Rudi Satriawan S6006003

(1)

commit to user

PERAN N-ACETYLCYSTEINE TERHADAP HEPATOTOKSISITAS

PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU TERAPI OBAT

ANTITUBERKULOSIS

T E S I S

RUDI SATRIAWAN NIM : S6006003

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2012


(2)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

ii

Penelitian ini dilakukan di bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran

Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret /

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta

Pimpinan : Dr. Eddy Surjanto, dr. SpP(K) Pembimbing : Prof. Dr. Suradi, dr. SpP(K). MARS

Dr. Reviono, dr. SpP(K)

PENELITIAN INI MILIK

BAGIAN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET


(3)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012


(4)

(5)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

iv Syukur kepada Allah SWT atas ridlo, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai persyaratan akhir pendidikan spesialis di bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Bantuan, bimbingan dan pengarahan dari para guru, keluarga, teman sejawat PPDS paru, karyawan medis dan non medis, serta para pasien yang berpartisipasi selama pendidikan dan penelitian ini sangat menentukan penulis dalam menyelesaikan pendidikan dan tesis ini. Penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada :

Prof. Dr. Suradi, dr. SpP(K), MARS

Ketua program studi PPDS Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret sebagai pembimbing utama penelitian ini yang telah memberikan bimbingan, dorongan, saran dan kritik yang positif. Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas ilmu dan petunjuk yang telah diberikan selama penulis menjalani pendidikan. Semoga Allah SWT memberikan banyak pahala dan karunia kepada beliau.

Dr. Reviono, dr. SpP(K)

Selaku pembimbing II penelitian yang telah banyak meluangkan waktu disela kesibukannya sebagai Pembantu Dekan II di Fakultas Kedokteran UNS, yang telah memberikan bimbingan, saran dan kritik sehingga tesis ini lebih baik. Terima kasih penulis ucapkan atas bimbingan, saran dan kritik yang beliau berikan selama penulis menjalani pendidikan di bagian Pulmonologi.


(6)

commit to user ix

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

THE ROLE OF N-ACETYLCYSTEINE AGAINST HEPATOTOXICITY IN PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENTS

WITH ANTITUBERCULOSIS DRUGS THERAPY Rudi Satriawan

BACKGROUND: Isoniazid, rifampicin and pyrazinamide are essential components of the

strategy directly observed treatment short-course (DOTS) for tuberculosis control adopted by the World Health Organization (WHO) and all three have the potential hepatotoxic. Some studies conclude N-acetylcysteine (NAC) protects against drug-induced hepatitis induced by combination treatment isoniazid, rifampicin and pyrazinamide. Hepatoprotection of NAC may be by acting as a glutathione synthesis. The purpose of this study was to determine the role of NAC against on hepatotoxicity antituberculosis drug therapy in patients with pulmonary tuberculosis.

METHODS: This type of research is experimental study, with takes the subject of 60 patients

with pulmonary tuberculosis of new cases that met inclusion and exclusion criteria in Dr. Moewardi hospital, BKPM Klaten, and health centers throughout the city of Surakarta in May-June 2012. The subjects were divided into control group (n = 30) who received therapy for rifampicin, isoniazid, pyrazinamide, and ethambutol, and the treatment group (n = 30) received the same therapy plus NAC. All the subjects conducted follow-up for 14 days. Examination of serum levels of aspartate aminotransferase (AST), serum alanine aminotransferase (ALT), and total glutathione were done before treatment and day 15 of therapy, also if the patient shows

clinical symptoms of hepatotoxicity.

RESULTS: Mean total glutathione levels in the control group before therapy increased from

118.64 ± 68.78 to 228.74 ± 179.01 after 14 days therapy. Mean total glutathione levels in the treatment group before treatment rose from 145.54 ± 90.46 to 418.98 ± 174.35 after 14 days

therapy. Both were statistically significant in both treatment groups and control group (p = 0.000). Mean AST in the control group increased from 24.27 ± 8.88 to 39.70 ± 56.48 after

14 days therapy. Mean AST levels in the treatment group increased from 20.97 ± 5.09 to 21.50 ± 11.75 after 14 days therapy. Mean AST levels were not statistically significantly different both in the control group (p = 0.131), as well as the treatment group (p = 0.796). Mean ALT levels in the control group before therapy 19.67 ± 8.87 increased to 41,67 ± 58.87 after 14 days therapy. They were statistically differed significant (p = 0.042). Mean ALT levels in the treated group decreased from 19.73 ± 12.71 to 17.37 ± 14.89 after 14 days therapy. They were statistically

differ not significant (p = 0.316).

CONCLUSION: Administration of NAC contributed to the increase of total glutathione levels

in patients with pulmonary tuberculosis who received antituberculosis drugs therapy.


(7)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

vii Soehartono dan ibunda Siti Harmiati (almh) atas asuhan, didikan, pengorbanan dan doa untuk kesuksesan ananda. Terima kasih penulis sampaikan kepada bapak Eddy Mulyono dan ibu Suharni atas semangat, arahan, himbauan dan tauladan yang telah diberikan selama ini. Ucapan terimakasih juga kepada istri tersayang Wahyu Nur Ambarwati yang senantiasa setia, dan mendukung segala upaya penulis menyelesaikan pendidikan. Kepada buah hati tersayang Ishmah Nur Faizah dan Muhammad Satrio Azi terimakasih penulis ucapkan karena telah menambah inspirasi dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan.

Rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan kepada Windu Prasetya, dr. SpP, Chrisrianto EN, dr. SpP, Yani Purnamasari, dr. SpP, Ni Nyoman Priantini, dr. SpP, Ikalius, dr. SpP, Kenyorini, dr. SpP, Allen Wydisanto, dr. SpP, I Wayan Agus Putra, dr. SpP, Joko Susilo, dr. SpP, Enny S Sarjono, dr. SpP, Rianasari, dr. SpP, Juli Purnomo, dr. SpP, Munawar Gani, dr. SpP, Niwan Tristanto Martika, dr. SpP, Sofyan Budi Raharjo, dr. SpP, Novita Tjahyaningsih, dr. SpP, Dyah Turunsih, dr. SpP, Rita Kesuma, dr. SpP, Slamet Nugroho, dr., Fadlia Yulistiana, dr. dan seluruh rekan PPDS Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada semua rekan perawat poliklinik (Mbak Krisni, Mbak Harti, Bu Pur, Pak Kuswanto) dan bangsal rawat paru di RS Dr M, RSP Ario Wirawan Salatiga, BKPM Klaten, BKPM Magelang, BKPM Pati, BKPM Semarang, BKPM Ambarawa serta rekan kerja di SMF paru (mas Waluyo, mbak Yamti, mas Arif, mbak Anita, mbak Ira dan mas Harnoko) atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.

Sebagai kata akhir penulis mohon maaf atas segala kesalahan, kelalaian dan kekurangan selama menjalani pendidikan di bagian Pulmonologi. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan ridho-Nya sehingga ilmu dan pengalaman yang penulis peroleh dapat bermanfaat bagi agama, negara dan semua manusia.

Surakarta, Juli 2012


(8)

commit to user viii

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

PERAN N-ACETYLCYSTEINE TERHADAP HEPATOTOKSISITAS

PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU TERAPI OBAT

ANTITUBERKULOSIS

Rudi Satriawan

LATAR BELAKANG: Isoniazid, rifampisin dan pirazinamid adalah komponen esensial strategi

directly observed treatment, short-course (DOTS) untuk mengontrol tuberkulosis yang disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan ketiganya memiliki potensi hepatotoksik. Beberapa penelitian menyimpulkan N-acetylcysteine (NAC) melindungi terhadap drug induced hepatitis yang diinduksi oleh pengobatan kombinasi isoniazid, rifampisin dan pirazinamid. Efek hepatoproteksi NAC karena perannya sebagai prekursor sintesis glutathione. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui peran NAC terhadap hepatotoksisitas OAT pada penderita TB paru.

METODE: Jenis penelitian adalah eksperimental, dengan mengambil subyek sebanyak 60 orang

penderita tuberkulosis paru (TB paru) kasus baru yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di RSUD Dr. Moewardi, BKPM Klaten, dan Puskesmas di seluruh wilayah Kota Surakarta pada bulan Mei – Juni 2012. Subyek terbagi dalam kelompok kontrol (n = 30) yang mendapat terapi rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol, kelompok perlakuan (n = 30) mendapat terapi yang sama ditambah NAC. Dilakukan follow up selama 14 hari. Pemeriksaan kadar serum aspartate aminotransferase (AST), serum alanine aminotransferase (ALT), dan glutathione total dilakukan sebelum terapi dan hari ke 15 terapi, juga bila penderita menunjukkan gejala klinis hepatotoksisitas.

HASIL: Kadar rerata glutathione total kelompok kontrol sebelum terapi 118,64 ± 68,78 naik

menjadi 228,74 ± 179,01 setelah 14 hari terapi. Kadar rerata glutathione total pada kelompok perlakuan sebelum terapi 145,54 ± 90,46 naik menjadi 418,98 ± 174,35 setelah 14 hari terapi. Keduanya secara statistik bermakna baik pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan (p = 0,000). Kadar rerata AST kelompok kontrol 24,27 ± 8,88 naik menjadi 39,70 ± 56,48 setelah 14 hari terapi. Kadar rerata AST kelompok perlakuan 20,97 ± 5,09 naik menjadi 21,50 ± 11,75 setelah 14 hari terapi. Secara statistik tidak berbeda bermakna baik pada kelompok kontrol (p = 0,131), maupun kelompok perlakuan (p = 0,796). Kadar rerata ALT pada kelompok kontrol sebelum terapi 19,67 ± 8,87 naik menjadi 41,67 ± 58,87 setelah 14 hari terapi.Secara statistik berbeda bermakna (p = 0,042). Kadar rerata ALT kelompok perlakuan 19,73 ± 12,71 turun menjadi 17,37 ± 14,89 setelah 14 hari terapi.Secara statistik berbeda tidak bermakna (p = 0,316).

KESIMPULAN: Pemberian NAC berperan terhadap peningkatan kadar glutathione total pada

penderita TB paru dengan terapi OAT.


