PENINGKATAN PERILAKU ASERTIF MELALUI TEKNIK PSIKODRAMA PADA SISWA KELAS VII D DI SMP NEGERI 2 MOYUDAN.

(1)

PE PSIK J ENINGKA KODRAM D gu PROGRA JURUSAN UN TAN PERI MA PADA S

Diajukan kep Univer untuk Mem una Memper N AM STUD PSIKOLO FAKULT NIVERSITA ILAKU AS SISWA KE MOYUD SKRIP pada Fakult rsitas Neger menuhi Seba roleh Gelar Oleh Sailah R NIM 121042 I BIMBING OGI PENDI TAS ILMU AS NEGER JANUARI SERTIF M LAS VII D DAN

PSI

tas Ilmu Pen ri Yogyakar agian Persy r Sarjana Pe

h ibha 241031 GAN DAN IDIKAN DA PENDIDIK RI YOGYA I 2017 ELALUI T D DI SMP N

ndidikan rta aratan ndidikan N KONSEL AN BIMBI KAN AKARTA TEKNIK NEGERI 2 LING INGAN


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

“Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” QS Al – Baqoroh : 286.

“ segala hal itu sulit, akan tetapi tidak ada yang tidak mungkin, karena masa depanku aku yang tentukan.” Penulis


(6)

PERSEMBAHAN

Skripsi dipersembahkan untuk :

 Allah SWT yang senantiasa memberikan penunjuk dan penerang jalanku

 Orang tua tercinta, atas kasih sayang, pengorbanan, kerja keras, dan doa yang

selalu menjadi pengingat di setiap perjalanan hidupku

 Abdurrahman Haqiqi yang selalu memberikan pendapat dan saran untuk

lebih baik

 Keluarga besar yang selalu memotivasi untuk menjadi lebih baik

 Almamater UNY


(7)

PENINGKATAN PERILAKU ASERTIF MELALUI TEKNIK PSIKODRAMA PADA SISWA KELAS VII D DI SMP NEGERI 2

MOYUDAN Oleh Sailah Ribha NIM 12104241031

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan perilaku asertif melalui teknik psikodrama pada siswa kelas VII D di SMP Negeri 2 Moyudan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan subjek penelitian siswa kelas VII D SMP Negeri 2 Moyudan yang berjumlah 17 siswa. Subjek penelitian ini ditentukan dengan teknik purposive sampling. Penelitian ini dilakukan secara kolaborasi antara peneliti dan guru bimbingan dan konseling. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala, observasi dan wawancara. Instrumen yang digunakan adalah skala perilaku asertif, pedoman observasi dan pedoman wawancara. Uji Validitas menggunakan validitas isi. Penelitian terdiri dari dua siklus yang setiap siklusnya terdiri dari 3 tindakan. Analisis data menggunakan analisis data deskriptif kuantitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) kondisi awal perilaku asertif siswa kelas VII D SMP Negeri 2 Moyudan tergolong sedang kebawah. Kondisi ini dibuktikan dari hasil skala perilaku asertif pra tindakan dengan skor rata – rata 124,1 mengingat 100 merupakan batas bawah kategori sedang dan batas atas kategori sedang 149. (2) Perilaku asertif siswa dapat ditingkatkan melalui teknik psikodrama. Dalam penelitian ini dalam satu siklus meliputi tiga tindakan yang meliputi persiapan, pelaksanaan, pengisian skala. Dilihat dari hasil data kuantitatif rata – rata skor pra tindakan yaitu 124,1 dan meningkat sebanyak 13,4 skor sehingga rata – rata skor pada pasca tindakan I menjadi 137,5. Selanjutnya rata – rata skor siswa meningkat lagi sebanyak 20,8 skor sehingga rata – rata skor pada pasca tindakan II meningkat menjadi 158,3. (3) Observasi dan wawancara pada saat pemberian tindakan maupun setelah pemberian tindakan untuk peningkatan perilaku asertif pada siswa menunjukkan antusias yang tinggi dalam teknik psikodrama dari siklus I dan siklus II.


(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim.

Alhamdulillah, Puji Syukur kehadirat ALLAH SWT, atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Agung Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari alam jahiliyah menuju alam yang berilmu seperti sekarang ini.

Selanjutnya, dengan kerendahan hati penulis ingin menghaturkan penghargaan dan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi yang berjudul “PENINGKATAN PERILAKU ASERTIF MELALUI TEKNIK PSIKODRAMA PADA SISWA KELAS VII D DI SMP NEGERI 2 MOYUDAN”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan partisipasi berbagai pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dah hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

2. Bapak Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd. MA, selaku Rektor Universitas Negeri Yogyakarta.

3. Bapak Haryanto, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan ijin dan fasilitas sehingga penulisan ini dapat berjalan dengan lancar.


(9)

4. Bapak Fathur Rahman, M.Si, selaku Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan ijin dan pengarahan dalam menyusun skripsi.

5. Bapak Agus Triyanto, M. Pd. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis dengan sabar.

6. Bapak Dr. Muhammad Nur Wangid, M.Si, selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat, pengarahan, dan bantuan dalam penyusunan skripsi.

7. Para Dosen Bimbingan dan Konseling yang telah memberikan bekal ilmu, wawasan, dan semangat untuk maju.

8. Ibu Dra. Tin Suharmini, M.Si, selaku Penguji Utama Skripsi yang telah memberikan arahan dalam penyusunan skripsi.

9. Ibu Siti Rosidah, S.Pd, selaku Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Moyudan yang telah memberikan ijin dan menyediakan berbagai fasilitas demi kelancaran peneliti

10.Ibu Guru BK SMP Negeri 2 Moyudan, yang telah memberikan saran, pengarahan, bimbingan dan bantuannya yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menjalankan kegiatan penelitian.

11.Bapak Drs. Hizbullah, Ibu Afifah, Bapak Sutrisno dan Ibu Sudilah atas doa dan dukungan moril maupun materil yang telah diberikan.

12.Kakak – kakakku Ahmad Syauqi, Nashrul Akmal, Ahmad Kumaini, Fakhrun Nissa, serta seluruh keluarga besar Simbah Abdurrahman dan


(10)

(11)

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 17

C. Batasan Masalah ... 18

D. Rumusan Masalah ... 18

E. Tujuan Penelitian ... 18

F. Manfaat Penelitian ... 19

BAB II KAJIAN TEORI A. Perilaku Asertif ... 21

1. Pengertian Perilaku Asertif ... 21

2. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Asertif ... 25

3. Ciri Perilaku Asertif ... 27

4. Perkembangan Perilaku Asertif ... 28


(12)

6. Perilaku Asertif pada Remaja ... 31

B. Psikodrama ... 42

1. Pengertian Psikodrama ... 42

2. Tujuan Psikodrama ... 43

3. Komponen Psikodrama ... 43

4. Manfaat Psikodrama ... 46

5. Kelebihan Psikodrama ... 47

6. Prosedur Psikodrama ... 48

C. Kontribusi Penelitian dalam Bimbingan dan Konseling ... 51

D. Peningkatan Perilaku Asertif melalui Teknik Psikodrama ... 53

E. Hipotesis Tindakan ... 57

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 58

B. Definisi Operasional ... 60

C. Subyek Penelitian ... 60

D. Setting Penelitian ... 61

E. Desain Penelitian ... 61

F. Skenario Siklus ... 64

G. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 66

H. Uji Validitas ... 72

I. Teknik Analisis Data ... 72

J. Kriteria Keberhasilan ... 74

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 75

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 75

2. Deskripsi Waktu Penelitian ... 76

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 76

C. Deskripsi Data Pra Tindakan Penelitian ... 77


(13)

1. Siklus I ... 79

2. Siklus II ... 95

E. Uji Hipotesis Tindakan ... 107

F. Pembahasan Hasil Penelitian ... 108

G. Keterbatasan Penelitian ... 114

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 116

B. Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 119

LAMPIRAN ... 123  


(14)

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Kisi – Kisi Skala Perilaku Asertif ... 68

Tabel 2. Skor Instrumen ... 69

Tabel 3. Pedoman Observasi ... 70

Tabel 4. Pedoman Wawancara untuk Guru BK ... 123

Tabel 5. Pedoman Wawancara untuk Subjek ... 124

Tabel 6. Daftar Subjek Penelitian ... 77

Tabel 7. Hasil Pra Tindakan ... 78

Tabel 8. Peningkatan Hasil Pra Tindakan dan Pasca Tindakan I ... 90

Tabel 9. Peningkatan Hasil Pra Tindakan, Pasca Tindakan I, dan Pasca Tindakan II ... 103


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Wawancara untuk Guru BK atau Observer ... 123

Lampiran 2. Pedoman Wawancara untuk Subjek ... 124

Lampiran 4. Skala Asertif ... 125

Lampiran 5. RPL Sirklus I ... 129

Lampiran 6. RPL Sirklus II ... 136

Lampiran 7. Deskripsi Psikodrama Sirklus I ... 140

Lampiran 8. Deskripsi Psikodrama Sirklus II ... 144

Lampiran 9. Hasil Pra Tindakan, Pasca Tindakan I, Pasca Tindakan II ... 151

Lampiran 10. Hasil Wawancara dengan Observer siklus I ... 154

Lampiran 11. Hasil Wawancara dengan Observer siklus II ... 156

Lampiran 12. Hasil Wawancara dengan Subjek ... 158

Lampiran 13.Hasil Observasi Siklus I ... 161

Lampiran 14.Hasil Observasi Siklus II ... 162


(16)

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1. Sistem Spiral Kemmis ... 62 Gambar 2. Pra Tindakan ... 79 Gambar 3. Pelaksanaan Siklus I ... 88 Gambar 4. Grafik Perolehan data peningkatan hasil pra tindakan dan pasca tindakan I ... 90 Gambar 5. Pelaksanaan Siklus II ... 102 Gambar 6. Grafik Perolehan data peningkatan hasil pra tindakan , pasca tindakan I, dan pasca tindakan II ... 104


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja merupakan salah satu fase dalam rentang perkembangan manusia yang terentang sejak anak masih dalam kandungan sampai meninggal dunia (life span development). Awal masa remaja berlangsung kira – kira dari tiga belas tahun sampai enam belas tahun atau tujuh belas tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai delapan belas tahun, yaitu usia matang secara hukum mental (Hurlock, 1991: 206). Awal masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak – kanak ke masa remaja yang pada umumnya terjadi perubahan psikis, fisik maupun sosial.

Menurut Papalia, Old, dan Feldman (2008: 534) masa remaja adalah perjalanan dari masa anak – anak ke masa dewasa ditandai oleh periode transisional panjang yang mengandung perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Pada usia remaja pergaulan dan interaksi sosial dengan teman sebaya bertambah luas dan kompleks dibandingkan dengan masa – masa sebelumnya. Sehingga usia remaja merupakan masa yang sangat penting, sangat kritis dan sangat rentan terhadap hal-hal baru terjadi yang belum pernah dirasakan sebelumnya, mulai dari memiliki teman, sahabat dekat, tertarik dengan lawan jenis baik yang menyenangkan maupun menyedihkan. Seiring berjalannya waktu, semua yang dirasakan pada masa tersebut akan


(18)

tumbuh secara alamiah, serta merupakan suatu hal yang normal dan wajar yang akan dialami setiap remaja pada umumnya.

