EFEK PEMBERIAN PROBIOTIK PADA IBU HAMIL UNTUK MENURUNKAN KEJADIAN DERMATITIS ATOPIK PADA BAYI DENGAN RIWAYAT ATOPI KELUARGA.

(1)

i

TESIS

EFEK PEMBERIAN PROBIOTIK PADA IBU HAMIL

UNTUK MENURUNKAN KEJADIAN DERMATITIS

ATOPIK PADA BAYI DENGAN RIWAYAT

ATOPI KELUARGA

I WAYAN SURADHIPA NIM 1014018206

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I WAYAN SURADHIPA NIM 1014018206

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL ...

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr Ketut Dewi Kumara Wati, Sp.A(K) dr. Putu Siadi Purniti, Sp.A(K) NIP. 196608021991032001 NIP. 196211091988032001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, Sp.GK Prof. DR. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 194612131971071001 NIP. 195902151985102001


(4)

iv

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Universitas Udayana, No : 509/UN14.4/HK/2016, Tanggal 19 Januari 2016

Ketua : dr. Ketut Dewi Kumara Wati, Sp.A(K) Sekretaris : dr. Putu Siadi Purniti, Sp.A(K)

Anggota : 1. Prof. DR. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH 2. Prof. dr. Nengah Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D 3. dr. I Made Kardana, Sp.A(K)


(5)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : dr. I Wayan Suradhipa NIM : 1014018206

Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine-Degree)

Judul : Efek Pemberian Probiotik Pada Ibu Hamil Untuk Menurunkan Kejadian Dermatitis Atopik Pada Bayi Dengan Riwayat Atopi Keluarga

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No.17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 28 Desember 2015 Yang membuat pernyataan,


(6)

vi

Pemberian Probiotik Pada Ibu Hamil Untuk Menurunkan Kejadian Dermatitis Atopik Pada Bayi Dengan Riwayat Atopi Keluarga” dapat terselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Ketut Kumara Wati Sp.A(K), pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I) di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada dr. Putu Siadi Purniti SpA(K), pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I) di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Megister, Program Studi Biomedik pada Program Pascasarjana Univerisitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. A.A.A Saraswati, M.Kes, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah, dr. Bagus Ngurah Putu Arhana, Sp.A(K) dan Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK


(7)

vii

Universitas Udayana/RSUP Sanglah, dr. Ketut Suarta, Sp.A(K), yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan dukungan selama pendidikan. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu Prof. DR. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH, Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D, dr. I Wayan Retayasa, Sp.A(K) (alm) dan I Made Kardana, Sp.A(K), yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. sebagai penguji yang telah memberikan banyak bimbingan dan asupan dalam penyusunan dan penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Puskesmas II Denpasar Barat, dr. Lanawati beserta seluruh staf atas dukungan, bantuan dan kerjasama yang baik selama pembuatan tesis penulis.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh supervisor, staf dan rekan sejawat PPDS I Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah atas segala bimbingan, dukungan, dan bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada orangtua: Wayan Regig Suarta dan Ni nengah Rusmiati, ibu mertua : Made Soka, Istri tercinta : Ni Made Oka Suliani dan anak-anak tersayang : Ni Wayan Citra Ayu Divani, Made Adhika Winaya, Ni Nyoman Asmitha Satya Devi atas segala tuntunan dan pengorbanan yang telah dilakukan sehingga penulis bisa menjadi seperti sekarang ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan tesis ini. Sekiranya, penulis tetap mohon petunjuk untuk perbaikan supaya hasil yang tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.

Denpasar, 28 Desember 2015


(8)

viii

RIWAYAT ATOPI KELUARGA

Dermatitis Atopik menjadi masalah kesehatan pada negara berkembang. Kejadian dermatitis atopik semakin meningkat secara bermakna pada tiga dekade terakhir ini. Pemberian probiotik pada ibu hamil merupakan salah satu cara pencegahan primer penyakit alergi pada bayi melalui upaya perbaikan homoestasis sistem biologis penderita yang ditujukan pada imunomodulasi respon imun dengan menyeimbangkan respon imun T helper 1 dan T helper 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek probiotik dalam mencegah kejadian dermatitis atopik pada bayi.

Penelitian ini menggunakan rancangan double blind randomized clinical trial pada ibu usia kehamilan 34-36 minggu dimana janinnya memiliki riwayat atopi diberikan probiotik (Lactobacilus rhamnosus 7 x 108 CFU dan Bifidobacterium lactis 7 x 108 CFU) atau plasebo yang diminum dua kali sehari selama tiga minggu sebelum persalinan dan tiga bulan setelah persalinan. Kemudian bayi yang dilahirkan harus mendapatkan ASI dan akan diikuti selama tiga bulan atau sampai terdiagnosis dermatitis atopik.

Kejadian dermtitis atopik didapatkan sebanyak 9 (22,5%) dari 40 subyek pada kelompok probiotik dan sebanyak 17 (41,5%) dari 41 subyek pada kelompok plasebo. Risiko kejadian dermatitis atopik pada bayi usia 3 bulan pertama lebih rendah pada kelompok probiotik dibandingkan pada kelompok plasebo dengan Risiko Relatif (RR) sebesar 0,54 (IK 95%, 0,28-1,07) tetapi secara statistik belum bermakna (P = 0,07). Number needed to treat (NNT) didapatkan sebesar 5 (IK 95%, 4,80 sampai 5,19). Rerata waktu terjadinya dermatitis atopik pada kelompok probiotik dan kelompok plasebo adalah pada bulan ketiga (76,63 hari; IK 95%, 68,81 sampai 84,44 dan 64,73 hari; IK 95%, 55,06 sampai 74,41; P = 0,07). Hasil analisis multivariat, didapatkan riwayat atopi keluarga tinggi memliki risiko lebih besar terjadinya dermatitis atopi dibandingkan dengan riwayat atopi keluarga sedang dengan RR 4,31 (IK 95%, 1,89 sampai 9,81; P < 0,001).

Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian probiotik pada ibu hamil cendrung menurunkan kejadian dermatitis atopi pada bayi usia 3 bulan pertama yang memiliki riwayat keluarga walaupun secara statistik tidak bermakna.

Kata kunci : Ibu hamil, Lactobacilus rhamnosus, Bifidobacterium lactis, dermatitis atopik, bayi


(9)

ix ABSTRACT

EFFECT PROBIOTIC IN PREGNANT WOMEN

REDUCE ATOPIC DERMATITIS IN INFANTS WITH A FAMILY HISTORY OF ATOPY

Atopic dermatitis is a public health problem in developing countries. The incidence of atopic dermatitis has increased significantly in the last three decades. Probiotics in pregnant women is a primary prevention of allergic disease in infants through efforts improving homoestasis of the patient biological systems for immunomodulating the immune response by balancing the immune response of T helper 1 and T helper 2. This study aims to determine the effect of probiotics in preventing the incidence of atopic dermatitis in infants.

This is a prospective cohort study in pregnant women with a gestational age of 34-36 weeks with fetus had a family history of atopy whom given probiotics (Lactobacillus rhamnosus 7 x 108 CFUand Bifidobacterium lactis 7 x 108 CFU) or placebo taken twice daily for three weeks before delivery until three months after childbirth. Then the baby that born has breastfed and will be followed for three months or until diagnosis of atopic dermatitis.

Atopic dermatitis was diagnosed in 9 (22.5%) of 40 subjects in the probiotic group and in 17 (41.5%) of 41 subjects in the placebo group. The risk of atopic dermatitis in infants at the first 3 months of life in the probiotic group lower than the placebo group with a relative risk (RR) of 0.54 (95% CI, 0.26 to 1.07) but not significant statistically (P = 0.07). Number needed to treat (NNT) was 5 (95% CI, 4.80 to 5.19). The mean time of occurrence of atopic dermatitis in the probiotic group and placebo group were three months (76.63 days; 95% CI, 68.81 to 84.44 and 64.73 days; 95% CI, 55.06 to 74.41; P = 0,07). Results of multivariate analysis, family history of high risk atopy was more frequent of atopic dermatitis compared with a family history of medium risk atopy with RR of 4.31 (95% CI, 1.89 to 9.81; P < 0.001).

The conclusion of this study was probiotics in pregnant women decrease the incidence of atopic dermatitis in infants during the first 3 months of life with a family history of atopy, but not significant statistically.

Keywords : pregnant women, Lactobacilus rhamnosus, Bifidobacterium lactis, atopic dermatitis, infants


(10)

x

SAMPUL DALAM ……….. i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ……….. iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ……….. x

DAFTAR TABEL ………... xiv

DAFTAR GAMBAR ………. xv

DAFTAR SINGKATAN ……… xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………. xvii

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Rumusan Masalah………. 4

1.3 Tujuan Penelitian……….. 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4 Manfaat Penelitian……… 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ……… 7


(11)

xi

2.1.1 Definisi dermatitis atopik ……….. 7

2.1.2 Epidemiologi ………... 7

2.1.3 Etiologi ………... 8

2.1.4 Faktor risiko ………... 10

2.1.5 Patogenesis ………... 14

2.1.6 Manifestasi klinis ………... 18

2.1.7 Dignosis………... 24

2.1.8 Diagnosis banding………. 26

2.1.9 Komplikasi……… 28

2.1.10 Pengobatan………. 29

2.1.11 Prognosis………... 34

2.2 Probiotik……… 35

2.2.1 Definisi probiotik……….. 35

2.2.2 Peran probiotik terhadap alergi ……… 37

2.2.3 Probiotik dan dermatitis atopik ………... 39

2.3 Peran Probiotik dalam Pencegahan Dini Dermatitis Atopik ….. 45

2.3.1 Perkembangan sistem imunitas fetus……… 45

2.3.2 Perkembangan bakteri pada saluran pencernaan ... 45

2.3.3 Pengaruh bakteri terhadap saluran pencernaan dalam proses imunomodulasi sistem imunitas……… 48

2.3.4 Pemberian probiotik pada ibu hamil dan menyusui dalam pencegahan dini dermatitis atopik pada anak …... 50


(12)

xii

3.2 Konsep Penelitian ..………. 56

3.3 Hipotesis Penelitian……….. 57

BAB IV METODE PENELITIAN……….. 58

4.1 Rancangan Penelitian……… 58

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………. 58

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian………. 59

4.3.1 Populasi target ……….. 59

4.3.2 Populasi terjangkau……… 59

4.3.3 Penentuan sampel penelitian………. 60

4.3.3.1 Sampel penelitian……….. 60

4.3.3.2 Perhitungan besar sampel………. 61

4.3.3.3 Teknik pengambilan subyek dan alokasi bahan... 62

4.4 Variabel Penelitian……… 63

4.4.1 Identifikasi penelitian……… 63

4.4.2 Definisi operasional variabel………. 63

4.5 Bahan Penelitian……… 65

4.6 Instrumen Penelitian………. 66

4.7 Prosedur Penelitian……… 66

4.8 Alur Penelitian……….. 70

4.9 Analisis Data………. 71


(13)

xiii

BAB V HASIL PENELITIAN ... 73

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ... 73

5.2 Kejadian Dermatitis Atopik pada Bayi Sampai Usia Tiga Bulan. 75 5.3 Pengaruh Pemberian Probiotik pada Ibu Hamil terhadap Kejadian Dermatitis Atopik ... 76

5.4 Pengaruh Faktor Lain terhadap Kejadian Dermatitis Atopik... 78

5.5 Waktu Terjadinya Dermatitis Atopik ... 79

BAB VI PEMBAHASAN ... 81

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 86

7.1 Simpulan ... 86

7.2 Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA………. 88


(14)

xiv

Tabel 5.1 Karakteristik subyek penelitian... 76 Tabel 5.2 Pengaruh pemberian probiotik pada ibu hamil terhadap

kejadian dermatitis atopik pada bayi dengan riwayat atopi atopi keluarga terhadap ... 77 Tabel 5.3 Pengaruh faktor lain terhadap kejadian dermatitis atopik


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Patogenesis dermatitis atopik ... 18

Gambar 2.2 Plak eritematosa difus dan kering pada pipi, fossa poplitea dan pada betis tampak plak eritematosa difus dan eksudatif………...……….. 20

Gambar 2.3 Plakat eritematosa, erosi, ekskoriasi dan krusta pada fossa kubiti yang meluas ke badan...………. 21

Gambar 2.4 Tampak hiperkeratosis dan likenifikasi ……….. 22

Gambar 2.5 Beberapa efek menguntungkan dari konsumsi probiotik ….... 39

Gambar 2.6 Hubungan antara probiotik dengan TLR dan stimulasi respons imun ………. 41

Gambar 2.7 Peran TLR 2 dan TLR 4 dalam menjembati system imunitas innate ke system imunitas adaptif ……… 43

Gambar 2.8 Perubahan komposisi ekosistem saluran pencernaan sesuai dengan pertambahan usia ..……… 47

Gambar 3.1 Konsep penelitian ………...……… 56

Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian ………. 59

Gambar 4.2 Skema alur penelitian……… 70

Gambar 5.1 Skema hasil penelitian ... 74


(16)

xvi APC : Antigen Presenting Cell ASI : Air Susu Ibu

BAL : Bakteri Asam Laktat

BKIA : Balai Kesehatan Ibu dan Anak CD : Cluster of Differentiation

CFU : Colony Forming Unit

GM-CSF : Granulocyte Monocyte Colony Stimulating Factor Ig : Imunoglobulin

IL : Interleukine

INF : Interferon

LPS : Lipopolysaccarida

LTA : Lipoteichoic Acid

MHC : Mayor Histocompatibility Complex PAMPs : Pathogen-associated Molecular Patterns PG E : Prostaglandin E

PRRs : Pattern Recognition Receptors RAST : Radioallergosorbent Test RCT : Randomized Controlled Trial RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat SL : Sel Langerhans

TDR : Tungau Debu Rumah

TGF : Transforming Growth Factor

Th : T helper

TLRs : Toll like Receptors


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 RCT pemberian probiotik selama kehamilan ……… 94

Lampiran 2 Sekuen pada randomisasi blok dengan jumlah 6 huruf tiap blok. ... 96

Lampiran 2 Penjelasan dan informasi penelitian ………. 97

Lampiran 3 Informed consent ………. 102

Lampiran 4 Kuisioner penelitian ……….. 103

Lampiran 5 Keterangan kelaikan etik... 110

Lampiran 6 Ijin penelitian ... 111

Lampiran 7 Data penelitian ... 115


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dermatitis atopik atau eksema atopik merupakan penyakit inflamasi kulit kronis dan residif, gatal dan ditandai dengan kelainan kulit lain seperti xerosis, ekskoriasi, dan linkenfikasi. Penyakit ini dapat terjadi pada penderita di segala usia tetapi sering mulai timbul pada usia balita. Empat puluh lima persen kasus dermatitis atopik pada anak pertama kali muncul dalam usia 6 bulan pertama, 60% muncul pada usia 1 tahun pertama, dan 85% kasus muncul pertama kali sebelum anak usia 5 tahun (Akdis dkk., 1996).

Dermatitis atopik menjadi masalah kesehatan pada negara berkembang. Penyakit dermatitis atopik telah menjadi beban ekonomi untuk keluarga maupun komunitas. Dermatitis atopik berdampak pada menurunnya kualitas tidur, waktu kerja yang hilang, dan biaya pengobatan yang tinggi, misalnya pada dermatitis atopik derajat sedang, memerlukan sedikitnya 6 minggu terapi dengan steroid pada 12 bulan pertama kehidupan sehingga biaya pengobatannya melebihi penyakit diabetes melitus tipe juvenile (Spergel, 2010; Moore dkk., 2004).

Kejadian dermatitis atopik di berbagai negara telah diamati semakin meningkat secara cukup bermakna pada 3 dekade terakhir. Pada penelitian Jae-Won Oh dkk. (2004), terjadi peningkatan prevalensi dermatitis atopik pada anak-anak di Korea usia 6-12 tahun antara tahun 1995 (19,7%) dan tahun 2000 (27,5%). Data kejadian dermatitis atopik pada anak di Indonesia belum diketahui


(19)

2

secara pasti. Data dari unit rawat jalan Penyakit Kulit Anak di RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah penderita dermatitis atopik mengalami peningkatan setiap tahunnya. Penderita dermatitis atopik baru yang berkunjung tahun 2006 sebanyak 116 orang (8,14%), tahun 2007 sebanyak 148 orang (11,05%) dan tahun 2008 sebanyak 230 orang (17,65%) (Zulkarnain, 2009). Kejadian dermatitis atopik di RSUP Sanglah, Denpasar tahun 2012 didapatkan sekitar 10,98% dan meningkat kejadiannya menjadi 45,7% pada bayi yang salah satu atau kedua orangtuanya memiliki riwayat atopi (Anggreni dkk., 2013).

Berbagai faktor turut berperan dalam terjadinya dermatitis atopik pada anak, antara lain faktor genetik dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik dan faktor lingkungan (Moreno, 2000). Riwayat keluarga yang positf mempunyai peran yang penting dalam kerentanan terhadap kejadian dermatitis atopik. Lima puluh persen anak menderita dermatitis atopik jika hanya satu orang tua yang mempunyai riwayat alergi. Sedangkan jika kedua orang tua yang menderita dermatitis atopik maka 75% kemungkinan anaknya akan menderita dermatitis atopik (Soebaryo, 2004).

Pencegahan primer merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menurunkan kejadian dermatitis atopik pada anak. Pencegahan ini biasanya ditujukan pada populasi dengan risiko tinggi, tetapi belum menunjukkan gejala alergi. Pencegahan primer disepakati mulai sedini mungkin sebelum terjadinya sensitisasi (Harsono, 2005).

Pemberian probiotik pada pre dan post natal mempunyai prospek yang baik untuk pencegahan primer dermatitis atopik pada anak dengan riwayat


(20)

keluarga atopi. Dikatakan pemberian probiotik ini dapat menurunkan 50% kejadian dermatitis atopik dalam 2 tahun pertama kehidupan (Kalliomaki dkk., 2007). Konsep pemberian probiotik dalam pencegahan penyakit alergi adalah keseimbangan ke arah T helper (Th) 1, dan down-regulasi Th2. Mekanisme imunomodulasi respon imun ini terjadi karena kemampuan probiotik dalam merangsang maturasi respon imun bayi baik innate maupun adaptif (Endaryanto dkk., 2007).

Probiotik merupakan bakteri atau campuran bakteri hidup yang memiliki efek pada saluran cerna host melalui kemampuannya memperbaiki keseimbangan mikroflora usus sehingga memiliki efek fisiologis yang menguntungkan bagi kesehatan host (Ozdemir, 2010). Bakteri probiotik yang sering digunakan adalah spesies Lactobacillus dan Bifidobacterium. Bakteri ini menghasilkan asam laktat, asam asetat, dan asam propionat, yang menurunkan pH usus dan menekan pertumbuhan berbagai bakteri patogen, sehingga terjadi keseimbangan dari flora usus (Gondokaryono, 2009).

Probiotik mengurangi kolonisasi organisme patogen dalam usus dengan menekan adhesi kuman patogen ke sel epitel. Selain itu, Lactobacillus memperkuat barrier mukosa usus dengan menstabilkan ikatan antara sel-sel epitel dan mengurangi permeabilitas usus. Studi pada hewan telah menemukan bahwa beberapa strain probiotik menambah respon imun dengan merangsang aktifitas fagositik limfosit dan makrofag. Probiotik juga meningkatkan immunoglobulin (Ig) A dan merangsang produksi sitokin oleh karena perlengketan sel (Kalliomaki dkk., 2007; Gondokaryono, 2009).


(21)

4

Penelitian Randomized Controlled Trial (RCT) dari Kalliomaki dkk. (2001) yang dilakukan pada ibu hamil dengan riwayat atopi yang positif dengan menggunakan Lactobacillus GG untuk pencegahan primer dermatitis atopik pada bayi risiko tinggi dan didapatkan perbedaan yang bermakna kejadian dermatitis atopik pada anak yang diberikan probiotik dan plasebo setelah diikuti selama 2 tahun dengan risiko relatif (RR) 0,51 dengan P = 0,008. Selain itu, penelitian RCT dari Kim dkk. (2009) yang memberikan probiotik campuran (Lactobacillus dan Bifidobacterium) pada pre dan post natal, didapatkan perbedaan yang bermakna insiden kumulatif dermatitis atopik pada anak yang diberikan probiotik (36,4%) dengan plasebo (62,9%) pada 1 tahun kehidupan pertama dengan P = 0,029.

Studi lain, pemberian suplementasi dengan Lactobacillus GG pada 4-6 minggu sebelum melahirkan sampai dengan 6 bulan setelah melahirkan dilaporkan tidak menurunkan insiden dermatitis atopik sampai dengan 2 tahun kehidupan pertama (Kopp, 2008). Mereka bertentangan dengan penelitian yang lainnya. Temuan ini mengisyaratkan bahwa studi lanjut diperlukan untuk menilai apakah pemberian suplementasi dengan bakteri probiotik pada usia dini dapat mencegah kejadian dermatitis atopik pada bayi.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah pemberian susu dengan probiotik dibandingkan dengan susu tanpa probiotik pada ibu hamil dapat menurunkan kejadian dermatitis atopik pada bayi yang memiliki riwayat atopi keluarga yang dievaluasi 3 bulan post natal?


(22)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui efek pemberian susu dengan probiotik dibandingkan dengan susu tanpa probiotik pada ibu hamil terhadap kejadian dermatitis atopik pada bayi dengan riwayat atopi keluarga yang dievaluasi selama 3 bulan post natal.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui nilai efek pemberian probiotik pada ibu hamil terhadap kejadian dermatitis atopik pada bayi dengan riwayat atopi keluarga yang dievaluasi selama 3 bulan post natal.

2. Mengetahui waktu munculnya dermatitis atopik pada bayi dengan riwayat atopi keluarga pada ibu mendapatkan susu probiotik dan pada ibu yang mendapatkan susu tanpa probiotik.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat akademik :

Sebagai masukan dan tambahan ilmu pengetahuan baru bagi sejawat dokter spesialis obstetri dan ginekologi, spesialis dokter anak, dokter umum dan bidan dalam upaya pencegahan penyakit dermatitis atopik pada bayi. Selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian lebih lanjut.


(23)

6

2. Manfaat praktis :

Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui efekktifitas pemberian probiotik pada ibu hamil terhadap kejadian dermatitis atopik pada bayi dengan riwayat atopi keluarga yang dievaluasi selama 3 bulan post natal sehiingga bisa dilakukan upaya pencegahan kejadian dermatitis atopik lebih awal.


(24)

(25)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Dermatitis Atopik

2.1.1 Definisi dermatitis atopik

Dermatitis atopik merupakan suatu peradangan kulit kronis, berulang, disertai rasa gatal yang umumnya sering terjadi selama bayi dan anak-anak (Leung, 2011). Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik, eksema dermatitis, prurigo besnier, atau neurodermatitis (Santosa, 2010).

2.1.2 Epidemiologi

Kejadian dermatitis atopik terus meningkat dan merupakan masalah besar di masyarakat. Survei di negara berkembang menemukan 10-20% anak menderita dermatitis atopik. Angka prevalensi dermatitis atopik yang pernah dilaporkan adalah 6,3-9,5% di Malaysia, 22,7% di Singapura dan 6,8-9,5% di Thailand (Chan, 2006). Data kejadian dermatitis atopik di indonesia masih belum diketahui secara pasti. Data unit rawat jalan Penyakit Kulit Anak di RSU Dr. Soetomo didapatkan penderita dermatitis atopik baru yang berkunjung tahun 2006 sebanyak 116 orang (8,14%), pada tahun 2007 sebanyak 148 orang (11,05%) dan tahun 2008 sebanyak 230 orang (17,65%) (Zulkaranain, 2009). Kejadian dermatitis atopik di RSUP Sanglah, Denpasar pada tahun 2012 didapatkan sekitar 10,98% dan meningkat kejadiannya menjadi 45,7% pada bayi yang salah satu atau kedua orangtuanya memiliki riwayat atopi (Anggreni dkk., 2013).


(26)

Pada bayi dengan riwayat atopi, 2 tahun pertama kehidupannya diperkirakan menderita dermatitis atopik sebesar 50%, menjadi 60% saat berusia 5 tahun dan jarang terjadi setelah usia 45 tahun (Moreno, 2000). Berdasarkan faktor prediktor perinatal terhadap kejadian dermatitis atopik pada 6 bulan pertama kehidupan, didapatkan bahwa riwayat keluarga atopi memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya dermatitis atopik, sedangkan ibu dengan riwayat atopi memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan bapak dengan riwayat atopi. Dermatitis atopik dapat mengenai kedua jenis kelamin, kejadian saat dewasa lebih banyak pada ibu, sedang pada anak-anak lebih banyak laki-laki (Moore, 2004).

2.1.3 Etiologi

Etiologi maupun mekanisme yang pasti dermatitis atopik belum semuanya diketahui, diduga disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktoral). Berbagai faktor bisa menjadi pencetus terjadinya dermatitis atopik, antara lain :

1. Makanan

Kejadian reaksi alergi terhadap makanan cenderung meningkat pada anak dengan dermatitis atopik. Prevalensi tertinggi alergi makanan dijunpai pada bayi, menurun pada usia anak dan semakin berkurang pada usia dewasa (Wood, 2003). Pada hampir 40% bayi dan anak usia muda yang menderita dermatitis atopik sedang ataupun berat dijumpai alergi makanan sebagai faktor pencetus.

Walaupun semua makanan dapat menimbulkan reaksi alergi, tetapi beberapa makanan lebih bersifat alergenik dari pada yang lainnya. Alergen


(27)

9

makanan yang sering menyebabkan dermatitis atopik pada bayi adalah susu, telur, kacang-kacangan, makanan laut, kedelai dan gandum (Novak, 2003; Siregar, 2004).

2. Infeksi kulit

Mikroorganisme yang berperan sebagai pencetus dermatitis atopik pada bayi dan anak adalah Staphylococcus aureus, jamur dan virus. Staphylococcus dapat ditemukan pada 90% lesi penderita dermatitis atopik dan jumlah koloni bisa mencapai 107 koloni/cm2 pada bagian lesi tersebut. Akibat infeksi kuman Staphylococcus akan dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja sebagai superantigen, mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang selanjutnya melepaskan histamin. Oleh karena itu penderita dermatitis atopik dan disertai infeksi harus diberikan kombinasi antibiotika terhadap kuman Staphylococcus dan steroid topikal (Santosa, 2010).

3. Alergen hirup

Alergen hirup dibagi atas alergen hirup dalam rumah dan luar rumah. Di daerah tropis seperti di Indonesia alergen hirup dalam rumah lebih berpengaruh, yang sebagian besar adalah Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides farinae dan tungau debu rumah. Kedua alergen tersebut banyak terdapat di kamar tidur, termasuk di bantal, kasur, selimut bulu, karpet bulu, mainan anak yang berbulu dan gorden. Alergen lainnya antara lain adalah Candida albicans, kecoa, serpihan kulit binatang peliharaan kucing, anjing, kelinci dan burung (Eigenmann, 1997; Siregar, 2004). Perlu juga diperhatikan bahwa dermatitis atopik juga bisa diakibatkan oleh alergen hirup lainnya seperti bulu binatang rumah tangga, jamur


(28)

atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim (Santosa, 2010). Kejadian dermatitis atopik pada bayi dan anak < 1 tahun yang tersensitisasi alergen hirup dan telur dilaporkan akan meningkatkan risiko sampai 10 kali lipat untuk mendapatkan alregi saluran napas di kemudian hari (Siregar, 2004).

2.1.4 Faktor risiko

Dermatitis atopik merupakan suatu sindrom multifaktorial dimana berbagai faktor berkaitan dengan fenotip penyakit sehingga perlu dicermati berbagai faktor risiko, yaitu :

1. Genetik

Observasi klinis mendorong para peneliti untuk menyelidiki gen-gen spesifik yang terlibat dalam atopi dan dermatitis atopik. Terdapat dua kromosom yang berkaitan erat dengan dermatitis atopik yaitu kromosom 1q21 dan kromosom 17q25, meski paradoksal karena psoriasis juga terkait dengan kromosom yang sama walaupun sajian klinis keduanya berbeda dan kedua kromosom tersebut tidak terkait dengan penyakit atopi lainnya (Leung dkk, 2004; Soebaryo, 2009).

Pada suatu penelitian diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit atopi diturunkan secara autosomal dominan dimana 75% anak akan mengalami alergi bila kedua orangtuanya mempunyai riwayat alergi, sedangkan 50% anak akan mengalami alergi bila 1 orangtuanya mempunyai riwayat alergi. Meskipun demikian, faktor lain (lingkungan) sangat pula berpengaruh atas perkembangan penyakit (Soebaryo, 2004).


(29)

11

2. Cara persalinan

Bayi yang lahir melalui seksio sesaria, tidak akan mengalami kontak dengan vagina dan perineum ibunya dimana pada persalinan per vagina, kedua daerah tersebut merupakan sumber utama bakteri-bakteri yang kemudian masuk dan membentuk koloni di dalam saluran pencernaan bayi. Hasil serangkaian penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang masuk dan membentuk koloni di dalam saluran pencernaan bayi dapat berupa bakteri komensal, bakteri oportunis (bakteri yang dalam jumlah cukup tidak berbahaya namun jika jumlahnya meningkat akan menimbulkan penyakit), dan bakteri patogen. Bakteri komensal seperti Lactobacilli dan Bifidobacterium berperan penting stimulasi daya tahan tubuh, membantu pematangan imunitas, serta melindungi tubuh dari infeksi. Sedangkan keberadaan bakteri patogen seperti Staphylaococcus merupakan mekanisme yang dibutuhkan bayi untuk mengenali “serangan” dan menstimulasi kekebalan tubuh agar bisa memberi respons yang tepat (Morelli, 2008). Pada bayi yang dilahirkan secara seksio cesaria mengalami pajanan antigen mikroba yang kurang dibandingkan bayi yang lahir per vaginam sehingga respon imun Th1 tidak dapat menyeimbangkan kecendrungan produksi Th2 pada neonatus. Jika hal ini terus berlangsung maka akan menyebabkan penyakit alergi (Gondokaryono, 2009).

3. Laktasi

Bayi yang mendapat ASI mempunyai perbedaan dengan yang tidak mendapatkan ASI terhadap kejadian dermatitis atopik. Makin panjang waktu mendapat ASI makin kecil kemungkinan untuk mendapat dermatitis atopik


(30)

(Soebaryo, 2004). Hal tersebut perlu dicermati karena dalam ASI terdapat bakteri komensal yang berfungsi untuk menstimulasi daya tahan tubuh, membantu pematangan imunitas, serta melindungi tubuh dari infeksi. Lactobacillus dan beberapa tipe Bifidobacterium adalah contoh bakteri komensal yang ditemukan pada ASI (Lara, 2007).

Sebuah penelitian menyimpulkan adanya perbedaan pada jumlah bakteri probiotik jenis Bifidobacteria antara bayi yang diberi ASI dan bayi yang diberi susu formula. Pada bayi yang diberi ASI, jumlah Bifidobacteria mendominasi hingga 70% dari total mikroflora saluran cerna saat bayi berusia 20 hari, sementara bayi yang diberi asupan susu formula hanya punya porsi Bifidobacteria sebanyak 30%. Jadi, saluran cerna bayi yang diberi ASI akan di dominasi oleh bakteri komensal (Harmsen dkk., 2000). Peningkatan jumlah Bifodobacteria pada kelompok ASI eksklusif disebabkan karena adanya faktor pertumbuhan khusus untuk Bifodobacteria (bifidogenic growth factor) di dalam ASI. ASI mengandung kappa casein yang terglikosilasi dalam jumlah besar di dalam protein ASI. Proses proteolisis dari komponen terminal C dari kappa casein merepresentasikan sebuah faktor pertumbuhan yang spesifik untuk Bifodobacteria. Senyawa bifidogenik lainnya yang juga ditemukan di dalam ASI adalah mono oligosakarida, fruktosa dan karbohidrat lainnya disamping laktosa. Namun, faktor pertumbuhan yang lebih spesifik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Bifidobacteria pada usus bayi yang diberi ASI adalah kadar protein dan fosfor yang rendah serta konsentrasi laktosa yang tinggi dalam ASI. Faktor-faktor ini bertanggungjawab terhadap penurunan kapasitas buffer ASI ini sehingga mampu meningkatkan


(31)

13

pertumbuhan Bifidobacteria, yang nantinya, dapat menjaga keasaman relatif dari lumen usus dengan produksi asam asetat dan asam laktat (Arimbawa dkk., 2007).

Sebagian peneliti lain masih berpendapat bahwa keberadaan bakteri di dalam ASI merupakan kontaminasi dari lingkungan sekitar saat ASI berpindah dari tubuh ibu ke tubuh bayi. Terakhir, sebuah penelitian menyimpulkan adanya bakteri alami pada ASI yang berpindah dari usus ibu ke payudara. Proses translokasi bakteri dari saluran cerna ke kelenjar limpa atau ke payudara itu merupakan proses fisiologis unik yang terjadi pada akhir kehamilan dan saat menyusui (Perez dkk., 2007).

4. Pengenalan makanan padat terlalu dini

Pengenalan makanan padat yang terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan meningkatkan kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali. Sensitisasi umumnya terjadi terhadap alergen makanan, terutama susu sapi, telur, kacang-kacangan dan gandum (Ferguson, 1990; Soebaryo, 2004).

5. Jumlah anggota keluarga

Kejadian dermatitis atopik berbanding terbalik dengan banyaknya jumlah anggota keluarga. Hal tersebut juga dapat diterangkan dengan teori higiene yaitu terjadinya infeksi pada anggota muda keluarga yang ditularkan oleh anggota kelurga yang lebih tua (Soerbaryo, 2004).

6. Sosioekonomi

Pada status sosial yang tinggi akan didapatkan prevalensi dermatitis atopik yang lebih tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal tersebut dapat diterangkan semakin tinggi status sosialnya, pajanan terhadap


(32)

antigen mikroba akan berkurang sehingga stimulasi sistem imun juga akan berkurang (Flohr, 2005; Gondokaryono, 2009).

7. Polusi lingkungan

Pada daerah industri dengan peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara, asap rokok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada kelembaban, penggunaan sampo dan sabun yang berlebihan dan deterjen yang tidak dibilas dengan sempurna (Soebaryo, 2004).

2.1.5 Patogenesis

Berbagai faktor turut berperan dalam patogenesis dermatitis atopik. Luasnya spektrum tampilan klinis dermatitis atopik tidak dapat diterangkan hanya dengan abnormalitas imunologik saja, perlu juga peran faktor lainnya, misalnya disfungsi sawar kulit. Terdapat kaitan antara dua faktor tersebut dalam manifestasi dermatitis atopik (Soebaryo, 2004).

1. Disfungsi sawar kulit

Pada penderita dermatitis atopik terjadi defek permeabilitas sawar kulit dan terjadi peningkatan trans-epidermal water loss sebesar 2-5 kali. Derajat defek tersebut sesuai dengan perjalanan penyakit (akut, subakut, kronik) dan derajat inflamasi di kulit. Adanya defek tersebut mengakibatkan kulit lebih rentan terhadap bahan iritan, karena penetrasi antigen atau hapten akan lebih mudah. Pajanan ulang dengan antigen akan menyebabkan toleransi dan hipersensitivitas sehingga terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya terjadi peningkatan


(33)

15

proses abnormalitas imunologik yang akan memacu penurunan fungsi sawar kulit. Proses tersebut merupakan suatu lingkaran tanpa putus dan merupakan bagian yang penting pada patogenesis dermatitis atopik (Leung dkk., 2004; Soebaryo, 2004; Baratawidjaja, 2009).

2. Imunopatologi

Faktor imunologik merupakan salah satu faktor yang berperan pada dermatitis atopik. Di dalam kompartemen dermo-epidermal kulit dapat berlangsung respon imun yang melibatkan sel langerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mast. Bila suatu antigen (bisa berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen ataupun super antigen) terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut akan ditangkap oleh antibodi IgE yang ada pada permukaan sel mast atau Ig E yang ada di membran SL epidermis (Baratawidjaja, 2009).

Sel langerhans epidermis dan sel dendritik dermis sebagai antigen presenting cell (APC) pada dermatitis atopik dapat mengaktifkan sel T alergen spesifik melalui antibodi Ig E alergen spesifik yang terikat pada reseptor FcεRI, FcεRII dan IgE-binding protein. Antigen yang ditangkap IgE pada SL bermigrasi melalui dermis ke saluran limfe dan kelenjar getah bening regional (regio parakortikal). Antigen tersebut diproses bekerjasama dengan major histocompatibility complex (MHC) II akan dipresentasikan untuk mengaktifkan sel Tnaive yang mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap sel T di kulit dan akan terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan perkembangan sel T ke arah Th1 atau Th2. Peningkatan jumlah limfosit T terlihat


(34)

pada semua individu atopik bila dibandingkan dengan individu non atopik. Dengan adanya glikoprotein permukaan, sel T akan terekspresi secara berbeda pada proses pematangan dan menentukan fenotip sel T. Terdapat dua fenotip yaitu sel T helper/regulatory CD4+ dan sel T cytotoxic/ supressor CD8+. Infiltrat mononuklear pada lesi dermatitis atopik terutama terdiri atas sel T CD4+ dan sedikit sel T CD8+ (Moreno, 2000; Leung, 2004)

Pada saat pajanan alergen, lingkungan sitokin berperan penting pada perubahan Sel T helper menjadi sel Th1 atau Th2. Sel Th 1 dipicu oleh interleukin (IL)-12 yang diproduksi oleh makrofage dan sel dendritik. Perkembangan sel T menjadi sel Th2 dipacu oleh IL-10 dan Prostaglandin (PG) E. Sel Th1 akan mengeluarkan sitokin interferon (IFN)- , Tumor Necrosis Factor (TNF), IL-2 dan IL-17, sedangkan sel Th2 memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. Interleukin 4, IL-5 dan IL-13 menyebabkan peningkatan level Ig E dan eosinofil serta menginduksi molekul adesi yang terlibat pada migrasi sel inflamasi ke lesi kulit (Moreno, 2000; Endaryanto dkk, 2007).

Pola ekspresi lokal sitokin berperan penting pada terjadinya inflamasi di jaringan setempat. Pada dermatitis atopik pola tersebut bergantung pada usia lesi kulit. Pada kulit non lesi atau lesi akut dermatitis atopik, sel T mengekspresikan peningkatan jumlah IL-4, IL-5, dan IL-13, namun sedikit INF- . Interleukin-4 menghambat produksi INF- dan menekan diferensiasi ke arah sel Th1 sehingga lingkungan tersebut cenderung memicu perkembangan ke arah sel Th2 (Moreno, 2000; Soebaryo, 2009). Pada dermatitis atopik akut ini akan mengeluarkan sitokin Th2 yang akan menginduksi respon lokal Ig E untuk menarik sel-sel inflamasi


(35)

17

(limfosit dan eosinofil) sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan dan pengeluaran dari molekul adhesi. Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin. Pada dermatitis atopik yang kronis akan terjadi peningkatan kadar INF- , IL-12, IL-5, dan granulocyte monocyte colony stimulating factor (GM-CSF). Interferon-yang merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar IL-5 dan IL-13 masih tetap tinggi. Interferon- dan IL-12 akan memicu terjadinya infiltrasi dari limfosit dan makrofag. Lesi kronik berhubungan dengan hiperplasia epidermis. Interferon- dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal untuk berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis (Beiber, 2008).

Kelainan imunologi yang utama pada dermatitis atopik berupa pembentukan Ig E yang berlebihan. Antigen yang terikat dengan Ig E yang terdapat pada permukaan sel mast akan menyebabkan pelepasan beberapa mediator kimia antara lain histamin yang berakibat rasa gatal dan kemerahan kulit. Pelepasan mediator tersebut terjadi 15-60 menit setelah pajanan dan sering disebut reaksi fase cepat (early phase reaction). Tiga sampai empat jam setelah reaksi fase awal akan terjadi reaksi fase lambat (late phase reaction). Reaksi ini terjadi ekspresi adhesi molekul pada dinding pembuluh darah yang diikuti tertariknya eosinofil, limfosit, monosit pada area radang. Mekanisme ini terjadi karena peningkatan aktifitas Th2 untuk memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, GM-CSF yang menyebabkan eosinofil, merangsang sel limfosit B membentuk IgE dan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel mast, tetapi tidak terjadi peningkatan Th1 (Gambar 2.1) (Soebaryo, 2009).


(36)

Gambar 2.1 Patogenesis dermatitis atopik (Spergel and Schneider, 1999)

2.1.6 Manifestasi klinis

Manifetasi klinis dermatitis atopik berbeda pada setiap tahapan atau fase kehidupan, mulai saat bayi sampai saat dewasa. Pada setiap anak didapatkan derajat keparahan yang bervariasi, tetapi secara umum mereka mengalami pola distribusi lesi yang serupa. Umumnya gejala dermatitis atopik timbul sebelum bayi berusia 6 bulan, dan jarang terjadi di bawah usia 8 minggu. Dermatitis atopik dapat menyembuh dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula menetap bahkan meluas dan memberat sampai usia dewasa. Terdapat kesan bahwa makin lama dan makin berat dermatitis yang diderita semasa bayi makin besar kemungkinan dermatitis tersebut menetap sampai dewasa, sehingga perjalanan penyakit dermatitis atopik sukar diramalkan. Dermatitis atopik dapat dibagi dalam tiga fase


(37)

19

berdasarkan usia penderita dan gambaran klinisnya, yaitu (Hurwitz, 1983; Jacoeb, 2004; Baratawidjaja, 2009; Santosa, 2010) :

1. Fase bayi (infantile type)

Dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan yaitu pada bulan kedua, biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, dan simetris. Pada bayi yang belum dapat merangkak, lesi biasanya ditemukan pada wajah (dahi-pipi), kulit kepala dan permukaan ekstensor ekstremitas. Umumnya diawali oleh plak eritema, papul, vesikel yang sangat gatal di pipi, dahi, dan leher tetapi dapat pula mengenai badan, lengan dan tungkai. Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak menjadi gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Bila anak mulai merangkak lesi dapat timbul di tangan dan lutut. Karena garukan terjadi erosi dan ekskoriasi atau krusta, tidak jarang mengalami infeksi. Pada sebagian penderita dapat disertai infeksi bakteri maupun jamur. Tipe ini cenderung kronis dan residif. Sebagian besar penderita sembuh setelah dua tahun dan sebagian lagi berlanjut ke fase anak (Gambar 2.2).


(38)

Gambar 2.2 Plak eritematosa difus dan kering pada pipi, fossa poplitea dan pada betis tampak plak eritematosa difus dan eksudatif

(Daili, 2005) 2. Fase anak (childhood type)

Dapat merupakan lanjutan bentuk dermatitis atopik infantil ataupun timbul sendiri (de novo). Timbul pada masa kanak-kanak (2–12 tahun). Predileksi mendominasi daerah antecubital dan fossa popliteal serta bagian belakang leher. Lesi kering, likenifikasi, batas tidak tegas, karena garukan terlihat pula ekskoriasi memanjang dan krusta. Dapat merupakan lanjutan dari tipe bayi atau baru timbul pertama kali. Sering ditemukan lipatan Denni Morgan yaitu lipatan kulit dibawah kelopak mata. Dermatitis atopik berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat mengganggu pertumbuhan (Gambar 2.3).


(39)

21

Gambar 2.3 Plakat eritematosa, erosi, ekskoriasi dan krusta pada fossa cubiti yang meluas ke badan (Daili, 2005)

2. Fase dewasa (adult type)

Bentuk lesi ini biasanya timbul pada usia lebih dari 12 tahun dan hampir serupa dengan lesi kulit fase akhir anak-anak. Gejala utama adalah pruritus, kelainan kulit berupa likenifikasi, papul, eksema, dan krusta. Pedileksi lesi secara klasik ditemukan pada daerah fossa kubiti dan poplitea, leher depan dan belakang, dahi serta daerah sekitar mata. Manifetasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal terutama jika berkeringat. Dermatitis atopik remaja cenderung berlangsung lama kemudian menurun dan membaik setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua (Gambar 2.4).


(40)

Gambar 2.4 Tampak hiperkeratosis dan likenifikasi (Daili, 2005) Tanda yang dipakai untuk menentukan seseorang dalam keadaan atopi adalah yang disebut “stigmata atopi”. Bila stigmata tersebut terdapat dalam kulit disebut sebagai atopic diathesis kulit. Stigmata ini secara signifikan lebih sering ditemukan pada pasien dermatitis atopik dibandingkan dengan individu sehat dan dapat digunakan sebagai petunjuk untuk penegakan diagnosis dermatitis atopik. Kelainan yang biasa ditemukan pada dermatitis atopik, yaitu (Hurwitz, 1983; Jacoeb, 2009; Santosa 2010):

1. ‘White dermatographism’ merupakan goresan pada kulit penderita dermatitis atopik akan menyebabkan kemerahan dalam waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya. Walaupun peristiwa ini tidak patognomonik untuk dermatitis atopik, tetapi kadang-kadang dapat digunakan sebagai diagnosis dermatitis atopik.

2. Reaksi vaskular paradoksal merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita dermatitis atopik. Apabila ekstremitas penderita dermatitis atopik mendapat pajanan hawa dingin, akan terjadi percepatan pendinginan dan


(41)

23

perlambatan pemanasan dibandingkan dengan orang normal. Hal ini diduga karena adanya pelebaran dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya edema dan warna pucat di jaringan sekelilingnya.

3. Lipatan telapak tangan/palmar hiperlinearlity of palms or soles yaitu terdapatnya pertambahan mencolok lipatan pada telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan tanda khas untuk dermatitis atopik.

4. Garis Morgan atau Dennie merupakan kelainan berupa cekungan yang menyolok dan simetris, namun dapat ditemukan satu atau dua cekungan di bawah kelopak mata bagian bawah. Kelainan tersebut dapat ditemukan pada 50%-60% pasien dermatitis atopik dengan berbagai variasi etnis. Keadaan ini muncul pada saat lahir, atau segera sesudah itu dan bertahan sepanjang hidup, nampak seperti edema dari kelopak mata bagian bawah.

5. Sindrom ‘buffed-nail’ merupakan kuku yang terlihat mengkilat karena selalu

menggaruk akibat rasa sangal gatal.

6. ‘Allergic shiner’, sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan melanosit dan peningkatan timbunan melanin.

7. Hiperpigmentasi, biasanya terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan

terus menerus.

8. Kulit kering. Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan


(42)

pembentukan sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas.

9. ‘Delayed blanch’.Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau peningkatan permeabilitas kapiler.

10. Keringat berlebihan. Penderita dermatitis atopik cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus bertambah.

11.Gatal dan garukan berlebihan.Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita dermatitis atopik gatal dapat bertahan selama 45 menit.

2.1.7 Diagnosis

Dermatitis atopik di diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan gambaran klinis Hanifin dan Rajka yang menggunakan kriteria mayor dan minor untuk dasar diagnosis dermatitis atopik. Kriteria mayor biasanya konsisten ditemukan pada kasus dermatitis atopik, sedangkan kriteria minor umumnya ditemukan pada kelompok kontrol.

Menurut Hanifin dan Rajka gambaran diagnostik dermatitis atopik harus terdapat tiga atau lebih kriteria mayor (Moreno, 2000; Baratawidjaja, 2009; Leung, 2011) :


(43)

25

1. Pruritus

2. Morfologi dan regio yang khas, likenifikasi fleksural pada orang dewasa, lesi pada wajah dan ekstensor pada bayi dan anak.

3. Perlangsungan kronik dan residif.

4. Riwayat atopi (asma, rhinitis alergi atau dermatitis atopik) pada diri sendiri atau keluarga.

Kriteria minor terdapat tiga atau lebih :

1. Xerosis, iktiosis atau hyperkeratosis palmaris atau keratosis pilaris. 2. Reaktifitas kulit tipe cepat.

3. Peningkatan Ig E serum.

4. Dermatitis di daerah palmo-plantar. 5. Kheilitis.

6. Dermatitis di daerah kepala.

7. Kemudahan mendapat infeksi Staphylococcus aureus dan herpes simpleks. 8. Papul perifolikuler hyperkeratosis di atas lesi hiperpigmentasi.

9. Pitiriasis Alba.

10.Dermatitis di puting susu. 11.White Dermographism. 12.Katarak dan keratokonus. 13.Garis Dennie Morgan.

14.Kemerahan atau kepucatan di wajah.


(44)

2.1.8 Diagnosis banding

Rasa gatal merupakan gejala utama dari penyakit dermatitis atopik. Distribusi dan bentuk lesi dari dermatitis atopik berbeda menurut usia dan biasanya bersifat kronis residif. Walaupun banyak kondisi kulit dapat menyerupai dermatitis atopik, karakteristik tertentu dapat membantu untuk menegakkan diagnosis banding, antara lain :

1. Dermatitis kontak

Tempat erupsi pada dermatitis ini tegantung dari bahan penyebabnya, biasanya terlihat pada pipi dan dagu (berhubungan dengan sekresi ludah dan gesekan pada daerah yang terkena), sisi ekstensor eksteremitas (akibat pemakaian sabun yang keras, deterjen dan sprei yang kasar), dan diaper area (akibat pajanan terhadap tinja, air seni, sabu, deterjen dan preparat bedak kasar). Erupsi ini biasanya akan mengalami involusi secara spontan bila penyebabnya dihilangkan (Baratawidjaja, 2006; Zulkarnain, 2009).

2. Dermatitis numularis

Lesi penyakit ini berbentuk koin dengan ukuran 1 cm atau lebih, timbul pada kulit yang kering. Lesi numular berupa papul kecil dan vesikel yang meluas, diskret, bulat atau oval, eritematosa, kadang-kadang linkenifikasi dan plak hiperpigmentasi dengan ukuran bervariasi dari 1 cm atau lebih disertai dengan rasa gatal. Kelainan ini terjadi pada permukaan ekstensor tangan, lengan dan kaki, wajah dan badan (Baratawidjaja, 2006; Zulkarnain, 2009).


(45)

27

3. Sindrom Wiskott-Aldrich

Merupakan penyakit x-linked yang jarang ditemukan dan hanya ditemukan pada anak laki-laki muda. Awitan sindrom ini adala sejak usia 4 bulan. Lesinya dapat berupa petikie, dermatitis purpurik atau episode berdarah yang biasanya pada 6-12 bulan pertama kehidupan, dan erupsi eksematoid yang menyerupai dermatitis atopik dan timbul pada kulit kepala, wajah, bokong, antekubital dan fosa poplitea. Juga disertai dengan splenomegali, hepatomegali dan servikal adenopati serta bayi menjadi peka terhadap infeksi bakteri, jamur dan virus serta paling sering ditemukan otitis media (Hurwitz, 1983; Zulkarnain, 2009).

4. Skabies

Pada bayi gejala klinis dermatitis atopik terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota keluarga. Tungau dan telur dapat dengan mudah ditemukan dari scraping vesicle. Skabies memberi

respons yang baik terhadap pengobatan dengan -benzen heksaklorida

(Zulkarnain, 2009; Santosa, 2010). 5. Dermatitis seboroik infantil

Penyakit ini dibedakan dari dermatitis atopik dengan: (1) pruritus ringan, (2) onset invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah terang, dan (3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan. Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis atopik. Pada suatu


(46)

penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik akan menjadi dermatitis atopik saat berusia 5-13 tahun (Santosa, 2010).

6. Psoriasis

Secara keseluruhan lesi psoriasis berwarna kemerahan dan skuamanya berwarna seperti perak micaceous (seperti mika). Predileksinya biasanya pada permukaan ekstensor, terutama siku dan lutut, kulit kepala dan daerah genital. Suatu tanda penting untuk diagnosis psoriasis adalah adanya kerusakan kuku (Zulkarnain, 2009).

2.1.9 Komplikasi

Pada anak penderita dermatitis atopik, 75% akan disertai penyakit alergi lain di kemudian hari. Penderita dermatitis atopik mempunyai kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses, vaksinia, molluscum contagiosum dan herpes). Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi herpes simplek terjadi akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal. Penderita dermatitis atopik, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni Staphylococcus aureus (Moreno, 2000; Santosa, 2010).


(47)

29

2.1.10 Pengobatan

Dermatitis atopik umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Sebagian penderita mengalami perbaikan sesuai dengan bertambahnya usia. Langkah yang penting adalah menjalin hubungan baik dengan orang tua penderita, menjelaskan mengenai penyakit tersebut secara rinci, termasuk perjalanan penyakit, dampak psikologis, prognosis, dan prinsip penatalaksanaan (Santosa, 2010).

2.1.10.1 Penatalaksanaan umum

Berbagai faktor dapat menjadi pencetus dermatitis atopik dan tidak sama untuk setiap individu, karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor tersebut, antara lain (Moreno, 2000):

1. Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen, pemutih, dan lain-lain).

2. Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi.

3. Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat.

4. Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan dermatitis atopik.

5. Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi, seperti

menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu.

6. Menghindarkan stres emosi.


(48)

2.1.10.2 Pengobatan

2.1.10.2.1 Pengobatan topikal 2.1.10.2.1.1 Hidrasi kulit

Hidrasi adalah terapi dermatitis atopik yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas, sabun dengan moisturizers dan tidak menambahkan minyak karena mempengaruhi penetrasi air serta menerapkan sawar hidrofobik untuk mencegah evaporasi. Dengan melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih baik dan penderita tidak menggaruk dan lebih inpermeabel terhadap mikroorganisme/bahan iritan. Berbagai jenis pelembab dapat dipakai antara lain krim hidrofilik urea 10%, pelembab yang mengandung asam laktat dengan konsentrasi kurang dari 5%. Pemakaian pelembab beberapa kali sehari, setelah mandi (Sugito, 2004; Santosa 2010; Leung 2011).

2.1.10.2.1.2 Kortikosteroid topikal

Kortikosteroid topikal mempunyai efek anti inflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari. Walaupun steroid topikal sering diberi pada pengobatan dermatitis atopik, tetapi harus berhati-hati karena efek sampingnya yang cukup banyak. Kortikosteroid potensi rendah diberi pada bayi, daerah intertriginosa dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi menengah dapat diberi pada anak dan dewasa. Bila aktifitas penyakit telah terkontrol,


(49)

31

kortikosteroid diaplikasikan intermiten, umumnya dua kali seminggu bila perlu dihentikan dan terapi difokuskan pada hidrasi (Moreno, 2000; Sugito 2004; Leung, 2011).

2.1.10.2.1.3 Imunomodulator topikal

Imunomodulator topikal yang dipakai dalam pengobatan dermatitis atopik adalah takrolimus dan pimekrolimus. Takrolimus bekerja sebagai penghambat calcineurin, sediaan dalam bentuk salep 0,03% untuk anak usia 2–15 tahun dan dewasa 0,03% dan 0,1%. Pada pengobatan jangka panjang tidak ditemukan efek samping kecuali rasa terbakar setempat (Moreno, 2000; Sugito, 2004). Pimekrolimus merupakan senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator golongan makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan takrolimus. Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1%, aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif 2 kali sehari (Sugito, 2004).

2.1.10.2.1.4 Preparat ter

Mempunyai efek anti pruritus dan anti inflamasi pada kulit. Sediaan dalam bentuk salep hidrofilik misalnya mengandung liquor carbonat detergent 5%-10% atau crude coaltar 1%-5% (Leung, 2011).

2.1.10.2.1.5 Antihistamin

Antihistamin topikal tidak dianjurkan pada dermatitis atopik karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Pemakaian krim doxepin 5% dalam jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi gatal tanpa sensitisasi, tapi pemakaian pada area luas akan menimbulkan efek samping sedatif (Sugito, 2004; Leung, 2011).


(50)

2.1.10.2.2 Pengobatan sistemik 2.1.10.2.2.1 Kortikosteroid

Hanya dipakai untuk mengendalikan dermatitis atopik eksaserbasi akut. Digunakan dalam waktu singkat, dosis rendah, diberi selang-seling. Dosis diturunkan secara tapering. Pemakaian jangka panjang akan menimbulkan efek samping dan bila tiba-tiba dihentikan akan timbul rebound phenomen. Penggunaan kortikosteroid oral sangat terbatas, hanya pada kasus sangat berat dan diberikan dalam waktu singkat, misalnya prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari dalam waktu 4 hari (Moreno, 2000; Leung, 2011).

2.1.10.2.2.2 Antihistamin

Pemberian antihistamin untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti histamin harus diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-penyakit sistemik, aktifitas penderita dll. Antihistamin yang mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan aktifitas di siang hari (seperti supir) . Pada kasus sulit dapat diberi doxepin hidroklorid 10-75 mg/oral dan diberikan 2 kali sehari yang mempunyai efek anti depresan dan blokade reseptor histamin H1 dan H2 (Baratawidjaja, 2006; Leung 2011).

2.1.10.2.2.3 Antibiotika

Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi dermatitis atopik yang luas dengan infeksi sekunder. Antibiotik yang dianjurkan adalah eritromisin, sefalosporin, kloksasilin, dan terkadang ampisilin Infeksi di curigai bila ada krusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. Staphylococcus aureus yang resisten penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila


(51)

33

diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin. Dari hasil pembiakan dan uji kepekaan terhadap Staphylococcus aureus 60% resisten terhadap penisilin, 20% terhadap eritromisin, 14% terhadap tetrasiklin, dan tidak ada yang resisten terhadap sefalosporin. Bila ada infeksi virus dapat diberi asiklovir 3 kali 400 mg selama 10 hari atau 4 kali 200 mg untuk 10 hari (Baratawidjaja, 2006; Sugito, 2009) .

2.1.10.2.2.4 Interferon

Interferon bekerja menekan respons Ig E dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel Th1. Pengobatan IFN- rekombinan menghasilkan perbaikan klinis karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi (Moreno 2000; Leung 2011).

2.1.10.2.2.5 Siklosporin

Adalah suatu imunosupresif kuat terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan calcineurin menjadi suatu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Dosis 5 mg/kg BB/oral, diberi dalam waktu singkat, bila obat dihentikan umumnya penyakit kambuh kembali. Efek sampingnya adalah peningkatan kreatinin dalam serum dan bisa terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi (Sugito, 2009; Leung, 2011).


(52)

2.1.10.2.2.6 Terapi sinar (phototherapy)

Dipakai untuk dermatitis atopik yang berat. Terapi menggunakan ultra violet atau kombinasi ultra violet A dan ultra violet B. Terpai kombinasi lebih baik daripada ultra violet B saja. Ultra violet A bekerja pada sel langerhans dan eosinofil sedangkan ultra violet B mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi sel langerhans dan mengubah produksi sitokin keratinosit (Sugito, 2009; Leung, 2011).

2.1.10.2.2.7 Probiotik

Pemberian probiotik Lactobacillus rhamnosus GG perinatal akan menurunkan risiko dermatitis atopik pada anak di usia 2 tahun pertama. Hasil pengobatan ini bisa dilihat dari uji tusuk kulit dan kadar IgE dalam darah (Leung, 2011).

2.1.10.2.2.8 Chinese herbal medications

Chinese herbal medications mengurangi penyakit dan pruritus secara signifikan tetapi hanya bersifat temporer (Moreno, 2000; Leung, 2011).

2.1.11 Prognosis

Prognosis dermatitis atopik sangat sulit diramalkan karena adanya peran multifaktorial. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik, adalah :

1. Dermatitis atopik yang luas pada anak.

2. Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale.

3. Riwayat dermatitis atopik pada orang tua atau saudaranya. 4. Awitan (onset) dermatitis atopik pada usia muda.


(53)

35

5. Anak tunggal.

6. Kadar Ig E serum sangat tinggi.

Diperkirakan 30-35% penderita dermatitis atopik infantil akan berkembang menjadi asma bronkiale atau hay fever. Penderita dermatitis atopik mempunyai risiko tinggi untuk mendapat dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan (Moreno, 2000; Leung, 2011).

2.2 Probiotik

2.2.1 Definisi probiotik

Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup atau bakteri campuran yang memilki efek menguntungkan pada saluran cerna dan saluran napas host melalui kemampuannya memperbaiki keseimbangan mikroflora usus. Lebih dari itu, peneliti lain mendefinisikan probiotik lebih luas lagi, yaitu bahwa probiotik adalah mikroorganisme yang bekerja mempertahankan kesehatan host (Subijanto dkk., 2005). Bakteri dalam usus manusia dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok bakteri yang berguna (useful) dan dan kelompok bakteri yang berbahaya (harmful). Tidak semua mikroorganisme dapat menjadi probiotik. Kriteria yang perlu dipenuhi agar dapat disebut probiotik adalah sebagai berikut (Subijanto dkk., 2005; Arimbawa, 2007) :

1. Resisten terhadap asam dan empedu

2. Dapat berikatan dan bermultiplikasi di saluran cerna dan saluran urogenital 3. Dapat tetap aktif bermetabolisme sewaktu mencapai saluran cerna


(54)

5. Dapat menyeimbangkan pH kolon

6. Aman, tak invasif, non karsinogenik, dan non patogenik

Probiotik dikategorikan berdasarkan genus, spesies, dan beberapa berdasarkan strain masing-masing. Bakteri probiotik yang banyak dikenal adalah Lactobacillus, Bifidobacterium, dan Streptococcus. Bakteri ini biasanya bersifat fermentatif, obligat, dan fakultatif anaerob. Bakteri ini tidak bisa bergerak aktif (nonmotil) dan masuk dalam kategori Bakteri Asam Laktat (BAL)(Thomas dkk., 2010). Ini berarti bahwa bakteri tersebut mempunyai kemampuan mengubah gula menjadi asam laktat sehingga lingkungan di saluran cerna menjadi asam. Dalam suasana asam, bakteri probiotik dapat hidup dengan subur sedangkan bakteri patogen tidak dapat hidup (Gondokaryono, 2009). Secara biologis bakteri probiotik berbeda dari bakteri gram negatif. Bakteri gram negatif biasanya bergerak aktif (motil) dan tidak bisa memproduksi asam laktat seperti Klebsiella, Pseudomonas, Serratia, dan Proteus, yang mungkin juga merupakan mikroflora yang menonjol pada sistem pencernaan manusia. Bakteri ini berpotensi bahaya jika mengalami translokasi di epitel usus dan dapat mengakibatkan penyakit pada host (Thomas, 2010). Terdapat lebih dari sepuluh jenis spesies Lactobacillus dan enam jenis spesies Bifidobacterium dan Streptococcus thermophilus yang paling sering dipakai sebagai bahan makanan. Sedangkan dari kelompok jamur yang sering dipakai sebagai probiotik adalah Saccharomyces boulardii (Subijanto, 2005; Thomas 2010).


(55)

37

2.2.2 Peran probiotik terhadap alergi

Peran probiotik terhadap kesehatan mulai banyak diteliti. Sejumlah mekanisme kegunaan probiotik bagi kesehatan telah banyak pula diajukan antara lain memperbaiki sawar epitel melalui peningkatan produksi musin mukosa usus sehingga epitel hospes lebih tahan terhadap organisme patogen. Probiotik menghasilkan ion hidrogen yang akan menurunkan pH usus dengan memproduksi asam laktat sehingga menciptakan suasana yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri patogen (Gondokaryono, 2009).

Bukti-bukti klinis adanya peran probiotik dalam menurunkan reaksi alergi mulai banyak diajukan oleh beberapa peneliti walaupun mekanisme kerja probiotik tersebut belum banyak diketahui. Sejauh ini beberapa penelitian biomolekuler mengenai probiotik yang berusaha mengetahui mekanisme kerja probiotik menunjukkan bahwa terdapat kemampuan probiotik cukup beragam dalam memodulasi respon imun, namun sayang karena problem etik, banyak penelitian yang hanya dapat dilaksanakan pada hewan coba (Endaryanto dkk., 2007).

Bakteri probiotik seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus telah dibuktikan dapat mensupresi secara langsung ikatan dan pertumbuhan bakteri patogen di saluran cerna. Bakteri ini mempunyai efek imunoregulator melalui pengenalan oleh sel imun tubuh atau adanya signalling dari bakteri ini kepada sel hospes (Gondokaryono, 2009). Produk mikrobiota usus yang mempunyai sifat imunomodulator antara lain lipopolisakarida (LPS), peptidoglikan dan Lipoteichoic Acid (LTA). Lipoteichoic Acid yang dimiliki oleh Bifidobakteria


(56)

mempunyai afinitas pengikatan yang tinggi terhadap membran sel epitel mukosa. Kemudian LTA dari Bifidibcterium ini dapat bertindak sebagai pembawa antigen serta mengikatkan ke jaringan target sehingga dapat mengaktivasi makrofag untuk membangkitkan respon imun (Arimbawa dkk., 2007). Sumber stimulasi antigenik yang penting setelah lahir dilakukan oleh bakteri yang cepat mengkolonisasi saluran cerna neonatus. Saat lahir kolon masih dalam keadaan steril dan adanya kolonisasi bakteri berasal dari lingkungan sekitarnya terutama yang di dapat dari ibunya. Adanya kolonisasi bakteri ini di kolon, tidak hanya membentuk ”sawar hidup” untuk melindungi diri dari invasi kuman patogen, tetapi juga berperan dalam stimulasi respon imun di awal kehidupan. Diduga bahwa komposisi kolonisasi organisme tersebut sangat menentukan dalam pembentukan keseimbangan imun respon yang tepat (Furrie, 2005; Gondokaryono, 2009).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kallimoki dan Isolauri (2003), didapatkan mikroflora usus bayi yang alergi dan non alergik berbeda secara bermakna. Keterlambatan perkembangan komposisi Bifidobacterium dan Lactobacillus dalam mikroflora usus merupakan penemuan yang umum pada anak yang alergi. Pada penelitian selanjutnya, pemberian Lactobacillus perinatal ternyata mengurangi 50% kejadian dermatitis atopik dalam 2 tahun kehidupan. Strain yang spesifik dari mikrobiota usus yang sehat dibuktikan dapat menginduksi produksi IL-10 dan TGF- yang mempunyai peran regulasi yang penting dalam perkembangan imun respon alergik. Probiotik juga memperkuat sawar pertahanan usus dan mengurangi antigen load dalam usus (Kallimoki dkk., 2007). Gambar 2.5 menunjukkan beberapa efek menguntungkan dari probiotik.


(57)

39

Gambar 2.5 Beberapa efek menguntungkan dari konsumsi probiotik (Perves dkk., 2006)

2.2.3 Probiotik dan dermatitis atopik

Pemberian probitik dalam pencegahan alergi juga merupakan upaya perbaikan homoestasis sistem biologis penderita yang ditujukan pada imunomodulasi respon imun dengan menyeimbangkan respon imun Th1 dan Th2. Alergi merupakan bentuk “Thβ-disease” yang upaya perbaikannya memerlukan pengembalian host pada kondisi “Th1-Thβ” yang seimbang (Endaryanto dkk., 2007). Respon Th1 dan Th2 bersifat counter-regulative, artinya sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1 menghambat fungsi sel Th2 dan sebaliknya. Dasar imunologis alergi berawal dari over expression sel Th2 yang mensekresikan IL-4,


(58)

IL-5, dan IL-13 sehingga mengakibatkan terjadinya peradangan alergik pada organ yang terlibat (Kallimoki dkk., 2003).

Beberapa mekanisme kerja antigen mikroba pascanatal mengawali respon imun Th1 yang telah dianggap dapat menyeimbangkan kecendrungan produksi sitokin Th2 pada neonatus. Bila pajanan dini mikroba tidak memadai, maka produksi Th2 akan terus berlangsung sehingga dapat menimbulkan penyakit alergi (Gondokaryono, 2009).

Beberapa mekanisme kerja probiotik yang diajukan dalam pencegahan dermatitis atopik adalah sebagai berikut :

1. Mengubah pola respon imun Th2 ke arah respon imun Th1

Probiotik mempunyai kemampuan untuk mengaktivasi sistem imun innate (bawaan) yang kuat. Hal ini disebabkan karena probiotik mempunyai molekul yang spesifik pada dinding selnya. Dalam mikrobiologi, molekul-molekul spesifik tersebut dikenal sebagai pathogen-associated molecular patterns (PAMPs). PAMPs nantinya akan dikenali oleh reseptor-reseptor spesifik (specific pattern recognition receptors, PRRs) yang ada pada membran sel epitel mukosa. Molekul LTA dan peptidoglycan merupakan salah satu PAMPs yang ada pada probiotik. Molekul LTA yang secara biologis aktif, merupakan karakteristik dari bakteri gram positif dan mempunyai dampak biologis (misalnya dalam induksi produksi sitokin) yang sama dengan LPS. Molekul biologis aktif peptidoglycan dan teichoic acid ini akan dikenali oleh PRRs dalam hal ini TLR2 dan TLR4. TLRs adalah PRRs mamalia yang berfungsi sebagai sinyal transducer yang berhubungan


(59)

41

dengan CD-14 untuk membantu sel host mengenali bakteri patogen serta melakukan inisiasi kaskade sinyal (Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Hubungan antara probiotik dengan TLR dan stimulasi respons imun (Endaryato, 2007)

Semua TLRs mempunyai struktur yang sama dan mempunyai karakter menyalurkan sinyal melalui NF-κB, AP-1, dan MAP kinases. Efektor hilir dari beberapa TLR, misalnya TLR2 dan TLR4, adalah adapter protein MyD88 yang berinteraksi dengan reseptor transmembran melalui domain C-terminal TIR. MyD88 merekrut Ser/Thr kinase IRAK (IL-1R associated kinase) untuk


(60)

membentuk kompleks reseptor. IL-1R associated kinase berhubungan dengan molekul adapter TNF receptor associated factor 6 (TRAF 6). Tumor Necrosis Factor receptor associated factor 6 selanjutnya mengaktivasi MAP3K family member NIK (NF-kB-inducing kinase) yang akan mengaktivasi NF-kB inhibitor kinase (IKKs). Degradasi NF-kB inhibitor I-kB melepaskan NF-kB yang segera translokasi ke nukleus untuk menginduksi ekspresi gen yang sesuai. Pada tingkat molekul, sistem imun innate dipusatkan pada aktivasi dari NF-B, yang mempunyai kemampuan menginduksi transkripsi dari beberapa sitokin proinflamasi dalam merespon stimulasi oleh mikroba (Endaryanto, 2007; Hart dkk., 2008) (Gambar 2.7).

Dalam perannya membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem adaptif, TLR mampu menginduksi respons imun baik ke arah Th1 maupun Treg. Toll Like Receptor-2 dan TLR-4 diketahui mempunyai peran penting dalam polarisasi respons imun oleh paparan mikroba. Jadi konsep probiotik pada pencegahan alergi didasari pada induksi aktif dari respon imunologik yang dimulai dari sistem imun innate dan mengarah pada pengembalian host pada kondisi “Th1-Thβ” yang seimbang (Endaryanto, β007; Hart dkk., 2008).

2. Induksi toleransi

Perkembangan respon sel-T sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : jenis antigen, rute masuknya antigen, dan jumlah antigen yang masuk. Terciptanya toleransi terhadap antigen oral juga tergantung pada usia inang dan waktu terjadinya aktivasi. Setelah paparan antigen, sel-sel kekebalan tubuh merespon dengan mengeluarkan sejumlah sitokin yang kemudian memicu


(61)

43

respon imun (Isoulauri dkk., 2001). Toleransi oral merupakan hiporespon terhadap pemberian soluble protein antigen secara oral. Toleransi imunologis terhadap antigen makanan dan juga mikroflora komensal dapat bermanifestasi sebagai mekanisme aktif subpopulasi limfosit. Penelitian menggunakan transgenic mice menunjukkan bahwa mikroflora normal di usus berperan penting dalam respon makrofag melalui prostaglandin E2 (diinduksi oleh IL-10 dan TGF-B) sehingga menyebabkan toleransi oral. Dalam penelitian murine lainnya, peneliti dari Jepang membuktikan bahwa toleransi oral menjadi sangat lemah bila stimulasi mikroflora komensal berkurang pada saat bayi (Isolauri, 2001; Gondokaryono 2009).

Gambar 2.7 Peran TLR 2 dan TLR4 dalam menjembatani sistem imunitas innate ke sistem imunitas adaptif (Hart dkk., 2008)


(1)

susu formula hanya sekitar 30-40% dari keseluruhan bakteri yang ditemukan. Peningkatan jumlah Bifodobacteria pada kelompok ASI eksklusif disebabkan karena adanya faktor pertumbuhan khusus untuk Bifodobacteria (bifidogenic growth factor) di dalam ASI. ASI mengandung kappa casein yang terglikosilasi dalam jumlah besar di dalam protein ASI. Proses proteolisis dari komponen terminal C dari kappa casein merepresentasikan sebuah faktor pertumbuhan yang spesifik untuk Bifodobacteria. Senyawa bifidogenik lainnya yang juga ditemukan di dalam ASI adalah mono atau oligosakarida, fruktosa dan karbohidrat lainnya disamping laktosa. Namun, faktor pertumbuhan yang lebih spesifik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Bifidobacteria pada usus bayi yang diberi ASI adalah kadar protein dan fosfor yang rendah serta konsentrasi laktosa yang tinggi dalam ASI. Faktor-faktor ini bertanggungjawab terhadap penurunan kapasitas buffer ASI ini sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan Bifidobacteria, yang nantinya, dapat menjaga keasaman relatif dari lumen usus dengan produksi asam asetat dan asam laktat (Langhendries, 2005).

2.3.3 Pengaruh bakteri terhadap saluran pencernaan dalam proses imunomodulasi sistem imunitas

Saluran pencernaan terutama mukosa usus memegang peranan penting dalam proses pengenalan dan eliminasi mikroorganisme serta antigen yang berpotensi membahayakan tubuh, memodulasi sistem kekebalan tubuh sekaligus berfungsi dalam proses penyerapan zat gizi. Maturasi dari imunitas mukosa pada saluran pencernaan merupakan bagian terpenting dari proses imunomodulasi


(2)

sistem kekebalan tubuh adaptif, dimana proses ini membutuhkan stimulasi yang bersifat konstan. Kurang atau tidak memadainya stimulasi tersebut akan mengakibatkan gangguan pada maturasi imunitas mukosa saluran pencernaan dimana akan terjadi penurunan area usus, perubahan pada enzim mukosa saluran pencernaan, gangguan pada fungsi sawar usus, penurunan respon inflamasi, gangguan sistem Ig A mukosa, dan penurunan toleransi oral (Langhendries, 2005).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor in-utero yaitu keberadaan Ig G maternal, sCD14 (soluble CD14), dan kemampuan fetus menghasilkan IFN- akan menyeimbangkan respons imun fetus dari dominasi Th2 menjadi Th1-Th2 yang seimbang. Sebagai molekul PAMPs, sCD14 akan dikenali oleh TLR4 di sel DC yang selanjutnya akan mengaktivasi Limfosit Th1 dan Treg (Endaryanto, 2007). Uji klinik probiotik (Lactobacillus GG) telah dilakukan pada ibu hamil dan menyusui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia 2 dan 4 tahun, bayi dari ibu yang menerima probiotik lebih sedikit yang menderita dermatitis alergi dibandingkan dengan yang menerima plasebo, namun kedua kelompok tersebut tidak menunjukkan perbedaan dalam sensitisasi alergi yang dicerminkan oleh kadar Ig E total dan hasil uji kulit (Kalliomaki, 2001). Penelitian ini dan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada ibu yang menerima probiotik, efek dini yang utama bukanlah terjadinya supresi Th1 namun lebih mengarah pada aktivasi Treg dengan efek bukan hanya sebagai regulator Th1 tetapi juga regulator Th2, dengan hasil tercapainya homeostasis Th1-Th2.


(3)

2.3.4 Pemberian probiotik pada ibu hamil dan menyusui dalam pencegahan dini dermatitis atopik pada anak

Secara umum, ada tiga tahap pencegahan terjadinya penyakit alergi yaitu pencegahan primer (sebelum terjadi sensitisasi), pencegahan sekunder (sudah terjadi sensitisasi tetapi belum terjadi penyakit alergi) serta pencegahan tersier (sudah terjadi penyakit alergi misalnya dermatitis, tetapi belum terjadi penyakit alergi lain misalnya asma). Pada dermatitis atopik, pencegahan primer sudah mulai dilakukan sejak masa fetus. Salah satunya caranya menghindari faktor risiko penyebab alergi pada ibu hamil. Perkembangan ilmu dan teknologi memungkinkan perubahan paradigma dari pencegahan alergi yang berupa penghindaran dari faktor risiko ke arah induksi aktif toleransi imunologik. Beberapa pendekatan sebagai langkah pencegahan yang saat ini tengah dievaluasi adalah pemberian produk mikrobial melalui jalur oral maupun intranasal, pemberian alergen melalui jalur mukosa (misalnya imunoterapi sublingual), pemberian alergen bersama produk mikrobial dan pemberian alergen bersama anti Ig E (Endaryanto, 2007).

Sebuah penelitian RCT dari Kalliomaki dkk menggunakan Lactobacillus GG (ATCC 53103) untuk pencegahan primer dermatitis atopik pada bayi berisiko tinggi. Dilakukan pada 159 ibu hamil dengan riwayat atopi positif dalam keluarga di randomisasi mendapatkan plasebo atau dua kapsul 1010 CFU Lactobacillus GG. Suplementasi diberikan 2-4 minggu sebelum melahirkan dengan enam bulan sesudah lahir. Setelah diikuti selama dua tahun memperlihatkan 23% group probiotik mengalami dermatitis atopik dibandingkan 46% group plasebo


(4)

sedangkan pemeriksaan Ig E total, uji tusuk kulit, dan RAST tidak berbeda bermakna pada kedua group. Setelah 4 tahun, 26% group probiotik mengalami dermatitis atopik, dibandingkan dengan 46% group plasebo. Data ini menunjukkan adanya penurunan kejadian dermatitis atopik sebesar 50%. Dari data eksperimental ini dan pertimbangan teoritis disimpulkan bahwa probiotik akan bekerja secara maksimum pada sistem imun imatur dan kemungkinan juga pada usus yang imatur (Kalliomaki, 2001).

Dari studi yang dilakukan di Finlandia, ibu yang mendapatkan probiotik Lactobacillus rhamnosus (ATCC 53103) selama kehamilan dinilai seberapa besar pengaruhnya terhadap perbaikan sistem imun dan risiko terjadinya dermatitis atopik pada bayi. Sejumlah 62 pasang ibu-bayi dilibatkan dalam studi yang bersifat acak, tersamar ganda dengan pembanding plasebo ini. Selanjutnya kadar dari perbaikan dari sistem imun yang diwakili melalui kadar dari faktor anti-inflamasi TGF-ß2 diukur dalam ASI dan persentase bayi yang mengalami dermatitis atopik dievaluasi. Hasilnya terlihat bahwa ibu yang diberikan probiotik selama kehamilan memilki kadar TGF-ß2 yang lebih tinggi dan persentase dermatitis atopik yang lebih rendah pada bayinya. Dimana diketahui TGF-ß2 sebagai kunci imunoregulator dalam meningkatkan produksi Ig A dan induksi toleransi oral. Selama periode postnatal awal, ketika produksi TGF-ß2 endogen di usus kurang, pemberian ASI merupakan sumber TGF-ß2 eksogen (Rautava, 2001).

Penelitian Kim dkk (2009) menunjukkan bahwa pemberian probiotik campuran Bifidobacterium bifidum BGN4, B. lactis AD011, and Lactobacillus


(5)

acidophilus AD031 dapat menurunkan kejadian dermatitis atopik pada bayi. Penelitian ini dilakukan pada ibu 4-8 minggu sebelum melahirkan dan dilanjutkan enam bulan sesudah melahirkan dan bayi diberikan ASI eksklusif selama tiga bulan pertama. Hasilnya dilaporkan bahwa kejadian dermatitis atopik pada satu tahun pertama kehidupan, group probiotik (28,2%) secara signifikan lebih rendah daripada group plasebo (40,0%,) dengan P=0,048. Sedangkan serum total Ig E didapatkan tidak ada perbedaan secara bermakna (Kim dkk., 2009).

Dari penelitian ini menunjukkan bahwa probiotik dapat diberikan secara aman selama kehamilan dan menyusui, selain itu juga memberikan manfaat dalam perbaikan sistem imun dan menurunkan risiko terjadinya dermatitis atopik pada bayi.

2.3.5 Kemananan probiotik pada ibu hamil dan menyusui

Penelitian penggunaan probiotik pada ibu hamil sudah banyak dilakukan, dan dilaporkan aman diberikan saat hamil dan menyusui. Probiotik sangat jarang mengalami absorbsi secara sistemik sehingga jarang menyebabkan bakterimia dan fungimia. Probiotik tidak dapat melalui plasenta sehingga tidak dapat mencapai sirkulasi janin dan tidak membahayakan janin. Hal ini ditunjukkan dari penelitian metaanalisis dan sistematik dari 8 RCT yang melibatkan 1.500 ibu hamil. Penelitian ini dilakukan pada ibu dengan usia kehamilan 32-36 minggu sampai 3-6 bulan setelah melahirkan dengan membandingkan Lactobacillus saja atau kombinasi dengan Bifidobacerium dengan plasebo. Dilaporkan tidak adanya peningkatan insiden malformasi, karena pemberian probiotik biasanya pada kehamilan trimester III dan hal itu tidak mempengaruhi organogenesis (Dugoua


(6)

dkk., 2009; Elias dkk., 2010). Dilaporkan juga tidak adanya perbedaan yang bermakna terhadap kejadian prematuritas dan berat badan lahir rendah pada bayi yang ibunya diberikan probiotik maupun yang tidak diberikan probiotik selama kehamilan (Lampiran 1).