(9)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 X SAMPUL DEPAN

SAMPUL DALAM……….. i

PENETAPAN PANITIA PENGUJI……… ii

LEMBAR PENGESAHAN………... iii

UCAPAN TERIMAKASIH……….. iv

RINGKASAN……… viii

ABSTRACT……… ix

DAFTAR ISI……….. x

DAFTAR TABEL……… xiii

DAFTAR GAMBAR……… xiv

DAFTAR LAMPIRAN……… xv

BAB I. PENDAHULUAN Latar belakang………. 1

Rumusan masalah……….. 3

Tujuan penelitian……….. 4

Manfaat penelitian………... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Epidemiologi hepatitis imbas obat antituberkulosis……….. 6

Definisi ………. 7

Metabolisme obat ……… 8

Mekanisme hepatotoksisitas ………. 9


(10)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 xi

Manifestasi klinik hepatotoksisitas imbas obat antituberkulosis ………. 24

Peran N-acetylcysteine mencegah hepatotoksisitas ……….. 25

N-acetylcysteine sebagai prekursor glutathione ……… 26

Sintesis glutathione ……….. 29

Fungsi antioksidan glutathione ……….. 31

Fungsi detoksifikasi glutathione ……… 33

Kerangka konsep ……… 34

Hipotesis penelitian ………. 37

BAB III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN Desain penelitian ………. 38

Tempat dan waktu penelitian ……… 38

Populasi ……….. 38

Ciri-ciri sampel ……….. 38

Pemilihan sampel ………. 39

Cara kerja penelitian ……… 40

Alur penelitian ………. 41

Teknik pemeriksaan ………. 42

Analisis data ………. 45

Definisi operasional ……….. 45

BAB IV. HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik subyek penelitian ……….. 47


(11)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 xii

1. Karakteristik subyek penelitian ………. 51

2. Perbandingan kadar AST, ALT, dan glutathione total ……….. 52

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ………. 56


(12)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 xiii

Halaman

Tabel 1. Definisi hepatotoksisitas menurut WHO………. 8

Table 2. Karakteristik subyek ………... 48

Table 3. Nilai mean ± SD dari AST, ALT, dan glutathione total ………. 49

Table 4. Perbandingan mean ± SD sebelum terapi dan setelah 14 hari terapi …..49


(13)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 xiv

Halaman Gambar 1. Mekanisme hepatotoksisitas imbas obat ………. 11

Gambar 2. Tiga langkah umum DILI ……….. 14

Gambar 3. Metabolisme isoniazid ……… 20

Gambar 4. Struktur glutathione ……… 30

Gambar 5. Fungsi antioksidan glutathione ………... 31

Gambar 6. Jalur mercapturic ………... 33

Gambar 7. Kerangka konsep ……….. 36


(14)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012 xv Halaman Lampiran 1. Lembar penjelasan kepada penderita……….. I Lampiran 2. Lembar persetujuan mengikuti penelitian ……….. IV Lampiran 3. Lembar data penderita ……… V Lampiran 4. Lembar isian panitia Kelaikan Etik RSUD Dr. Moewardi ……… VII Lampiran 5. Lembar Kelaikan Etik ……… XI Lampiran 6. Lembar Data hasil penelitian ……… XII Lampiran 7. Analisis data ……….. 1


(15)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) merupakan pandemik global dan prevalensinya mengalami peningkatan. Jumlah terbesar kasus terjadi di daerah Asia Tenggara, sekitar sepertiga dari prevalensi global.1 Indonesia berada di urutan ke lima (0,35 – 0,52 juta) jumlah kasus paling banyak di tahun 2009 setelah India (1,6 – 2,4 juta), China (1,1 – 1,5 juta), Afrika Selatan (0,40 – 0,59 juta), dan Nigeria (0,37 – 0,55 juta).2

Isoniazid, rifampisin dan pirazinamid adalah komponen esensial dari strategi

directly observed treatment, short-course (DOTS) untuk mengontrol tuberkulosis yang

disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan ketiganya diketahui memiliki

potensi hepatotoksik.3 Ketiganya sangat efektif, tetapi hepatotoksisitas adalah masalah

penting. Hepatotoksisitas kadangkala dapat diprediksi dan dose dependent, tetapi

kebanyakan idiosinkratik.1 Usia, jenis kelamin, alkoholisme, penyakit hati kronik, status

hepatitis B carrier, status asetilator dan nutrisi diduga sebagai faktor predisposisi pada

penelitian awal.4 Hepatotoksisitas adalah kemungkinan terjadi keadaan hepatotoksik

karena zat atau obat.

Peristiwa hepatotoksik karena obat antituberkulosis bervariasi. Insidensinya

lebih sering di negara berkembang dengan range dari 8% - 39% dibanding negara maju

yaitu 3% - 4%, dengan regimen yang sama.1,4 Sharifzadeh et al melaporkan insidensi

27,7% di Iran.5 Satu penelitian terbaru dari Singapura melaporkan insidensi 5,3% dan

penelitian di Malaysia 9,7%.1 Penelitian oleh Prihatini D dan kawan-kawan di

Indonesia pada April 2003 - September 2004, penelitian di Karachi, Pakistan pada Juli 2004 - Juli 2005, penelitian di Peshawar pada Juli 2007 - Juni 2008, dan penelitian di Jamshoro pada Juli 2007 - Agustus 2008 melaporkan mayoritas pasien terjadi

hepatotoksisitas dalam waktu 14 hari setelah mulai terapi OAT.6-9 Hepatotoksisitas


(16)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

2 muda (13-40 tahun) yaitu 25,8 % dibanding 14,4 % pada penelitian di Karachi, Juli

2004 - Juli 2005.8 Hal ini juga didukung oleh penelitian – penelitian di Peshawar, Juli

2007 – Juni 2008, dan di Jamshoro, Juli 2007 – Agustus 2008 (usia ≥ 35 tahun

dibanding ≤ 35 tahun).6,9

Peningkatan transaminase asimptomatik biasa terjadi selama terapi

antituberkulosis, tetapi hepatotoksisitas menjadi fatal bila tidak diketahui dari awal dan

terapi tidak dihentikan.11-14 Mekanisme hepatotoksik karena terapi antituberkulosis

belum sepenuhnya dimengerti. Sodhi et aldikutip dari5 mengemukakan stress oksidatif

sebagai kemungkinan mekanisme cidera hati imbas isoniazid (INH) dan rifampisin (R). Dikemukakan bahwa dengan meningkatkan sistem pertahanan antioksidatif selular, dalam hal ini glutathione, sel-sel menjadi terlindung dalam melawan cidera oksidatif

yang dihasilkan berbagai macam obat dan bahan kimia.5,15

Hepatotoksik karena isoniazid bukan hipersensitivitas atau reaksi alergi, paling

mungkin disebabkan oleh metabolit toksik dan dianggap idiosinkratik.14 Penelitian

terbaru menyatakan bahwa hidrazin kemungkinan besar penyebab hepatotoksik.14,16

Rifampisin adalah penginduksikuat sistem sitokrom P-450 hepatik pada hati dan usus,

penggunaan kombinasi rifampisin dan isoniazid dihubungkan dengan peningkatan

risiko hepatotoksisitas.14,17-19 Efek samping utama pirazinamid adalah

hepatotoksisitas.18 Mekanisme toksisitas karena pirazinamid tidak diketahui. Apakah

toksisitas disebabkan oleh pirazinamid atau metabolitnya juga tidak diketahui.14

Etambutol dan streptomisin dilaporkan tidak memiliki efek hepatotoksik.16

Penanda dini hepatotoksisitas adalah peningkatan enzim-enzim transaminase

dalam serum yang terdiri dari aspartate aminotransferase (AST) yang disekresikan

secara paralel dengan alanine aminotransferase (ALT) yang merupakan penanda lebih

spesifik untuk mendeteksi kerusakan hati.7 World health organization (WHO)

mengklasifikasikan hepatotoksisitas menjadi 4 gradasi. Grade I ditandai dengan


(17)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

3

grade III ALT meningkat 5,1 – 10 kali normal, dan grade IV bila ALT meningkat > 10

kali normal.7,14

Glutathione (GSH) adalah antioksidan endogen utama dan N-acetylcysteine

(NAC) adalah prekursor GSH. Efek paling menguntungkan pemberian NAC adalah

kemampuannya sebagai sumber sulfhydryl sehingga dapat menstimulasi sintesis

glutathione, meningkatkan aktivitas glutathione-S-transferase, meningkatkan

detoksifikasi dan berperan sebagai pengikat radikal bebas serta berinteraksi dengan

reactive oxygen species (ROS).15 Beberapa penelitian pada binatang dan manusia

menyimpulkan bahwa NAC melindungi terhadap drug induced hepatitis yang diinduksi

oleh pengobatan kombinasi isoniazid, rifampicin dan pyrazinamid. Menurut mereka

efek hepatoproteksi NAC karena perannya sebagai prekursor sintesis glutathione.5,18

Penelitian mengenai efek protektif NAC terhadap hepatotoksisitas yang

diinduksi oleh OAT pernah dilakukan oleh Baniasadi S et al di Iran pada tahun 2010.

Penelitian tersebut membandingkan kadar serum AST dan ALT pada penderita TB paru yang diterapi OAT tanpa pemberian NAC dengan kadar serum AST dan ALT penderita TB paru dengan terapi OAT ditambah NAC. Penelitian tersebut tidak memeriksa kadar

glutathione pada subyek penelitian. Memperhatikan keadaan tersebut berikut dilakukan

penelitian membandingkan kadar serum AST, ALT dan glutathion total pada penderita

TB paru terapi OAT ditambah pemberian NAC dengan kadar serum AST, ALT dan

kadar glutathion pada penderita TB paru terapi OAT tanpa ditambah NAC.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Adakah peran NAC terhadap kadar glutathione total pada penderita tuberkulosis

paru terapi obat antituberkulosis?

2. Adakah peran NAC terhadap kadar serum ASTpada penderita tuberkulosis paru

terapi obat antituberkulosis?

3. Adakah peran NAC terhadap kadar serum ALT pada penderita tuberkulosis


(18)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

4

1.3. TUJUAN PENELITIAN Tujuan umum

Mengetahui peran NAC terhadap hepatotoksisitas terapi obat antituberkulosis pada penderita TB paru.

Tujuan khusus

1. Mengetahui peran NAC terhadap kadar glutathione total penderita TB paru

terapi obat antituberkulosis.

