengenai tarif tenaga listrik adalah bahwa tarif tenaga listrik secara bertahap dan terencana diarahkan untuk mencapai nilai keekonomiannya sehingga tarif tenaga listrik dapat menutup biaya pokok penyediaan yang dikeluarkan. Kebijakan ini diharapkan akan dapat memberikan sinyal positif bagi investor dalam berinvestasi di sektor ketenagalistrikan.

Penetapan kebijakan tarif tenaga listrik dilakukan sesuai nilai keekonomian, namun demikian tarif tenaga listrik untuk konsumen ditetapkan dengan memperhatikan:

a. keseimbangan kepentingan nasional, daerah, konsumen, dan pelaku usaha penyediaan tenaga listrik;

b. kepentingan dan kemampuan masyarakat;

c. kaidah industri dan niaga yang sehat;

d. biaya pokok penyediaan tenaga listrik;

e. efisiensi pengusahaan;

f. skala pengusahaan dan interkoneksi sistem; dan

g. tersedianya sumber dana untuk investasi.

2.1.8.2. Kebijakan Subsidi Listrik

Kebijakan subsidi listrik akan terus dilaksanakan sepanjang Tarif Tenaga Listrik (TTL) yang ditetapkan Pemerintah masih lebih rendah dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik. Namun mengingat kemampuan Pemerintah yang terbatas, maka subsidi akan lebih diarahkan langsung kepada kelompok pelanggan kurang mampu dan atau untuk pembangunan daerah perdesaan dan pembangunan daerah-daerah terpencil dengan

mempertimbangkan atau memprioritaskan perdesaan/daerah dan masyarakat yang sudah mempertimbangkan atau memprioritaskan perdesaan/daerah dan masyarakat yang sudah

Kebijakan tarif tenaga listrik regional akan terus dikaji dan dimungkinkan untuk diberlakukan di masa mendatang, hal ini berkaitan dengan perbedaan perkembangan pembangunan ketenagalistrikan dari satu wilayah dengan wilayah lainnya. Penerapan tarif tenaga listrik regional dapat mendorong kemandirian wilayah setempat dalam menyediakan dana pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik. Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan penerapan tarif tenaga listrik regional antara lain:

a. kemampuan masyarakat atau pelanggan listrik di wilayah setempat;

b. kondisi geografis sistem kelistrikan;

c. kesiapan PLN dan pemegang saham PLN untuk memisahkan wilayah usahanya menjadi institusi atau anak perusahaan yang mandiri;

d. kesiapan atau dukungan pemerintah daerah dalam penyediaan dana subsidi listrik;

e. tingkat kewajaran tarif tenaga listrik berdasarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

2.1.9 Kebijakan Jual Beli Tenaga Listrik Lintas Negara

Jual beli tenaga listrik lintas negara oleh Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dapat dilakukan setelah memperoleh izin penjualan atau pembelian tenaga listrik lintas negara dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Walaupun Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dapat melakukan penjualan atau pembelian tenaga listrik lintas negara, namun untuk melakukan hal tersebut harus memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persyaratan penjualan tenaga listrik yang harus dipenuhi adalah kebutuhan tenaga listrik setempat dan wilayah sekitarnya telah terpenuhi, harga jual tenaga listrik tidak mengandung subsidi, dan tidak mengganggu mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik setempat. Adapun syarat pembelian tenaga listrik lintas negara yang harus dipenuhi adalah belum terpenuhinya kebutuhan tenaga listrik setempat, hanya senagai penunjang pemenuhan kebutuhan tenaga listrik setempat, tidak merugikan kepentingan negara dan bangsa yang terkait dengan kedaulatan, keamanan, dan pembangunan ekonomi, untuk meningkatkan mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik setempat, tidak mengabaikan pengembangan kemampuan penyediaan

negeri, dan tidak menimbulkanketergantungan pengadaan tenaga listrik dari luar negeri.

tenaga

listrik

dalam

2.1.10 Kebijakan Program Listrik Perdesaan

Penanganan misi sosial dimaksudkan untuk membantu kelompok masyarakat tidak mampu, dan melistriki seluruh wilayah Indonesia yang meliputi daerah yang belum berkembang, daerah terpencil, dan pembangunan listrik perdesaan. Penanganan misi sosial dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan bantuan bagi masyarakat tidak mampu, menjaga kelangsungan upaya perluasan akses pelayanan listrik pada wilayah yang belum terjangkau listrik, mendorong pembangunan/pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Penanganan misi sosial diperlukan untuk dapat dilaksanakan secara operasional melalui Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik yang memiliki wilayah usaha. Agar efisiensi dan transparansi tercapai, maka usaha penyediaan tenaga listrik seyogyanya dapat dilakukan dengan pemisahan fungsi sosial dan komersial melalui pembukuan yang terpisah.