Menurut Havighurst (dalam Hurlock,1991: 10) secara garis besarnya, tugas perkembangan masa remaja yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mempersiapkan karir ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga, serta memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.

Jika dilihat dari tugas perkembangan diatas, perubahan sikap dan perilaku anak yang lebih bertanggung jawab merupakan salah satu tugas perkembangan pada masa remaja, sejalan dengan hal tersebut Karl C. Garrison (dalam Mappiare Andi, 1982: 102) memaparkan tugas perkembangan masa remaja ialah remaja diharapkan memiliki hubungan sosial yang matang dengan teman sebaya dalam kelompok-kelompok mereka, dan mereka harus mendapat penerimaan dalam hubungan sosial.

Salah satu ciri – ciri masa remaja yang sangat dominan adalah masa mencari identitas dimana pada masa ini mereka mendambakan identitas diri. Dengan kondisi yang sedang dalam pencarian identitas (jati diri), remaja akan bertindak sesuai dengan keinginannya untuk mencari identitas dirinya, misalnya saja dengan meniru orang lain. Oleh karena itu remaja sering kali dihadapkan dengan keragu – raguan menentukan sikap dan cara memilih


(19)

perilaku. Sementara itu tugas perkembangan harus terlaksana saat masa perkembangannya dan jika tidak sesuai seseorang akan mengalami kesulitan ataupun masalah pada perkembangan selanjutnya. Dalam hal ini, perilaku asertif seorang anak dalam mengatur sikap dan perilakunya sangat diperlukan untuk mengendalikan diri agar tidak mudah terpengaruh dengan teman ataupun orang lain.

Remaja merupakan harapan bangsa, namun untuk mewujudkan harapan itu tidaklah mudah karena dalam masa remaja ini yang disebut juga dengan masa pencarian jati diri ini syarat akan adanya pengaruh lingkungan. Remaja membutuhkan perhatian, bimbingan serta arahan yang tepat untuk menghindari kesalahan pemahaman dalam penyampaiannya. Dalam lingkungan keluarga tentunya peran orang tua adalah yang utama dalam pembentukan karakter dan sikap anak, memberikan kasih sayang, motivasi, mengarahkan dalam bergaul maupun menentukan pilihan, menjadi contoh dalam bertindak serta mengajarkannya untuk mengenal norma - norma dalam beragama dan bermasyarakat. Pengaruh lingkungan sangatlah berpotensi dalam menanamkan dan pembentukan karakter baik atau buruknya pada masing-masing remaja. Oleh karena itu, remaja harus mendapatkan perhatian khusus, baik oleh dirinya sendiri, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.

Dalam lingkungan sekolah, guru adalah orang tua kedua bagi siswanya. Guru Bimbingan dan Konseling diharapkan memiliki kemampuan menciptakan suasana yang harmonis, transparan dan nyaman sehingga mampu mendorong siswa untuk bisa terbuka terhadap masalah-masalah yang


(20)

dihadapinya serta mampu mengiringi perkembangan psikologis dalam kesehariannya. Peran Guru BK di sekolah sangatlah penting terutama dalam hal pergaulan karena seperti yang telah diketahui bahwa peranan pergaulan pada masa remaja ini sangatlah besar, mulai dari pergaulan yang hanya sekedar untuk menambah, mencari teman memperluas pergaulan hingga mencapai kebutuhan bereksistensi yang seolah-olah menjadi syarat mutlak di era globalisasi seperti sekarang ini. Namun faktanya pergaulan remaja saat ini terbilang semakin memprihatinkan dan telah melenceng dari jalur yang sebenarnya.

Semakin banyak terlihat baik melalui media elektronik dan internet maupun pengamatan secara langsung di lingkungan sekitar adanya tindakan-tindakan remaja di usia sekolah yang justru mempunyai kasus-kasus seperti sex bebas, narkoba, tawuran dan lain-lain yang menyakiti bahkan sangat merugikan orang lain terlebih dirinya sendiri. Hal ini disebabkan karena remaja cenderung bertindak dengan mengedepankan emosinya dan lemahnya kesadaran serta kurangnya pemahaman mereka akan etika pergaulan yang sehat yaitu pergaulan yang mengarah kepada pembentukan kepribadian yang sesuai dengan nilai dan norma sosial, kesusilaan dan kesopanan yang berlaku dilingkungan tempat tinggalnya.

Selain itu di lingkungan sekolah, pergaulan yang sehat dan tidak sehat pastilah terjadi misalnya pergaulan antara siswa dengan siswa ataupun siswa dengan guru. Lingkungan di sekolah adalah tempat sehari- hari dimana bersosialisasi bersama teman-teman atau siswa-siswi satu sama lain menjadi


(21)

hal yang penting. Berada di sisi dan bergaul langsung dengan teman- teman sekolahnya merupakan cara terbaik seseorang untuk berkomunikasi, menjalin hubungan dan menciptakan suasana. Salah satu pergaulan positif adalah bisa saling belajar bertukar pikiran, pendapat dan berbagi cerita bersama, yang tentunya ini akan meningkatkan rasa pertemanan dan juga persaudaraan mereka dan juga untuk saling berbagi curahan hati, hal ini juga bisa membuat mereka untuk lebih berpikir positif dan juga memotivasi dalam belajar untuk memberi dan menerima saran dari teman lainnya yang tentu saja dalam hal yang positif. Sedangkan dalam hal yang negatif, misalnya masih ada beberapa siswa yang sering datang terlambat, membolos, kurang mengindahkan bahkan tidak mentaati peraturan yang berlaku di sekolah, tidak mengerjakan tugas, sampai kecurangan dalam hal ujian atau mencontek dan bahkan sampai terjadi perkelahian antar teman di sekolahnya.

Pergaulan sehat dan tidak sehat bisa terjadi dan tercipta dimanapun, termasuk di lingkungan sekolah. Bisa dikatakan bahwa lingkungan sekolah mempunyai kendali penting dalam pembentukan karakter peserta didiknya, karena selain merupakan tempat para peserta didik menimba ilmu, sekolah juga merupakan tempat berinteraksi sosial antar siswa juga guru, berhubungan satu sama lain. Oleh karena itu peran guru khususnya guru bimbingan dan konseling menjadi penting dan sangat diharapkan akan peran besarnya untuk memberikan bimbingan kemudian mewujudkan bersama sifat pergaulan yang positif, dimana para peserta didik mampu belajar dengan tenang, saling bertukar pikiran, bebas mengemukakan pendapat dan berbagi


(22)

cerita bersama, yang tentunya ini akan menimbulkan serta meningkatkan rasa pertemanan dan juga persaudaraan dalam ikatan yang harmonis dilingkungan sekolah, memotivasi siswa dalam belajar.

Perkelahian termasuk jenis kenakalan remaja akibat kompleksnya kehidupan yang disebabkan karena masalah sepele. Tawuran pelajar sekolah menjadi potret buram dalam dunia pendidikan Indonesia. Pada 2010, setidaknya terjadi 128 kasus tawuran antar pelajar. Angka itu melonjak tajam lebih dari 100 persen pada 2011, yakni 330 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar. Pada Januari-Juni 2012, telah terjadi 139 tawuran yang menewaskan 12 pelajar. Sejalan dengan hal itu Kasat Reskrim Polresta Yogyakarta AKB Akbar Bantilan mengungkapkan data kasus yang ia terima sejak januari 2016 hingga september terdapat 3 kasus penganiayaan yang melibatkan anak dibawah umur dan terdapat 5 kasus pengeroyokan (Nuryanto, Tribunjogja.com, Yogyakata 22 September 2016). Hal-hal negatif seperti ini dikhawatirkan akan mempengaruhi siswa-siswa lain yang berinteraksi langsung yang memicu akan adanya bullying, rasa cemas dan takut karena merasa lemah dan tidak percaya diri. Tidak sedikit siswa yang terbawa pergaulan negatif dikarenakan terlalu seringnya mereka bersama dan bergaul dalam hal kurang baik yang sebenarnya merugikan.

Siswa secara pribadi menyadari bahwa hal yang dilakukannya merupakan suatu kesalahan dan merugikan bagi dirinya sendiri namun mereka tidak dapat lepas begitu saja karena mereka menyadari bahwa mereka merupakan individu yang hidupnya tidak lepas untuk bersosialisasi,


(23)

bereksistensi sosial satu sama lain. Oleh karena itu dalam kehidupan sosialnya, ada beberapa siswa terkadang merasakan gugup dan cemas dalam lingkungan sosialnya dan siswa cenderung memilih untuk menghindari kehidupan sosialnya dengan alasan untuk menghindari atau sekedar menjauh dari dampak negatif kehidupan sosial yang dirasakan. Hal ini dapat terjadi karena adanya perasaan malu yang berlebihan, kurangnya rasa percaya kepada diri sendiri dengan beban pikiran yang selalu merendahkan diri sendiri. Hal ini mulai ditandai dengan adanya siswa yang merasa malu jika ingin bertanya kepada guru, siswa mengalami kesulitan untuk mengekspresikan perasaannya kepada orang lain, merasa terbatas dalam mengemukakan pendapat, siswa tidak mampu atau takut untuk mengatakan tidak dan itu menandakan bahwa tidak adanya kepercayaan pada dirinya sendiri. Dengan kata lain perilaku seperti ini menunjukkan perilaku yang tidak asertif.

Tercapainya pembentukan pribadi yang asertif akan menghantar seseorang pada eksistensi diri yang secara mental mantap dan seimbang. Perilaku asertif merupakan pengembangan pribadi yang positif meliputi perilaku yang jujur (terus terang), langsung dan ekspresi yang penuh penghargaan terhadap pikiran, perasaan dan keinginan dengan mempertimbangkan perasaan dan hak-hak orang lain. Inti dari perilaku asertif adalah (1) mempertahankan hak, (2) mengekspresikan diri, (3) langsung, terbuka dan jujur, dan (4) menghargai hak orang lain (Dokler, 1990). Sikap ini tidak hanya berarti seseorang mampu mengemukakan pendapat dan


(24)

berbuat sesuai dengan apa yang diinginkannya, tapi juga mampu untuk mengendalikan diri dengan mempertimbangkan dampak dari baik dan buruknya perilaku yang akan dilakukan demi menjaga keseimbangan dan keharmonisan hubungan dalam lingkungan sosialnya.

Secara umum perilaku manusia dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: perilaku nonasertif (pasif), asertif (tegas) dan agresif. Dari ketiga kategori tersebut, perilaku yang kurang disadari oleh kebanyakan remaja adalah perilaku asertif. Para remaja kurang tegas dalam memberikan respon terhadap perilaku sosial dari teman sebaya karena mudah terbawa suasana hati atau diliputi perasaan canggung ketika harus memutuskan akan menerima atau menolak suatu perilaku yang di dapat dari lingkungannya. Dalam hal ini, remaja untuk menentukan sikap dan memilih perilaku yang tepat sangat dipengaruhi oleh kemampuan bersikap dan berperilaku tegas.

Masalah perilaku asertif dapat dijumpai dalam setiap kelompok usia, termasuk remaja. Menurut pendapat penulis, perilaku asertif pada remaja justru menarik untuk diteliti, mengingat "keunikan" yang dimiliki masa remaja dibandingkan dengan masa yang lain seperti masa anak-anak atau masa dewasa. Keunikan atau ciri khas yang dimaksud adalah bahwa di masa tersebut remaja sedang mengalami masa "transisi", status remaja menjadi tidak jelas, ia bukan lagi sebagai anak-anak dan bukan pula menjadi orang dewasa. Calon (dalam Monks,dkk 1994:253) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Masa


(25)

transisi yang dialami oleh remaja tersebut membawa dampak pada bergeraknya kehidupan sosial remaja dari “meninggalkan” orang tua menuju teman sebaya. Sementara itu perilaku asertif berbeda dengan agresif karena dalam perilaku asertif remaja dituntut untuk tetap menghargai orang lain tanpa melakukan kekerasan baik fisik maupun verbal sedangkan perilaku agresif lebih cenderung menyakiti orang lain melalui fisik maupun verbal apabila tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki.

Bambang Mulyono (1993:18) mengatakan bahwa seorang remaja tergugah rasa sosial untuk bergabung dengan anggota kelompok lain. Pergaulan yang dahulu terbatas keluarga, tetangga dan teman sekolah menjadi meluas sehingga tidak jarang mereka meninggalkan rumah. Penggabungan diri dengan anggota kelompok lain sebenarnya merupakan usaha mencari nilai-nilai baru dan ingin berjuang mencapai nilai-nilai itu, sebab remaja mulai meragukan kewibawaan dan kebijaksanaan orang tua. Dengan demikian remaja akan patuh pada nilai-nilai, kebiasaan, kesukaan pada kebudayaan kelompoknya. Kondisi transisi yang sedang dialami oleh remaja maka remaja cenderung mengupayakan penyelesaian konflik dengan teman sebaya.. Hal itu dikarenakan remaja berada dalam nasib yang sama.

Perkembangan sosial pada masa remaja menuntut remaja untuk memisahkan diri dari orangtuanya dan menuju kearah teman – teman sebayanya, hal itu merupakan proses perkembangan remaja yaitu bahwa secara naluriah anak mempunyai dorongan untuk berkembang dari posisi ketergantungan ke posisi mandiri (Syamsu Yusuf, 2006: 123). Kedaaan


(26)

demikian akan menyatukan tali persahabatan menjadi lebih erat diantara remaja. Apabila dalam pertemanan dengan teman sebaya dijunjung tinggi nilai kejujuran, saling menghormati dan menghargai hak orang lain maka upaya penyelesaian konflik pada remaja akan lebih terarah, yaitu para remaja mengupayakan penyelesaian dengan kooperatif tidak dengan tindakan menyimpang. Namun yang terjadi akan lain apabila didalam pertemanan dengan teman sebaya terdiri dari remaja yang suka melakukan perilaku menyimpang seperti suka membolos, merusak fasilitas umum, bahkan sampai pada perilaku maladaptif lainnya, maka penyelesaian konflik akan semakin tidak asertif. Oleh karena itu, kemampuan untuk berperilaku asertif sangat diperlukan dan ditanamkan sedini mungkin mengingat apabila seorang remaja tidak dapat berperilaku asertif, maka dimasa yang akan datang remaja akan memiliki kepercayaan diri yang rendah untuk mengemukakan perasaannya kepada orang lain karena merasa apa yang disampaikannya selalu tidak dipedulikan orang lain.

Secara umum bimbingan dan konseling dalam lingkungan sekolah merupakan proses pemberian bantuan kepada para siswa dengan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan tentang kesulitan yang diharapkan dalam rangka optimalisasi pengembangan sehingga mereka dapat memahami diri, mengarahkan diri dan bertindak serta bersikap sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan visi bimbingan dan konseling dalam Mugiarso Heru (2007:2) yang menyatakan bahwa pelayanan konseling adalah terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang


(27)

membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian dukungan perkembangan dan pengentasan masalah agar peserta didik berkembang secara optimal, mandiri dan bahagia.

Perencanaan layanan bimbingan dan konseling amatlah krusial. Salah satu bagian dari kegiatan bimbingan dan konseling ini adalah menentukan pendekatan, metode, strategi, dan teknik layanan bimbingan dan konseling. Apabila guru memilih pendekatan, metode, strategi, dan teknik yang tidak tepat dapat dipastikan bahwa layanan tidak akan berjalan efektif. Sementara bila guru berhasil memilih dan menentukan pendekatan, metode, strategi, dan teknik bimbingan dengan baik, dapat diasumsikan bahwa layanan yang akan dilakukannya kemungkinan besar akan berjalan efektif serta membantu peserta didik mencapai perkembangan yang optimal. Pemberian metode, strategi dan teknik bimbingan bukan hanya dengan ceramah, tetapi bisa menggunakan suatu tindakan yang berupa penelitian. Penelitian yang dapat dilakukan oleh guru BK adalah penelitian tindakan dengan cakupan kelas yang menggunakan metode, strategi dan teknik untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan dari tindakan ini berdasarkan sasaran penelitian yaitu siswa sendiri, dalam membantu mencapai kebutuhannya dan menyelesaikan permasalahan yang menghambat. Agar remaja, khususnya siswa kelas VII D di SMP Negeri 2 Moyudan memiliki kemampuan berperilaku asertif maka perlu adanya bimbingan yang tepat dari guru bimbingan dan konseling di SMP tersebut. Layanan bimbingan kelompok merupakan salah satu jenis layanan yang dianggap tepat untuk memberikan kontribusi pada siswa untuk


(28)

meningkatkan berperilaku asertif. Seiring dengan hal tersebut maka penulis bermaksud menggunakan teknik psikodrama untuk meningkatkan perilaku asertif pada siswa kelas VII D di SMP Negeri 2 Moyudan.

SMP Negeri 2 Moyudan merupakan salah satu sekolah negeri di Yogyakarta yang cukup jauh dari perkotaan, berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang di lakukan pada tanggal 23 Februari 2016 di sekolah tersebut peneliti memperoleh berbagai informasi dari Guru BK maupun siswa kelas VII . Dengan demikian peneliti mengetahui apabila belum pernah dilakukan bimbingan dan konseling khususnya untuk meningkatkan perilaku asertif melalui teknik psikodrama, selain itu berdasarkan wawancara terhadap tiga siswa yakni siswa banyak teman – temannya di sekolah mulai mengalami perubahan perilaku karena mengikuti pergaulan kakak tingkat maupun teman sebayanya dan tidak jarang siswa membolos karena tidak enak jika harus menolak ajakan teman maupun berkelahi hanya karena masalah membela teman yang belum tentu benar. Dari perkelahian tersebut menunjukkan beberapa siswa masih tidak mampu menerima kecaman dan kritikan dari orang lain baik untuk dirinya sendiri maupun temannya. Adanya permasalahan siswa yang demikian menunjukkan kurangnya kemampuan perilaku asertif pada siswa.

Wawancara juga dilakukan dengan guru BK, dari hasil wawancara didapat beberapa permasalahan – permasalahan lain yang dialami siswa. Beberapa siswa sering melakukan perusakan fasilitas sekolah, sering sekali merusak kran air. Saat jam pelajaran berlangsung ada siswa yang keluar kelas


(29)

hanya untuk bermain – main di luar, cuci tangan atau bertemu dengan teman kelas lain, dan teman sekelasnya pun ikut – ikutan keluar kelas mengikutinya. Mereka hanya mengikuti ajakan teman lain, dan pada hal mereka tahu perbuatan tersebut keliru. Di dalam ruangan kelas pun kondisinya ramai, masih ada sebagian siswa yang tidak mendengarkan penjelasan guru malah sedang mengobrol dan bermain dengan temannya. Hal ini juga teramati langsung melalui observasi di sekolah, siswa melakukan beberapa tindakan yang melanggar peraturan sekolah yang merugikan siswa sendiri, karena mereka kurang memiliki rasa tanggung jawab, menghormati orang lain, penerimaan diri, dan rasa percaya diri dalam diri mereka sendiri yang membuat rendahnya motivasi siswa untuk menjadi individu yang baik dan berprestasi di sekolah. Untuk itu dibutuhkan peningkatan perilaku asertif bagi para siswa, sehingga mereka dapat memilih, menentukan dan mengarahkan perilakunya ke hal yang positif bukan hal yang merugikan diri mereka sendiri.

Menurut Bennet (Tatiek Romlah 2001:99), Psikodrama merupakan bagian dari permainan peranan (role playing). Bennet membagi permainan peranan menjadi dua macam yaitu sosiodrama dan psikodrama. Corey (dalam Tatiek Romlah, 2006: 108) menjelaskan psikodrama merupakan permainan peranan yang dimaksudkan individu yang bersangkutan dapat memperoleh pengertian lebih baik tentang dirinya, menyatakan kebutuhan-kebutuhannya, dan menyatakan reaksi terhadap tekanan-tekanan terhadap dirinya. Dalam psikodrama ini, siswa dapat menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk


(30)

berperilaku asertif karena perilaku asertif sangat penting remaja miliki sejak dini. Psikodrama memberikan kesempatan orang untuk melihat kehidupan pribadi dengan cara pandang berbeda setelah kehidupan pribadi itu didramakan dan dimainkan oleh orang yang berada dalam kelompok bersamanya (Johana E. Prawitasari, 2011: 177).

Psikodrama yaitu salah satu cara yang bisa digunakan sebagai media pengembangan manusia (human development), dengan berakting dalam sebuah drama diharapkan akan dapat menyadarkan seseorang (insight) dan juga menggali (to explore ) permasalahan yang sedang dihadapinya. Departemen Pendidikan Nasional (2008) dalam Strategi Pembelajaran dan Pemilihannya mendefinisikan Psikodrama sebagai teknik bimbingan dengan bermain peran yang bertitik tolak dari permasalahan-permasalahan psikologis. Psikodrama digolongkan ke dalam metode simulasi dan merupakan teknik bimbingan yang dapat digunakan untuk mengimplemetasi strategi bimbingan dan konseling. Selain itu Psikodrama dapat juga dimplementasikan untuk melepaskan tekanan-tekanan yang dialami sebagai suatu katarsis. Hal ini didukung oleh hasil penelitian tesis yang dilakukan oleh Marissa D’ Morstad (dalam Linda Dwi S dan Sri Wijayanti: 8) pada tahun 2003 dengan judul “Drama’s Roll In School Counseling”. Tesis ini mendukung para konselor sekolah untuk membimbing dan menggabungkan teknik dramatis yang dilakukan disekolah dengan bimbingan konseling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa drama mampu memberikan banyak kesempatan untuk mengeksplorasi tentang kebutuhan-kebutuhan dalam


(31)

bimbingan dan konseling untuk membantu anak-anak dan remaja. Suatu metode yang bermanfaat untuk para guru bimbingan dan konseling di sekolah yang mengintegrasikan teknik-teknik dari psikodrama, drama therapy dan bibliodrama yang secara teoritis diusulkan untuk diterapkan.

Psikodrama merupakan salah satu teknik bimbingan dan konseling kelompok yang sangat bermanfaat bagi peserta didik. Psikodrama dapat digunakan oleh guru BK untuk membantu memecahkan masalah-masalah siswa yang bersifat psikologis. Teknik psikodrama ini memang sangat membantu untuk pemecahan masalah maupun menanamkan kemampuan berperilaku asertif karena siswa secara spontan dapat menggali sendiri masalahnya (mengeksporasi potensi-potensi yang ada dalam dirinya), meluapkan emosi yang terpendam serta mendapatkan pemecahan masalah. Dari proses dilaksanakannya psikodrama mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan diskusi siswa dilibatkan sepenuhnya, sehingga pemecahan masalahnya tepat dan siswa lebih mudah mempelajarinya. Tahap perencanaan siswa menentukan sendiri permasalahan apa yang mereka ingin pecahkan, sehingga siswa mampu mengeluarkan semua permasalahannya. Tahap pelaksanaan yang didalamnya merupakan proses pemecahan masalah yang dilakukan siswa sendiri, sehingga siswa lebih memahami permasalahannya dan mampu menemukan solusi yang tepat. Selanjutnya tahap diskusi siswa saling bertukar pendapat, pikiran, perasaan dan pengetahuannya tentang masalah apa yang muncul dan apa solusi yang tepat, sehingga siswa


(32)

mendapat banyak pemecahan masalah berdasarkan dari pengalaman temannya.

Melalui teknik psikodrama diharapkan perilaku asertif siswa dapat meningkat dengan baik, di tambah teknik psikodrama mudah dilaksanakan dari segi waktu, tempat dan biaya. Psikodrama dapat dilakukan didalam kelas atau diluar kelas sehingga siswa nyaman untuk mengikutinya dan tidak memakan waktu yang lama. Untuk mendapatkan hasil maksimal bagi siswa psikodrama dapat dilaksanakan berkali – kali atau bersiklus sesuai dengan tujuan dan kebutuhan siswa, karena dilaksanakannya psikodrama didasarkan adanya kebutuhan untuk dipenuhi. Sebelum dilaksanakan psikodrama diperlukan tindakan yang tepat dari persiapan atau pra-tindakan sehingga pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik, selain itu melakukan tindak lanjut setelah dilaksanakan psikodrama atau paca-tindakan untuk memperoleh hasil maksimal. Bukan hanya hasil dari psikodrama yang ingin dicapai, tapi juga bagaimana proses dari pelaksanaan psikodrama perlu diperhatikan karena saat itulah terjadi proses belajar bagi siswa. Semakin baik prosesnya maka semakin baik hasil yang akan diperoleh, dengan hal ini teknik psikodrama tepat dilakukan untuk diberikan kepada siswa untuk meningkatkan perilaku asertif.

Memahami dari hal yang demikian menggugah penulis untuk memberikan perhatian khusus, meneliti tentang peningkatkan perilaku asertif melalui teknik psikodrama pada siswa kelas VII D di SMP Negeri 2 Moyudan yaitu bermain peran dengan penuh harapan untuk dapat dan mampu


(33)

berkembang sebagai teknik yang efektif dalam layanan bimbingan dan konseling khususnya tentang perilaku asertif.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah ditentukan di atas, masalah dalam penelitian dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Meningkatnya kenakalan remaja salah satunya disebabkan pemilihan berinteraksi dengan lingkungan pergaulan yang salah dan remaja kurang mampu untuk menolaknya serta cenderung menirunya.

2. Pembentukan perilaku asertif yang kurang dari remaja membuat ketidakmampuan menerima kecaman dan kritikan, akan menimbulkan respon perilaku agresif atau kebalikannya muncul rasa rendah diri.

3. Hasil pengamatan di SMP Negeri 2 Moyudan menunjukkan adanya beberapa siswa yang tidak percaya diri untuk memberikan pendapat atau respon terhadap perilaku sosial yang baik dengan teman dan guru karena rendahnya perilaku asertif pada diri siswa.

4. Pelayanan bimbingan dan konseling harus selalu berkembang, dengan membuat teknik layanan yang lebih efektif untuk meningkatkan perilaku asertif.

5. Rendahnya tingkat partisipasi siswa dalam mengikuti pelaksanaan layanan, diperlukan teknik psikodrama untuk meningkatkan semangat siswa dalam mengikuti layanan.


(34)

C. Batasan Masalah

Dikarenakan masih umumnya permasalahan pada identifikasi masalah yang ada dan keterbatasan peneliti, maka penelitian ini dirasa perlu mempunyai batasan masalah dengan tujuan agar penelitian menjadi lebih fokus dan terarah mengenai yaitu:

1. Peningkatan perilaku asertif melalui teknik psikodrama pada siswa kelas VII D di SMP Negeri 2 Moyudan

2. Teknik psikodrama dapat meningkatkan perilaku asertif pada siswa kelas VII D di SMP Negeri 2 Moyudan

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah peningkatan perilaku asertif dapat dilakukan melalui teknik psikodrama pada siswa kelas VII D di SMP Negeri 2 Moyudan?

2. Bagaimana teknik psikodrama dapat meningkatkan perilaku asertif pada siswa kelas VII D di SMP Negeri 2 Moyudan?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah, maka tujuan penelitian yang diharapkan adalah

1. Meningkatnya perilaku asertif melalui teknik psikodrama pada siswa kelas VII D di SMP Negeri 2 Moyudan.

2. Teknik psikodrama dapat meningkatkan perilaku asertif pada siswa kelas VII D di SMP Negeri 2 Moyudan.


(35)

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu : 1. Secara Teoritis

Diharapkan mampu memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan turut berkontribusi dalam bidang pendidikan, khususnya bimbingan dan konseling yaitu meningkatkan perilaku asertif dikalangan siswa pada masa remaja dengan memanfaatkan efektivitas teknik psikodrama.

2. Secara Praktis a. Bagi siswa

Diharapkan mampu melatih serta menumbuh kembangkan kepercayaan diri pada siswa dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial, berani berpendapat, bersikap terbuka dan bersikap layaknya siswa asertif.

b. Bagi Guru/ Wali Kelas

Diharapkan mampu membantu proses kegiatan belajar mengajar agar berjalan dengan baik tanpa dibatasi dengan sikap siswa yang masih cenderung merasa malu untuk bertanya.

c. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling

Diharapkan mampu meningkatkan pelayanan program bimbingan dan konseling sekolah dan mempermudah guru bimbingan dan konseling untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya berperilaku asertif serta dapat dijadikan sebagai landasan berfikir


(36)

dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling terutama bimbingan pribadi sosial.

d. Bagi peneliti selanjutnya, bisa dijadikan bahan pertimbangan pengembangan untuk penelitian selanjutnya dengan topik yang sama maupun berbeda khususnya yang berhubungan dengan perilaku asertif pada remaja.


(37)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perilaku Asertif

1. Pengertian Perilaku Asertif

Asertif merupakan terjemahan dari istilah assertiveness atau assertion, yang artinya titik tengah antara perilaku non asertif dan perilaku agresif. Orang yang memiliki tingkah laku atau perilaku asertif, yaitu : a. Memiliki kepercayaan diri yang baik.

b. Dapat mengungkapkan pendapat dan ekspresi yang sebenarnya tanpa rasa takut.

c. Berkomunikasi dengan orang lain secara lancar.

Dalam berperilaku asertif, seseorang dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam mengekspresikan perasaan, pendapat dan kebutuhannya secara proporsional, tanpa ada maksud memanipulasi, memanfaatkan atau pun merugikan pihak lainnya atau mengancam integritas pihak lain. Sebaliknya orang yang kurang asertif adalah mereka yang memiliki ciri - ciri antara lain seperti: terlalu mudah mengalah atau lemah, mudah tersinggung, cemas, kurang yakin pada diri sendiri, sukar untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Menurut Lazarus (dalam Iriani Niken, 2009) perilaku asertif mengandung suatu tingkah laku yang penuh ketegasan yang timbul karena adanya kebebasan emosi dan keadaan efektif yang mendukung yang antara lain meliputi :


(38)

a. menyatakan hak-hak pribadi.

b. berbuat sesuatu untuk mendapatkan hak tersebut

c. melakukan hal tersebut sebagai usaha untuk mencapai kebebasan emosi.

Menurut Suterlinah Sukaji (dalam Zainal Abidin, 2011:130) perilaku asertif adalah perilaku seseorang dalam hubungan antar pribadi yang menyangkut ekspresi emosi yang tepat, jujur, relatif terus terang, dan tanpa perasaan cemas terhadap orang lain yang mencakup aspek perbaikan dan penerimaan diri, ekspresif, percaya diri dan berpendirian. Perilaku asertif merupakan perilaku seseorang dalam mempertahankan hak pribadi serta mampu mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinan secara langsung dan jujur dengan cara yang tepat. Dengan kata lain bahwa perilaku asertif sebagai perilaku antar pribadi yang bersifat jujur dan terus terang dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan mempertimbangkan pikiran dan kesejahteraan orang lain. Orang yang memiliki tingkah laku asertif adalah mereka yang menilai bahwa orang boleh berpendapat dengan orientasi dari dalam diri mereka sendiri dengan tetap sungguh-sungguh memperhatikan hak-hak orang lain dan pada umumnya mereka mempunyai kepercayaan diri yang kuat.

Perilaku asertif menurut Rimm dan Masters (dalam Rakos, 1991: 8) merupakan tingkah laku dalam hubungan interpersonal yang bersifat jujur dan mengekspresikan pikiran – pikiran dan perasaan dengan memperhitungkan kondisi sosial yang ada. Mereka tidak menghina,


(39)

mengancam ataupun meremehkan orang lain. Orang asertif mampu menyatakan perasaan dan pikirannya dengan tepat dan jujur tanpa memaksakannya kepada orang lain (Iriani Niken, 2009).

Menurut Lange dan Jakubowski (dalam Rakos, 1991: 8) menjelaskan bahwa perilaku asertif meliputi pertahanan terhadap hak individu untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinan yang diungkapkan secara langsung, jujur, tepat dan tidak melanggar hak asasi orang lain.

Palmer & Froehner (dalam Anindyajati dan Karima, 2004: 51-52) mengemukakan bahwa individu yang dapat mengembangkan asertivitasnya berarti ia dapat mengendalikan hidupnya, dengan cara mengemukakan pendapat dan pemikiran secara tegas dan jujur, melakukan permintaan atas sesuatu yang diinginkan dan melakukan penolakan terhadap sesuatu yang tidak diinginkan. Ditambahkan pula bahwa asertivitas adalah kemampuan individu dalam menampilkan tingkah laku tegas, yang dilakukan dengan sopan tanpa bersikap agresif maupun defensif. Individu yang asertif tidak menyerang ataupun menghakimi orang lain, tetapi juga tidak terlalu menahan diri. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Rathus & Nevid (dalam Anindyajati dan Karima, 2004:52) yaitu terdapat alternatif dari tingkah laku asertif yang mencakup tingkah laku non asertif dan tingkah laku agresif, yang menerangkan bahwa tingkah laku asertif bukan merupakan tingkah laku yang menahan


(40)

diri (non asertif) dan juga bukan tingkah laku yang mengekspresikan perasaan secara berlebihan (agresif).