2. Mengetahui peran NAC terhadap kadar serum AST penderita TB paru terapi

obat antituberkulosis.

3. Mengetahui peran NAC terhadap kadar serum ALT penderita TB paru terapi

obat antituberkulosis.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat praktis:

1. Dapat diketahui peran NAC terhadap faktor risiko hepatotoksisitas pada

penderita TB paru terapi obat antituberkulosis.

2. Dapat dipertimbangkan pemberian NAC pada penderita TB paru terapi obat

antituberkulosis untuk membantu mencegah hepatitis imbas obat.

Manfaat teoretis:

Pemberian NAC diharapkan dapat meningkatkan kadar glutathione sehingga dapat

berperan untuk mencegah hepatotoksisitas pada penderita TB paru dengan terapi obat antituberkulosis.


(19)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tuberkulosis (TB) adalah problem kesehatan yang penting di dunia. Pandemik TB terjadi di negara berkembang dan insiden ini meningkat karena ko-infeksi dengan

human immunodeficiency virus (HIV).6 Kasus TB diperkirakan terjadi 9,4 juta ( range

8,9 – 9,9 juta) di seluruh dunia ( ekuivalen dengan 137 kasus per 100.000 populasi) pada tahun 2009. Jumlah kasus terbanyak di tahun 2009 terjadi di Asia (55%) dan

Afrika (30%), proporsi kasus lebih kecil terjadi di wilayah Eastern Mediterranian

(7%), wilayah Eropa (4%), dan wilayah Amerika (3%).2

Pengobatan TB saat ini menggunakan beberapa obat antituberkulosis dalam bentuk kombinasi. Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). Obat TB lain (second line) adalah kanamisin, kapreomisin, amikasin, kuinolon, sikloserin, etionamid, dan

para-amino salisilat (PAS) digunakan jika terjadi multidrug resistance (MDR).21-24

Komponen esensial dari strategi directly observed treatment, short-course

(DOTS) untuk mengontrol tuberkulosis yang disahkan oleh World Health Organization

(WHO) adalah isoniazid, rifampisin dan pirazinamid, ketiganya diketahui memiliki

potensi hepatotoksik.3 Mekanisme dasar hepatotoksisitas imbas obat antituberkulosis

dan faktor predisposisi perkembangan hal tersebut belum sepenuhnya dimengerti. Usia, jenis kelamin, alkoholisme, penyakit hati kronik, status hepatitis B carrier, status

asetilator dan nutrisi diduga sebagai faktor predisposisi pada penelitian awal.4

Prevalensi drug induced liver injury (DILI) pada TB diperkirakan meningkat, insidennya dilaporkan lebih rendah di negara maju yaitu 3 – 4% dibandingkan negara berkembang yaitu 8 – 39% dengan regimen yang sama. Para peneliti menduga diantara obat-obat anti-TB hepatotoksik, pirazinamid (Z) diduga paling toksik terutama pada

pasien dengan penyakit hati kronik.6 Angka DILI yang lebih tinggi di negara

berkembang mungkin karena perbedaan ras dan status nutrisi membuat mereka lebih


(20)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

6

N-acetylcysteine (NAC) sering digunakan jika keseimbangan

oksidan-antioksidan intraselular menjadi perhatian.25 Sodhi et aldikutip dari5 mengemukakan stress

oksidatif sebagai kemungkinan mekanisme cidera hati imbas isoniazid (INH) dan rifampisin (R). Dikemukakan bahwa dengan meningkatkan sistem pertahanan

antioksidatif selular, dalam hal ini glutathione, sel-sel menjadi terlindung dalam

melawan cidera oksidatif yang dihasilkan berbagai macam obat dan bahan kimia.5,15

Mereka menyimpulkan bahwa pemberian NAC pada pasien TB bisa meningkatkan

jumlah glutathione dan respons imun pasien. Hepatoproteksi oleh NAC mungkin

karena perannya sebagai prekursor sintesis glutathione.5

1.1. EPIDEMIOLOGI HEPATITIS IMBAS OBAT ANTITUBERKULOSIS

Efek buruk tersering terapi antituberkulosis adalah hepatotoksisitas, reaksi kulit, gangguan gastrointestinal dan neurologis. Hepatotoksisitas karena obat antituberkulosis (OAT) menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang substansial dan mengurangi keefektifan terapi. Insidensi DILI selama pengobatan TB dilaporkan bervariasi antara

2% - 28%.11-14 Penelitian banyak dilakukan di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat,

kejadiannya bervariasi diantara berbagai bagian dunia.14

Suatu penelitian meta-analisis penggunaan kombinasi regimen OAT pada dewasa menunjukkan tingkat kejadian toksisitas hati 2,6% dengan isoniazid dan rifampisin bersamaan, tetapi hanya 1,1% dengan rifampisin saja, dan 1,6% dengan isoniazid saja. Kontribusi pirazinamid terhadap perkembangan hepatitis imbas obat selama pengobatan TB tampak masih kontroversial pada laporan terdahulu. Penelitian terakhir telah lebih menyokong potensi hepatotoksisitas pirazinamid. Penelitian di India menemukan penambahan pirazinamid pada terapi isoniazid dan rifampisin prosentase hepatitis imbas obat signifikan lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (70% vs 42%). Penelitian di Singapura, semua pasien dengan hepatitis imbas obat fatal didapatkan

pirazinamid pada regimennya.26

Penelitian di Malaysia oleh Marzuki et aldikutip dari 1 melaporkan kejadian hepatotoksisitas 9,7% dan dari Sri Lanka oleh Senaratne et aldikutip dari 1melaporkan


(21)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

7 kejadian 9,5%. Risiko hepatotoksisitas berdasarkan pada data empat penelitian di India yaitu 11,5% dibanding 4,3% di negara maju. Beberapa studi melaporkan bahwa risiko hepatitis imbas OAT meningkat sesuai pertambahan usia, insiden tertinggi terjadi pada

orang usia lebih 50 tahun.4

Penelitian oleh Prihatini D dan kawan-kawan di Indonesia pada April 2003

sampai September 2004 melaporkan peningkatan alanine aminotransferase (ALT)

serum terjadi pada minggu kedua akibat kombinasi OAT dengan rifampisin dosis tinggi

terjadi dalam waktu yang sama dengan rifampisin dosis standar.7 Penelitian di Karachi,

Pakistan pada Juli 2004 sampai Juli 2005 melaporkan mayoritas pasien terjadi hepatotoksisitas dalam waktu 14 hari setelah mulai terapi.8 Penelitian lain di Pakistan pada Agustus 2009 sampai Agustus 2010, prevalensi hepatitis imbas OAT adalah 14,38%. Pasien yang diteliti berjumlah total 1161 orang, terdiri dari 589 laki-laki dan 572 perempuan. Kejadian hepatotoksisitas lebih banyak pada perempuan (15,39%)

dibanding laki-laki (13,58%).12

2.2. DEFINISI

Definisi hepatotoksisitas berubah-ubah dan telah digunakan definisi berbeda-beda. Definisi hepatitis imbas OAT adalah pengobatan yang menimbulkan peningkatan serum alanine aminotransferase (ALT) lebih dari tiga atau lima kali upper limit of

normal (ULN), dalam empat minggu pengobatan tuberkulosis, dengan atau tanpa gejala

hepatitis. Penghentian penggunaan obat menyebabkan penurunan ALT. Berat

hepatotoksisitas digolongkan sesuai WHO Toxicity Classification Standarts sesuai

tabel 1. 14,16,17,27

British Thoracic Society (BTS) dan American Thoracic Society (ATS)/ Center

of Disease Control and Prevention (CDCP)/ Infectious Disease Society of America

(IDSA) telah merekomendasikan bahwa pengobatan yang potensial hepatotoksis harus

dihentikan jika serum ALT melebihi lima kaliULN (dengan atau tanpa gejala) atau tiga

kali ULN dengan jaundice dan/atau gejala hepatitis. Monitor ketat fungsi hati


(22)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

8 Tabel 1: Definisi hepatotoksisitas menurut WHO

Derajat hepatotoksisitas menurut WHO

Grade 1 (ringan) <2,5 kali ULN (ALT 51 – 125 U/L) Grade 2 (ringan) 2,5 – 5 kali ULN (ALT 126 – 250 U/L) Grade 3 (sedang) 5 – 10 kali ULN (ALT 251 – 500 U/L) Grade 4 (berat) > 10 kali ULN ( ALT > 500 U/L) Keterangan: ALT: Alanine Aminotransferase;

ULN: Upper Limit of Normal yaitu 50 U/L

Dikutip dari (14) Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Beberapa penulis menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain

merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan

berdasarkan potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas.10

2.3. METABOLISME OBAT

Sebagian besar obat masuk melalui saluran cerna. Hati terletak diantara permukaan absorbtif saluran cerna dan organ target obat, hati berperan sentral dalam metabolisme obat. Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap obat yang diberikan, karena hati merupakan pusat

disposisi metabolik dari semua obat dan bahan-bahan asing yang masuk tubuh.28

Setelah pemberian obat secara oral banyak obat diserap secara utuh oleh usus kecil dan dibawa melalui sistem portal ke hati, tempat obat mengalami metabolisme

ekstensif.29 Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam

tubuh. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal. Obat kemudian diubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit, sehingga lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu.