Ada beberapa kondisi yang diperlukan agar kebijakan pelaksanaan program listrik pedesaan berjalan sukses dan berkelanjutan. Tantangan khusus dalam pengembangan listrik perdesaan adalah mencakup kepadatan penduduk yang rendah, permintaan energi listrik yang rendah, dan perekonomi perdesaan yang belum berkembang. Untuk mengatasi tantangan tersebut, maka diperlukan kondisi pembiayaan khusus dan desain serta standar konstruksi yang khusus yang perlu diformulasikan sedemikian rupa sehingga dapat mengatasi karakteristik penyediaan daya atau power supply dan manajemen program agar sesuai dengan realitas wilayah yang ada di Indonesia. Program listrik perdesaan perlu dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap pembangunan ekonomi perdesaan. Pembangunan listrik perdesaan sendiri akan berjalan dengan baik jika layanan tenaga listrik diperdesaan dapat diandalkan, terjangkau dan dapat diakses oleh masyarakat yang dilayani.

Program listrik perdesaan juga harus memastikan bahwa biaya infrastruktur yang wajar akan memiliki dampak langsung tidak hanya pada keterjangkuan pelayanan tenaga listrik, akan tetapi juga dampak potensial terhadap biaya per rumah tangga dan bisnis yang dilayani oleh PLN dan lainnya. Program listrik perdesaan juga harus menguntungkan pemerintah dan masyarakat yang dilayani seperti pelayanan publik yang membutuhkan tenaga listrik seperti kesehatan, pendidikan dasar, pasokan air bersih dan transportasi. Program listrik perdesaan masih menghadapi tantangan yang signifikan antara lain beban proyeksi tenaga listrik di perdesaan yang masih jauh lebih rendah dari beban tenaga listrik di pusat-pusat kota di mana tingkat pendapatan dan permintaan tenaga listrik lebih tinggi, dan kenyataan pula bahwa kemampuan dan kemauan masyarakat perdesaan untuk membayar layanan PLN juga masih rendah.

Rasio elektrifikasi yang didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah rumah tangga yang sudah menikmati tenaga listrik dan jumlah rumah tangga secara keseluruhan telah menjadi program Pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada tahun 2011, ratio elektrifikasi atau jumlah rumah tangga di seluruh Indonesia yang sudah menikmati tenaga listrik untuk mendukung kehidupan masyarakat baru mencapai 72.95% dari seluruh jumlah rumah tangga yang berjumlah 62 juta rumah tangga. Ini berarti masih ada sekitar 27% jumlah rumah tangga di Indonesia yang belum dapat menikmati tenaga listrik. Pemerintah telah mempunyai program untuk meningkatkan ratio elektrifikasi mencapai 80% dari seluruh rumah tangga di Indonesia pada akhir tahun 2014, dan diharapkan dalam 20 tahun kedepan yaitu pada tahun 2031, jumlah rumah tangga yang dilistriki akan mencapai 100%.

Adapun rasio desa berlistrik yang didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah desa yang sudah dilewati jaringan tegangan menengah dan jaringan tegangan rendah untuk menyalurkan tenaga listrik ke rumah tangga dan langganan PLN lainnya dengan jumlah desa secara keseluruhan juga telah menjadi program Pemerintah. Pada tahun 2011, ratio desa berlistrik untuk mendukung peningkatan ratio elektrifikasi dalam rangka meningkatkan kehidupan masyarakat sudah mencapai 96,02% dari seluruh jumlah desa yang ada di Indonesia yang berjumlah 78.609 desa. Ini berarti masih ada sekitar 4% desa di Indonesia yang belum dialiri jaringan tegangan menengah dan jaringan tegangan rendah. Pemerintah juga memiliki program untuk meningkatkan desa ratio desa berlistrik mencapai 100% pada tahun 2020.

