Wali pengampu pada paman dari pihak Ibu dalam tinjauan hukum islam : studi putusan pengadilan agama depok nomor 16/pdt.p/2007/pa dpk

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

DIANA PERTIWI 105044201449

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

DIANA PERTIWI 105044201449

Di Bawah Bimbingan Pembimbing

DRS. H. A. BASIQ DJALIL, SH., MA. NIP. 195003061976031001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1431 H/2010 M


(3)

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Swt, yang telah memberikan kehidupan yang lebih baik menuju ke kehidupan yang lebih baik baik lagi, dan juga telah memberikan suatu anugerah yang tak terhingga, sehingga bisa melewati ujian-ujian yang telah diujikan. Shalawat serta salam saya haturkan pada junjungan Nabi besar, agung khotamul anbiya, Muhammad Saw, selaku khalifah dunia yang selalu memberikan pencerahan kepada umat-nya.

Tidak terasa sudah empat tahun lamanya, saya menempuh pendidikan di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Usaha-usaha didapatkan bukanlah murni dari diri saya pribadi, tetapi atas dukungan yang berharga, baik materiil dan immaterial, dari keluarga, dosen, rekan-rekan yang selalu mendukung, terutama dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat, banyak pelajaran yang berharga yang saya dapatkan dari kampus ini, mulai dari mengenal apa itu organisasi hingga ke tingkat birokrasi.

Alhamdulillah, akhirnya saya telah menyelesaikan skripsi yang berjudul Wali Pengampu pada Paman dari Pihak Ibu dalam Tinjauan Hukum Islam: Studi Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Dpk. Dengan harapan dapat bermanfaat pada hari-hari yang akan datang. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari keterlibatan serta bantuan dan kontribusi yang jelas kepada penulis. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


(4)

kesibukannya.

2. Drs. H. Basiq Djalil, S.H., M.H, Ketua Jurusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus sebagai Pembimbing skripsi penulis. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas kesabaran dan keikhlasan Bapak dalam membimbing dan mengasuh kami. Amin.

3. Kamarusdiana, S.Ag., M.H, Sekretaris Jurusan SAS/Peradilan Agama.

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan selama penulis belajar.

5. Pimpinan Perpustakaan, baik Perpustakaan Utama UIN Jakarta maupun Perpustakaan Syariah dan Hukum, terima kasih atas pelanyanan buku, paper

dan lain-lainnya yang sangat menunjang penyelesaian skripsi ini.

6. Kedua orang tua penulis yang telah banting tulang, mendoakan, serta memberikan pengorbanan, baik secara materi dan immateri, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

7. Kakak-kakakku tercinta, yang tanpa henti mendukung dan mendorong penulis untuk menyelesaikan Skripsi.

8. Rekan-rekan kelas angkatan 2005 Jurusan Administrasi Keperdataan Islam, Ahwal al-Syakhsiyyah, terima kasih atas kebersamaan yang telah kita lalui bersama. Semoga Allah memberikan kita jalan yang selalu diridhai-Nya. Amin.


(5)

Akhirnya, kepada para pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, kupanjatkan do’a kepada Allah SWT, semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan pahala-Nya.

Ciputat, 1 Maret 2010 Penulis,

Diana Pertiwi

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...ii v


(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...4

C. Tujuan dan Manfaat penelitian ...5

D. Studi Review Terdahulu...6

E. Metode Penelitian ...8

F. Sistematika Penulisan ...10

BAB II PERWALIAN/ PENGAMPUAN ANAK DALAM FIKIH A. Pengertian dan Cakupan Perwalian dalam Hukum Islam ... 12

B. Status dan Urutan Perwalian Anak Menurut Fikih...21

C. Perwalian Anak dalam Tata Hukum di Indonesia ...26

BAB III POSISI KASUS PENGAMPUAN ANAK DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR 16/Pdt.p/2007/PA DPK A. Kewenangan Pengadilan Agama dan Bentuk Putusan ...35

B. Profil Pengadilan Agama Depok ...43

C. Posisi Kasus atau Duduk Perkara ...48

D. Keputusan Hakim ...51

BAB IV ANALISA PUTUSAN A. Putusan Hakim dalam Tinjauan Tata Hukum di Indonesia ...64

B. Analisa Putusan Hakim Perspektif Hukum Islam ...72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 85

B. Saran-saran ... 87 vi


(7)

(8)

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Swt, yang telah memberikan kehidupan yang lebih baik menuju ke kehidupan yang lebih baik baik lagi, dan juga telah memberikan suatu anugerah yang tak terhingga, sehingga bisa melewati ujian-ujian yang telah diujikan. Shalawat serta salam saya haturkan pada junjungan Nabi besar, agung khotamul anbiya, Muhammad Saw, selaku khalifah dunia yang selalu memberikan pencerahan kepada umat-nya.

Tidak terasa sudah empat tahun lamanya, saya menempuh pendidikan di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Usaha-usaha didapatkan bukanlah murni dari diri saya pribadi, tetapi atas dukungan yang berharga, baik materiil dan immaterial, dari keluarga, dosen, rekan-rekan yang selalu mendukung, terutama dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat, banyak pelajaran yang berharga yang saya dapatkan dari kampus ini, mulai dari mengenal apa itu organisasi hingga ke tingkat birokrasi.

Alhamdulillah, akhirnya saya telah menyelesaikan skripsi yang berjudul Wali Pengampu pada Paman dari Pihak Ibu dalam Tinjauan Hukum Islam: Studi Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Dpk. Dengan harapan dapat bermanfaat pada hari-hari yang akan dating. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari keterlibatan serta bantuan dan kontribusi yang jelas kepada penulis.


(9)

dan Hukum U I N Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh Pembantu Dekan yang telah memberilan ilmu pengetahuan serta waktu di saat kesibukannya. 2. Drs. H. Basiq Djalil, S.H., M.H, Ketua Jurusan sekaligus sebagai Pembimbing

skripsi penulis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kamarusdiana, S.Ag., MH selaku Sekretaris Jurusan SAS/Peradilan Agama. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas kesabaran dan keikhlasan Bapak dalam membimbing dan mengasuh kami. Amin.

3. Dr.KH.Juaini Syukri, Lcs, M.Ag dan Dr.Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, M.A sebagai Penguji Sidang penulis saya ucapkan banyak terima kasih.

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan selama penulis belajar.

5. Pimpinan Perpustakaan, baik Perpustakaan Utama UIN Jakarta maupun Perpustakaan Syariah dan Hukum, terima kasih atas pelanyanan buku, paper

dan lain-lainnya yang sangat menunjang penyelesaian skripsi ini.

6. Kedua orang tua dan kerabat penulis, yang telah banting tulang, berdo’a, serta pengorbanan baik materi dan immateri sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 7. Kakakku tercinta dan kakak kelas, yang tanpa henti mendukung dan

mendorong penulis untuk menyelesaikan Skripsi. Rekan-rekan kelas angkatan 2005 Jurusan Administrasi Keperdataan Islam, Ahwal al-Syakhsiyyah, terima


(10)

iii

ini, semoga Allah SWT megngantinya dengan pahala yang setimpal.

Akhirnya, kepada para pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, kupanjatkan do’a kepada Allah Swt., semoga Dia senantiasa mencurahkan rahmat dan pahala-Nya.

Jakarta, Maulud 1431 H Maret


(11)

DAFTAR ISI ...iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...4

C. Tujuan dan Manfaat penelitian ...5

D. Studi Review atau Kajian Terdahulu ...6

E. Metode Penelitian ...8

F. Sistematika Penulisan ...10

BAB II PERWALIAN/ PENGAMPUAN ANAK DALAM FIKIH A. Pengertian dan Cakupan Perwalian dalam Hukum Islam ... 12

B. Status dan Urutan Perwalian Anak Menurut Fikih...21

C. Perwalian Anak dalam Tata Hukum di Indonesia ...26

BAB III POSISI KASUS PENGAMPUAN ANAK DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR 16/Pdt.p/2007/PA DPK A. Kewenangan Pengadilan Agama dan Bentuk Putusan ...35

B. Sejarah Profil Pengadilan Agama Depok ...43

C. Posisi Kasus atau Duduk Perkara ...48

D. Keputusan Hakim ...51

BAB IV ANALISA PUTUSAN A. Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Perkara...64


(12)

DAFTAR PUSTAKA ...88 LAMPIRAN ...91


(13)

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu syarat adanya taklif dalam hukum Islam adalah adanya keahlian untuk dibebani (ahliyyah li al-taklif). Di antara syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang dianggap berhak untuk menerima pembebanan adalah adanya akal dan telah baligh. Tanpa keduanya, seseorang dianggap belum mampu dibebani. Dalam hal inilah seseorang yang gila tidak dihitung semua perbuatannya.

Perwalian merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau kedua orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.1 Dapatnya seseorang untuk bertindak atas orang lain tersebut karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkannya untuk bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta ataupun atas dirinya sendiri.2 Perwalian seperti ini juga dikenal dengan istilah wali pengampu dalam sistem hukum di Indonesia.

Dalam hukum Islam, selain perwalian dalam pernikahan, terdapat tiga jenis perwalian dalam arti tersebut di atas, yaitu seseorang yang bertindak sebagai

11

Untuk masalah tersebut, lihat pula, Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), cet. V, h. 228.

1

2

Amir Syarifuddin, HUkum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Poerkawinan, (Jakarta: Prenada, 2006), h. 69.


(14)

seseorang yang lain, di antaranya adalah wali anak kecil, wali orang gila, dan wali orang yang safih. Pun juga, dari ketiga perwalian tersebut, para ulama fikih, kecuali hanya beberapa saja, sepakat bahwa wali bagi mereka adalah ayahnya, sedangkan ibunya tidak memiliki hak atas perwalian.3

Selain itu, para ulama fikih tersebut berbeda pendapat dalam penetapan wali ketika ayah tidak ada. Menurut mazhab Hanbali dan Maliki, wali sesudah ayah adalah orang yang amenerima wasiat dari ayah. Jika tidak ada, maka jatuh kepada wali hakim Syar’i. Kakek sama sekali tidak mempunyai hak atas perwalian. Sementara Hanafi menyatakan, bahwa para wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Sesudah itu kakek dari pihak ayah, lalu orang yang menerima wasiat darinya, dan kalau tidak ada, maka perwalian jatuh ke tangan qadhi (hakim).4

Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa pertama-tama perwalian berada di tangan ayah dan kakek (dari pihak ayah) dalam derajatnya yang sama, di mana masing-masing mereka berkedudukan yang sama untuk bertindak sebagai wali. Kemudian kepada orang yang menerima wasiat dari ayah atau kakek.5

Dari beberapa ketentuan di atas, dapat dilihat suatu kejelasan bahwa dalam hukum Islam, perwalian seorang anak, baik itu karena usianya yang belum mencapai

3

Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet. I, h. 166. 4

Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,h. 167; LIhat pula, Muhammad Jawad Mughniyah,

Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 683. 5


(15)

baligh, seseorang yang gila, atau seseorang yang safih (lemah akalnya), berada pada ayah, keluarga ayah, orang yang diwasiatkan, atau pada seorang hakim/qadhi.6

Berbeda dengan konsep tersebut di atas, dalam putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Depok (Putusan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk), hakim menetapkan perwalian tiga orang anak yang belum baligh kepada paman anak tersebut dari pihak ibu (adik ibu). Jika mengacu pada hukum yang telah menjadi kesepakatan Jumhur Ulama di atas, maka secara sekilas terjadi suatu pertentangan antara apa yang diputuskan oleh hakim Agama Depok dengan apa yang tertera dalam fikih.

Maka dari itu, berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh bagaimana status atau hukum perwalian (pengampuan) seorang anak yang telah diputuskan oleh Pengadilan Agama Depok dalam Putusan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk, terutama dalam perspektif hukum Islam. Untuk lebih memfokuskan masalah tersebut, penulis merangkum tema penelitian ini dalam judul karya ilmiah, yaitu: Wali Pengampu Pada Paman Dari Pihak Ibu Dalam Tinjauan Hukum Islam: Studi Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/PA Dpk.

6

Fakta bahwa para ulama menetapkan perwalian hanya dari pihak ayah dapat dilihat dari pendpaat mereka tentang perwalian dalam perkawinan. Lihat lebih lanjut, Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 347-348.


(16)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Karena luasnya fokus bahasan yang akan diuraikan dalam judul tersebut, penulis membatasi beberapa masalah yang akan dikaji. Sebagaimana diketahui, terdapat dua jenis perwalian dalam hukum Islam, yaitu perwalian atas jiwa (yang sering disebut dengan perwalian dalam perkawinan) dan perwalian harta yang dikenal dengan pengampuan. Penulis hanya akan mengkaji konsep perwalian dalam hukum Islam dalam masalah kedua, yaitu perwalian atas harta atau yang dikenal dengan pengampuan.

Hukum Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hukum Islam yang telah dirumuskan oleh para imam atau ulama fikih, terutama pendapat-pendapat yang dianggap valid dan representative untuk mewakili prisma pemikiran hukum Islam, yang dikenal dengan istilah fikih. Selain itu, untuk konteks keindonesiaan, penulis akan mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Selain itu, untuk menyempitkan cakupan kasus yang ada, penulis hanya berfokus pada putusan Pengadilan Agama Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk, yang dikeluarkan Pengadilan Agama Depok.

2. Perumusan Masalah

Dalam hukum Islam, jika seorang anak tidak memiliki orang tua kandung, maka tindakan-tindakan hukum yang dilakukannnya harus diwalikan oleh keluarganya, terutama ayah atau keluarga dari pihak ayah.


(17)

Sebagaimana diketahui, perwalian seorang anak yang belum baligh hanya berada di tangan laki-laki dari keluarga ayah dan bukan dari ibu. Dalam Putusan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk tentang Penetapan wali pengampu, Pengadilan Agama Depok menetapkan paman dari pihak ibu sebagai wali pengampunya. Maka dari itu, dalam tinjauan hukum Islam hal ini berbeda secara teoritis dan menjadi fokus penelitian penulis, yang dirangkum dalam pertanyaan penelitian berikut:

a. Bagaimana konsep perwalian/pengampuan anak yang belum baligh dalam hukum Islam?

b. Apa argumentasi hakim dalam memutuskan Penetapan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk?

c. Apakah Keputusan tersebut seiring dengan hukum Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah:

a. Mengetahui konsep perwalian/pengampuan dalam tinjauan hukum Islam b. Penelitian ini juga hendak mengetahui pandangan hukum Islam terhadap

Putusan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA tentang Penetapan Pengampuan Anak kepada Paman dari pihak Ibu.

c. Penelitian ini juga hendak mengetahui apakah Putusan tersebut seiring dengan hukum Islam atau tidak.


(18)

2. Manfaat Penelitian

a. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuwan di bidang hukum keluarga.

b. Sebagai salah satu referensi mengenai pemikiran pembaruan hukum keluarga Islam, dan.

c. Sebagai bahan pertimbangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap proses perjuangan pembangunan hukum keluarga Islam.

D. Studi Review Terdahulu

Terdapat beberapa penelitian yang penulis temukan dan berkaitan dengan judul skripsi ini, di antaranya:

1. Pelaksanaan Sulhu dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah (Studi Kasus di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia, oleh Mohammad Norman Shah bin Mohammad Yaziz. Skripsi Konsentrasi Peradilan Agama, Ahwal Syakhsiyyah, Syariah dan Hukum. Kesimpulan dari penelitian ini adalah, oleh karena sebagian besar sengketanya ditangani oleh Mahkamah Syariah wilayah Persekutuan adalah dalam bidang perkawinan, maka penyelesaian secara sulh (perdamaian) sangat sesuai dan wajar sekali. 2. Hak pemeliharaan Anak oleh Bapak Akibat Perceraian, studi Analisa Putusan

Pengadilan Agama Bogor Nomor 492/Pdt/6/2005/PA Bogor, oleh Abdullah, Konsentrasi Peradilan Agama, Tahun 2009. Kesimpulan dari skripsi ini, bahwa Putusan tersebut telah sesuai dengan Undang-undang Perkawinan dan


(19)

Kompilasi Hukum Islam. Alasan hakim dalam memutuskan perkara pengasuhan anak tersebut karena beberapa faktor, di antaranya: tingkat laku orang yang akan mengasuh, perhatian kepada anak, dan kemampuan ekonomi. 3. Penetapan Hak-hak Anak Akibat Perceraian Isteri Non-Muslim, Analisa Putusan Peradilan Agama, Jakarta Pusat Nomor 443/Pdt.G/2007/PA JP, oleh Roro Tanjung Sari, Konsentrasi Peradilan Agama, Tahun 2009. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perubahan pada pemenuhan hak-hak anak bagi orang tua yang non muslim dan anak tersebut masik tetap mendapatkan haknya.

4. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menetapkan Hak-hak Pemeliharaan Anak, Oleh Irwan Hermawan, Tahun 2006, Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum. Kesimpulan yang diberikan peneliti dalam skripsi ini adalah bahwa dengan mengacu kepada Putusan Nomor 674/Pdt.G/2002/PA JS, hakim memutuskan hak asuh anak di bawah umur kepada ayah, karena kemampuan ekonomi dan kesanggupannya.

Penelitian ini dan keempat penelitian di atas memiliki persamaan dalam tema penelitian, yaitu tentang pemengasuhan anak yang belum dewasa. Namun, dari beberapa penelitian yang telah penulis dapatkan di atas, serta sejauh yang telah penulis telusuri, penelitian yang penulis lakukan ini memiliki beberapa perbedaan dari penelitian sebelumnya. Jika penelitian di atas dan sejauh sumber yang penulis temukan, untuk permasalahan anak, selalu menjadi pokok bahasan adalah tentang


(20)

hak asuh anak, baik karena perceraian ataupun bukan. Maka itu, penelitian ini mengambil obyek penelitian tentang Pengampuan Anak, bukan hak asuh anak.

E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (penelitian hukum kepustakaan), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.7

Dalam penelitian ini terdapat tiga cakupan besar, yaitu: pertama, dalam bab kedua dibahas tentang konsep perwalian/ pengampuan anak dalam fikih;

kedua, ntang posisi kasus pengampuan anak dalam putusan perkara Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/pa Dpk; ketiga, tentang analisa putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/PA Dpk dalam Tinjauan Tinjauan Hukum Islam.

2. Sumber Data

Dalam apenelitian ini, data terbagi menjadi dua, primer dan sekunder. Data primer adalah Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/PA Dpk, sedangkan data sekunder adalah buku-buku fikih yang membahas tentang perwalian/pengampuan anak, baik yang tergolong buku-buku klasik atau pun yang disusun oleh ulama/intelektual kontemporer.

7

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), cet. VIII, h. 13.


(21)

Selain itu, sebagai penguat dan bahan komaprasi, penulis juga merujuk pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yang di dalamnya dibahas secara rinci tentang perwalian atau pengampuan anak.

Pun demikian, penulis akan merujuk pada sumber sekuender lainnya yang mendukung, seperti Koran, majalah, media internet, kamus dan ensiklopedia, dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan dan Analisa Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat pengumpul data sebagai berikut: Bahan hukum, terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku atau putusan pengadilan itu sendiri. Sementara bahan hukum sekundernya adalah bahan-bahan yang penulis dapatkan dari buku-buku yang berkaita dengan judul, terutama buku-buku fikih yang menguraikan masalah perwalian anak.

Data yang diperoleh dari Putusan Pengadilan Agama Depok tersebut, hasil kajian bahan hukum yang telah penulis kumpulkan, serta penelitian atau pendapat yang dikeluarkan oleh ahli hukum Islam berkaitan dengan perwalian anak, baik menurut hukum Islam atau hukum yang berlaku di Indonesia, akan dianalisis dan ditinjau lebih lanjut, dengan didukung oleh referensi lain yang memperkuat materi hukum.


(22)

Sementara pengolahan data akan menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan yang diperoleh dari dokumen hukum yang sah, yaitu keputusan hakim, juga dokumen-dokumen hukum para pakar dan peneliti hukum, baik hukum Islam ataupun hukum yang berlaku di Indonesia. hal tersebut dilakukan dengan cara mengedit data, yaitu memeriksa data yang telah terkumpul dan hal tersebut berhubungan dengan perwalian anak dalam pandangan hukum Islam dan dipaparkan semua pengkajiannya secara sistematis.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mengarahkan penelitian, skripsi ini akan berfokus pada sistematika penulisan di bawah ini, yaitu:

Pada bab Pertama, akan dibahas tentang pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, berisi tentang konsep perwalian/ pengampuan anak dalam fikih, mencakup pengertian dan cakupan perwalian perwalian dalam hukum Islam, status dan urutan perwalian anak menurut fikih, dan perwalian anak dalam tata hukum di Indonesia.


(23)

Bab Ketiga akan menguraikan tentang posisi kasus pengampuan anak dalam putusan perkara Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/Pa Dpk, mencakup profil Pengadilan Agama Depok, posisi kasus dan putusan hakim Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/pa Dpk.

Bab Keempat, adalah bab yang menguraikan tentang analisa atas putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/pa Dpk, mencakup pertimbangan hakim dalam putusan perkara, putusan hakim dalam tinjauan tata hukum di Indonesia, analisa putusan hakim perspektif hukum Islam.

Bab Kelima adalah Penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran yang diberikan penulis.


(24)

A. Pengertian dan Cakupan Perwalian dalam Hukum Islam

Seyogyanya, seorang anak menjadi tanggungjawab kedua orang tua, baik dari sisi pemeliharaan, pendidikan, ataupun pemenuhan kebutuhan yang lain sampai ia dewasa. Dalam hal inilah, menurut konsep hukum Islam, terdapat istilah hadhanah

yang berarti merawat dan mendidik anak yang belum mumayyiz atau kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan keperluannya.1

Mengutip dari Abd. Rahman Ghazali, wali memiliki arti yang beragam, yaitu: 1. Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi kewajiban mengurus

anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa

2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah, yaitu yang melakukan janji nikah dengan mengantin laki-laki.

3. Kepala pemerintah. 2

Kata wali terdiri dari tiga huruf, yaitu: waw, lam, dan ya’. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti: pendukung, pembela, pelindung, yang

1

Amiur Nurruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada, 2006), cet. III, h. 293.

2

Abd. Rahman Ghazalia, Fiqh Munakahat, (Jakarta Prenada Media, 2003), h. 165


(25)

mengurus, yang menguasai, yang mencintai, lebih utama, teman, anak paman (sepupu), tetangga. Kata yang terdiri dari tiga huruf ini juga sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang bertentangan, yaitu menjauh atau berpaling. Pun juga sering diartikan dengan penguasa.3

Adanya konsep perwalian/pengampuan ini berangkat dari suatu ketetapan bahwa seseorang yang hendak melakukan suatu tindakan hukum harus berkuasa (mempunyai wilayah) atas suatu akad, sehingga ia mampu untuk melaksanakan hukumnya. Kekuasaan seseorang tersebut, baik karena ia sebagai pemangku/pemilik akad tersebut dan memiliki ahliyyah, sehingga ia mampu pula untuk melakukan tindakan hukum atas dirinya sendiri, atau pun karena ia menjadi wakil (nai`ban) seseorang ataupun menjadi wakil (wakilan) dalam suatu akad.4

Menurut Abu Zahrah, kekuasaan seseorang (wilayah) tersebut terbagi menjadi dua, yaitu perwalian qashirah dan perwalian muta’addiyah. Wilayah al-qashirah

adalah ketiak seseorang mampu untuk melaksanakan tindakan hukum atas dirinya sendiri, yaitu ketika terpenuhi semua syarat dan rukunnya, sementara wilayah al-muta’addiyah adalah ketika seseorang tidak mampu menjalankan tindakan hukum dan harus diwakilkan kepada seseorang.5 Untuk itu, wilayah al-muta’addiyah terbagi menjadi dua, yaitu perwalian atas harta benda dan perwalian atas diri (manusia) yang

3

Muhammad Qurash Shihab, “Wali dan Kewalian Perspektif al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an, Vil. II, Nomor 1 Tahun 2007, h. 9.

4

Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1950), h.107 5

Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 108.


(26)

sering terjadi dalam pernikahan. Hal senada juga dikemukakan oleh Asaf A.A. Fyzee, bahwa perwalian terbagi menjadi perwalian atas orang, perwalian atas harta benda dan perwlaian dalam perkawinan.6

Sementara terkait dengan pengampuan, dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-hajr. Al-harju terbatas pada tindakan hukum, baik dalam ucapan ataupun tindakan, seseorang yang berada dalam pengampuan, baik karena safih (bodoh), masih anak-anak, kegilaan, atau karena lilitan hutang.7 Al-hajru pada asalnya berarti menghalangi. Dengan demikian, al-harju berarti menghalangi seseorang untuk melakukan tindakan hukum berupa akad atau interaksi lain yang berbentuk ucapan.8

Ada beberapa ayat yang mendasari perwalian dalam Islam, di antaranya adalah QS. Al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi:

)

ةﺮﻘﺒﻟا

:

٢٨٢

(

Artinya:

....Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.... (QS. Al-Baqqarah/2: 282)

6

Asaf A.A. Fyzee, Pokok Hukum Islam I, penerjemah Arifin Bey, (Jakarta: Tintamas, 1959), h. 259

7

Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 437. 8

Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1990), cet. II, h. 214


(27)

Selain itu, terdapat pula firman Allah SWT dalam surat al-Nisa’/4 ayat 5 dan 6, yang berbunyi:

.

⌧ ⌧

)

ءﺎﺴﻨﻟا

:

۵

(

Artinya:

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu)


(28)

bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS. Al-Nisa’/4: 5-6)

Menurut Ahmad Rafiq, beberapa ayat di atas menunjukkan peran, kewajiban dan hak-hak wali terhadap anak dan harta yang di bawah perwaliannya. Selain berbicara tentang seseorang yang tidak mampu secara akal (terutama seseorang yang berhutang), ayat-ayat tersebut di atas juga mengisyaratkan suatu ketetapan bahwa anak-anak yatim tidak boleh mentransaksikan hartanya sendiri, kecuali oleh seseorang yang bertindak sebagai wakil atau walinya.9

Abdul Wahab Khalaf juga menyebutkan, QS. Al-Nisa’/4 ayat 5 dan 6 di atas menunjukkan bahwa Allah melarang untuk menyerahkan harta benda kepada seseorang yang belum sempurna akalnya (sufaha’), karena pemberian tersebut hanya akan menyebabkan kehilangan atau kerusakan harta tersebut. Pun demikian jika suatu hubungan bisnis atau perniagaan, hendaknya tetap dipegang oleh walinya, yang menjualbelikan harta tersebut.10

Penetapan tersebut bukannya tanpa alasan. Sebagaimana dikemukakan pula oleh Abdul Wahaf Khalaf, bahwa dalam pensyariatan perwalian ini terdapat hikmah

tasyri’ di dalamnya. Bahwa jika seseorang yang dalam kondisi lemah atau kurang sempurna akalnya, ia tidak akan mampu untuk menilai sesuatu dan tidak akan nampak gambaran ridha atau tidaknya. Orang yang kurang akalnya sama saja dengan

9

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), cet. IV, h. 260.

10


(29)

orang yang kurang waras, sementara anak kecil tidak akan bisa memilih dan menentukan suatu kemaslahatan. Maka itu, dengan pertimbangan dan kemashlahatan tersebut, Syariat Islam tidak membolehkan (melarang) keduanya untuk melakukan tindakan hukum. Pelarangan tersebut hanya untuk menjaga dan melindungi keduanya dari suatu bahaya atau kecelakaan.11

Untuk itu, beberapa aspek yang berkaitan dengan siapa saja yang harus diwalikan dalam tindakan hukum akan dijelaskan berikut ini:

1. Anak Kecil

Belum dewasa menjadi salah satu sebab seseorang dalam pengampuan, sehingga ia tidak boleh untuk melakukan tindakan hukum. Hal ini didasarkan pada suatu alasan bahwa anak kecil masih dianggap lemah, belum sempurna akal dan pelaranannya, sementara dalam perjanjian atau interaksi hukum yang menjadi dasar adalah pertimbangan akal dan keridhaan. Jika tidak terdapat akal atau kurang akalnya, maka hilanglah keharusan transaksi tersebut.

Para ulama mazhab sepakat bahwa wali anak kecil adalah ayahnya, sedangkan ibunya tidak mempunyai hak perwalian, kecuali beberapa mazhab Syafi’i. Imamiyyah dan Syafi’i menyatakan bahwa seorang anak yang telah mencapai usia sepuluh tahun, wasiatnya dalam hal kebajikan dan kebaikan

11


(30)

dinyatakan sah. Beberapa ulama Imamiyyah pun menyatakan thalak yang dilakukan oleh anak seumur 10 tahun pun sah.12

Anak kecil tersebut pun terbagi menjadi dua, yaitu anak kecil yang betul-betul belum memiliki ahliyyah dan anak kecil yang tidak hilang sepenuhnya ahliyah-nya. Hal ini dasarkan pada usia anak tersebut dan kemampuannya untuk membedakan mana yang baik atau yang buruk (mumayyiz). Anak yang belum mencapai mumayyiz, menurut Abu Zahrah minimal adalah kurang dari tujuh tahun, maka ia kehilangan secara penuh ahliyahnya. Sementara anak yang telah mencapai usia mumayyiz atau ia telah lebih dari tujuh tahun, maka ia tidak kehilangan secara penuh ahliyahnya, tetapi dalam kondisi kurang. Dalam hal-hal tertentu, anak tidak kehilangan secara penuh ahliyahnya (atau yang telah mencapai mumayyiz) dapat melakukan tindakan hukum, terkhusus pada hal-hal yang bermanfaat baginya dan tidak ada bahaya.13

Terkhusus untuk anak kecil yang telah mumayyiz ini, para ulama fikih berbeda pendapat. Menurut kalangan Hanafi, sah hukumnya, meski tanpa seizing wali, asalkan sesuatu yang bermanfaat, seperti menerima hibah,

12

Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur AB, dkk, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 684.

13

Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h. 440; Menurut Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Al-shabiyyi al-mumayyiz, seorang anak yang telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana pula yang bermanfaat dan pengertian umum, mana yang disebut jual beli, mana yang disebut dengan sewa menyewa dan mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan. Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima MAzhab,h. 265.


(31)

wasiat, dan wakaf tanpa penggantian. Namun dalam hal jual beli,maka tidak sah kecuali dengan izin walinya. Mazhab Hanbali menyatakan bahwa sah jika mendapatkan izin wali, sedangkan yang belum mumayyiz, sah jika dalam urusan yang remeh, sekalipun tidak memperoleh izin dari wali, seperti membeli permen dan barang-barang lain yang biasa dibeli oleh anak kecil. Mazhab Syiah Imamiyyah dan mazhab Syafi’i mengatakan, bahwa semua bentuk mualamah anak kecil secara keseluruhan tidak disyariatkan. Baik itu yang penting, seperti jual beli, ataupun urusan-urusan yang remeh.14

2. Safih

Safih adalah seseorang yang tidak baik dalam membelanjakan (bertransaksi) hartanya atau pemeliharaannya, atau menginfakkan hartanya pada sesuatu yang tidak layak untuk disedekahkan. Pengampuan atas seseorang yang dinyatakan safih ini menjadi kesepakatan Jumhur Ulama.15 Kesafihan dapat saja menyatu dengan kepandaian dan akal. Safih adalah orang yang tidak cakap mengelola harta dan membelanjakan secara baik, baik dia mempunyai kecakapan tetapi tidak digunakan ataupun karena betul-betul tidak memiliki kecakapan.16

14

Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima MAzhab,h. 265. 15

Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h. 451. 16


(32)

Selain itu, terdapat pula orang yang selalu lalai dalam hartanya. Orang yang lalai tersebut sama statusnya dengan safih, yaitu karena keburukannya dalam mengatur dan memelihara hartanya. Perbedaannya adalah bahwa pada safih terkadang masih terdapat pikiran dan akal, namun secara alamiah ia cenderung merusak hartanya tersebut. Sementara pada seseorang yang lalai, ia tidak cenderung merusak hartanya tetapi bodoh dan tidak perhatian.17

3. Orang Gila

Orang gila dilarang menggunakan hartanya berdasarkan nash dan ijma, baik gila itu akut ataupun temporal. Gila secara temporal dan ia menggunakan hartanya dalam kondisi sadara/sehat, maka akadnya sah.

Hal ini didasarkan pada bahwa berakal sehat adalah salah satu syarat syahnya hubungan muamalah. Orang yang tidak sadar dan mabuk, hukumnya sama dengan orang gila. Namun jika seorang gila tersebut berhubungan badan dengan perempuan dan hamil, anaknya masih tetap dinasabkan kepada bapaknya, karena terhitung persetubuhan syubhat.18

4. Orang yang Berhutang

Dalam Islam, jika seseorang yang berhutang tidak mau membayar hutangnya atas dasar kesengajaan, maka orang yang dihutangi (al-da’in) boleh mengajukan ke pengadilan dan memperkarakannya, karena

17

Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h. 451. 18


(33)

memperpanjang hutang adalah kezhaliman. Namun demikian, menurut Abu Zahrah, para fuqaha bersepakat bahwa seseorang yang berhutang berhak atas pengampuan dan jualbelikan hartanya. Pendapat Jumhur ini berbeda dengan Abu Hanifah. Menurut Abu Hanifah, meskipun berada dalam pengampuan, orang yang bertindak sebagai pengampu tidak boleh menjualbelikan hartanya orang yang berhutang. Pengampuan ini terjadi ketika hutang yang dimiliki seseorang tersebut telah menutupi (seukuran) semua hartanya dan pengampuan itu pun harus ditetapkan oleh pengadilan.19

B. Urutan Perwalian Anak Menurut Fikih dan Syarat-syaratnya

Menurut Asaf A.A. Fyzee, dalam hukum Sunni, bapak adalah wali dari anak yang belum dewasa dalam hal harta benda. Jika bapak tidak mungkin untuk melakukankkannya, baik karena telah meninggal dunia atau karena halangan lain, sehingga hilang ahliyah-nya, maka orang-orang yang berhak untuk menjadi wali, dengan urutannya, adalah: penyelenggara (eksekutor) hak-hak bapak, bapak dari bapak (kakek anak tersebut), dan penyelenggara dari hak-hak kakek tersebut.20

Menurut A.A. Fyzee pula, harus diakui bahwa dalam hukum Islam, terutama Sunni, tidak mengenal adanya perwalian untuk keluarga selain ayah, seperti ibu,

19

Ibid., h. 155; lihat pula, Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariah al-Islamiyyah, h. 216-218.

20


(34)

paman ataupun saudara laki-laki, untuk bertindak sebagai wali yang sah. Namun, karena berbagai pertimbangan dan kemashalahan, mereka dapat menjadi wali dengan diangkat oleh suatu Mahkamah atau Pengadilan.21

Namun, dalam hal demikian Asaf mengkategorikan bentuk perwalian tersebut menjadi dua, yaitu wali secara de facto dan wali secara de jure. Wali de facto adalah mereka yang merasa sanggup untuk mengemban tanggungjawab sebagai wali dan mengajukan permohonan kepada Mahkamah. Dengan demikian, orang tersebut mampu menjadi pelaksana dan penanggungjawab atas harta benda seorang anak tersebut. Wali de facto ini hanyalah bertindak sebagai wali atas perseorangan atau harta benda seorang yang belum dewasa dan tidaklah mempunyai hak apapun juga, melainkan sebaliknya mempunyai kewajiban-kewajiban.22

Sebagaimana diutarakan di atas, seseorang yang tergolong anak kecil, orang gila atau kurang waras, maka tidak berhak untuk melakukan tindakan hukum ( al-mahjur). Maka itu, senada dengan apa yang dinyatakan oleh Asaf A.A. Fyzee di atas, menurut Abdul Wahab Khalaf, tindakan hukumnya harus dilakukan oleh salah satu dari enam orang yang secara berurutan (tartib) adalah: ayah, orang yang diberi wasiat oleh ayah (eksekutor), kakek, orang yang diberi wasiat oleh kakek (eksekutor), seorang qhadi/ hakim ataupun seseorang yang diberikan wasiat oleh qhadi/hakim

21

Ibid., h. 265. 22


(35)

tersebut.23 Eksekutor yang dimaksud oleh Asaf A.A. Fize di atas adalah orang yang diwasiatkan adalah orang yang dipilih oleh bapak untuk menjadi wali dari anak sebagai penggantinya (bapak) setelah kematiannya. Perwalian ini hanya terbatas pada pemeliharaan dan perlindungan atas harta saja.24

Dalam konteks seseorang yang safih atau lalai, maka perwaliannya berada pada tangan hakim, serta seseorang yang nantinya akan ditunjuk oleh hakim, meskipun bapak atau kakeknya ada. Perwalian ini sampai kesafihannya hilang dan sehat. Dengan pendapat dari Ibnu Abidin dalam al-Durr al-Mukhtar, Abu Zahrah menyebutkan bahwa hukum seseorang yang safih dan lali ini sama dengan hukum anak kecil (yang belum baligh) tetapi telah mencapai usia mumayyiz. Hanya saja, yang membedakannya adalah bahwa bapak dan kakeknya tidak boleh menjadi walinya kecuali hakim. Alasannya adalah karena seorang yang safih atau lalai, telah dianggap dewasa, sehingga hilang hak perwalian seorang ayah atau kakek. Kecuali, jika ia ternyata gila atau tidak waras, maka perwalian kembali kepada ayah atau kakeknya, seperti halnya anak kecil.25

Sementara bagi anak kecil, atau orang yang terhukumi sama, seperti orang gila atau kurang waras, maka kewaliannya tetap berada pada wali seperti yang disebutkan di atas, yaitu bapak, orang yang diberi wasiat (eksekutor), kakek, ataupun

23

Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 222. 24

Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 224. 25


(36)

orang yang diberi wasiat oleh kakek (eksekutor).26 Sementara menurut mazhab Maliki, hak perwalian hanya ada pada bapak anak tersebut dan orang yang diberikan wasiat, serta pada hakim atau yang diberikan wasiat oleh hakim.27

Dalam pandangan mazhab Maliki, yang juga diikuti oleh Hanbali (mazhab Imam Ahmad bin Hanbal), seorang kakek tidak masuk dalam urutan perwalian setelah bapak. Jika pun hakim yang menentukan perwaliannya, maka posisinya tidak sebagai wali de jure (menggunakan istilah Asaf A.A. Fyzee). Dalam pernikahan kakek tidak berhak atas perwalian anaknya, maka dalam hal harta benda pun demikian. Mazhab Syafi’i berpandangan seperti yang disebutkan di atas, bahwa urutan wali adalah bapak, kakek, dan orang yang diberikan wasiat. Maka itu, menurut pandangan mazhab Syafi’i, ketika bapak tidak ada, maka perwalian secara otomatis jatuh kepada kakek. Hal ini didasarkan pada kedekatan hubungan keduanya.28

Selain mazhab Syafi’i, pendapat yang mirip juga dikemukakan oleh ahli hukum dari mazhab Hanafi, bahwa perwalian berada pada bapak, orang yang diberi wasiat, kakek dan orang yang diberi wasiat oleh kakek. Berbedaan keduanya, Syafi’i memposisikan orang yang diberikan wasiat di belakang kakek, sedangkan Syafi’i

26

Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 222. 27

Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 466. 28


(37)

memposisikannya tepat di belakang bapak. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa bapak adalah lebih cocok dan tahu dengan kondisi anak tersebut.

Ada beberapa syarat dalam perwalian, terutama orang yang menjadi wali dalam urusan harta benda. Di antaranya adalah syarat umum, seperti sempurna

ahliyyah-nya (kemampuan untuk bertindak hukum), berakal, baligh, merdeka, kesamaan agama antara wali dan orang yang berada dalam pengampuan (kecuali jika hakim, maka tidak diharuskan adanya kesamaan agama). 29

Seorang bapak yang berhak menjadi wali bagi anaknya adalah yang diketahui adil (‘adalah) dan tidak pula terindikasi keadilannya tersebut hilang. Jika seorang bapak tersebut adil, maka anak-anak, baik yang laki-laki atau perempuan, yang ada dalam pemeliharaannya atau dalam pemeliharaan orang lain. Jika seorang bapak tersebut kurang baik dalam mengurus harta dan buruk akalnya, ia tetap berhak atas pemeliharaan harta anaknya tersebut, namun tidak semutlak bapak yang adil. Suatu bisnis atau perniagaan yang boleh dilakukan hanyalah perniagaan yang jelas-jelas menguntungkan dan jelas manfaatnya bagi anak tersebut. Namun jika jelas-jelas bapak tersebut menyia-nyiakan atau menghambur-hamburkan harta anaknya tersebut, maka hendaknya perwalian atasnya digantikan dengan orang lain, seperti halnya orang yang tidak mempunyai bapak.30

29

Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 222. 30


(38)

Dari beberapa uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam hukum Islam, terutama seperti yang diutarakan oleh empat imam mazhab, yang paling berhak atas perwalian dalam hal harta benda adalah bapak. Jika bapak tidak ada, dalam pandangan fikih, terjadi perbedaan. Menurut Hanafi, jatuh kepada orang yang diberikan wasiat oleh bapak, kemudian kepada kakek, dan terakhir pada orang yang diberi wasiat oleh kakek. Syafi’i, ketika tidak ada bapak langsung pada kakek. Sementara mazhab Maliki dan Hanbali menyebutkan bahwa kakek tidak berhak untuk menjadi wali. Selain itu, dalam hukum Islam, seorang hakim atau qhadi berhak pula atas perwalian, terutama bagi mereka yang safih atau lalai. Perwalian ini juga boleh dilimpahkan hakim kepada seseorang yang dipercayainya.

C. Perwalian Anak dalam Tata Hukum di Indonesia: Tinjauan KHI, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata (BW)

Dalam Pasal 1 huruf h Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.31

Menurut Ahmad Rafiq, dari pengertian tersebut, wali adalah orang yang diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum demi kepentingan anak

31


(39)

yang tidak memiliki kedua orang tua atau karena orang tuanya tersebut tidak cakap melakukan tindakan/perbuatan hukum.32

Perwalian dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 diuraikan dalam satu bab, yaitu Bab XV. Dalam Pasal 107 Bab ini disebutkan, bahwa:

(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.

(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut. (4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain

yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.33

Selain itu, disebutkan pula, bahwa orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia,34 atau Pengadilan Agama juga dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. 35

32

A. Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 258. 33

Lihat, Pasal 107 Kompilasi Hukum Islam (KHI) 34

Pasal 108 Kompilasi Hukum Islam 35


(40)

Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ini juga dikemukakan tentang kewajiban seseorang atau badan hukum yang diberi kekuasaan oleh Pengadilan untuk menjadi wali. Di antara kewajiban tersebut adalah:

(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.

(2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan.

(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.36

(4) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah.37

Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.38 Namun jika perwalian tersebut belum usai, dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang

36

Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam 37

Pasal 111 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam 38


(41)

diperlukan untuk kepentingannya sesuai dengan kebutuhan atau bi al-ma`ruf

seandainya wali tersebut fakir.39

Perwalian dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahunm 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam selaras dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1971 Tentang Perkawinan, meskipun dengan sedikit perbedaan. Jika dalam Kompilasi Hukum Islam ukuran dewasa adalah di bawah 21 tahun, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1971 Tentang Perkawinan disebutkan seseorang yang masih terkategori anak dan berhak atas perwalian adalah yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.40

Selain itu, dalam Undang-undang ini juga disebutkan bahwa perwalian terjadi karena beberapa hal, di antaranya:

1. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang saksi.

2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.41

39

Pasal 112 Kompilasi Hukum Islam 40

Lihat Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. 41


(42)

Dalam hal kewajiban pun antara Undang-undang Nomor 1 Tahun 1971 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam relatif tidak terdapat perbedaan signifikan.42 Yang agar berbeda hanya pada ayat 1 Pasal 51 Undang-undang Perkawinan, di mana disebutkan bahwa wali berkewajiban mengurus anak yang berada di bawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu. Selebihnya, antara keduanya tidak terdapat perbedaan, di mana wali berkwajiban mengurus dan memelihara harta benda anak te

u belum melaku

1 tahun 1974 menyebutkan wali dapat

dap anak perwalian tersebut.

rsebut.

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1971 Tentang Perkawinan juga ditetapkan tentang larangan bagi wali. Dalam Pasal. 52 UU No.1 tahun 1974 menyatakan terhadap wali berlaku pasal 48 Undang-undang ini, yakni orang tua dalam hal ini wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun ata

kan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa. Demikian halnya Pasal 53 UU No.

dicabut dari kekuasaannya, yaitu dalam hal:

1. Wali sangat melalaikan kewajibannya terha 2. Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.

Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan menunjuk orang lain sebagai wali (pasal 53 (2) UU No.1 tahun 1974). Dalam hal apabila wali

42


(43)

menyebabkan kerugian pada si anak maka menurut ketentuan pasal 54 UU No.1 tahun 1974 menyatakan, wali yang telah menyebabkan kerugian pada harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengga

ut curandus, pengampunya disebut

cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini”.

nti kerugian tersebut.

Perwalian juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang disingkat dengan KUHPer. Perwalian dalam KUHPer disebut juga dengan Pengampuan atau curatele. Pengamuan berarti suatu daya upaya hukum untuk menempatkan seseorang yang belum dewasa menjadi sama dengan orang yang dewasa. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan diseb

curator, dan pengampuannya disebut curatele.43

Dalam Pasal 433 KUHPer disebutkan: Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.44 selain itu, disebutkan pula dalam pasal 330 ayat (3), bahwa: “Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan

43

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), h. 26.

44


(44)

Dalam hal ini, terdapat persamaan antara apa yang termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Kemudian dalam Pasal 462 KUHPer disebutkan lagi, bahwa: Seorang anak belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, gila atau gelap mata, tidak boleh ditempatkan di bawah pengampuan, tetapi tetap berada di bawah pengawasan bapaknya, ibunya atau walinya.45

Selanjutnya, dinyatakan pula dalam KUHPer, bahwa setiap keluarga sedarah berhak meminta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri.46

Jika disistematisasi, perwalian dalam KUHPer terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Perwalian oleh bapak atau ibu yang hidup lebih lama, pasal 345 sampai pasal 354 KUHPerdata. Pasal 345 KUH Perdata menyatakan :

”Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum

45

Pasal 462 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 46


(45)

dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.”47

2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri. Pasal 355 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa :

“Masing-masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain”48

Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang masih terbuka.

3. Perwalian yang diangkat oleh Hakim. Pasal 359 KUH Perdata menentukan: “Bila anak belum dewasa yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua dan yang perwaliannya sebelumnya tidak diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah mendengar atau memanggil dengan sah para keluarga sedarah dan semenda.”49

Pengampuan ini terjadi karena adanya keputusan hakim yang didasarkan pada adanya permohonan pengampuan.50 Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan

47

Pasal 345 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 48

Pasal 355 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 49

Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 50


(46)

pengampuan, sebagaimana tertera dan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, adalah sebagai berikut:

1. keluarga sedarah terhadap keluarga sedarahnya, dalam hal keadannya dungu, sakit ingatan, atau mata gelap (Pasal 434 ayat 1 KUHPer).

2. Keluarga sedarah dalam garis lurus dan oleh keluarga semenda dalam garis menyimpang sampai derajat keempat, dalam hal karena keborosannya (Pasal 434 ayat 2 KUHPer)

3. Suami atau isteri boleh meminta pengampuan akan isteri atau suaminya (Pasal 434 ayat 3 KUHPer)

4. Diri sendiri, dalam hal ia tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri (Pasal 434 ayat 4 KUHPer)

5. Kejaksaaan dalam hal gelap mata, keadaannya dungu, sakita ingatan (Pasal 435 KUHPer).

Selain itu, dalam hukum perdata juga diatur bagaimana akibat hukum seseorang yang berada dalam pengampuan. Akibat hukum tersebut, bahwa orang yang berada dalam pengampuan sama dengan orang yang belum dewasa.51 Selain itu, diatur pula bahwa setiap perbuatan orang yang berada dalam pengampuan batal demi hukum.52 Namun kedua hal ini terdapat pengecualian, yaitu seseorang yang berada dalam pengampuan karena boros, masih boleh membuat surat wasiat, sebagaimana

51

Pasal 452 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 52


(47)

diatur dalam Pasal 446 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pun demikian disebutkan dalam Pasal 446 ayat 3 KUHPer, orang yang dinyatakan dalam pengampuan karena boros tersebut dapat melangsungkan pernikahan dan membuat perjanjian kawin yang dibantu oleh pengampunya.


(48)

A. Kewenangan Pengadilan Agama dan Bentuk Keputusan 1. Profil Pengadilan Agama di Indonesia

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang. Kekuasaan kehakiman di Pengadilan Agama meliputi beberapa hal, di antaranya adalah:

a. Pengadilan Agama (Pengadilan Tingkat Pertama)

b. Pengadilan Tinggi Agama (Pengadilan Tingkat Banding)

Peradilan agama juga memiliki Pengadilan khusus, yaitu di Nangroe Aceh Darussalam, yaitu Mahkamah Syariah (Pengadilan Tinggkat Pertama) dan Mahkamah Syariah Provinsi (Pengadilan Tingkat Banding). Kekuasaan kehakiman Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung.1

Peradilan Agama memiliki visi, yaitu: Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib, dan damai, di bawah lindungan Allah SWT. Sementara misi yang diemban oleh

1

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Profil Peradilan Agama, (Jakarta: Dirjen Peradilan Agama, 2006), h. 2.


(49)

Peradilan Agama adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan Perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam Indonesia, di bidang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah,. Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Ekonomi Syariat secara cepat, sederhana dan biaya ringan.2

Selain itu, wewenang khusus yang dimiliki oleh Mahkamah Syariah di Aceh memiliki kewenangan yang lebih luas, yaitu meliputi Ahwal al-Syakhsiyyah (hukum keluarga), Mu’amalah, dan Jinayat (hukum pidana Islam), yang diatur secara rinci dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001dan Qanun Nangroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002.

2. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Perwalian

Dalam sejarah hukum Islam di Indonesia, terutama setelah masa kemerdekaan, secara resmi Peradilan Agama mengalami dua kali perubahan dalam kewenangan absolutnya. Pertama adalah ketika diundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama dan kedua ketika Undang-undang ini direvisi dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

2

Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama, Profil Peradilan Agama, h. 3; Lihat pula, Pasal 52Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Pasal 49 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.


(50)

Pengadilan Agama di Indonesia memiliki beberapa tugas pokok, di antaranya adalah kewenangan mengadili, memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat hukum Islam kepada instansi pemerintah. Kewenangan lain yang ditetapkan oleh Undang-undang adalah untuk Pengadilan Tinggi Agama, yaitu berwenang untuk mengadili dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif serta mengawasi jalannya persidangan.3

Adapun kompetensi absolut atau batasan yang ditentukan oleh bidang yurisdiksi yang dilimpahkan Undang-undang bagi Pengadilan Agama tercantum dalam Pasal 49 Ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan ditambah Pasal 49 dan 50 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Dalam Pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama Republik Indonesia, disebutkan:

(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan;

b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;

c. wakaf dan shadaqah.

3

Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h. 133.


(51)

(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.

(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.4

Mengacu kepada Pasal tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa Pengadilan Agama memiliki kewenangan khusus, terutama dalam perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Terkait dengan kewenangan dalam perkawinan, dijelaskan pula dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yaitu beberapa hal terkait dengan: izin beristeri lebih dari satu, izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dan dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus berbeda pendapat, dispensasi perkawinan, penolakan kawin oleh Pegawan Pencatat Nikah, pembatalan perkawinan, gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri, perceraian karena talak, gugatan perceraian, penyelesaian harta bersama, mengenai kekuasaan anak-anak, ibu memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, bilamana bapak (yang seharusnya bertanggungjawab) tidak memenuhi kewajibannya, penentuan kewajiban

4


(52)

memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.5

Kemudian Pengadilan Agama juga berwenang untuk menangai putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak, putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua, pencabutan kekuasaan wali, penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, menunjuk seorang wali bagi seorang anak yang belum berumur 18 tahun, yang ditinggal kedua orang tuanya tanpa adanya penunjukan wali oleh seorang/kedua orang tuanya, pembebanan kewajiban ganti rugi terhadap wali yang menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya, penetapan asal usul seorang anak, putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran, pernyatan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.6

Jika mengacu kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menurut Yahya Harahap, hampir semua perkara perkawinan

5

Lihat, Penjelasan pasal 49 ayat 2 Undnag-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; lihat pula, Padmo Wahjono, Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa Depan, dalam Amrullah Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, SH, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 169

6

Lihat, Penjelasan pasal 49 ayat 2 Undnag-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; lihat pula, Padmo Wahjono, Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa Depan, h. 169


(53)

masuk dalam kekuasaan Pengadilan Agama. Namun, ada suatu masalah yang tidak masuk, yaitu permasalahan perjanjian perkawinan. Menurutnya, hal ini tidaklah mengurangi jangkauan cakupannya yang telah meliputi segala aspek sengketa perkawinan.7

Demikian pula kalau dihubungkan dengan fokus kajian dalam penelitian ini, ada beberapa perkara yang berkaitan, yaitu kewenangan Peradilan Agama dalam pencabutan kekuasaan wali, penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, menunjuk seorang wali bagi seorang anak yang belum berumur 18 tahun, yang ditinggal kedua orang tuanya tanpa adanya penunjukan wali oleh seorang/kedua orang tuanya, pembebanan kewajiban ganti rugi terhadap wali yang menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya.8

Setelah terjadi revisi atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kewenangan Pengadilan Agama ditambah dengan beberaoa perkara, yaitu zakat, infaq, dan ekonomi syariah. Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan:

7

Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agam, h. 139. 8


(54)

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq;

h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.9

Selain itu, Undang-undang ini juga menetapkan peradilan agama yang menyelesaikan perkara-perkara tertentu, termasuk pidana Islam, yaitu di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Mahkamah Syari'ah Islam yang diatur dengan Undang-Undang.10 Di dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, sebetulnya telah ditetapkan terlebih dahulu bahwa Mahkamah Syariah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang a) ahwal al-Syakhsiyyah; b) mu’amalah, dan; c) jinayah.11

9

Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

10

Lihat Penjelasan Pasal 3 A Undnag-undang Nomor 3 Tahun 2006. 11

Pasal 49 Qanun Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam. Qanun edisi lengkap dikutip dari Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi, dan Implementasi: Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Ciputat: Logos, 2003), h. 324.


(55)

3. Bentuk Putusan Pengadilan Agama

Peradilan Agama memiliki dua bentuk keputusan sebagai produk yang dapat dijatukannya, yaitu penetapan dan putusan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 57 ayat (2), Pasal 59 ayat (2), pasal 60, pasal 61, pasal 62, Pasal 63, dan pasal 64, serta yang ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 60 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.12

Menurut penjelasan Pasal 60 Undang-undang Peradilan Agama, penetapan adalah keputusan Pengadilan atas perkara “permohonan”, sehingga bentuk putusan sangat terkait dengan corak atau bentuk gugat. Dalam keputusan ini tidak ada sengketa,13 sehingga, gugat permohonan, menurut Yahya Harahap, disederajatkan ekuivalensinya dengan keputusan penetapan, yang lazim disebut dengan beschiking secara umum. Putusan ini tidak mengikat siapapun, kecuali hanya berlaku pada diri pemohon saja.14

Sementara keputusan Peradilan Agama yang lain, putusan, merupakan keputusan Pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya sengketa,15 yang lazim disebut dengan gugatan contentiosa. Keputusan Pengadilan agama yang berbentuk putusan ini bersifat condemnatoir atau “menghukum” dan

12

Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agam, h. 339. 13

Penjelasan pasal 60 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 14

Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agam, h. 339. 15


(56)

eksekutorial atau “eksekusi”.16 Dalam hal keputusan yang besifat memaksa ini, Pengadilan dapat menggunakan alat negara dalam melaksanakan eksekusi ketika pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela.17

B. Profil Pengadilan Agama Depok 1. Profil Pengadilan Agama Depok

Pengadilan Agama Depok Kelas IB beralamat di Jalan Boulevard Sektor Aggrek Komplek Perkantoran Kota Kembang Grand Depok City Depok dan beroperasi pada alamat tersebut setelah diresmikannya gedung Pengadilan Agama Depok bersamaan dengan diresmikannya gedung Pengadilan Tinggi Agama Bandung pada tanggal 20 Februari tahun 2007 oleh Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, M.CL., di Jalan Soekarno Hatta 714 Bandung.18

Pengadilan Agama Depok dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002 yang peresmian operasioanalnya dilakukan oleh Wali Kota Depok di Gedung Balai Kota Depok pada tanggal 25 Juni 2003 dan mulai menjalankan fungsi

16

Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agam, h. 339. 17

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakata: Pustaka Pelajar, 2004), cet. V, h. 313.

18

Pengadilan Agama Depok, Visi dan Misi Pengadilan Agama Depok, diakses dari http://www.pa-depok.go.id/portal/visi-dan-misi pada 27 Januari 2010.


(57)

peradilan sejak tanggal 01 Juli 2003 di Jalan Bahagia Raya No.11 Depok dengan menyewa rumah penduduk sebagai gedung operasionalnya.19

Daerah hukum Pengadilan Agama Depok adalah meliputi Pemerintahan Kota Depok sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 Pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa “Daerah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi wilayah Pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat”

Pengadilan Agama Depok yang daerah hukumnya meliputi Wilayah Pemerintahan Kota Depok yang terdiri dari ( sebelum pemekaran adalah 6 Kecamatan dengan 60 Kelurahan) 11 Kecamatan dengan 64 Kelurahan dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dengan beban kerja rata-rat tiap bulan 162 perkara. Dalam melaksanakan tugasnya Pengadilan Agama Depok didukung dengan kekuatan pegawai sebanyak 38 Orang dan secara formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Depok harus dipertanggung jawabkan dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung selaku atasan.20

Pengadilan Agama Depok sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan

19

Pengadilan Agama Depok, Visi dan Misi Pengadilan Agama Depok. 20


(58)

ekonomi syari’ah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undang-undang.21

2. Visi dan Misi Peradilan Agama Depok

Tentang visi dan misi yang menjadi pedoman Pengadilan Agama Depok adalah visi dan misi Mahkamah Agung. Visi Mahkamah Agung adalah menjadi lembaga peradilan yang mandiri, efektif, efisien, serta meraih kepercayaan publik, profesional dan memberikan pelayanan hukum yang berkualitas, etis terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat dan mampu menjawab panggilan pelayanan publik.22

Sementara misi yang diemban oleh Mahkamah Agung dan menjadi pedoman pula oleh Pengadilan Agama Depok adalah:

1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-undang dan Peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat.

2. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen

3. Memperbaiki akses pelayanan publik di bidang peradilan pada masyarakat.

4. Memperbaiki kualitas internal pada proses peradilan

21

“Profil Pengadilan Agama Depok”, diakses dari http://www.pa-depok.go.id/portal/profil-pa pada 27 Januari 2010.

22

Visi dan Misi Pengadilan Agama Depok, diakses dari http://www.pa-depok.go.id/portal/visi-dan-misi pada 27 Januari 2010.


(59)

5. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif dan efisien, bermartabat serta dihormati.

6. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.23

Berlandaskan pada visi dan misi yang dikembangkan oleh Mahkamah Agung ini, Pengadilan Agama Depok mempunyai visi, yaitu: Mewujudkan Peradilan Agama yang berwibawa dan bermartabat, serta terhormat dalam menegakkan hukum untuk menjamin keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.

Sementara misi Pengadilan Agama adalah, sebagai berikut: 1. Meningkatkan pelayanan penerimaan perkara.

2. membuka akses publik seluas-luasnya.

3. mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana, cepat dan biaya ringan

4. mewujudkan putusan/penetapan yang memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum, dan dapat dilaksanakan (eksekutabel).

5. meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.

6. meningkatkan pelaksanan pengawasan terhadap kinerja dan perilaku aparat Pengadilan agar berlaku jujur dan berwibawa serta agar Peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.24

23 Ibid.


(60)

3. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Depok

Wilayah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi Wilayah Kota Depok. Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6° 19’ 00” – 6° 28’ 00” Lintang Selatan dan 1° 60 43’ 00” - 160° 55’ 30” Bujur Timur. Secara geografis, Kota Depok berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan Jabodetabek. 25

Bentang alam kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah – perbukitan bergelombang lemah, dengan elavasi antara 50 – 140 meter di atas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Kota Depok sebagai wilayah tertunda di Jawa Barat, mempunyai luas sekitar 200,29 km².

Kondisi geografis dialiri oleh sungai-sungai besar, yaitu sungai Ciliwung dan Cisadane, serta 13 sub satuan wilayah aliran sungai. Di samping itu, terdapat pula 25 Situ. Data luas Situ pada pada tahun 2005 sebesar 169,68 Ha, dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar. Kondisi topografis berupa dataran rendah bergelombang dengan kemiringan lereng yang landai menyebabkan masalah banjir di beberapa wilayah, terutama kawasan

24 Ibid. 25

“Peta Yuridiksi Pengadilan Agama Depok”, diakses dari http://www.pa-depok.go.id/portal/yuridiksi-pa pada tanggal 27 Januari 2010


(61)

cekungan antara beberapa sungai yang mengalir dari Selatan menuju Utara: Kali Angkek, Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan, dan Kali Cikeas.26

C. Posisi Kasus Atau Duduk Perkara

Kasus pengampuan anak ini berawal pada tanggal 8 Maret 2007 di Pengadilan Agama Depok. Pada tanggal tersebut, terlah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Depok Nomor Perkara 16/Pdt.p/2007/PA DPK tanggal 9 Maret 2007. Adapun posisi atau permasalahan dalam permohonan ini adalah tentang tiga orang anak, masing-masing bernama Yusi Suharyono berumur 12 tahun (berinisial YS), Jelita Listia, berumur 7 tahun (berinisial JL), dan Wulandari Agustin, berumur 4 tahun (berinisial WA), yang hendak diwalikan oleh Pemohon berinisial SO.27 YS telah bersekolah di tingkat SMP, JL di tingkat SD, sementara WA belum memasuki jenjang pendidikan sama sekali.

Jauh sebelum ketiga anak ini dilahirkan, kedua orang tua anak tersebut (masing-masing bernama Bambang Sunaryo bin Kabar (inisial BS) dan Silistiyowati binti Sutarmin (inisial SS) tersebut telah melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pasar Rebo, jakarta Timur, Kutipan Akta Nikah Nomor: 453/59/X/1994, tanggal 17 Okotober

26 Ibid. 27

Untuk nama sengaja dirahasiakan oleh Pengadilan Agama Depok, sehingga penulis pun, untuk tulisan selanjutnya, tidak mencantumkan nama asli pihak-pihak yang bersangkutan dalam Putusan ini, kecuali hanya inisial saja.


(62)

1994, pada tanggal 15 Oktober 1994. Dalam perjalanan waktu, ketiga anak ini lahir dari hasil pernikahan keduanya.

Namun, karena terkena sakit, bapak dari anak-anak tersebut (BS) meninggal dunia pada tanggal 2 Mei 2005. Tak lama berselang, kira-kira dua tahun dari peristiwa meninggalnya BS, ibu (SS) dari ketiga anak tersebut meninggal dunia pada tanggal 26 Januari 2007. Dengan demikian, pada tanggal 26 Januari 2007, ketiga anak tersebut telah berstatus sebagai anak yatim piatu, karena kedua orang tuanya telah meninggal.

Atas dasar pertimbangan bahwa anak-anak tersebut masih dalam status belum dewasa, sehingga tidak dapat pertindak secara hukum (masih dalam pengampuan), maka adik dari SS, yaitu Sutrisno bin Sutarmin (inisial ST) yang berposisi sebagai paman mereka (anak-anak), usia 31 tahun, beragama Islam, pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA), pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Perumahan Kopassus Pelita I, Jalan Cempaka Blok C-8, RT 04/09, Kelurahan Sukarami, Kecamatan Cimanggis, Kotya Depok, mengajukan permohonan pengampuan anak-anak tersebut kepada Pengadilan Agama Depok.

Pengajuan tersebut diajukan oleh Pemohon dengan beberapa alasan, di antaranya adalah:

1. Gaji Pemohon setiap bulannya sebesar Rp. 1.200.000 (Satu juta dua ratus ribu rupiah);

2. Harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua ketiga anak tersebut berupa 1 (satu) buah rumah dan kontrakan 4 (empat) pintu. Hasil


(63)

kontrakan tersebut setiap bulannya adalah Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

3. Ibu dari ketiga anak tersebut mempunyai hutang di bank dengan cicilan sebesar Rp. 7.00.000,- (tujuh ratus ribu rupiah), sehingga menyisakan uang sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) yang dipegang oleh nenek ketiga anak tersebut.

Selain itu, Pemohon juga mengajukan beberapa alasan, di antaranya:

1. Bahwa kedua orang tua ketiga anak tersebut yang bernama BS telah meninggal dunia pada tanggal 2 Mei 2005 karena sakit dan SS telah meninggal pada tanggal 26 Januari 2007 karena sakit;

2. Setelah kedua orang tua dari ketiga anak tersebut meninggal dunia, ketiganya berada di bawah pengasuhan dan pemeliharaan Pemohon dan isteri Pemohon;

3. Ketiga anak tersebut masih memerlukan bimbingan dan perlindungan serta pendidikan untuk masa depan mereka;

4. Ketiga anak tersebut merasa lebih dekat dengan Pemohon dan isteri Pemohon;

5. Untuk menjamin dan terlindungnya kepentingan hukum dari ketiga anak tersebut sampai dewasa, baik di dalam maupun di luar pengadilan, Pemohon bersedia menjawi Wali Pengampu dari ketiga anak tersebut; 6. Hubungan Pemohon dengan ketiga anak tersebut adalah sebagai paman,


(64)

7. Pemohon merasa dan mmapu menjadi Wali Pengampu dari ketiga anak tersebut, dan dari isteri Pemohon juga menyatakan bersedia membantu Pemohon dalam mengurus kepentingan ketiga orang anak tersebut;

8. Keluarga pemohon dan keluarga lain dari Almarhum BS telah sepakat menunjuk Pemohon sebagai wali pengampu dari ketiga anak tersebut.

D. Keputusan dan Pertimbangan Majelis Hakim

Penetapan Pengadilan Agama Depok Nomor Perkara 16/Pdt.p/2007/PA DPK tanggal 9 Maret 2007 terkait dengan permohonan Pemohon terhadap perwalian tiga orang anak. Dengan pertimbangan dan bukti yang telah diyakini oleh para hakim tentang kebenarannya, dan bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan Wali Pengampu terhadap (3) tiga orang yang bernama: YS (usia 12 tahun), JL (usia 7 tahun), WA (usia 4 tahun), maka Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok atas Perkara Nomor Perkara 16/Pdt.p/2007/PA Dpk, mengadili:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

2. Menetapkan Pemohon (ST) sebagai WALI PENGAMPU dari ketiga anak masing-masing bernama, YS usia 12 tahun, JL usia 7 tahun, dan WA usia 4 tahun;

3. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 166.000,- (seratus enam puluh enam ribu rupiah).

Penetapan yang telah diputuskan oleh Pengadilan Agama Depok ini didasarkan atas beberapa pertimbangan, di antaranya yang masuk dalam “hukumnya”


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian penulis dalam bab-bab sebelumnya, akan diambil beberapa kesimpulan dari penelitian ini, yaitu:

1. Pengampuan anak dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-harju, yaitu larangan seseorang yang dianggap tidak mampu melakukan tindakan hukum karena kekurangan yang dimilikinya, termasuk adalah anak kecil. Dalam hukum Islam, terutama dari kalangan Sunni, diakui bahwa yang paling berhak untuk menjadi wali pengampu anak yang belum baligh adalah bapak atau kakeknya, ataupun orang yang diberikan wasiat oleh keduanya ketiga keduanya meninggal (wali de jure). Namun demikian, Mahkamah atau pengadilan dapat menetapkan wali pengampu pengganti (wali de facto) ketika yang berhak untuk menjadi wali ini tidak ada. Sementara dalam konteks keindonesiaan, menurut Pasal 51 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 107 Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, perwalian adalah hak semua keluarga yang dianggap dekat dengan anak tersebut, asalkan ia dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.

2. Mengenai Penetapan Majelis Hakim dalam perkara Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk tentang penetapan wali pengampu kepada paman telah ini didasarkan


(2)

pada Pasal 51 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 107 Kompilasi Hukum Islam, bahwa wali berasal dari kerabat dan berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Selain itu, karena Pemohon (Sutrisno bin Sutarmin) merasa sanggup untuk memelihara dan menjadi wali pengampu bagi ketiga anak tersebut, maka Pengadilan telah memutuskannya sebagai Wali Pengampu.

3. Penetapan Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok tentang penetapan wali pengampu kepada Pemohon telah seiring dengan hukum Islam, dengan beberapa pertimbangan, yaitu: Pertama, Majelis Hakim atau Pengadilan berhak untuk menentukan wali pengampu de facto kepada Pemohon yang merasa lebih siap dari anggota keluarga yang lain. Kedua, Pemohon yang ditetapkan sebagai wali pengampu ini telah memenuhi syarat-syarat perwalian yang ditetapkan oleh hukum Islam. Ketiga, para saksi adalah orang-orang yang secara langsung mengetahui dan mengalami peristiwa-peristiwa hukum mengenai ketiga anak tersebut, serta menginginkan hal terbaik bagi ketiganya, sehingga adanya kecenderungan persekongkolan ataupun in-obyektifitas dalam memberikan keterangan pun terhindar. Keempat, Penetapan yang diberikan oleh Majelis Hakim ini adalah untuk kemashlahatan dan keberlangsungan kehidupan ketiga anak tersebut, yang telah ditinggal oleh kedua orang tuanya.


(3)

87

B. Saran-saran

Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan dalam penelitian ini adalah: 1. Kepada Mahkamah Agung, terutama Direktorat Jenderal Peradilan Agama,

hendaknya mensosialisasikan lebih luas tentang hukum Islam dan penerapannya di Pengadilan Agama, baik kepada para Hakim Agama ataupun kepada masyarakat luas. Sosialisasi dan penyebarluasan ini diharapkan akan meningkatkan kinerja para hakim dan penguasaannya dalam hukum Islam, serta mendukung proses persidangan di Pengadilan Agama.

2. Kepada para hakim Pengadilan Agama di seluruh Indonesia hendaknya meninjau kembali ketetapan-ketetapan hukum Islam yang telah dibuat oleh para Ahli Fikih. Meskipun tidak dijadikan rujukan utama, tetapi menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan, karena ketika Putusan atau Penetapan Majelis Hakim seiring dengan hukum Islam, maka legitimasinya pun lebih diakui.

3. Untuk para orang tua, hendaknya menetapkan wasiat terkait dengan urusan anak, terlebih ketika terdapat anak-anak yang berada di bawah umur. Hal ini menjadi penting mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang tidak terlalu senang berurusan dengan hukum, seperti pengadilan. Artinya, dengan adanya wasiat, setidaknya tidak perlu untuk bermusyawarah ataupun sampai bertengkar dalam menentukan hak perwalian ini.


(4)

Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakata: Pustaka Pelajar, 2004, cet. V.

Baderin, Mashood A., Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, penerjemah Musa Kazhim dan Edwin Arifin. Jakarta: Komnas HAM RI, 2007.

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Profil Peradilan Agama, (Jakarta: Dirjen Peradilan Agama, 2006), h. 2.

Fashl, Ali Abu, Syahadatu al-Nisa’ fi al-Fiqh al-Islami, dalam Majallat Jamiah al-Dimasyqa, (Damaskus), edisi 17 Nomor 2 Tahun 2001.

Fauzan, M., Pokok-pokok Hukum Acara Perdata dan Mahkamah Syariah. Jakarta: Prenada Media, 2007, cet. III.

Fyzee, Asaf A.A., Pokok Hukum Islam I, penerjemah Arifin Bey. Jakarta: Tintamas, 1959.

Ghazaly, Abdurrahman, Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2003, cet. I. Harahap, Yahya, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama:

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Jakarta: Pustaka Kartini, 1997.

Khalaf, Abdul Wahab, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati. Kuwait: Dar al-Qalam, 1990), cet. II.

Madzkur, Muhammad Salam, Peradilan dalam Islam, penerjemah Imron AM. Surabaya: Bina Ilmu, 1993.

Marwazi al, Imam Abu Abdullah Muhammad ibn Nashr, Ikhtilaf Ulama’. Beirut: ‘Alam al-Kutub, tth.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab. Penerjemah Masykur AB, dkk. Jakarta: Lentera, 2001.


(5)

89

Muhammad, Rusjdi Ali, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi, dan Implementasi: Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Ciputat: Logos, 2003.

Nurruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata islam di Indonesia. Jakarta: Prenada, 2006, cet. III.

Penetapan Perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Depok, h. 5.

Pengadilan Agama Depok, “Peta Yuridiksi Pengadilan Agama Depok”, diakses dari http://www.pa-depok.go.id/portal/yuridiksi-pa pada tanggal 27 Januari 2010

_________, “Profil Pengadilan Agama Depok”, diakses dari http://www.pa-depok.go.id/portal/profil-pa pada 27 Januari 2010.

_________, “Visi dan Misi Pengadilan Agama Depok”, diakses dari http://www.pa-depok.go.id/portal/visi-dan-misi pada 27 Januari 2010.

Qurthubi al, Syamsuddin, Jami’ li Ahkami Qur’an, tahqiq Hisyam Syamir al-Bukhari. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1423 H/2003 M, juz III.

Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, cet. V

Rusyd Ibnu, Imam al-Qhadi Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad ibn Muhammad, Bidayatu al-Mujtahid. Beirut: Dar al-Fikr, tth, juz II.

Shihab, Muhammad Qurash, “Wali dan Kewalian Perspektif al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an, Vil. II, Nomor 1 Tahun 2007.

Simanjuntak, P.N.H., Pokok-pokok Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), h. 26.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, cet. VIII.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Prenada, 2006.

Wahjono, Padmo, Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa Depan, dalam Amrullah Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam dalam


(6)

Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, SH. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Zahrah, Imam Abu, al-Ahwal al-Syakhsiyyah. Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1950. Zein, Satria Effendi M., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta:

Prenada Media, 2004, cet.. II

Zuhaily, Wahbah, Kebebasan dalam Islam, penerjemah Ahmad Minan dan Salafuddin Ilyas. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.

Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Pasal 49 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (HIR/ R.Bg)


Dokumen yang terkait

Status anak akibat pembatalan perkawinan analisis putusan pengadilan agama depok nomor 1723/pdt.g/2009 pa.dpk

5 28 104

Putusan verstek pengadilan agama depok dalam perkara cerai gugat : analisa putusan pengadilan agama depok perkara no. 1227/pdt.g/2008/pa.dpk

4 21 94

Saksi dari pihak keluarga dalam gugat cerai menurut hukum islam dan hukum acara perdata: studi kasus putusan pengadilan agama Tangerang perkara nomor: 221/Pdt.G/2008/P.A Kota Tangerang Banten

0 13 76

Pencabutan hak asuh anak dari Ibu : Studi analisis putusan pengadilan agama Depok Nomor 430/Pdt.G/2006/PA.Dpk

1 15 74

Penyelesaian perkara syiqaq : analisis putusan pengadilan agama sumber Cirebon nomor 011s/pdt.g/2009/pa,sbr

1 9 120

Izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan Jiwa : studi analisis terhadap putusan perkara nomor 0284/pdt.G/2008/pa..jt.di pengadilan agama jakarta timur

2 18 88

Ketidaksanggupan suami dalam melunasi hutang istri sebagai sebab pengajuan perceraian: analisis putusan pengadilan agama depok nomor.826/pdt.g/2009/pa dpk dan jakarta timur nomor.154/pdt.g/2009/pa jt

0 9 94

Wali pengampu pada paman dari pihak Ibu dalam tinjauan hukum islam : studi putusan pengadilan agama depok nomor 16/pdt.p/2007/pa dpk

0 9 103

Potensi perjanjian dalam perkawinan Poligami : studi analisis putusan pengadilan agama bekasi nomor 184/pdt.G/PA.Bks

1 8 89

Putusan pengadilan negeri nomor: 61/PID.B/2011/PN.PWR tentang pencurian disertai pembunuhan berencana dalam tinjauan hukum pidana islam

0 24 0