(23)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

9 Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur oksidatif terutama melalui sistem enzim sitokrom P-450. Jalur klasik metabolisme obat terjadi dalam dua fase. Fase pertama biasanya melibatkan transfer molekular oksigen terjadi reaksi oksidasi, reduksi atau hidroksilasi, tidak semua obat menjalani langkah ini, dan beberapa obat dapat langsung menjalani fase kedua.28,30,31

Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam retikulum endoplasma halus hati). Reaksi ini dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun dibanding substrat induk dan dapat mengakibatkan cidera pada hati. Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Sebagai

contoh metabolit paracetamol yaitu N-acetyl-p-benzoquinone (NAPQI) adalah toksik

terhadap hati. 28,30,31

Fase kedua meliputi jalur glukoronidasi, sulfasi, asetilasi, dan konjugasi

glutathione sehingga akan meningkatkan kelarutan obat untuk membentuk

senyawa/bahan yang siap dikeluarkan dari tubuh. Jalur protein transporter seluler memfasilitasi pengeluaran senyawa/bahan tersebut ke dalam empedu atau sistem sirkulasi. Obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu dan ginjal mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih kecil. Aktivitas transporter dan enzim dipengaruhi oleh faktor-faktor endogen seperti irama sirkadian, hormon, sitokin, status penyakit, faktor genetik, jenis kelamin, etnis, umur, dan status nutrisi, begitu juga oleh

obat-obatan atau bahan kimia eksogen.17,30,32

2.4. MEKANISME HEPATOTOKSISITAS

Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsik) dan yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi intrinsik atau reaksi obat yang dapat diperkirakan terjadi pada semua orang yang mengalami akumulasi obat pada jumlah

tertentu. Cidera hati dapat disebabkan oleh obat itu sendiri atau metabolit obat.27,32

Reaksi idiosinkratik dapat dibagi menjadi hipersensitivitas atau imunoalergik dan idiosinkratik metabolik. Idiosinkratik hipersensitivitas menyebabkan reaksi


(24)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

10 hipersensitivitas, suatu respons yang ditandai dengan demam, kemerahan pada kulit, dan eosinofilia suatu respons imun yang ditandai dengan periode laten yang pendek satu sampai empat minggu. Obat atau metabolit obat yang berikatan kovalen dengan protein dapat mendatangkan produk antibodi spesifik atau sel T dikenal sebagai hapten obat atau epitop spesifik pada molekul carrier.33 Hal ini sesuai hapten hipotesis: molekul kecil tidak imunogenik, tetapi bila berikatan secara ireversibel pada protein maka protein termodifikasi dapat menginduksi respons imun berupa reaksi

hipersensitivitas.34 Idiosinkratik metabolik adalah tipe reaksi yang terjadi melalui reaksi

tak langsung metabolit obat. Respons bervariasi dan dapat terjadi dalam seminggu atau lebih dari setahun kemudian. Toksisitas isoniazid dipertimbangkan masuk dalam kelompok ini. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respons imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu

memetabolisme penyebab).28,32

Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan

transport pada kanalikuli yang meghasilkan translokasi fassitoplasmic ke membran

plasma, tempat reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Selain itu banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450 yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik ke sel T, merangsang respons imun multifaset yang melibatkan sel-sel T sitotoksik dan berbagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksik yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cidera pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi


(25)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

11 (biasanya oleh obat atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein

sel menjadi imunogen).28,32,35 Lebih jelas diterangkan pada gambar 1.

Gambar 1: mekanisme hepatotoksisitas imbas obat

Dikutip dari ( 34 )

Terdapat pula model DILI yang mengedepankan tiga langkah penting yang berurutan. Hal ini juga meliputi jalur intrinsik dan ekstrinsik yang menekankan peran utama mitokondria dalam mekanisme yang menyebabkan apoptosis dan nekrosis.


(26)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

12

Tiga langkah umum model drug-induced liver injury seperti diterangkan pada

gambar 2 meliputi:35

1. Mekanisme awal toksisitas: stress sel langsung, perusakan mitokondrial langsung, dan reaksi imun spesifik.

Metabolit obat atau obat utama menyebabkan stress sel langsung, gangguan fungsi mitokondria atau memicu reaksi imun spesifik. Molekul obat relatif kecil seperti tidak mungkin menimbulkan respons imun, tetapi melalui reaksi biotransformasi dapat terbentuk molekul obat yang mengikat enzim sehingga cukup besar sebagai target imun. Ikatan tersebut bermigrasi ke permukaan hepatosit sehingga menginduksi pembentukan antibodi. Sistem enzim paling penting yang memetabolisme obat untuk

membentuk metabolit reaktif hepatotoksik adalah famili polymorphic cytochrome P450

(CYP450) yang memediasi metabolisme obat fase 1(oksidasi). Metabolisme obat fase 2

(konjugasi) bisa juga menghasilkan metabolit hepatotoksik.34,35

Metabolit reaktif dapat menyebabkan stress sel awal melalui mekanisme luas

termasuk deplesi glutathione atau dapat juga melekat pada enzim, lipid, asam nukleat,

dan struktur sel lain. Selanjutnya metabolit reaktif atau obat induk bisa secara spesifik

menghambat fungsi hepatoseluler lain seperti apikal bile salt efflux pump (BSEP).

Metabolit reaktif atau obat induk menghambat rantai respirasi mitokondria

menyebabkan deplesi adenosine triphosphat (ATP) dan peningkatan konsentrasi

reactive oxygen species (ROS), menghambat β- oksidasi menyebabkan steatosis,

kerusakan DNA mitokondrial atau mengganggu replikasi, atau langsung menyebabkan

mitochondrial permeability transition (MPT).35

Respons imun spesifik sel T cytotoxic dengan pelepasan sitokin-sitokin

inflamasi dapat ditimbulkan oleh metabolit reaktif yang berikatan kovalen dengan

protein dan kemudian membentuk neo-antigen (pembentukan hapten). Presentasi major

histocompatibility complex (MHC) yang tergantung pada antigen presenting cell

mengaktifkan pembentukan antibodi melawan hapten atau autoantibodi melawan


(27)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

13

2. Direct and death receptor – mediated pathways leading to mitochondrial

permeability transition

Stress sel awal dan atau reaksi imun spesifik dapat menyebabkan MPT melalui dua jalur utama yaitu jalur intrinsik diinisiasi oleh stress sel berat, atau jalur ekstrinsik

yaitu kematian tak langsung receptor-amplified yang dipicu oleh stress sel ringan dan

atau reaksi imun spesifik. Stress intraseluler berat mengaktivasi jalur reticulum

endoplasmic, permeabilisasi lysosomal, atau c-jun N-terminal kinase (JNK) dalam jalur

intrinsik. Berikutnya terjadi aktivasi protein pro-apoptotik (misal: Bax, Bak, Bad) dan menghambat protein anti-apoptotik (misal: Bcl-2, Bcl-xl) dari famili Bcl-2 kemudian

mengaktivasi MPT.34,35

Tumor necrosis factor dan FasL berikatan ke death receptors intraseluler, dan

TNF/Fas receptor-associated death domain proteins (TRADD/FADD) akan

mengaktivasi inisiator caspase 8. Aktivasi death-receptor complex juga disebut death-

inducing signaling complex (DISC). Inisiator caspase 8 dapat memulai apoptosis

melalui aktivasi langsung efektor caspase 3, 6 dan 7, tetapi jalur langsung ini terlalu lemah di dalam hepatosit untuk memediasi apoptosis. Oleh karena itu diperlukan mekanisme amplifikasi yaitu caspase 8 mengaktivasi protein pro-apoptotik Bcl-2 (misal

Bid), hal ini menyebabkan MPT.34,35

3. Apoptosis dan nekrosis

Apoptosis atau kematian sel yang terprogram merupakan suatu komponen yang normal pada perkembangan dan pemeliharaan kesehatan organisme multiselular. Kematian sel merupakan respons terhadap berbagai stimulus dan selama apoptosis sel dikontrol serta diregulasi, sel yang mati kemudian difagosit oleh makrofag. Apoptosis berbeda dengan nekrosis, pada nekrosis terjadi kematian sel tidak terkontrol. Nekrosis merupakan kematian sel yang terjadi pada organisme hidup yang dapat disebabkan oleh cidera atau infeksi. Nekrosis terjadi perubahan pada inti yang akhirnya dapat menyebabkan inti menjadi lisis dan membran plasma menjadi ruptur, sedangkan pada


(28)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

14 Gambar 2: tiga langkah umum DILI

Dikutip dari (35 )

Mitochondrial permeability transition menyebabkan nekrosis atau apoptosis

bergantung pada availabilitas ATP. Aktivasi hepatosit oleh aktivator caspase 8 melalui jalur ekstrinsik tidak cukup secara langsung mengaktivasi apoptosis, tetapi amplifikasi


(29)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

15 kemudian mengarah ke jalur apoptotik yang diaktivasi oleh ATP yang masih cukup. Nekrosis terjadi jika tidak tersedia ATP yang diperlukan untuk energi jalur apoptotik. Beberapa mekanisme amplifikasi pokok (A) bisa memainkan peran penting pada

tingkat berbeda untuk peristiwa idiosinkratik hepatotoksisitas.35

Kelemahan fungsi mitokondria dan produksi energi menyebabkan apoptosis

atau nekrosis sel. Mitochondrial permeability transition memberi influx masif proton

melalui membran dalam mitokondria, sehingga menghentikan sintesis ATP mitokondria. Deplesi ATP mitokondria dihasilkan dari MPT (atau mekanisme langsung kerusakan mitokondria seperti disebut diatas) menyebabkan ekspansi matriks dan

permeabilisasi membran luar mitokondria dan ruptur dengan pelepasan cytochrome c

dan protein pro-apoptotik mitokondrial lain dari ruang intermembran ke dalam

cytosol.34,35

Nekrosis berkembang jika cidera awal terlalu berat sehingga MPT cepat terjadi dalam semua mitokondria, atau jika mekanisme lain menyebabkan deplesi ATP mitokondria yang cepat, menghambat jalur apoptotik. Hal ini khas untuk hepatotoksin yang langsung menyebabkan stress sel awal yang parah. Nekrosis sel juga bisa disebabkan oleh aktivasi jalur ekstrinsik karena tidak adanya ATP. Penggelembungan sel dan lisis yang mengikuti kerusakan berat fungsi sel menandai nekrosis. Sel nekrotik menginduksi respons inflamasi termasuk pelepasan sitokin, penting karena bisa meningkatkan cidera awal melalui sensitisasi seputar hepatosit dan karena itu

menyebabkan kerusakan kolateral lebih lanjut.34,35

Perbedaan antara apoptosis dan nekrosis tidak selalu jelas. Apoptosis dan nekrosis bisa dianggap sebagai spektrum yang berlanjut. Lebih lanjut beberapa kontroversi ada di seputar mekanisme pasti dan pencetus hepatotoksik apoptosis

termasuk peran MPT.32 Disimpulkan bahwa mitokondria berada di pusat mati dan hidup

dalam hepatotoksisitas. Mereka dapat menjadi target langsung toksisitas awal.

Mitochondrial permeability transition memainkan peran kunci dalam sinyal selanjutnya

dari jalur intrinsik dan ekstrinsik. Mitokondria membentuk suplai ATP sel paling banyak dan juga sumber utama radikal bebas oksigen dan nitrogen intraseluler, maka


(30)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

16 kerusakan mitokondria yang luas akhirnya menentukan apakah hepatosit mati karena apoptosis atau nekrosis.35

2.5. FAKTOR RISIKO KELAINAN HEPATOSELULAR IMBAS OBAT

Terdapat beberapa faktor risiko kelainan hepatoselular imbas obat antara lain

ras, usia tua, perempuan, malnutrisi, infeksi human immunodeficiency virus (HIV),

penyakit hati yang mendasari, penyalahgunaan alkohol, penggunaan obat hepatotoksik lain.11,13

1. Ras dan genetik

Beberapa obat memiliki toksisitas berbeda berdasarkan ras/suku bangsa. Ras dan genetik mungkin berperan penting. Beberapa polimorfisme genetik pada enzim-enzim metabolisme obat yang dihubungkan dengan hepatotoksisitas imbas obat antara lain

status asetilator lambat, genotipe glutathione S-transferase M1 homozygote null dan

genotipe cytochrome P4502E1 c1/c1 (CYP2E1 c1/c1).13 Status setilator lambat dan

intermediate banyak terdapat pada populasi orang Afrika (Sabbagh et al. 2008; Matimba et al. 2009). Hampir 95% orang kulit hitam Afrika Selatan memiliki genotipe CYP2E1 c1/c1 (Chelule et al. 2006). Beberapa penelitian tersebut menduga bahwa ‘genotipe risiko tinggi’ yang berhubungan dengan hepatotoksisitas imbas obat banyak terdapat diantara bangsa Afrika.11 Penelitian di China oleh Shang P et al tahun 2007/2008 menjelaskan insidensi kelainan hati imbas obat anti tuberkulosis adalah

2,55% pada bangsa China.13 Prevalensi 9,7% terdapat pada bangsa Malaysia dari hasil

penelitian oleh Marzuki et al.1

2. Umur

Orang tua berisiko lebih tinggi cidera hati karena clearance menurun, interaksi

antar obat, aliran darah ke hati berkurang, dan menurunnya volume hati.27 Penelitian oleh Mahmood K et al di Karachi, Pakistan tahun 2005 menyebutkan pasien usia tua relatif lebih rentan dibanding kelompok usia lebih muda ( 41 dari 159 orang atau 25,8%


(31)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

17 dibanding 26 dari 180 orang atau 14,4%)21 Penelitian oleh Zaman R di Bahawalpur, Pakistan tahun 2010 menyebutkan prevalensi hepatotoksisitas karena OAT paling tinggi pada orang tua (> 50 tahun) yaitu 17,54%.12

3. Seks

Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat pada hati lebih sering terjadi pada

perempuan.7 Penelitian oleh Mahmood K et al di Karachi, Pakistan tahun 2005

menyebutkan perempuan lebih rentan dibanding laki-laki (41 dari 156 orang atau

26,3% dibanding 36 dari 183 orang atau 19,7%).8 Penelitian Zaman R di Bahawalpur,

Pakistan tahun 2010 menyebutkan prevalensi hepatotoksisitas karena OAT pada

laki-laki 13,58% dan 15,39% pada perempuan.12

4. Konsumsi alkohol

Sering mengkonsumsi alkohol membuat rentan terhadap keracunan obat karena

alkohol menyebabkan cidera hati yang mengubah metabolisme obat.27 Penelitian

Mahmood et al di Karachi, Pakistan tahun 2005 menyebutkan pasien dengan konsumsi

alkohol lebih berisiko (25%) dibanding tanpa konsumsi alkohol (19,6%).24

5. Penyakit hati

Pasien dengan penyakit hati kronis mengalami peningkatan risiko cidera hati. Pasien dengan infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko untuk efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Pasien dengan sirosis berisiko mengalami peningkatan dekompensasi

dengan obat beracun.27 Penelitian Zaman R di Bahawalpur, Pakistan tahun 2010

menyebutkan pasien carrier hepatitis B atau C 100% berkembang hepatotoksisitas

karena OAT.8 Penelitian oleh Anand AC di India tahun 2002 menghasilkan data

kejadian disfungsi hati lebih tinggi pada pasien dengan infeksi kronis virus hepatitis B yang mendapat OAT (37,5%) dibanding pasien tidak terinfeksi virus hepatitis B (10,2%)4


(32)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

18 6. Komorbiditas lain

Penderita acquired immune deficiency syndrome (AIDS), penderita kekurangan

gizi rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan glutathione rendah.27 Penelitian Marzuki et al di Malaysia tahun 2005 menemukan bahwa penderita HIV positif

merupakan faktor risiko signifikan berkembang hepatitis imbas OAT.1

2.6. HEPATOTOKSISITAS IMBAS OBAT ANTITUBERKULOSIS

Penyebab TB diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir 50 tahun sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasi, tetapi masalah TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara TB

dengan infeksi HIV serta terjadinya multiple drug resistant tuberkulosis (TB-MDR).36

Efek samping dan toksisitas obat juga ancaman untuk dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi.16

Efek Hepatotoksik Obat Antituberkulosis

Kebanyakan obat antituberkulosis larut dalam lemak dan eliminasinya memerlukan biotransformasi menjadi senyawa larut dalam air. Biotransformasi tersebut sebagian besar terjadi pada fase hepatik I dan II yang memerlukan enzim biotransformasi. Reaksi fase I terjadi oksidasi atau demetilasi, dilakukan oleh enzim

cytochrome P-450 (CYP-450). Hasil oksidasi obat tidak terlalu larut dalam air dan

membutuhkan metabolisme lebih lanjut. Reaksi fase I sering menghasilkan metabolit toksik. Sebagian besar senyawa larut dalam air diikat oleh glukoronidasi atau sulfat menghasilkan metabolit non-toksik yang mudah dieliminasi pada reaksi fase II. Tahap

metabolik untuk detoksifikasi melibatkan glutathione, yang mengikat senyawa beracun


(33)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

19

Isoniazid

Isoniazid merupakan hidrazid dari isonicitinic acid, menghambat sintesis

mycolic acid komponen penting dinding sel mikobakteri. Isoniazid mudah diabsorbsi

pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam

setelah pemberian per oral. Isoniazid mengalami asetilasi di hati dan kecepatan metabolisme isoniazid dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna

mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan waktu paruh.37,38 Tingkat asetilasi manusia

ditentukan secara genetik dan dibagi menjadi asetilasi tipe lambat dan cepat.17

Keterlibatan arus asetilasi pada toksisitas isoniazid masih kontroversial. Penelitian awal menunjukkan bahwa asetilator cepat lebih rentan terhadap perkembangan

antituberculosis drug-induced hepatotoxicity (ATDH). Penelitian terbaru menunjukkan

pada asetilator lambat berkembang ATDH lebih sering dan juga lebih berat dibanding asetilator cepat. Asetilasi lambat lebih banyak isoniazid terhidrolisis langsung menjadi

hidrazin dan asetilhidrazin yang dapat diubah menjadi hidrazin.14,17

Penggunaan isoniazid pada penderita yang menunjukkan kelainan fungsi hati akan menyebabkan bertambah parahnya kerusakan hati. Umur merupakan faktor yang sangat penting untuk memperhitungkan risiko efek toksik isoniazid pada hati. Kerusakan hati jarang terjadi pada penderita yang berumur dibawah 35 tahun. Kelainan terbanyak adalah enzim transaminase yang meningkat. Hepatitis karena pemberian

isoniazid terjadi 4-8 minggu setelah pengobatan dimulai.37,38

Hepatotoksisitas karena isoniazid bukan hasil dari hipersensitivitas atau reaksi alergi dan paling mungkin disebabkan oleh metabolit toksik. Hepatotoksisitas karena isoniazid dianggap idiosinkratik. Reaksi idiosinkratik dapat mempengaruhi setiap sistem organ dengan dimediasi Imunoglobulin E. Merupakan sindrom reaktif metabolit yaitu metabolit reaktif yang dihasilkan lebih berperan dibanding obat itu sendiri.

Sindrom reaktif metabolit dapat pulih pada sebagian besar penderita.14

Jalur metabolik utama metabolisme INH adalah asetilasi oleh enzim hati N-acetyl transferase 2 (NAT2). Isoniazid terasetilasi menjadi asetilisoniazid dan kemudian terhidrolisis menjadi asetilhidrazin dan asam isonikotinat. Asetilhidrazin kemudian


(34)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

20

terasetilasi menjadi hidrazin, atau menjadi diasetilhidrazin, seperti terlihat pada

gambar 3.14,17

Isoniazid sebagian kecil secara langsung dihidrolisis menjadi asam isonikotinat dan hidrazin. Sebagian besar penelitian sebelumnya telah difokuskan pada hipotesis bahwa asetilhidrazin adalah metabolit toksik isoniazid. Penelitian terbaru menyatakan bahwa hidrazin kemungkinan besar menjadi penyebab hepatotoksisitas. Toksisitas hidrazin telah digambarkan sejak awal tahun 1908 dan diketahui menyebabkan

kematian sel yang irreversible. Kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif dan

menyebabkan hepatitis fatal pada beberapa pasien.14,16

Gambar 3. Metabolisme isoniazid Dikutip dari (14)

Rifampisin menunjukkan peningkatan reaksi idiosinkratik metabolik

hepatoselular pada pasien yang mendapat isoniazid, mungkin oleh peningkatan pembentukan metabolit toksik isoniazid. Secara histopatologi terlihat perubahan


(35)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

21 nonspesifik menyerupai hepatitis virus dengan nekrosis nonzonal, dan masif pada lebih

dari 10% kasus berat. Subacute hepatic necrosis dapat terlihat pada 30% kasus.17

Penelitian terhadap genetik manusia menunjukkan bahwa pasien dengan

homozigot cytochrome P450 2E1 c1/c1(CYP2E1 c1/c1) host gene polymorphisme,

yang memiliki peningkatan aktivitas cytochrome P450 2E1, memiliki risiko hepatotoksisitas lebih tinggi, khususnya asetilator lambat. Genetik CYP2E1 c1/c1 dikaitkan dengan aktivitas gen CYP2E1 yang lebih tinggi dan dapat menyebabkan produksi hepatotoksin yang lebih tinggi. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa isoniazid dan hidrazin menginduksi aktivitas CYP2E1. Isoniazid memiliki efek inhibisi terhadap aktivitas CYP1A2, 2A6, 2C19, dan 3A4.57. Gen CYP1A2 diperkirakan terlibat dalam detoksifikasi hidrazin. Isoniazid dapat menginduksi toksisitasnya,

kemungkinan disebabkan oleh induksi atau inhibisi enzim-enzim di atas.14,17

Rifampisin

Rifampisin adalah antibiotik derivat rifamisin dihasilkan oleh Steptomyces

mediterranei terutama digunakan sebagai obat anti tuberkulosis. Kadar puncak dalam

plasma tercapai setelah 2-4 jam pemberian rifampisin per oral. Rifampisin setelah diserap dari saluran cerna cepat diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. Obat ini cepat mengalami deasetilasi sehingga dalam waktu enam jam hampir semua obat yang berada dalam empedu berbentuk diasetil rifampisin yang mempunyai aktivitas antibakteri penuh. Waktu paruh eliminasi rifampisin bervariasi antara 1,5 – 5 jam dan memanjang bila ada kelainan fungsi hati. Penderita tuberkulosis mengalami efek toksik kurang dari 4% dengan pemberian dosis biasa.

Efek samping paling sering muncul adalah ruam kulit, demam, mual, dan muntah.38

Jalur utama metabolisme rifampisin adalah deasetilasi menjadi deasetil rifampisin dan secara terpisah terhidrolisis menghasilkan rifampisin 3-formil. Rifampisin dapat menyebabkan disfungsi hepatoselular pada awal pengobatan yang

sembuh tanpa penghentian obat. Mekanisme rifampisin-induced hepatotoxicity tidak


(36)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

22

Rifampisin mengaktifkan hepatocyte pregnane X receptors, menyebabkan

induksi sitokrom. Rifampisin juga menginduksi uridine

diphosphate-glucuronosyl-transferase dan transport P-glycoprotein yang terlibat dalam metabolisme obat lain.

Rifampisin adalah penginduksi kuat sistem sitokrom P-450 hepatik pada hati dan usus

sehingga meningkatkan metabolisme banyak senyawa lain. Penggunaan kombinasi rifampisin dan isoniazid dihubungkan dengan peningkatan risiko hepatotoksisitas.

Rifampisin menginduksi isoniazid hidrolase sehingga plasma half life acetyl isoniazid

diperpendek dan cepat berubah menjadi metabolit aktif. Produksi hidrazin lebih cepat dan lebih banyak ketika rifampisin dikombinasikan dengan isoniazid (terutama pada asetilator lambat), maka terjadi toksisitas yang lebih tinggi. Pajanan hidrazin

menyebabkan pengurangan adenosine triphosphate (ATP), menghambat enzim

mitokondrial succinate dehydrogenase yang mengurangi fungsi mitokondria.

Selanjutnya hidrazin menyebabkan toksisitas dengan terlibat dalam sejumlah proses

metabolik seperti glukoneogenesis dan glutamine synthetase. Metabolisme hidrazin

diperkirakan meliputi produksi radikal bebas yang menginduksi toksisitas selular baik oleh ikatan kovalen pada makromolekul jaringan atau dengan menginisiasi proses autooksidatif seperti peroksidasi lipid in vivo. Integritas sel dipengaruhi oleh stress oksidatif ketika produksi oksidan aktif melebihi mekanisme pertahanan antioksidan. Penambahan hidrazin menginduksi peningkatan pembentukan ROS kemudian disfungsi mitokondria dan atau menghambat sistem antioksidan. Rifampisin juga berinteraksi dengan obat anti retroviral dan mempengaruhi tingkat plasma obat-obatan serta risiko hepatotoksik.14,17-19

Pirazinamid

Waktu paruh (t½) pirazinamid lebih panjang dibanding isoniazid atau rifampisin,

mendekati 10 jam. Pasien dengan penyakit hepatik, t½ meningkat menjadi 15 jam.

Pirazinamid sebagai turunan asam nikotinik, dideamidasi menjadi pyrazinoic acid di

dalam hati dan sebagian dimetabolisme menjadi 5-hydroxy-pyrazinoic acid oleh xantine


(37)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

23 mungkin dibentuk selama metabolisme pirazinamid. Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Ekskresi pirazinamid terutama melalui filtrasi

glomerulus. Pyrazinoic acid aktif mengalami hidroksilasi menjadi hydroyirazinoic acid

yang merupakan metabolit utama. Ginjal membersihkan metabolit pirazinamid, diperlukan intermittent dosing pada pasien insufisiensi renal.4,17

Efek samping utama pirazinamid adalah hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas

dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama terapi.16

Mekanisme toksisitas karena pirazinamid tidak diketahui. Enzim yang berperan dalam toksisitas pirazinamid, dan apakah toksisitas disebabkan oleh pirazinamid atau metabolitnya juga tidak diketahui. Pirazinamid menghambat aktivitas beberapa isoenzim sitokrom P-450 (2B, 2C, 2E1, 3A) pada tikus tetapi penelitian di mikrosom hati manusia menunjukkan bahwa pirazinamid tidak memiliki efek inhibisi terhadap

isoenzim sitokrom P-450.14 Pirazinamid menurunkan kadar nicotinamide acetyl

dehydrogenase pada hati tikus, hal ini mungkin menghasilkan spesies radikal bebas

yang diperkirakan berperan dalam mekanisme cidera untuk isoniazid dan pirazinamid, sebab ada beberapa persamaan dalam struktur molekuler. Pasien yang sebelumnya mendapat reaksi hepatotoksik dengan isoniazid mendapat reaksi lebih berat dengan

pemberian rifampisin dan pirazinamid.17

Etambutol

Etambutol dilaporkan tidak memiliki efek hepatotoksik, tetapi ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan etambutol dalam pengobatan TB. Tes fungsi hati abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol

dikombinasi dengan OAT lain. Kombinasi ini yang menyebabkan hepatotoksisitas.16

Etambutol diserap ke dalam saluran pencernaan sebanyak 70-80% pada pemberian secara oral. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Waktu paruh eliminasi 3-4 jam. Lima puluh persen etambutol yang dikonsumsi, diekskresi dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai metabolit, berupa derivat aldehid dan asam karboksilat dalam waktu 24 jam. Etambutol jarang


(38)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

24 menimbulkan efek samping. Dosis harian sebesar 15 mg/kg BB/hari menimbulkan efek toksik yang minimal. Dosis ini kurang dari 2% penderita akan mengalami efek samping

yaitu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam.38

Streptomisin

Waktu paruh streptomisin pada orang dewasa normal 2-3 jam dan dapat sangat memanjang pada penderita gagal ginjal. Hampir semua streptomisin berada dalam plasma setelah diserap dari tempat suntikan. Streptomisin diekskresi melalui filtrasi glomerulus. Sekitar 50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara parenteral diekskresi dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Ototoksisitas lebih sering terjadi pada penderita, streptomisin dilaporkan tidak memiliki efek hepatotoksik.

6,14,19,24

2.7. MANIFESTASI KLINIS HEPATOTOKSISITAS IMBAS OBAT ANTI TUBERKULOSIS

Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan penyakit hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obat atau substansi-substansi hepatotoksik lain harus dapat diungkap. Cidera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu atau bulan. Cidera hati dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada hepatitis kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis akibat obat, baik secara klinis maupun histologis, sehingga pemeriksaan serologis virus sering

dipakai untuk mengetahui perbedaannya.32

Presentasi klinis hepatitis akibat OAT mirip dengan hepatitis virus akut. Obat antituberkulosis bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang bervariasi dari asimptomatik hingga simptomatik seperti keletihan, demam, hilang

selera makan, mual, muntah, anoreksia, jaundice, sklera ikterik, pusing, kencing warna


(39)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

25

akut.16 Pasien TB yang sedang dalam pengobatan OAT menunjukkan gejala hepatitis

akut maka dapat dijadikan acuan diagnosis hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi.16,27,31

Cidera pada hati baik akut atau kronis akhirnya menghasilkan peningkatan

konsentrasi serum aminotransferase. Aspartate aminotransferase (AST) dan alanine

aminotransferase (ALT) adalah enzim-enzim yang mengkatalisis transfer grupα-amino

dari aspartate dan alanine ke grup α-keto dari ketoglutaric acid untuk membentuk

oxaloacetic acid dan pyruvic acid, yang memberi kontribusi penting pada siklus citric

acid.19 Kedua aminotransferase terdapat pada konsentrasi tinggi di dalam hati.

Aspartate aminotransferase (AST) juga secara difus digambarkan di dalam jantung,

otot skeletal, ginjal, otak, dan sel darah merah, ALT berada dalam konsentrasi rendah di dalam otot skeletal dan ginjal, peningkatan serum ALT lebih spesifik untuk kerusakan

hati. Alanine aminotransferase berlokasi hanya di dalam sitoplasma selular di hati,

berada di cytosolic (20% dari aktivitas total) dan mitokondria (80% dari aktivitas

total).19,35 Clearance aminotransferase dibawa keluar dari hati oleh sel sinusoidal.

Waktu paruh ALT di dalam sirkulasi sekitar 47 jam dan untuk AST sekitar 17 jam.19

2.8. PERAN N-ACETYLCYSTEINE MENCEGAH HEPATOTOKSISITAS

Penelitian pada binatang telah menunjukkan bahwa isoniazid dan rifampisin

menginduksi cidera oksidatif dapat dicegah dengan N-acetylcysteine (NAC) yang

membantu mekanisme pertahanan antioksidan selular.5 N-acetyl-cysteine bahan untuk

sintesis glutathione, menghambat cidera hati karena isoniazid pada tikus, dengan

hubungan yang tidak diketahui pada manusia.17 Observasi efek hepatoprotektif N

-acetylcysteine pada tikus yang diobati dengan isoniazid dan rifampisin lebih

mendukung keterlibatan stres oksidatif. Pasien TB dengan antituberculosis

drug-induced hepatitis (ATDH) memiliki penurunan kadar glutathione plasma dan kadar

malondialdehid lebih tinggi, yang merupakan parameter dari sebuah stress oksidatif,


(40)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

26 Satu penelitian telah melaporkan perbaikan histopatologi hati dan pengurangan

stress oksidatif oleh NAC pada non-alcoholic fattysteatosis (NASH) pada tikus model.