Target rasio elektrifikasi yang ingin dicapai adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Target Rasio Elektrifikasi (%)

No. PROVINSI

100,00 100,00 2. Sumatera Utara

100,00 100,00 3. Sumatera Barat

100,00 100,00 6. Sumatera Selatan

5. *) Kepulauan Riau 91,68

100,00 100,00 10. Kepulauan Bangka Belitung

87,35 100,00 100,00 100,00 12. Jawa Timur

100,00 100,00 100,00 100,00 13. Jawa Tengah

88,97 100,00 100,00 100,00 14. D.I Yogyakarta

92,95 100,00 100,00 100,00 15. Jawa Barat

91,56 100,00 100,00 100,00 16. Banten

No. PROVINSI

17. D.K.I Jakarta

88,36 100,00 100,00 100,00 18. Kalimantan Timur

100,00 100,00 19. Kalimantan Selatan

100,00 100,00 20. Kalimantan Tengah

100,00 100,00 21. Kalimantan Barat

100,00 100,00 22. Sulawesi Utara

98,18 100,00 23. Sulawesi Tengah

98,18 100,00 25. Sulawesi Selatan

100,00 100,00 26. Sulawesi Tenggara

100,00 100,00 27. Sulawesi Barat

98,18 100,00 28. Nusa Tenggara Barat

96,36 100,00 29. Nusa Tenggara Timur

96,36 100,00 31. Maluku Utara

96,36 100,00 32. Papua dan Papua Barat

Total Indonesia

*) Rasio elektrifikasi tinggi karena termasuk wilayah Batam.

2.1.11 Kebijakan Perlindungan Konsumen

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009,hal-hal yang diatur terkait dengan konsumen listrik adalah:

a. Kewajiban Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik:  menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan

keandalan yang berlaku;  memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada

konsumen dan masyarakat.

b. Hak Konsumen:  mendapat pelayanan yang baik;  mendapat tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu

dan keandalan yang baik;  memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya dengan harga

yang wajar;  mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan

tenaga listrik; dan  mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang

diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.

c. Kewajiban Konsumen:  melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin

timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;  menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik konsumen;  memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya;  membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan

 menaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kebijakan Pemerintah terkait dengan perlindungan konsumen listrik adalah menyediakan sarana sebagai tempat pengaduan apabila konsumen merasa dirugikan melalui website: www.djlpe.esdm.go.id , kotak pos: PO BOX 220, atau pengaduan langsung ke kantor Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan c.q. Sub Direktorat Perlindungan Konsumen Listrik. Kemudian berdasarkan pengaduan tersebut, Pemerintah dapat melakukan fasilitasi untuk penyelesaian pengaduan. Pemerintah juga melakukan review dan penyusunan aturan-aturan yang memberikan perlindungan kepada konsumen listrik. Selain itu, Pemerintah juga menyelenggarakan pengawasan terhadap Tingkat Mutu Pelayanan tenaga listrik yang dilakukan sesuai Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2011.

2.1.12 Kebijakan Penyelesaian Perselisihan

Dalam pelaksanaan hubungan komersial tenaga listrik, menghasilkan interaksi antar pelaku usaha, pelaku usaha dan pengguna usaha/konsumen. Dengan adanya interaksi tidak dipungkiri akan menimbulkan gesekan alibat adanya persamaan keperluan dan tujuan, hal inilah yang akan menimbulkan permasalahan. Kebijakan penyelesaian permasalahan yang mungkin timbul akibat pelaksanaan hubungan komersial meliputi:  Aspek hukum  Aspek teknik  Aspek finansial

Mengingat begitu kompleknya permasalahan yang mungkin timbul dalam bisnis ketenagalistrikan, maka diperlukan suatu lembaga khusus

dalam bisnis ketenagalistrikan. Pengadilan sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa yang paling dikenal, boleh dikatakan akan selalu berusaha untuk dihindari oleh banyak anggota masyarakat selain proses jangka waktu yang relatif lama dan berlarut-larut, serta oknum- oknum yang cenderung mempersulit proses pencari keadilan.

Kebijakan Pemerintah berkaitan dengan penyelesaian perselisihan hubungan komersial tenaga listrik yang terjadi antar pelaku usaha penyedia tenaga listrik atau pelaku usaha penyedia tenaga listrik dengan pengguna usaha tenaga listrik/konsumen, dalam hal ini, Pemerintah terus mendorong agar perselisihan dapat diselesaikan melalui dengan jalan musyawarah. Namun demikian Pemerintah juga bersedia sebagai fasilitator dalam setiap penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan hubungan komersial tenaga listrik, antara lain:

1. Penyelesaian melalui konsultasi Pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan bersifat

“Personal” antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan “Klien” “Personal” antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan “Klien”

2. Penyelesaian melalui negosiasi dan perdamaian Pada dasarnya para pihak dapat dan berhak untuk menyelesaiakan

sendiri yang timbul dianatar mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Jika kita kaji secara bersama dapat di sampaikan sebagai berikut:

a. Diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari;

b. Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan antara para pihak yang bersengketa.

