BAB II PERWALIAN PENGAMPUAN ANAK DALAM FIKIH
DAN TATA HUKUM DI INDONESIA
A. Pengertian dan Cakupan Perwalian dalam Hukum Islam
Seyogyanya, seorang anak menjadi tanggungjawab kedua orang tua, baik dari sisi pemeliharaan, pendidikan, ataupun pemenuhan kebutuhan yang lain sampai ia
dewasa. Dalam hal inilah, menurut konsep hukum Islam, terdapat istilah hadhanah yang berarti merawat dan mendidik anak yang belum mumayyiz atau kehilangan
kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan keperluannya.
1
Mengutip dari Abd. Rahman Ghazali, wali memiliki arti yang beragam, yaitu: 1.
Orang yang menurut hukum agama atau adat diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa
2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah, yaitu yang melakukan
janji nikah dengan mengantin laki-laki. 3.
Kepala pemerintah.
2
Kata wali terdiri dari tiga huruf, yaitu: waw, lam, dan ya’. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti: pendukung, pembela, pelindung, yang
1
Amiur Nurruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada, 2006, cet. III, h. 293.
2
Abd. Rahman Ghazalia, Fiqh Munakahat, Jakarta Prenada Media, 2003, h. 165
12
mengurus, yang menguasai, yang mencintai, lebih utama, teman, anak paman sepupu, tetangga. Kata yang terdiri dari tiga huruf ini juga sering digunakan untuk
menggambarkan sesuatu yang bertentangan, yaitu menjauh atau berpaling. Pun juga sering diartikan dengan penguasa.
3
Adanya konsep perwalianpengampuan ini berangkat dari suatu ketetapan bahwa seseorang yang hendak melakukan suatu tindakan hukum harus berkuasa
mempunyai wilayah atas suatu akad, sehingga ia mampu untuk melaksanakan hukumnya. Kekuasaan seseorang tersebut, baik karena ia sebagai pemangkupemilik
akad tersebut dan memiliki ahliyyah, sehingga ia mampu pula untuk melakukan tindakan hukum atas dirinya sendiri, atau pun karena ia menjadi wakil nai`ban
seseorang ataupun menjadi wakil wakilan dalam suatu akad.
4
Menurut Abu Zahrah, kekuasaan seseorang wilayah tersebut terbagi menjadi dua, yaitu perwalian qashirah dan perwalian muta’addiyah. Wilayah al-qashirah
adalah ketiak seseorang mampu untuk melaksanakan tindakan hukum atas dirinya sendiri, yaitu ketika terpenuhi semua syarat dan rukunnya, sementara wilayah al-
muta’addiyah adalah ketika seseorang tidak mampu menjalankan tindakan hukum
dan harus diwakilkan kepada seseorang.
5
Untuk itu, wilayah al-muta’addiyah terbagi menjadi dua, yaitu perwalian atas harta benda dan perwalian atas diri manusia yang
3
Muhammad Qurash Shihab, “Wali dan Kewalian Perspektif al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an,
Vil. II, Nomor 1 Tahun 2007, h. 9.
4
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1950, h. 107
5
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 108.
11
sering terjadi dalam pernikahan. Hal senada juga dikemukakan oleh Asaf A.A. Fyzee, bahwa perwalian terbagi menjadi perwalian atas orang, perwalian atas harta benda
dan perwlaian dalam perkawinan.
6
Sementara terkait dengan pengampuan, dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-hajr. Al-harju terbatas pada tindakan hukum, baik dalam ucapan ataupun
tindakan, seseorang yang berada dalam pengampuan, baik karena safih bodoh, masih anak-anak, kegilaan, atau karena lilitan hutang.
7
Al-hajru pada asalnya berarti menghalangi. Dengan demikian, al-harju berarti menghalangi seseorang untuk
melakukan tindakan hukum berupa akad atau interaksi lain yang berbentuk ucapan.
8
Ada beberapa ayat yang mendasari perwalian dalam Islam, di antaranya adalah QS. Al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi:
… ⌧
☺ ☺
…
ةﺮﻘﺒﻟا :
٢٨٢
Artinya: ....Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
keadaannya atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.... QS. Al-Baqqarah2: 282
6
Asaf A.A. Fyzee, Pokok Hukum Islam I, penerjemah Arifin Bey, Jakarta: Tintamas, 1959, h. 259
7
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 437.
8
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, Kuwait: Dar al-Qalam, 1990, cet. II, h. 214
Selain itu, terdapat pula firman Allah SWT dalam surat al-Nisa’4 ayat 5 dan 6, yang berbunyi:
⌧ ☺
. ☺
⌧ ⌧
⌧ ☺
⌧ ⌧ ءﺎﺴﻨﻟا
: ۵
- ٦
Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta mereka yang ada dalam kekuasaanmu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian
dari hasil harta itu dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas pandai memelihara harta, Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta
anak yatim lebih dari batas kepatutan dan janganlah kamu tergesa-gesa membelanjakannya sebelum mereka dewasa. barang siapa di antara
pemelihara itu mampu, Maka hendaklah ia menahan diri dari memakan harta anak yatim itu dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta
itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi tentang penyerahan itu
bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas atas persaksian itu. QS. Al-Nisa’4: 5-6
Menurut Ahmad Rafiq, beberapa ayat di atas menunjukkan peran, kewajiban dan hak-hak wali terhadap anak dan harta yang di bawah perwaliannya. Selain
berbicara tentang seseorang yang tidak mampu secara akal terutama seseorang yang berhutang, ayat-ayat tersebut di atas juga mengisyaratkan suatu ketetapan bahwa
anak-anak yatim tidak boleh mentransaksikan hartanya sendiri, kecuali oleh seseorang yang bertindak sebagai wakil atau walinya.
9
Abdul Wahab Khalaf juga menyebutkan, QS. Al-Nisa’4 ayat 5 dan 6 di atas menunjukkan bahwa Allah melarang untuk menyerahkan harta benda kepada
seseorang yang belum sempurna akalnya sufaha’, karena pemberian tersebut hanya akan menyebabkan kehilangan atau kerusakan harta tersebut. Pun demikian jika suatu
hubungan bisnis atau perniagaan, hendaknya tetap dipegang oleh walinya, yang menjualbelikan harta tersebut.
10
Penetapan tersebut bukannya tanpa alasan. Sebagaimana dikemukakan pula oleh Abdul Wahaf Khalaf, bahwa dalam pensyariatan perwalian ini terdapat hikmah
tasyri’ di dalamnya. Bahwa jika seseorang yang dalam kondisi lemah atau kurang
sempurna akalnya, ia tidak akan mampu untuk menilai sesuatu dan tidak akan nampak gambaran ridha atau tidaknya. Orang yang kurang akalnya sama saja dengan
9
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, cet. IV, h. 260.
10
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 215.
orang yang kurang waras, sementara anak kecil tidak akan bisa memilih dan menentukan suatu kemaslahatan. Maka itu, dengan pertimbangan dan kemashlahatan
tersebut, Syariat Islam tidak membolehkan melarang keduanya untuk melakukan tindakan hukum. Pelarangan tersebut hanya untuk menjaga dan melindungi keduanya
dari suatu bahaya atau kecelakaan.
11
Untuk itu, beberapa aspek yang berkaitan dengan siapa saja yang harus diwalikan dalam tindakan hukum akan dijelaskan berikut ini:
1. Anak Kecil
Belum dewasa menjadi salah satu sebab seseorang dalam pengampuan, sehingga ia tidak boleh untuk melakukan tindakan hukum. Hal
ini didasarkan pada suatu alasan bahwa anak kecil masih dianggap lemah, belum sempurna akal dan pelaranannya, sementara dalam perjanjian atau
interaksi hukum yang menjadi dasar adalah pertimbangan akal dan keridhaan. Jika tidak terdapat akal atau kurang akalnya, maka hilanglah keharusan
transaksi tersebut. Para ulama mazhab sepakat bahwa wali anak kecil adalah ayahnya,
sedangkan ibunya tidak mempunyai hak perwalian, kecuali beberapa mazhab Syafi’i. Imamiyyah dan Syafi’i menyatakan bahwa seorang anak yang telah
mencapai usia sepuluh tahun, wasiatnya dalam hal kebajikan dan kebaikan
11
Ibid., h. 215.
dinyatakan sah. Beberapa ulama Imamiyyah pun menyatakan thalak yang dilakukan oleh anak seumur 10 tahun pun sah.
12
Anak kecil tersebut pun terbagi menjadi dua, yaitu anak kecil yang betul-betul belum memiliki ahliyyah
dan anak kecil yang tidak hilang sepenuhnya ahliyah-nya. Hal ini dasarkan pada usia anak tersebut dan
kemampuannya untuk membedakan mana yang baik atau yang buruk mumayyiz. Anak yang belum mencapai mumayyiz, menurut Abu Zahrah
minimal adalah kurang dari tujuh tahun, maka ia kehilangan secara penuh ahliyahnya. Sementara anak yang telah mencapai usia mumayyiz atau ia telah
lebih dari tujuh tahun, maka ia tidak kehilangan secara penuh ahliyahnya, tetapi dalam kondisi kurang. Dalam hal-hal tertentu, anak tidak kehilangan
secara penuh ahliyahnya atau yang telah mencapai mumayyiz dapat melakukan tindakan hukum, terkhusus pada hal-hal yang bermanfaat baginya
dan tidak ada bahaya.
13
Terkhusus untuk anak kecil yang telah mumayyiz ini, para ulama fikih berbeda pendapat. Menurut kalangan Hanafi, sah hukumnya, meski tanpa
seizing wali, asalkan sesuatu yang bermanfaat, seperti menerima hibah,
12
Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur AB, dkk, Jakarta: Lentera, 2001, h. 684.
13
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h. 440; Menurut Muhammad Jawad al- Mughniyyah, Al-shabiyyi al-mumayyiz, seorang anak yang telah mampu membedakan mana yang
berbahaya dan mana pula yang bermanfaat dan pengertian umum, mana yang disebut jual beli, mana yang disebut dengan sewa menyewa dan mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan.
Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima MAzhab,h. 265.
wasiat, dan wakaf tanpa penggantian. Namun dalam hal jual beli,maka tidak sah kecuali dengan izin walinya. Mazhab Hanbali menyatakan bahwa sah jika
mendapatkan izin wali, sedangkan yang belum mumayyiz, sah jika dalam urusan yang remeh, sekalipun tidak memperoleh izin dari wali, seperti
membeli permen dan barang-barang lain yang biasa dibeli oleh anak kecil. Mazhab Syiah Imamiyyah dan mazhab Syafi’i mengatakan, bahwa semua
bentuk mualamah anak kecil secara keseluruhan tidak disyariatkan. Baik itu yang penting, seperti jual beli, ataupun urusan-urusan yang remeh.
14
2. Safih
Safih adalah seseorang yang tidak baik dalam membelanjakan
bertransaksi hartanya atau pemeliharaannya, atau menginfakkan hartanya pada sesuatu yang tidak layak untuk disedekahkan. Pengampuan atas
seseorang yang dinyatakan safih ini menjadi kesepakatan Jumhur Ulama.
15
Kesafihan dapat saja menyatu dengan kepandaian dan akal. Safih adalah orang yang tidak cakap mengelola harta dan membelanjakan secara baik, baik dia
mempunyai kecakapan tetapi tidak digunakan ataupun karena betul-betul tidak memiliki kecakapan.
16
14
Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima MAzhab,h. 265.
15
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h. 451.
16
Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima MAzhab,h. 288.
Selain itu, terdapat pula orang yang selalu lalai dalam hartanya. Orang yang lalai tersebut sama statusnya dengan safih, yaitu karena keburukannya
dalam mengatur dan memelihara hartanya. Perbedaannya adalah bahwa pada safih terkadang masih terdapat pikiran dan akal, namun secara alamiah ia
cenderung merusak hartanya tersebut. Sementara pada seseorang yang lalai, ia tidak cenderung merusak hartanya tetapi bodoh dan tidak perhatian.
17
3. Orang Gila
Orang gila dilarang menggunakan hartanya berdasarkan nash dan ijma, baik gila itu akut ataupun temporal. Gila secara temporal dan ia menggunakan
hartanya dalam kondisi sadarasehat, maka akadnya sah. Hal ini didasarkan pada bahwa berakal sehat adalah salah satu syarat
syahnya hubungan muamalah. Orang yang tidak sadar dan mabuk, hukumnya sama dengan orang gila. Namun jika seorang gila tersebut berhubungan badan
dengan perempuan dan hamil, anaknya masih tetap dinasabkan kepada bapaknya, karena terhitung persetubuhan syubhat.
18
4. Orang yang Berhutang
Dalam Islam, jika seseorang yang berhutang tidak mau membayar hutangnya atas dasar kesengajaan, maka orang yang dihutangi al-da’in
boleh mengajukan ke pengadilan dan memperkarakannya, karena
17
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h. 451.
18
Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima MAzhab,h. 283.
memperpanjang hutang adalah kezhaliman. Namun demikian, menurut Abu Zahrah, para fuqaha bersepakat bahwa seseorang yang berhutang berhak atas
pengampuan dan jualbelikan hartanya. Pendapat Jumhur ini berbeda dengan Abu Hanifah. Menurut Abu Hanifah, meskipun berada dalam pengampuan,
orang yang bertindak sebagai pengampu tidak boleh menjualbelikan hartanya orang yang berhutang. Pengampuan ini terjadi ketika hutang yang dimiliki
seseorang tersebut telah menutupi seukuran semua hartanya dan pengampuan itu pun harus ditetapkan oleh pengadilan.
19
B. Urutan Perwalian Anak Menurut Fikih dan Syarat-syaratnya