Penelitian baru telah melaporkan penurunan signifikan steatosis hati dan fibrosis pada

pasien dengan NASH yang mendapat metformin dan NAC. Kemampuan NAC

mengeblok perkembangan lipid peroksidase ditunjukkan dalam pencegahan onset

non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) dengan pemberian S-nitroso-N-acetylcysteine

pada tikus dan perbaikan histologi hati pada tikus dengan NASH setelah terapi NAC.25

2.9. N-ACETYLCYSTEINE SEBAGAI PREKURSOR GLUTATHIONE

N-acetylcysteine (NAC) dikenal sebagai antioksidan kimia nontoksik digunakan

mengobati berbagai gangguan.15 N-acetylcysteine adalah bentuk modifikasi dari asam

amino cysteine, dengan atom nitrogen dari grup amino ditempelkan ke grup acetyl.

Rumus kimianya adalah C5H9NO3S, berat molekul 163,2 g/mol. Bentuk N-acetyl dari

cysteine mempermudah penyerapan oleh tubuh. Obat bisa diberikan secara oral,

intravena, dan melalui nebulizer respiratorik. N-acetylcysteine diserap cepat setelah

pemberian secara oral baik pada binatang maupun manusia. Konsentrasi plasma

maksimum dicapai 2-3 jam setelah pemberian dan waktu paruh 6,3 jam.39-41

Metabolisme ekstensif NAC terjadi di hati dan usus kecil tempat terjadi deasetilasi. Deasetilasi adalah proses enzimatik esensial untuk membentuk glutathione.

Metabolisme pada manusia terutama dikatalisis oleh enzim acylase I (N-acylamino acid

amidohydrolase) termasuk kelompok enzim acylase, yaitu enzim cytosolic yang

mengkatalisis deasetilasi N-acyl-L-amino acids sehingga menghasilkan asam lemak dan

asam amino.42 Setelah dideasetilasi, NAC menjadi L-cysteine, masuk ke dalam sel dan

berperan sebagai prekursor sintesis glutathione. Cysteine yang terbentuk bergabung

dengan glutamate membentuk glutamylcysteine dikatalisis oleh enzim

glutamate-cysteine ligase. Selanjutnya glutamylcysteine bergabung dengan glycine membentuk

glutathione (GSH) dengan dikatalisis enzim glutathione synthase. N-acetylcysteine


(41)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

27 hepatik. Deasetilasi sangat efisien, dalam sirkulasi vena porta, konsentrasi metabolit

300 - 500% lebih tinggi dibanding obat induk.42-46

Peran klinis utama NAC adalah pengobatan overdosis acetaminophen.

Acetaminophen dimetabolisme oleh hati, menghasilkan N-acetylbenzoquinoneimine

(NAPQI) yang menyebabkan deplesi glutathione hepatik. Pemberian NAC mengisi lagi

persediaan glutathione dan mengurangi cidera hati. Pengobatan efektif terutama jika

diberikan dalam 10 jam dari overdosis.41 Kecuali penggunaan NAC untuk keracunan

acetaminophen tidak ada antidotum spesifik terhadap setiap obat.31

Dosis besar NAC biasanya diberikan untuk merespons overdosis acetaminophen yaitu loading dose 140 mg/kg dilanjutkan dosis maintenance 70 mg/kg tiap 4 jam sampai acetaminophen serum tidak terdeteksi. Dosis tersebut dapat menyebabkan mual,

muntah, gangguan gastrointestinal, rash, pruritus, angioedema, bronkospasme,

takikardi, hipotensi atau hipertensi, tetapi kejadian-kejadian tersebut jarang.47,48

Efek antioksidan secara langsung dan tak langsung ditunjukkan oleh NAC. Efek

langsung ini adalah interaksi dengan kelompok elektrofilik [radikal hidroksil (-OH)]

reactive oxygen species (ROS). Interaksi dengan ROS ini menyebabkan pembentukan

intermediate thiol NAC, dengan NAC disulfide sebagai hasil akhir utama. Efek

antioksidan tak langsung NAC berhubungan dengan perannya sebagai prekursor

glutathione. Glutathione adalah tripeptida yang terbuat dari glutamic acid, cysteine, dan

glycine. Pemeliharaan adekuat kadar glutathione intraseluler penting untuk

menanggulangi efek buruk zat toksik.41,43

Glutathione memainkan peran kunci dalam pertahanan seluler melawan

kerusakan oksidatif. Glutathione tidak dapat masuk sel hepatik, karena itu harus

disintesis in situ dari prekursornya glycine, glutamate, dan cysteine. Komponen cysteine

terbatas, dan kelompok sulfhidril cysteine memberikan glutathione kekuatan

antioksidan.41 Ketersediaan asam amino untuk pengaturan sintesis glutathione adalah

faktor fundamental. Glutamic acid dan glycine tersedia berlimpah-limpah dalam tingkat

seluler, tetapi tidak demikian dengan cysteine, maka sintesis glutathione bergantung


(42)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

28

yaitu L-cysteine, sebab absorbsi yang rendah di usus, daya larut dalam air yang buruk

dan metabolisme hepatik yang cepat.42,43

Glutathione (γ-glutamylcysteinyl glycine) diklasifikasikan sebagai tripeptida

yang ditemukan di setiap bagian tubuh, khususnya di paru, saluran intestinal, dan hati.

Tubuh memproduksi dan menyimpan glutathione paling banyak di dalam hati.

Glutathione tersebut digunakan untuk detoksifikasi komponen berbahaya sehingga

dapat dikeluarkan dari tubuh melalui empedu.49,50 Homeostasis glutathione intraseluler

memainkan peran utama dalam memelihara lingkungan reduksi—oksidasi (redoks) intraselular dan mengatur sejumlah fungsi selular penting. Salah satu kejadian awal

pada banyak respons inflamasi adalah penurunan glutathione intraselular.51

Glutathione berimplikasi dalam banyak fungsi selular, termasuk sintesis dan

degradasi protein dan deoxyribo nucleic acid (DNA). Lingkungan redoks intraselular

terutama dikontrol oleh glutathione-redox yang didefinisikan sebagai rasio glutathione

tereduksi (GSH) terhadap glutathione teroksidasi (GSSG) dan memainkan peran

penting dalam memelihara homeostasis selular dan berbagai fungsi fisiologis.51 Obat, infeksi, dan inflamasi di dalam hati dapat meningkatkan pembentukan ROS dan/atau menurunkan kadar GSH dan menyebabkan pergeseran status redoks selular hepatosit menjadi lebih teroksidasi. Perubahan keseimbangan redoks normal dapat mengganggu

jalur signaling dalam hepatosit dan bisa menjadi mekanisme penting dalam memediasi

patogenesis banyak penyakit hati.51,52

Sel-sel eukariotik mempunyai tiga reservoir utama GSH. Hampir 90% GSH selular berada di dalam sitosol, 10% di dalam mitokondria, dan presentase kecil di

dalam retikulum endoplasma (RE). Glutathione tereduksi (GSH) diimplikasikan dalam

bentuk ikatan protein disulfide di dalam RE, rasio GSH: GSSG adalah 3:1. Rasio

melebihi 10:1 di dalam sitoplasma dan mitokondria.44-46 Keseimbangan redoks

glutathione dalam makrofag penting untuk meningkatkan respons imun alamiah dan

juga berimplikasi dalam banyak kondisi patologis, mengindikasikan kemungkinan


(1)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

51

BAB V

PEMBAHASAN

Efek antioksidan secara langsung dan tak langsung ditunjukkan oleh NAC. Efek

langsung ini adalah interaksi dengan kelompok elektrofilik [radikal hidroksil (-OH)]

reactive oxygen species

(ROS). Interaksi dengan ROS ini menyebabkan pembentukan

intermediate

thiol NAC, dengan NAC

disulfide

sebagai hasil akhir utama. Efek

antioksidan tak langsung NAC berhubungan dengan perannya sebagai prekursor

glutathione

.

Glutathione

adalah tripeptida yang terbuat dari

glutamic acid

,

cysteine

, dan

glycine

. Pemeliharaan adekuat kadar

glutathione

intraseluler penting untuk

menanggulangi efek buruk zat toksik.

41,43

Analisis hasil penelitian ini bermaksud untuk mengetahui perbedaan kadar AST,

ALT, dan

glutathione

total pasien TB paru terapi OAT tanpa pemberian NAC

dibandingkan pasien TB paru terapi OAT ditambah NAC.

1.

Karakteristik subyek penelitian

Hasil penelitian ini menunjukkan penderita TB paru laki-laki lebih banyak

dibanding penderita perempuan baik pada kelompok kontrol (54,3%) maupun

kelompok perlakuan (45,7%) sesuai penelitian Arsyad Z di Padang (1996) yaitu 43%

dan Zaman R di Pakistan (2011)

12,62

Status BTA positif pada kelompok kontrol terdapat

22 orang (48,8%) dan pada kelompok perlakuan 23 orang (51,2%). Status BTA negatif

pada kelompok kontrol sebanyak 8 orang (53,5%) dan pada kelompok perlakuan 7

orang (46,7%). Hasil ini lebih rendah bila dibanding penelitian Mahmood K

et al

di

Karachi tahun 2005, yaitu BTA positif 59,7% dan BTA negatif 40,3%.

8

Rerata umur subyek penelitian ini adalah 41,13 pada kelompok kontrol dan

41,27 pada kelompok perlakuan hal ini hampir sama dengan penelitian Khan H di

Pakistan (2009) yaitu 42,10.

6

Indeks masa tubuh (IMT) rerata pada penelitian ini adalah

17,23 pada kelompok kontrol dan 17,61 pada kelompok perlakuan, lebih rendah


(2)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

52

2.

Perbandingan kadar AST, ALT, dan glutathione total

Serum aminotransferase AST dan ALT terdapat pada konsentrasi tinggi di

dalam hati.

Aspartate aminotransferase

juga secara difus digambarkan di dalam

jantung, otot skeletal, ginjal, otak, dan sel darah merah, berada di dalam sitosol dan

isoenzim mitokondria, serum AST kurang sensitif dan spesifik untuk mendeteksi

kelainan hati.

Alanine aminotransferase

berada dalam jumlah banyak di dalam

sitoplasma selular hati. Serum ALT berada dalam konsentrasi rendah di dalam otot

skeletal dan ginjal, peningkatan serum ALT lebih spesifik untuk kerusakan hati.

19,35

Data dari tabel 3 memperlihatkan kadar rerata AST kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan tidak terdapat perbedaan signifikan baik sebelum terapi (p = 0,08)

maupun setelah 14 hari terapi (p = 0,09). Berdasarkan data tabel 4 bahwa kadar rerata

AST penderita TB paru kasus baru kelompok kontrol sebelum diterapi adalah

24,27±8,88, dan mengalami peningkatan setelah 14 hari terapi OAT (39,70±56,48)

tetapi pada analisis statistik didapatkan hasil perbedaan tidak signifikan (p = 0,13) hal

tersebut karena peningkatan tidak begitu besar dan masih dalam batas normal (< 40

U/L). Kadar rerata serum AST sebelum terapi OAT dan penambahan NAC 2 X 600 mg

pada kelompok perlakuan mengalami sedikit peningkatan dibanding setelah 14 hari

terapi OAT dan NAC yaitu dari 20,97±5,09 menjadi 21,50±11,75 tetapi dalam analisis

statistik perbedaan tersebut tidak signifikan (p = 0,79). Berbeda dengan penelitian

Baniasadi S

et al

menunjukkan peningkatan signifikan kadar serum AST kelompok

kontrol, tetapi pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan yang tidak signifikan

kadar serum AST. Peningkatan kadar serum AST tidak spesifik menunjukkan kelainan

fungsi hati, banyak faktor dari organ lain yang mempengaruhi peningkatan kadar serum

AST, sehingga dalam hal ini tidak memerlukan pembahasan tersendiri.

Kadar ALT kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang pada awalnya

(sebelum terapi) berbeda tidak signifikan (p = 0,98) setelah 14 hari terapi terjadi selisih

kadar rerata ALT yang signifikan (p = 0,04) (tabel 3). Tabel 4 menunjukkan

peningkatan signifikan (p = 0,04) kadar ALT pada kelompok kontrol yaitu dari rerata

19,67±8,87 menjadi 41,67±58,87. Hal tersebut karena dari kelompok kontrol terdapat 6


(3)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

53

penderita yang mengalami peningkatan enzim transaminase diantaranya dengan ALT

mencapai 213 U/L dan 219 U/L. Pada penderita tersebut OAT telah dihentikan dan

disarankan menjalani rawat inap di rumah sakit untuk penatalaksanaan lebih lanjut.

Kadar serum ALT pada kelompok perlakuan setelah 14 hari terapi lebih rendah

dibanding sebelum terapi, yaitu 19,73±12,71 dibanding 17,37±14,89. Secara analisis

statistik perbedaan tersebut tidak bermakna (p = 0,32).

Hasil penelitian Baniasadi S

et al

juga menunjukkan peningkatan signifikan

kadar serum ALT kelompok kontrol sebelum terapi dibanding setelah 2 minggu terapi,

tetapi pada kelompok perlakuan tidak terjadi peningkatan signifikan. Mencermati tabel

3 dan 4 menunjukkan bahwa penambahan NAC 600 mg dua kali sehari efektif

mencegah kenaikan kadar ALT, walaupun bila dibandingkan kadar ALT awal dengan

setelah 14 hari terapi pada kelompok perlakuan tidak terdapat selisih signifikan

(p = 0,32), tetapi bila dibandingkan dengan kadar ALT kelompok kontrol yang

mengalami kenaikan signifikan kemungkinan besar penurunan tersebut karena

pengaruh pemberian NAC, mengingat kadar serum ALT adalah petanda spesifik untuk

kelainan fungsi hati.

5

Glutathione

tersebar luas di seluruh sel tubuh binatang dan manusia. Dalam

kondisi normal berada dalam konsentrasi tinggi (0,1 – 10 mM = 100 – 10.000µM ).

55

Banyak penyakit kronik seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), rheumatoid

arthritis, infeksi, atau pajanan polutan yang berat dapat menyebabkan defisiensi

glutathione.

Hal ini karena tubuh menggunakan lebih banyak

glutathione

untuk

menanggulangi infeksi dan membersihkan tubuh dari toksin.

46,63

Venketaraman

et al

mengindikasikan bahwa kadar

glutathione

menurun pada

pasien TB, dan penurunan ini berhubungan dengan imunitas protektif. Mereka

menyimpulkan bahwa pemberian NAC pada pasien TB mungkin meningkatkan jumlah

glutathione

dan respons imun host.

5

Menariknya banyak studi juga mengindikasikan

bahwa pasien dengan TB memiliki keseimbangan

glutathione

terganggu.

50

Tabel 3 memperlihatkan kadar rerata

glutathione

total kelompok kontrol dan


(4)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

54

berbeda signifikan setelah 14 hari terapi (p = 0,00). Kadar rerata

glutahione

total

kelompok perlakuan setelah 14 hari terapi mengalami peningkatan dibanding sebelum

terapi, yaitu dari 145,54 ± 90,46 menjadi 418,98 ± 174,35. Secara analisis statistik

perbedaan tersebut signifikan, hal ini karena penambahan NAC sebagai penyedia

cysteine

sebagai bahan utama sintesis

glutahione

.

5,15,49

Kadar rerata

glutathione

total pada kelompok kontrol juga mengalami

peningkatan bila dibandingkan antara sebelum terapi (118,64±68,78) dengan setelah 14

hari terapi

(228,74±179,01), dengan analisis statistik menunjukkan perbedaan

signifikan (p = 0,00). Hal ini karena sumber

cystein

sebagai prekursor glutathione bisa

didapatkan dari bahan-bahan makanan yang mengandung

methionine

yang akan

dimetabolisme di hati menjadi

glutathione

melalui jalur

transsulfurasi

.

49

Beberapa

makanan dapat menjadi sumber

cysteine

dan atau

methionine

seperti kuning telur, cabe,

brokoli, bawang merah, bawang putih dan sebagainya.

63

Faktor tersebut menjadi

variabel perancu pertama yang tidak dapat dikontrol. Kenaikan kadar rerata

glutathione

kelompok kontrol masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok

perlakuan dalam jangka waktu yang sama (14 hari), hal ini menunjukkan tersedianya

cysteine

mempercepat pembentukan

glutathione

oleh hati.

53

Ketersediaan

cysteine

menjadi salah satu penentu utama laju pembentukan

glutathione

.

Cysteine

secara normal didapatkan dari diet dan pemecahan protein, dan di

dalam hati dari

methionine

melalui jalur

transsulfurasi

. Kemampuan sel hati

mengkonversi

methionine

menjadi

cysteine

penting karena hati menjadi tempat utama

dari katabolisme

methionine

dan tempat penyimpanan utama

glutathione

. Jalur ini aktif

dan khas untuk sel hati. Aktifitas jalur ini di dalam hati secara nyata rusak atau tidak

ada pada fetus atau bayi baru lahir dan pasien sirosis.

49

Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsik) dan

tidak dapat diduga (idiosinkratik).

27,32

Reaksi idiosinkratik dapat dibagi menjadi

hipersensitivitas atau imunoalergik dan idiosinkratik metabolik.

34

Hepatotoksisitas


(5)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

55

Idiosinkratik metabolik adalah tipe reaksi yang terjadi melalui reaksi tak langsung

metabolit obat. Toksisitas isoniazid dipertimbangkan masuk dalam kelompok ini.

Hepatotoksisitas pirazinamid termasuk

dose dependent

dan idiosinkratik. Reaksi

idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan

respons imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab).

16,28,32

Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak setiap penderita TB paru yang diterapi OAT

pasti terjadi hepatotoksisitas. Faktor idiosinkrasi tersebut dapat menjadi variabel

perancu kedua yang juga tidak dapat dikontrol. Penderita TB paru di kelompok kontrol

yang mengalami peningkatan enzim transaminase berjumlah 6 orang, 24 orang tidak

terjadi peningkatan enzim transaminase. Penderita yang sel-sel hatinya tidak

terpengaruh oleh OAT tetap dapat mensintesis

glutathione

secara baik melalui jalur

transsulfurasi

. Didukung oleh perbaikan klinik setelah mendapatkan terapi OAT maka

asupan makanan lebih baik, sehingga

glutathione

dapat disintesis dari makanan sumber

cysteine

dan atau

methionine

. Hal-hal tersebut yang menyebabkan kadar rerata

glutathione

total kelompok kontrol tetap mengalami kenaikan signifikan.

Penderita TB paru pada kelompok kontrol terdapat 6 orang (20%) yang

mengalami peningkatan enzim transaminase (AST dan ALT), dua diantaranya disertai

keluhan gastrointestinal, hal ini sesuai prevalensi hepatitis imbas obat antituberkulosis

di negara berkembang yaitu 8% - 39%.

1

Penderita TB paru di kelompok perlakuan

terdapat hanya 1 orang (0,03%) yang mengalami peningkatan enzim transaminase. Hal

ini menunjukkan bahwa pemberian NAC memperkecil risiko hepatitis imbas obat

walaupun masih perlu dievaluasi lebih lanjut faktor apakah penyebab kenaikan enzim

transaminase tersebut.


(6)

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

56

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A.

SIMPULAN

1.

N-acetylcysteine berperan terhadap peningkatan kadar glutathione total

penderita TB paru terapi OAT.

2.

N-acetylcysteine tidak berperan terhadap peningkatan kadar serum AST

penderita TB paru terapi OAT.

3.

Pemberian NAC menurunkan kadar serum ALT penderita TB paru terapi

OAT.

B.

SARAN

1.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peran NAC dalam

mencegah hepatitis imbas obat antituberkulosis dengan jumlah sampel

pasien yang lebih banyak dan waktu

follow up

yang lebih lama agar

generalisasi hasil penelitian dapat lebih baik.

2.

Penelitian sebaiknya dilakukan pada penderita yang memiliki risiko tinggi

hepatitis imbas obat seperti penderita dengan status asetilator lambat,

penyakit hati kronik dan sebagainya, sehingga dapat diketahui efektifitas

NAC dalam mencegah hepatitis imbas obat.

3.

N-acetylcysteine dapat dipertimbangkan diberikan sebagai terapi tambahan