Selain itu perlu dicatat pula bahwa negoisasi merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang dilaksanakan diluar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan dilakukan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan baik didalam maupun diluar sidang pengadilan.

3. Penyelesaian melalui mediasi Merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya

negoisasi yang dilakukan oleh para pihak atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atas beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang fasilitator.

Fasilitator harus mampu menciptakan suasana yang kondusif bagi terciptanya kompromi diantara kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik.

4. Penyelesaian melalui konsiliasi Berdasarkan Black’s Law Dictionary dapat kita katakan bahwa

prinsipnya konsiliasi tidak berbeda jauh dengan perdamaian.

5. Penyelesaian Arbitrasi Arbitrasi dalam suatu bentuk kelembagaan, tidak hanya bertugas

untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak dalam suatu perjanjian pokok, melainkan juga dapat memberi konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari para pihak yang memerlukannya tidak terbatas para pihak dalam perjanjian.

2.2 PENUNJANG TENAGA LISTRIK

2.2.1 Kebijakan Keamanan Dan Keselamatan

Tenaga listrik selain bermanfaat bagi kehidupan masyarakat juga dapat mengakibatkan bahaya bagi manusia apabila tidak dikelola dengan baik. Pemerintah dalam rangka mewujudkan keamanan dan keselamatan

menetapkan standardisasi, pengamanan instalasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik. Tujuan keamanan dan keselamatan ketenagalistrikan antara lain melindungi masyarakat dan lingkungan disekitarnya dari bahaya yang diakibatkan oleh tenaga listrik, meningkatkan keandalan sistem ketenagalistrikan, meningkatkan efisiensi dalam pengoperasian dan pemanfaatan tenaga listrik.

ketenagalistrikan

Kebijakan keamanan dan keselamatan instalasi diantaranya adalah kelaikan operasi instalasi tenaga listrik yang dinyatakan dengan sertifikat laik operasi. Sertifikat laik operasi diterbitkan apabila instalasi tenaga listrik telah dilakukan dengan pemeriksaan dan pengujian serta memenuhi kesesuaian standar dan ketentuan yang berlaku. Pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik dilakukan terhadap instalasi yang selesai dibangun dan dipasang, direkondisi, dilakukan perubahan kapasitas atau direlokasi.

2.2.2 Kebijakan Standardisasi Ketenagalistrikan

Kewajiban akan pemenuhan standardisasi ketenagalistrikan untuk setiap peralatan dan pemanfaat tenaga listrik merupakan salah satu komponen yang penting dalam rangka mewujudkan keselamatan ketenagalistrikan. Kebijakan dalam standardisasi ketenagalistrikan meliputi standardisasi peralatan tenaga listrik dan standardisasi pemanfaat tenaga listrik. Peralatan tenaga listrik adalah alat atau sarana pada instalasi pembangkitan, penyaluran, dan pemanfaatan tenaga listrik, sedangkan yang dimaksud pemanfaat tenaga listrik adalah semua produk atau alat yang dalam pemanfaatannya menggunakan tenaga listrik untuk berfungsinya produk atau alat tersebut.

Standardisasi ketenagalistrikan dirumuskan dalam bentuk Standar Nasional Indonesia (SNI) yang bersifat sukarela dan menjadi acuan bagi pelaku usaha. Dalam hal SNI berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau pertimbangan ekonomis, instansi dapat memberlakukan secara wajib spesifikasi dan atau parameter dalam SNI. Untuk peralatan tenaga listrik yang telah memenuhi SNI yang dibuktikan dengan Sertifikat Produk dapat dibubuhi Tanda

SNI ( ) sedangkan untuk produk pemanfaat tenaga listrik yang telah memenuhi SNI dapat dibubuhi tanda SNI dan tanda

keselamatan (

2.2.3 Kebijakan Tenaga Teknik

Standardisasi kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan adalah kegiatan yang meliputi perumusan standar kompetensi tenaga teknik, penetapan dan pemberlakuan standar kompetensi tenaga teknik, penerapan standar kompetensi dan pengawasan.