Atkinson (dalam Wahyuni Eka Pratiwi, 2015: 348-357) menambahkan bahwa menjadi asertif mensyaratkan apa yang menjadi hak-hak pribadi atau apa yang diinginkan dari suatu situasi dan mempertahankannya sekaligus tidak melanggar hak orang lain. Yang menjelaskan bahwa sikap asertif juga berarti kemampuan untuk tidak sependapat dengan orang lain tanpa menggunakan manipulasi dan alasan yang emosional, dan mampu bertahan di jalur yang benar, yaitu mempertahankan pendapat dengan tetap menghormati pendapat orang lain Stein dan Howard (dalam Wahyuni Eka Pratiwi, 2015: 348-357).

Dari definifi tentang beberapa pengertian perilaku asertif diatas dapat disimpulkan perilaku asertif merupakan sikap atau kemampuan berperilaku yang menyangkut ekspresi keinginan, kebutuhan ataupun perasaan yang relatif terbuka, bebas, jujur dan secara cepat ( spontan ) tanpa merugikan diri sendiri dan melanggar hak – hak orang lain. Selain itu juga merupakan suatu pengembangan pribadi atau individu yang positif, karena tercapainya pembentukan pribadi yang asertif akan mengantarkan pada eksistensi diri yang mantap dan seimbang secara mental.


(41)

2. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Asertif

Faktor–faktor yang mempengaruhi perilaku asertif menurut Rathus dan Nevid (dalam Fensterheim dan Baer 1995: 65) terdapat 6 faktor yang mempengaruhi perkembangan perilaku asertif yaitu sebagai berikut :

a. Jenis Kelamin

Sejak kanak – kanak peran pendidikan laki – laki dan perempuan telah dibedakan oleh masyarakat. Sejak kecil telah dibiasakan bahwa laki – laki harus tegas dan kompetitif, oleh sebab itu tampak terlihat bahwa perempuan lebih bersikap pasif terutama terhadap hal – hal yang kurang berkenan dihatinya. Beberapa ahli berpendapat jika anak laki – laki lebih tegas dan dominan dari anak perempuan dalam perilaku verbal maupun non verbal dalam berinteraksi sehari-hari. Perempuan akan asertif jika mereka ada dalam suatu pertemuan dengan sesama jenis.

b. Self Esteem

Keyakinan seseorang turut mempengaruhi kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan. Orang yang memiliki keyakinan diri yang tinggi memiliki kekhawatiran sosial yang rendah sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan perasaan tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri.


(42)

c. Kebudayaan

Segala yang berhubungan dengan sikap hidup, adat istiadat dan kebudayaan pertama kali dikenal melalui keluarga. Tuntutan lingkungan menentukan batas perilaku sesuai dengan usia, jenis kelamin, dan status sosial seseorang

d. Tingkat Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin luas wawasan berpikir sehingga memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dengan lebih terbuka

e. Tipe Kepribadian

Proses komunikasi merupakan syarat utama berinteraksi. Interaksi akan lebih efektif jika setiap orang mau berperan aktif dan orang yang berperan aktif dalam komunikasi adalah mereka yang secara spontan mengutarakan buah pikiran dan menanggapi pendapat serta sikap pihak lain.sikap spontan cenderung muncul dari orang yang berkepribadian ekstrovert dan tidak mempunyai ketegangan dalam dirinya.

f. Situasi tertentu lingkungan sekitar

Dalam berperilaku seseorang akan melihat kondisi dan situasi dalam arti luas misalnya antara atasan dan bawahan. Situasi dalam kehidupan tertentu akan dikhawatirkan mengganggu.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa proses pembentukan perilaku asertif ditentukan oleh jenis kelamin, self esteem,


(43)

tingkat pendidikan, kebudayaan, tipe kepribadian dan situasi tertentu lingkungan sekitar.

3. Ciri Perilaku Asertif

Dalam tulisan Tjalla Awaluddin (2008: 3) ciri dari perilaku asertif merujuk pada teori Lange dan Jakubowski (1978) adalah sebagai berikut:

a. Memulai interaksi

b. Menolak permintaan yang tidak layak

c. Mengekspresikan ketidaksetujuan dan ketidaksenangan d. Berbicara dalam kelompok

e. Mengekspresikan pendapat dan saran f. Mampu menerima kecaman dan kritik g. Memberi dan menerima umpan balik

Ditambahkan oleh Palmer & Froener (2002) ciri-ciri individu yang asertif adalah:

a. Bicara jujur

b. Memperlakukan orang lain dengan hormat, begitu pula sebaliknya c. Menampilkan diri sendiri dan menyayangi orang lain

d. Memiliki hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain

e. Tenang dalam keseharian dan memperlihatkan selera humor dalam menghadapi situasi-situasi yang sulit.

Seseorang yang memiliki perilaku asertif memiliki rasa percaya diri, mampu menerima diri sendiri sebagaimana adanya maksudnya menerima kekurangan dan kelebihan pada diri individu tanpa merasa


(44)

rendah diri, berpendirian teguh, tanpa perasaan cemas terhadap orang lain, tanpa mengesampingkan ataupun menyakiti orang lain dan melanggar hak – hak yang dimiliki orang lain, orang yang asertif dapat menjalin hubungan baik dengan orang yang baru dikenal, memiliki perasaan yang positif terhadap orang lain, menghormati orang lain serta memberikan perhatian dengan pujian untuk orang lain.

4. Perkembangan Perilaku Asertif

Usaha mencapai hubungan yang seimbang dengan teman sebaya remaja perlu memiliki kemampuan berperilaku asertif untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan pergaulannya. Seperti yang diungkapkan Qurotul A’Yuni (2010) bahwa remaja yang asertif adalah remaja yang mampu mengemukakan perasaan dengan ekspresi sebenarnya secara tepat dan tegas tanpa rasa takut menyakiti orang lain. Berdasarkan beberapa paparan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif adalah suatu perilaku yang mampu menyatakan pikiran, perasaan yang sebenarnya secara jujur dan langsung kepada orang lain tanpa disertai perasaan cemas dan takut serta tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Pada umumnya tidak sedikit remaja dalam berhubungan dengan teman sebaya lebih suka diam, kurang bahkan tidak berani untuk berkata sesuai kehendak hatinya, hal tersebut sering dan biasa terjadi karena remaja merasa minder dan cemas jika tidak diterima dalam kelompok lingkup sosialnya, sehingga cenderung menyebabkan dirinya dijauhi oleh


(45)

teman sebayanya atau kelompoknya. Calhoun dkk (terjemahan Satmoko, 1995) menjelaskan bahwa orang yang berperilaku asertif adalah mampu mengatakan “Inilah saya. Saya perlu diperhitungkan. Saya mempunyai hak untuk menjadi seperti yang saya inginkan, dan menginginkan sesuatu yang memang saya inginkan, serta saya akan jalankan semua keputusan saya”. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa perilaku asertif yang dimiliki oleh remaja dapat menjadikan para remaja mampu menciptakan hubungan sosial yang baik dengan teman sebayanya dan dalam lingkup pergaulannya sehari-hari.

5. Tujuan dan Manfaat Perilaku Asertif

Keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain sangat ditentukan oleh sikap dan tingkah laku individu yang bersangkutan Oleh karena itu, cara berperilaku menjadi penting dalam kehidupan seseorang khususnya perilaku asertif. Kegagalan dalam hubungan sosial sering disebabkan karena seseorang tidak bisa berperilaku asertif, dalam arti tidak mampu mengekspresikan perasaan yang sesungguhnya. Sebagai makhiuk sosial, manusia selalu berhubungan dengan orang lain. Kemampuan untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain dalam bergaul bersama orang lain untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkannya.

Dari beberapa pendapat dan penelitian para ahli dibawah ini dapat diketahui besarnya manfaat berperilaku asertif, antara lain:


(46)

a. Menurut hasil penelitian Sanchez dan Lewinsohn ( dalam Retnaningsih,1992) menemukan bahwa semakin tinggi kemampuan seseorang dalam berperilaku asertif akan makin tidak mudah terbawa dalam kondisi depresi.

b. Menurut Goddard (dalam Prabana, 1997). Perilaku asertif dapat pula membantu seseorang dalam memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Hal ini disebabkan dalam proses aktualisasi dibutuhkan keterbukaan, kesadaran diri, kemampuan menyesuaikan diri, dan perhatian terhadap hak-hak orang lain.

Selain itu menurut Sugiyo (2005: 110) akibat dari emosi, sikap dan perilaku yang tidak tegas atau tidak asertif akan dijauhi dari lingkungannya, dengan kondisi yang demikian akan mengurangi rasa percaya diri karena tidak bersosialisasi dengan lingkungan yang baik. Dari pendapat tersebut, menunjukkan pentingnya perilaku asertif dikembangkan oleh siswa. Dengan berperilaku asertif mereka akan mendapatkan kehidupan sosial yang baik.

Dari beberapa pendapat dan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif sangat berguna bagi kehidupan manusia. Dengan memiliki kemampuan berperilaku asertif, seseorang tidak akan depresi, sehingga memungkinkan seseorang memperoleh kepuasan dalam hidup dan membantu dalam mewujudkan aktualisasi diri sehingga memungkinkan tercapainya kualitas hidup yang lebih baik. Selain itu, asertivitas sangat bermanfaat bagi penyesuaian sosial dalam lingkungan


(47)

manapun dimana terjadi interaksi atau hubungan dengan orang lain. Penyesuaian sosial yang baik akan membawa pribadi yang sehat dan mental yang sehat. Dengan perilaku asertif, komunikasi dengan orang lain dapat berlangsung secara efektif dan lancar karena tidak adanya perasaan cemas dan takut, serta mendukung perkembangan motivasi berprestasi seseorang, sehingga memudahkan seseorang untuk mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan.

6. Perilaku Asertif Remaja

Masa remaja merupakan salah satu fase dalam rentang perkembangan manusia yang terentang sejak anak masih dalam kandungan sampai meninggal dunia (file span development). Pada masa remaja terjadi ketegangan emosi yang bersifat khas sehingga masa ini disebut masa badai dan topan (storm and stress), masa yang menggambarkan keadaan emosi remaja yang tidak menentu, tidak stabil dan meledak-ledak.

Menurut Monks,dkk (Desiani Maentiningsih, 2008) remaja adalah suatu periode peralihan dari masa kanak – kanak ke masa dewasa. Sejalan dengan hal tersebut, Santrock (2003: 26) berpendapat bahwa masa remaja dimaksudkan sebagai masa perkembangan peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional. Perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berfikir abstrak sampai pada kemandirian.


(48)

Siti Partini Suardiman (1995: 121-122) berpendapat masa remaja dibagi ke dalam masa remaja awal yang berlangsung kira-kira usia 13-16 tahun, sering disebut usia belasan dan masa remaja akhir dimulai pada usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, berlangsung sangat singkat, yaitu usia yang secara hukum dianggap sudah matang. Sedangkan menurut Papalia dan Olds (dalam Yudrik Jahja, 2011: 220), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai Papalia &Olds (dalam Yudrik Jahja, 2011: 220). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak Hurlock (dalam Yudrik Jahja, 2011: 220).

Dilihat dari perkembangan sosialnya, masa remaja termasuk pada tahap kelima dari teori psikososial dari Erikson yaitu pencarian identitas versus kebingungan identitas. Dimana pada masa itu remaja dihadapkan pada pencarian pengetahuan tentang dirinya, apa dan dimana serta bagaimana tentang dirinya. Sedangkan menurut Anna Freud (dalam Yudrik Jahja, 2011: 220) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi


(49)

proses perkembangan meliputi perubahan – perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, di masa pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja ini merupakan satu masa penting dimana terjadi masa peralihan atau masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang disertai dengan berbagai perubahan seperti perubahan biologis, sosial dan psikologis yang berlangsung antara umur 12 atau 13 dan berakhir pada usia belasan tahun atau dua puluhan tahun yaitu usia yang matang secara hukum.

Masa remaja mempunyai ciri yang berbeda dengan masa sebelumnya atau sesudahnya, Menurut Hurlock (Rita Eka Izzaty dkk, 2008: 124-126) menjelaskan ciri-ciri tersebut yang meliputi:

a. Masa remaja sebagai periode penting

Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat menimbulkan penyesuaian mental dan membentuk sikap, nilai dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Masa remaja harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak – kanakan serta mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan. Pada


(50)

masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat pesat, juga perubahan perilaku dan sikap yang berlangsung pesat. Sebaliknya jika perubahan fisik menurun maka diikuti perubahan sikap dan perilaku yang menurun juga

d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pada masa ini mereka mulai mendambakan identitas diri atau tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman – teman dalam segala hal, seperti masa sebelumnya. Namun adanya sifat yag mendua, dalam beberapa kasus menimbulkan suatu dilema yang dapat menyebabkan krisis identitas. Pada saat ini remaja berusaha untuk menunjukkan siapa dirinya dan peranannya dalam kehidupan masyarakat.

e. Usia bermasalah

Pada saat remaja, masalah yang dihadapi akan diselesaikan secara mandiri, mereka menolak bantuan orang tua dan orang lain. f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan atau kesulitan

Pada masa remaja sering timbul pandangan yang kurang baik atau bersifat negatif dan hal tersebut mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja pada dirinya. Dengan demikian remaja sulit melakukan peralihan menuju masa dewasa


(51)

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja lebih memandang dirinya dan diri orang lain sebagaimana apa yang diinginkannya, terlebih pada cita – cita sehingga mengakibatkan emosi mereka meninggi dan mudah marah apabila keinginannya tidak tercapai. Semakin bertambahnya pengalaman pribadi dan sosialnya serta kemampuan berfikir rasional remaja memandang diri dan orang lain semakin realistik.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Menjelang menginjak dewasa, mereka merasa gelisah untuk meninggalkan masa belasan tahunnya, mereka belum siap berperilaku sebagai orang dewasa sehingga mereka mulai berperilaku seperti status orang dewasa.

Terdapat perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Menurut Havighurst ( Rita Eka Izzaty dkk, 2008: 126 ), bahwa ada beberapa tugas perkembangan yang harus diselesaikan dengan baik oleh remaja yaitu :

a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab e. Mempersiapkan karir ekonomi


(52)

f. Mempersiapkan perkawinan dalam keluarga

g. Memperoleh perangkat nilai-nilai dan sistem etika sebagai pegangan untuk berperilaku

Memasuki jenjang dewasa telah terbayang oleh remaja berbagai hal yang akan dihadapi tidak hanya yang berkaitan dengan perubahan fisik, sosial dan ekonomi akan tetapi juga menghadapi tugas yang berkaitan dengan faktor psikologis seperti pencapaian kebahagiaan dan kepuasan, persaingan, kekecewaan dan perang batin yang dapat terjadi karena adanya perbedaan norma masyarakat dalam sistem kehidupan sosial dan kata hati setiap individu.

Perkembangan pada masa remaja merupakan perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan yang dapat terjadi secara kuantitatif, seperti pertambahan tinggi dan berat badan; dan secara kualitatif, mengenai perubahan tentang cara berpikir konkrit menjadi abstrak (Papalia &Olds, dalam Yudrik Jahja, 2011: 221). Perkembangan dalam kehidupan manusia terjadi pada aspek-aspek yang berbeda. Ada tiga aspek perkembangan yang terjadi pada masa remaja, antara lain:

a. Perkembangan fisik

Merupakan perubahan-perubahan yang meliputi pada tubuh, otak, kapasitas sensorik dan ketrampilan motorik yang ditandai dengan pertambahan tinggi-berat badan, pertumbuhan tulang-otot, dan kematangan organ seksual serta fungsi reproduksi.


(53)

b. Perkembangan kognitif

Perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa (Piaget dalam Yudrik Jahja, 2011:232) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif yang terjadi, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas yang cenderung memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak, disebutkan juga bahwa tahap perkembangan kognitif ini merupakan tahap operasi formal, yaitu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak yang tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan demikian mencapai tahap tersebut seorang remaja dapat dikatakan telah mampu berpikir secara fleksibel dan kompleks.

c. Perkembangan kepribadian dan sosial

Perkembangan kepribadian merupakan perubahan tentang cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik, sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan kepribadian yang syarat pada masa remaja adalah pencarian identitas diri yaitu proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Yudrik Jahja, 2011: 234).


(54)

Yudrik Jahja (2013: 225-226) Masa remaja adalah masa datangnya pubertas (11-14) sampai usia sekitar 18 tahun, masa transisi dari kanak-kanak ke dewasa. Masa ini hampir selalu merupakan masa-masa sulit bagi remaja maupun orang tuanya. Ada sejumlah alasan :

a. Remaja mulai menyampaikan kebebasan dan haknya untuk mengemukakan sendiri. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan dan menjauhkan dari keluarga

b. Remaja lebih mudah dipengaruhi teman, ini berarti pengaruh orangtua melemah. Usia remaja berperilaku dan memiliki kesenangan sendiri dan bahkan bertentangan dengan perilaku dan kesenangan keluarga c. Remaja yang sedang mengalami perubahan fisik yang luar biasa baik

pertumbuhan maupun seksualitasnya dapat menjadi sumber perasaan bersalah dan frustasi

d. Remaja menjadi terlalu percaya diri dan emosionalnya yang tidak terkontrol menyebabkan remaja sulit menerima nasihat dari orang lain.

Sunarto (1995: 56-58) menguraikan berbagai permasalahan yang dihadapi remaja sebagai berikut :

a. Upaya untuk dapat mengubah sikap dan perilaku kekanak-kanakan menjadi sikap dan perilaku dewasa tidak semuanya dapat dengan mudah dicapai baik oleh remaja laki-laki maupun perempuan. Pada masa ini remaja menghadapi tugas-tugas dalam perubahan sikap dan


(55)

perilaku yang besar. Kegagalan dalam mengatasi ketidakpuasan dapat mengakibatkan menurunnya harga diri dan akibatnya remaja bersikap agresif atau sebaliknya bersifat kurang percaya diri, pendiam dan memiliki harga diri yang kurang.

b. Remaja seringkali kesulitan dalam menerima perubahan fisiknya karena pertumbuhan tubuhnya dirasa kurang serasi, ketidakserasian proporsi tubuh menimbulkan kejengkelan karena sulit mendapatkan pakaian yang pantas. Hal itu juga terlihat dari gerakan ataupun perilaku yang keliatan kurang pantas

c. Perkembangan fungsi seks pada remaja apabila tidak mendapatkan arahan ataupun penyaluran yang tepat dapat berakibat negatif pada remaja karena menimbulkan kebingungan untuk memahaminya serta pandangan terhadap teman sebaya lain jenis kelamin menimbulkan kesulitan dalam pergaulan sehingga sering terjadi salah tingkah dan perilaku yang menentang norma

d. Dalam memasuki kehidupan bermasyarakat remaja yang terlalu mendambakan kemandirian dan menganggap dirinya cukup mampu mengatasi permasalahan dalam kehidupan kebanyakan akan menghadapi berbagai masalah. Kehidupan bermasyarakat banyak menuntut remaja untuk menyesuaikan diri namun tidak semuanya selaras sehingga remaja merasa selalu disalahkan dan akibatnya mereka frustasi dengan perilakunya sendiri.


(56)

e. Harapan-harapan untuk dapat berdiri sendiri dan untuk hidup mandiri secara sosial-ekonomi akan berkaitan dengan masalah menetapkan jenis pekerjaan dan jenis pendidikan. Penyesuaian sosial merupakan salah satu yang sangat sulit dihadapi oleh remaja karena bukan hanya keragaman norma dalam kehidupan masyarakat akan tetapi juga norma baru dalam kehidupan sebaya dan kuatnya pengaruh kelompok sebaya

f. Berbagai norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat merupakan masalah tersendiri bagi remaja, sedang remaja merasa memiliki norma dan nilai kehidupan yang lebih sesuai. Perbedaan norma yang berlaku dan norma yang dianut membuat remaja dianggap “nakal”

Perubahan remaja secara aspek biologis, sosial dan psikologi harus sama-sama mengalami perkembangan yang optimal, kerena aspek – aspek tersebut saling terhubung dan tidak bisa dipisahkan. Yang artinya aspek biologis akan berkembang optimal ketika aspek yang lain juga sama berkembangannya. Perilaku asertif merupakan perilaku yang perlu dikembangkan remaja terutama untuk mengembangkan aspek sosialnya, maupun perkembangan aspek biologis dan psikologi.

Perilaku asertif membuat remaja akan memiliki perilaku yang jujur, relatif terus terang, dan mampu mengekspresikan perasaan, pikiran, serta keyakinannya secara tepat. Maka perilaku asertif perlu dikembangkan remaja, untuk menghadapi tuntutan penyesuaian perilaku dan memenuhi harapan sosial dilingkungannya untuk lebih dewasa atau


(57)

mandiri. Dengan kata lain, perilaku asertif dapat membentuk seorang remaja untuk mencapai kemandiriannya. Remaja yang mandiri salah satunya adalah remaja yang memiliki perilaku asertif yang baik, karena telah mampu menentukan pilihan yang baik untuk dirinya tanpa menyakiti atau mengambil hak orang lain tetapi justru lebih menghargainya. Dengan pengambilan keputusan atau pilihan yang tepat untuk dirinya akan menumbuhkan perasaan bahagia, kepuasan hidup yang tinggi dalam diri individu dan mendapatkan penghargaan sosial dari orang lain.

Kepuasan hidup dan rasa dihargai bagi remaja teramat penting dan bermakna untuk didapatkannya, dengan kondisi tersebut akan terhindar dari perasaan cemas, depresi, dan rasa rendah diri atau minder dengan orang lain. Sebab kecemasan, stres, dan depresi merupakan kondisi mental yang kurang baik, yang akan menghambat tumbuh kembang remaja secara optimal.

Perilaku asertif juga dapat membantu remaja untuk mencapai tugas – tugas perkembangannya dengan baik, yaitu membantu remaja melakukan penyesuaian dengan perubahan fisik, sosial-emosional, kognitif dan perilaku dengan baik. Selain itu, membantu menemukan solusi – solusi yang tepat untuk menghadapi masalah – masalah yang akan datang maupun yang sedang dihadapi. Pada pencapaiaan akhirnya remaja yang asertif akan mampu memenuhi kebutuhan untuk aktualisasi diri yang baik, karena aktualisasi dicapai dengan keterbukaan, kesadaran diri, menyesuaian diri dan menghargai hak-hak orang lain.


(58)

B. Psikodrama

1. Pengertian Psikodrama

Psikodrama merupakan permainan peranan yang dimaksud agar individu yang bersangkutan dapat memperoleh pengertian yang lebih baik tentang dirinya, dapat menemukan konsep dirinya, menyatakan kebutuhan – kebutuhan, dan menyatakan reaksinya terhadap tekanan – tekanan terhadap dirinya (Corey dalam Tatiek Romlah, 2006: 107).

Tatiek Romlah (2006:107) menjelaskan di dalam psikodrama klien memerankan situasi – situasi dramatis yang dialami pada waktu lalu, sekarang dan yang diantisipasikan akan dialami pada waktu yang akan datang, dengan tujuan untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai dirinya dan melepaskan tekanan-tekanan yang dialami atau katarsis. Kejadian-kejadian yang penting dimainkan kembali agar klien dapat mengenali perasaan-perasaannya dan dapat mengungkapkan perasaannya sepenuhnya sehingga terbuka jalan untuk terbentuknya perilaku baru.

Dalam psikodrama individu yang mempunyai masalah memerankan dirinya sendiri. Anggota kelompok yang lain dapat menguji kenyataan karena kelompok terdiri dari situasi kehidupan yang nyata dan


(59)

dapat memberikan saran untuk memecahkan masalah yang dihadapi yang belum terfikirkan oleh individu yang memiliki masalah.

2. Tujuan Psikodrama

Psikodrama dapat digunakan sebagai metode mengajar yang sangat bermanfaat bagi para mahasiswa dan orang – orang yang bekerja di bidang kesehatan mental, yang disebut Moreno sebagai psikodrama didaktis (dalam Romlah, 2006: 107). Jadi dapat dikatakan terapis atau mahasiswa tidak hanya berdiskusi mengenai kesulitan yang dialami klien, dengan memerankan peranan klien maka terapis atau mahasiswa dapat lebih memahami perasaan yang dialami klien dan anggota kelompok lain dapat memberikan alternatif-alternatif bagaimana menghadapi klien yang sulit dan memberikan balikan yang membantu memisahkan masalah – masalah klien dengan proyeksi terapis.

3. Komponen Psikodrama

Metode psikodrama terdiri dari beberapa komponen yaitu panggung permainan, pimpinan permainan, pemeran utama atau individu yang menjadi pusat psikodrama (Protagonis), individu-individu yang membantu pemimpin psikodrama dan pemeran utama dalam pelaksanaan psikodrama (auxiliary egos), dan penonton (Haskell dalam Tatiek Romlah, 2006: 108).


(60)

Panggung psikodrama merupakan ruang hidup pemeran utama, tempat permainan sebaiknya tidak membatasi ruang gerak pemeran utama, pemimpin maupun individu lain yang terlibat dalam psikodrama. Selain itu tempat permainan secara simbolis mampu menguraikan adegan yang dilakukan klien dan jika tidak ada panggung dapat juga sebagian ruangan digunakan sebagai panggung asalkan batasannya jelas untuk pemain peran yang terlibat dapat keluar masuk dalam bermain peran.

b. Pemimpin Psikodrama

Moreno (dalam Tatiek Romlah, 2006: 108) pemimpin psikodrama mempunyai tiga peranan yaitu sebagai produser, katalisator/fasilitator, dan pengamat atau penganalisis. Pemimpin membantu pemegang pemilihan peran utama, dan kemudian menentukan teknik psikodrama yang mana yang paling tepat untuk mengeksplorasi masalah individu, merencanakan pelaksanaannya, menyiapkan situasi yang tepat dan memperhatikan dengan cermat perilaku pemain utama selama psikodrama berlangsung.

Untuk dapat menjadi pemimpin psikodrama yang efektif seseorang harus mempunyai tiga sifat yang utama, yaitu kreativitas, keberanian dan kharisma (Corsini dalam Tatiek Romlah, 2006: 108). Sejalan dengan pendapat tersebut Tatiek Romlah (2006: 108) selain ciri diatas seorang pemimpin harus mempunyai kepercayaan pada diri sendiri, pengetahuan mengenai diri sendiri dan pengalaman klinis.


(61)

Dapat disimpulkan pemimpin psikodrama diharapkan memiliki kemampuan untuk mengetahui apa yang menjadi pusat permasalahan siswa yang selanjutnya dijadikan acuan dalam menyusun adegan dan menemukan cara agar anggota kelompok dapat berperan aktif dalam pemecahan masalah serta mampu menghentikan permainan tepat pada waktunya agar tidak menjadi permasalahan baru, pemimpin juga perlu memiliki keberanian dalam menentukan teknik yang digunakan, mendorong anggota kelompok agar memerankan perilaku baru dengan berbagai resiko serta dapat menggunakan pengalaman pribadi serta model – model terapis yang dikembangkan sendiri untuk memahami ekspresi pribadi dan komunikasi kelompoknya.

c. Pemegang Peran Utama (protagonis)

Fine (dalam Tatiek Romlah, 2006: 109) menyatakan bahwa pelaku utama adalah seperti “composer” dalam suatu opera. Jadi pemeran utama adalah individu yang telah dipilih oleh pemimpin kelompok maupun anggota kelompoknya dan menentukan kejadian atau masalah yang dimainkan. Pemeran utama memainkan kejadian masa lampau, sekarang maupun situasi yang mungkin akan terjadi dengan cara spontan. Pemeran utama biasanya memilih anggota kelompok yang akan mengikuti psikodrama dengan pertimbangan sifat yang menyerupai orang yang berkaitan dengan masalah pemeran utama. Pada akhirnya pemimpin maupun pemeran utama menyarankan peran


(62)

yang berbeda dengan situasi yang sama untuk mengetahui apakah pemeran utama dapat bertindak lebih efektif.

d. Pemeran Pembantu (auxiliary egos)

Pemeran pembantu atau pembantu terapis adalah siapa saja dalam kelompok yang membantu pemimpin kelompok maupun pemeran utama dalam psikodrama. Fungsi dari pemeran pembantu secara singkat ialah mendorong pemeran utama agar terlibat secara mendalam ke hal –hal yang terjadi pada saat ini, dengan bantuan yang efektif maka psikodrama dapat menjadi alat yang efektif untuk mengubah perilaku.

e. Penonton

Penonton dalam psikodrama adalah anggota kelompok yang tidak menjadi pemeran utama dan pemeran pembantu. Setelah pemainan psikodrama selesai akan diadakan diskusi dan penonton diberikan kesempatan untuk memberikan reaksi secara spontan mengenai apa yang dilihat, pandangan dan saran kepada siswa. Dengan demikian pemeran utama akan memahami akibat perilakunya terhadap orang lain.

4. Manfaat Psikodrama

Psikodrama ini merupakan salah satu metode bimbingan dan konseling kelompok yang sangat bermanfaat bagi konseli atau klien. Walaupun Psikodrama ini pada awalnya digunakan untuk penyembuhan (psikoterapi), akan tetapi ada teknik-teknik dari psikodrama yang dapat


(63)

diaplikasikan ke dalam metode bimbingan dan konseling maupun metode pembelajaran.

Pendekatan Psikodrama sangat tepat untuk mengatasi gangguan psikis, dan efektif pula untuk membangun self consciousness/awareness individu yang ingin meningkatkan pemahamannya tentang diri sendiri. Untuk itu, Psikodrama dapat menjadi alternatif terapi yang tepat pada berbagai kasus klinis dan pengembangan diri. Dalam konteks psikoterapi yang menekankan pada dinamika interaksi antar pribadi dalam kelompok, demikian pula dengan Psikodrama melalui tahapan-tahapan terapeutiknya. Manfaat yang akan dirasakan oleh klien diantaranya antara lain:

a. Psikodrama dapat membangun keyakinan diri dan kelompok, Healing, dan perubahan sikap.

b. Psikodrama dapat untuk membangun kesadaran diri, lebih bertanggung jawab atas sikap dan perasaannya.

c. Psikodrama juga dapat mengeksplore pengalaman masa lalu yang menghambat dan cara mengatasinya.

5. Kelebihan Psikodrama

Psikodrama dapat digunakan oleh konselor untuk membantu memecahkan masalah-masalah klien yang bersifat psikologis. Metode psikodrama ini memang sangat membantu untuk pemecahan masalah, karena klien secara spontan dapat menggali sendiri masalahnya (mengeksplorasi potensi-potensi yang ada dalam dirinya), mengeluarkan meluapkan emosi yang terpendam dalam diri untuk mendapatkan


(64)

pemecahan masalah yang berasal dari konselor dan anggota kelompok lainnya.

6. Prosedur Psikodrama

Menurut Tatiek Romlah (2006: 111) terdapat 3 tahap dalam pelaksanaan Psikodrama, antara lain yaitu tahap persiapan (the warm up), pelaksanaan (the action), dan diskusi (the sharing).

Pada tahap pertama yakni tahap persiapan dilakukan untuk memotivasi anggota kelompok agar mereka siap berpartisipasi secara aktif dalam permainan, menentukan tujuan- tujuan permainan, dan menciptakan perasaan aman dan saling percaya dalam kelompok. Corey (dalam Tatiek Romlah, 2006: 111) mengemukakan beberapa cara yang dapat digunakan untuk menyiapkan kelompok sebagai berikut :

a. pemimpin kelompok memberikan uraian singkat mengenai hakikat dan tujuan psikodrama, dan anggota kelompok diminta untuk mengajukan pertanyaan apabila ada hal yang belum jelas

b. pemimpin kelompok mewawancarai tiga amggota kelompok secara singkat dalam situasi kelompok

c. anggota kelompok membentuk kelompok-kelompok kecil dan diberikan waktu beberapa menit untuk membicarakan konflik-konflik yang pernah mereka alami yang ingin mereka kemukakan dalam permainan psikodrama

Dalam Whittaker (dalam Yustinus Semiun, 2006: 563) mengungkapkan 4 teknik yang bisa digunakan dalam psikodrama antara lain:


(65)

a. Presentasi diri, Klien mempresentasikan dirinya sendiri atau seorang figur yang penting dalam kehidupannya.

b. Memimpin percakapannya sendiri. Klien melangkah keluar dari drama dan berbicara pada dirinya sendiri dan kepada kelompok.

c. Teknik ganda (Doubling). Seorang pemeran pembantu (Auxilary Egos) berperan bersama dengan pasien dan melakukan segala sesuatu yang dilakukan pasien pada waktu yang sama.

d. Teknik cermin. Seorang pemeran pembantu (Auxilary Egos) berperan sejelas mungkin menggantikan klien. Dari para penonton, klien memperhatikan bagaimana dia melihat dirinya sendiri sebagaimana orang-orang lain melihatnya.

Namun dituliskan dalam Tatiek Romlah (2006: 112) mengenai teknik lain selain cara yang berstruktur, yaitu tahap persiapan dapat dilakukan dengan bertanya kepada kelompok siapa yang berkenan dengan sukarela untuk berbagi mengungkapkan permasalahannya untuk kemudian diolah, didramatisasi dan diseni perankan. Kegiatan ini tidak mengacu mengenai teknik atau cara yang akan digunakan karena yang terpenting adalah anggota kelompok mengetahui bahwa mereka merasa aman, nyaman dan tidak ada unsur paksaan untuk memainkan atau memerankan dari tema masalah yang akan dimainkan. Dan hal terpenting dan berperan besar pada tahap persiapan ini adalah pemimpin kelompok yang mampu menciptakan, membangkitkan suasana yang dapat mendorong spontanitas berikut antusiasme dari para pemain atau pemeran.


(66)

Tahap kedua yakni tahap pelaksanaan yang terdiri dari kegiatan, pemain utama dan pemain pembantu memperagakan permainannya. Dengan bantuan pemimpin kelompok dan anggota kelompok lain pemeran utama memperagakan masalahnya. Satu kejadian dapat diperagakan dalam beberapa adegan. Adegan dibuat berdasarkan masalah-masalah yang diungkapkan pemeran utama. Psikodrama dimulai dari hal-hal yang bersifat permukaan menuju ke arah hal-hal yang seiring mendalam yang yang mengacu pada sumber dari inti permasalahan. Durasi waktu dari psikodrama berbeda – beda dan tidak dapat ditentukan karena bergantung pada penilaian pemimpin kelompok terhadap tingkat keterlibatan emosional pemain utama dan anggota-anggota kelompok yang lain.

Tahap yang terakhir yaitu tahap diskusi. Pada tahap ini para anggota kelompok memberikan tanggapan dan opini atau sumbangan pemikirannya terhadap permainan yang telah dilakukan oleh pemeran utama. Peranan pemimpin kelompok pada tahap ini adalah memimpin diskusi dan mendorong agar sebanyak mungkin anggota kelompok memberikan balikan yang berupa tanggapan berikut sumbangan pemikiran yang merujuk sebagai solusi dari permasalahan. Pada sesi ini perlu diperhatikan dan ditekankan pula akan kebesaran hati untuk saling berbagi perasaan, menemukan solusi dan memberikan dukungan. Pada tahap ini perlu diperhatikan pula mengenai sikap dari para anggota kelompok. Apabila terdapat anggota kelompok yang berusaha menganalisis dan memberikan pemecahan masalah, pemimpin kelompok hendaknya


(67)

menegur. Pemimpin kelompok mengamati perilaku pemeran utama dengan seksama dan menetralisasi balikan yang bersifat menyerang atau menjatuhkan pemeran utama pada saat mendapat balikan dari anggota kelompok. Hal ini vital dan begitu penting karena setelah pemeran utama mengungkapkan hal-hal yang bersifat personal atau pribadi, pemeran utama membutuhkan dukungan kelompok sebagai umpan balik untuk mengintegrasikan pengalaman dari peranan yang baru saja dialami atau dilakukan. Karena hal yang terjadi apabila tidak ada balikan dari anggota kelompok, selanjutnya ia akan merasa patah semangat, pesimistis dengan tanpa pemikiran yang jelas dan terarah. Karena itu tahap diskusi ini menjadi tahap yang penting karena merupakan rujukan dari serangkaian proses dari perubahan perilaku pemeran utama menuju ke arah keseimbangan pribadinya.

Menurut Blatner (dalam Tatiek Romlah, 2006: 113) ada tiga cara dalam proses pencapaian keseimbangan pribadi pemeran utama antara lain yaitu: mengembangkan pemahaman dan penguasaan terhadap konflik dan masalah yang dihadapi, memperoleh dukungan dan balikan dari dan mengadakan latihan perubahan perilaku baru. Setelah latihan dalam kelompok, individu yang bersangkutan dapat melaksanakan perubahan perilakunya dengan orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengannya diluar kelompok sehingga dapat menyesuaikan diri secara lebih efektif.


(68)

Sebagai media pengembangan karakter, psikodrama merupakan salah satu alternatif cara yang bisa digunakan. Dengan mengarahkan, membimbing karakter seseorang dan juga menggali mencari solusi tentang permasalahan yang sedang dihadapinya dengan cara bermain peran berakting dalam suatu rekayasa drama, karena untuk mencari solusi dari berbagai isu atau masalah tidak selalu dirasa cukup hanya dari sekedar bicara. Psikodrama hadir menawarkan kesempatan melatih mencari solusi melalui peranan baru, dengan melihat diri sendiri dari sisi luar, dengan harapan mampu menumbuhkan kesadaran dan perubahan kearah yang lebih baik. Dengan mendramatisasikan permasalahan tentang konflik-konflik batinnya, akan didapatkan kelegaan dan peengembangan akan pemahaman baru yang memberikan kesanggupan kemudian mengubah perannya dalam kehidupan nyata.

Psikodrama ini merupakan salah satu teknik bimbingan dan konseling kelompok yang sangat bermanfaat bagi peserta didik. Walaupun psikodrama ini pada awalnya digunakan untuk penyembuhan (psikoterapi), akan tetapi ada teknik-teknik dari psikodrama yang dapat diaplikasikan ke dalam metode bimbingan dan konseling maupun metode pembelajaran. Maka dari itu psikodrama dapat digunakan oleh para guru bimbingan dan konseling untuk membantu mengatasi, memecahkan masalah-masalah peserta didik yang bersifat psikologis. Teknik psikodrama ini memang sangat membantu untuk mengatasi permasalahan siswa yang berhubungan dengan perilaku siswa sekalipun, karena peserta


(1)

Hasil wawancara dengan Subjek Nama : Salsadewi

No Pertanyaan Jawaban Subjek

1 Apakah anda sudah mengerti apa

itu perilaku asertif ?

Ya, saya mengerti dengan perilaku asertif

2 Apakah menurut anda teknik

psikodrama efektif untuk

peningkatan perilaku asertif pada diri anda ?

Efektif karena cara penjelasannya mudah dimengerti

3 Perubahan apa yang anda rasakan

setelah mengikuti psikodrama ?

Saya jadi lebih mudah

menyampaikan pendapat di kelas

4 Kapan anda menggunakan perilaku

asertif ?

Pada kondisi tertentu saya gunakan setiap hari

5 Kapan anda pertama kali

melakukan bermain psikodrama ?

Saat penelitian dilaksanakan hari kamis 18 oktober 2016

6 Bagaimana perasaan anda setelah

mengikuti psikodrama ?

Perasaan saya senang dapat mengikutinya

7 Bagaimana cara anda menerapkan

perilaku asertif dalam kehidupan sehari-hari ?

Dengan cara menolak ajakan teman yang ingin membolos

8 Mengapa anda bersedia bermain

psikodrama ?

Karena saya tertarik untuk mengikutinya

9 Mengapa anda perlu memiliki

perilaku asertif ?

Untuk bisa memiliki kemampuan memilih sesuatu yang baik bagi saya

10 Siapa orang yang paling

berpengaruh pada perilaku asertif anda ?


(2)

Hasil wawancara dengan Subjek Nama : Wafiq

No Pertanyaan Jawaban Subjek

1 Apakah anda sudah mengerti apa

itu perilaku asertif ?

Saya mengerti apa itu perilaku asertif, karena sebagian materi saya lupa

2 Apakah menurut anda teknik

psikodrama efektif untuk

peningkatan perilaku asertif pada diri anda ?

Ya efektif , sebab lewat peran drama saya mudah belajar tentang perilaku asertif

3 Perubahan apa yang anda rasakan

setelah mengikuti psikodrama ?

Ada perubahan

4 Kapan anda menggunakan perilaku

asertif ?

Perilaku asertif digunakan dalam kehidupan sehari – hari

5 Kapan anda pertama kali

melakukan bermain psikodrama ?

Bermain drama saat penelitian, hari kamis 18 oktober 2016

6 Bagaimana perasaan anda setelah

mengikuti psikodrama ?

Senang dapat mengikutinya, walau baru mencobanya

7 Bagaimana cara anda menerapkan

perilaku asertif dalam kehidupan sehari-hari ?

Dengan tidak berbohong pada orang lain apa yang saya inginkan

8 Mengapa anda bersedia bermain

psikodrama ?

Karena ingin mengubah sikap yang lebih baik

9 Mengapa anda perlu memiliki

perilaku asertif ?

Karena berhubungan dengan sifat dan perilaku kita sehari – hari

10 Siapa orang yang paling

berpengaruh pada perilaku asertif anda ?

Diri sendiri

               


(3)

Hasil

 Observasi siklus I 

No. Indikator Sub Indikator Deskripsi Data

1

Pelaksanaan metode psikodrama

a) Sikap dan perilaku siswa saat

proses tindakan berlangsung

Siswa partisipatif dan antusias untuk mengikuti psikodrama, terlihat mampu memerankan peran dalam drama

b) Kendala dalam menggunakan

metode psikodrama untuk peningkatan perilaku asertif

Siswa masih membaca naskah drama saat psikodrama

berlangsung sehingga kurang mendalami perannya dan beberapa siswa masih ada yang bermain-main. 2 Kemampuan siswa berperilaku asertif

a) Menghargai orang lain

Rasa menghargai siswa cukup meningkat, saat dan setelah tindakan dilakukan para siswa selalu mendengarkan dan melakukan instruksi serta penjelasan dari guru BK dan praktikan.

b)Berani menyampaikan pendapat

dan kritik

Siswa mampu dan baik menyampaikan pendapat dan kritiknya. Setelah tindakan

psikodrama para siswa bergantian memberikan pendapat dan

kritiknya mengenai pelaksanaan psikodrama yang telah dilakukan.

c) Bersikap bijaksana dalam

menghadapi permasalahan

Sikap bijak dalam menghadapi masalah sudah beberapa

dimunculkan siswa. Teramati saat pelaksanaan psikodrama para siswa mampu melakukan psikodrama dengan cukup baik.

     

d) Perilaku asertif siswa setelah

melakukan tindakan

Perilaku asertif siswa sudah mulai meningkat, siswa lebih

memahami perilaku asertif. Siswa teramati mampu menjawab persoalan tentang perilaku asertif.


(4)

Hasil

 Observasi Siklus II 

No. Indikator Sub Indikator Deskripsi Data

1

Pelaksanaan metode psikodrama

a) Sikap dan perilaku siswa saat

proses tindakan berlangsung

Siswa antusias dan bersemangat untuk mengikuti psikodrama. Mereka mempelajari dan

memahami naskah dengan fokus.

b) Kendala dalam menggunakan

metode psikodrama untuk peningkatan perilaku asertif

Beberapa siswa masih membaca naskah drama sehingga kurang mendalami peran 2 Kemampuan siswa berperilaku asertif

a) Menghargai orang lain

Rasa menghargai siswa meningkat setelah mengikuti psikodrama, karena mereka belajar dan memahami dari peran yang dilakukan. Mereka teramati lebih menghargai teman satu kelas.

b)Berani menyampaikan pendapat

dan kritik

Dari awal siswa mampu mengungkapkan pendapat dan pikirannya dengan baik. Dalam jalannya psikodrama mereka selalu memberikan pendapat dan kritik bagaimana mereka berperan dan maksud dari peran tersebut.

c) Bersikap bijaksana dalam

menghadapi permasalahan

Sikap bijak sudah dimiliki siswa dengan baik. Mereka dapat bertanggung jawab dengan janji yang telah dibuat sehingga

psikodrama dapat berjalan dengan baik walapun terdapat gangguan dari siswa lain.

     

d) Perilaku asertif siswa setelah

melakukan tindakan

Perilaku asertif sudah meningkat, mereka lebih memahami makna dari psikodrama yang dimainkan. Dan mereka sudah dapat

menerapkan apa yang telah dipelajari dari psikodrama dalam kehidupan sehari-hari


(5)

(6)