Tenaga teknik sektor ketenagalistrikan bekerja di berbagai bidang instalasi penyediaan tenaga listrik: pembangkitan, transmisi, distribusi, dan pemanfaatan tenaga listrik, dan pada subbidang: konsultasi (perencanaan dan/atau pengawasan), pembangunan dan pemasangan, pemeriksaan dan pengujian, pengoperasian, pemeliharaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaatan tenaga listrik, sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik, sertifikasi kompetensi tenaga teknik, dan usaha lain yang berkaitan dengan penyediaan tenaga listrik.

Penerapan Standar Kompetensi dilakukan dengan pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan dilakukan melalui uji kompetensi oleh Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) yang telah diakreditasi, dan sebagai bahan acuan dalam perumusan standat latih kompetensi yang diterapkan dengan melakukan diklat oleh Lembaga Diklat berbasisi kompetensi.

2.2.4 Kebijakan Peningkatan Komponen Dalam Negeri

Dalam rangka mendorong penggunaan barang dan jasa produksi dalam negeri di sektor ketenagalistrikan, Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 48/M-IND/PER/4/2010 tentang pedoman penggunaan produk dalam negeri untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Peraturan tersebut mengatur tentang kewajiban penggunaan barang dan atau jasa produksi dalam negeri untuk setiap

ketenagalistrikan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negera, Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta atau koperasi atas biaya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah/hibah/pinjaman luar negeri.

pembangunan

infrastruktur

Kewajiban penggunaan barang dan atau jasa produksi dalam negeri di atas harus dicantumkan dalam dokumen lelang/penawaran pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dan dalam kontrak pelaksanaan pembangunan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bekerjasama dengan Kementerian Perindustrian melakukan monitoring dan evaluasi atas besaran TKDN pada setiap pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan tersebut. Penyedia barang/jasa pada pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dapat dikenakan sanksi apabila nilai TKDN pada akhir proyek yang Kewajiban penggunaan barang dan atau jasa produksi dalam negeri di atas harus dicantumkan dalam dokumen lelang/penawaran pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dan dalam kontrak pelaksanaan pembangunan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bekerjasama dengan Kementerian Perindustrian melakukan monitoring dan evaluasi atas besaran TKDN pada setiap pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan tersebut. Penyedia barang/jasa pada pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dapat dikenakan sanksi apabila nilai TKDN pada akhir proyek yang

2.2.5 Kebijakan Pembebasan Bea Masuk Terhadap Rencana Impor Barang

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.011/2008 jo.Nomor 128/PMK.011/2009 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Modal Dalam Rangka Pembangunan dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum. Pembebasan bea masuk diberikan kepada pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang dikeluarkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral terhadap rencana impor barang modal (master list) yang telah ditandasahkan oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan. Penandasahan rencana impor barang tersebut hanya diberikan untuk barang yang belum dapat diproduksi di dalam negeri, barang yang sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan, atau barang yang sudah diproduksi di dalam negeri namu jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.

2.2.6 Kebijakan Perlindungan Lingkungan

Pembangunan di bidang ketenagalistrikan dilaksanakan dengan mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan bahwa setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan

wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan yang bertujuan untuk mewujudkan kondisi andal dan aman bagi instalasi, aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya dan ramah lingkungan. Oleh karena itu, setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam peraturan perundangan-undangan di bidang lingkungan hidup.

Ketentuan di bidang lingkungan hidup diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa semua usaha dan/atau kegiatan wajib memiliki izin lingkungan, termasuk kegiatan di Subsektor Ketenagalistrikan yang meliputi pembangkitan tenaga listrik serta jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik. Izin lingkungan merupakan izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) yang meliputi Kerangka Acuan, Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup atau usaha dan/atau kegiatan yang dilengkapi dengan UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat Ketentuan di bidang lingkungan hidup diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa semua usaha dan/atau kegiatan wajib memiliki izin lingkungan, termasuk kegiatan di Subsektor Ketenagalistrikan yang meliputi pembangkitan tenaga listrik serta jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik. Izin lingkungan merupakan izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) yang meliputi Kerangka Acuan, Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup atau usaha dan/atau kegiatan yang dilengkapi dengan UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat

BAB III ARAH PENGEMBANGAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

3.1 PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK