memperpanjang hutang adalah kezhaliman. Namun demikian, menurut Abu Zahrah, para fuqaha bersepakat bahwa seseorang yang berhutang berhak atas
pengampuan dan jualbelikan hartanya. Pendapat Jumhur ini berbeda dengan Abu Hanifah. Menurut Abu Hanifah, meskipun berada dalam pengampuan,
orang yang bertindak sebagai pengampu tidak boleh menjualbelikan hartanya orang yang berhutang. Pengampuan ini terjadi ketika hutang yang dimiliki
seseorang tersebut telah menutupi seukuran semua hartanya dan pengampuan itu pun harus ditetapkan oleh pengadilan.
19
B. Urutan Perwalian Anak Menurut Fikih dan Syarat-syaratnya
Menurut Asaf A.A. Fyzee, dalam hukum Sunni, bapak adalah wali dari anak yang belum dewasa dalam hal harta benda. Jika bapak tidak mungkin untuk
melakukankkannya, baik karena telah meninggal dunia atau karena halangan lain, sehingga hilang ahliyah-nya, maka orang-orang yang berhak untuk menjadi wali,
dengan urutannya, adalah: penyelenggara eksekutor hak-hak bapak, bapak dari bapak kakek anak tersebut, dan penyelenggara dari hak-hak kakek tersebut.
20
Menurut A.A. Fyzee pula, harus diakui bahwa dalam hukum Islam, terutama Sunni, tidak mengenal adanya perwalian untuk keluarga selain ayah, seperti ibu,
19
Ibid., h. 155; lihat pula, Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariah al-Islamiyyah,
h. 216-218.
20
Asaf A.A. Fyzee, Pokok-pokok Hukum Islam, h. 264-25
paman ataupun saudara laki-laki, untuk bertindak sebagai wali yang sah. Namun, karena berbagai pertimbangan dan kemashalahan, mereka dapat menjadi wali dengan
diangkat oleh suatu Mahkamah atau Pengadilan.
21
Namun, dalam hal demikian Asaf mengkategorikan bentuk perwalian tersebut menjadi dua, yaitu wali secara de facto dan wali secara de jure. Wali de facto adalah
mereka yang merasa sanggup untuk mengemban tanggungjawab sebagai wali dan mengajukan permohonan kepada Mahkamah. Dengan demikian, orang tersebut
mampu menjadi pelaksana dan penanggungjawab atas harta benda seorang anak tersebut. Wali de facto ini hanyalah bertindak sebagai wali atas perseorangan atau
harta benda seorang yang belum dewasa dan tidaklah mempunyai hak apapun juga, melainkan sebaliknya mempunyai kewajiban-kewajiban.
22
Sebagaimana diutarakan di atas, seseorang yang tergolong anak kecil, orang gila atau kurang waras, maka tidak berhak untuk melakukan tindakan hukum al-
mahjur . Maka itu, senada dengan apa yang dinyatakan oleh Asaf A.A. Fyzee di atas,
menurut Abdul Wahab Khalaf, tindakan hukumnya harus dilakukan oleh salah satu dari enam orang yang secara berurutan tartib adalah: ayah, orang yang diberi wasiat
oleh ayah eksekutor, kakek, orang yang diberi wasiat oleh kakek eksekutor, seorang qhadi hakim ataupun seseorang yang diberikan wasiat oleh qhadihakim
21
Ibid., h. 265.
22
Ibid., h. 166.
tersebut.
23
Eksekutor yang dimaksud oleh Asaf A.A. Fize di atas adalah orang yang diwasiatkan adalah orang yang dipilih oleh bapak untuk menjadi wali dari anak
sebagai penggantinya bapak setelah kematiannya. Perwalian ini hanya terbatas pada pemeliharaan dan perlindungan atas harta saja.
24
Dalam konteks seseorang yang safih atau lalai, maka perwaliannya berada pada tangan hakim, serta seseorang yang nantinya akan ditunjuk oleh hakim,
meskipun bapak atau kakeknya ada. Perwalian ini sampai kesafihannya hilang dan sehat. Dengan pendapat dari Ibnu Abidin dalam al-Durr al-Mukhtar, Abu Zahrah
menyebutkan bahwa hukum seseorang yang safih dan lali ini sama dengan hukum anak kecil yang belum baligh tetapi telah mencapai usia mumayyiz. Hanya saja,
yang membedakannya adalah bahwa bapak dan kakeknya tidak boleh menjadi walinya kecuali hakim. Alasannya adalah karena seorang yang safih atau lalai, telah
dianggap dewasa, sehingga hilang hak perwalian seorang ayah atau kakek. Kecuali, jika ia ternyata gila atau tidak waras, maka perwalian kembali kepada ayah atau
kakeknya, seperti halnya anak kecil.
25
Sementara bagi anak kecil, atau orang yang terhukumi sama, seperti orang gila atau kurang waras, maka kewaliannya tetap berada pada wali seperti yang
disebutkan di atas, yaitu bapak, orang yang diberi wasiat eksekutor, kakek, ataupun
23
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 222.
24
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 224.
25
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 465.
orang yang diberi wasiat oleh kakek eksekutor.
26
Sementara menurut mazhab Maliki, hak perwalian hanya ada pada bapak anak tersebut dan orang yang diberikan
wasiat, serta pada hakim atau yang diberikan wasiat oleh hakim.
27
Dalam pandangan mazhab Maliki, yang juga diikuti oleh Hanbali mazhab Imam Ahmad bin Hanbal, seorang kakek tidak masuk dalam urutan perwalian
setelah bapak. Jika pun hakim yang menentukan perwaliannya, maka posisinya tidak sebagai wali de jure menggunakan istilah Asaf A.A. Fyzee. Dalam pernikahan
kakek tidak berhak atas perwalian anaknya, maka dalam hal harta benda pun demikian. Mazhab Syafi’i berpandangan seperti yang disebutkan di atas, bahwa
urutan wali adalah bapak, kakek, dan orang yang diberikan wasiat. Maka itu, menurut pandangan mazhab Syafi’i, ketika bapak tidak ada, maka perwalian secara
otomatis jatuh kepada kakek. Hal ini didasarkan pada kedekatan hubungan
keduanya.
28
Selain mazhab Syafi’i, pendapat yang mirip juga dikemukakan oleh ahli hukum dari mazhab Hanafi, bahwa perwalian berada pada bapak, orang yang diberi
wasiat, kakek dan orang yang diberi wasiat oleh kakek. Berbedaan keduanya, Syafi’i memposisikan orang yang diberikan wasiat di belakang kakek, sedangkan Syafi’i
26
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 222.
27
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 466.
28
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 466.
memposisikannya tepat di belakang bapak. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa bapak adalah lebih cocok dan tahu dengan kondisi anak tersebut.
Ada beberapa syarat dalam perwalian, terutama orang yang menjadi wali dalam urusan harta benda. Di antaranya adalah syarat umum, seperti sempurna
ahliyyah -nya kemampuan untuk bertindak hukum, berakal, baligh, merdeka,
kesamaan agama antara wali dan orang yang berada dalam pengampuan kecuali jika hakim, maka tidak diharuskan adanya kesamaan agama.
29
Seorang bapak yang berhak menjadi wali bagi anaknya adalah yang diketahui adil ‘adalah dan tidak pula terindikasi keadilannya tersebut hilang. Jika seorang
bapak tersebut adil, maka anak-anak, baik yang laki-laki atau perempuan, yang ada dalam pemeliharaannya atau dalam pemeliharaan orang lain. Jika seorang bapak
tersebut kurang baik dalam mengurus harta dan buruk akalnya, ia tetap berhak atas pemeliharaan harta anaknya tersebut, namun tidak semutlak bapak yang adil. Suatu
bisnis atau perniagaan yang boleh dilakukan hanyalah perniagaan yang jelas-jelas menguntungkan dan jelas manfaatnya bagi anak tersebut. Namun jika jelas-jelas
bapak tersebut menyia-nyiakan atau menghambur-hamburkan harta anaknya tersebut, maka hendaknya perwalian atasnya digantikan dengan orang lain, seperti halnya
orang yang tidak mempunyai bapak.
30
29
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 222.
30
Ibid., h. 223.
Dari beberapa uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam hukum Islam, terutama seperti yang diutarakan oleh empat imam mazhab, yang paling
berhak atas perwalian dalam hal harta benda adalah bapak. Jika bapak tidak ada, dalam pandangan fikih, terjadi perbedaan. Menurut Hanafi, jatuh kepada orang yang
diberikan wasiat oleh bapak, kemudian kepada kakek, dan terakhir pada orang yang diberi wasiat oleh kakek. Syafi’i, ketika tidak ada bapak langsung pada kakek.
Sementara mazhab Maliki dan Hanbali menyebutkan bahwa kakek tidak berhak untuk menjadi wali. Selain itu, dalam hukum Islam, seorang hakim atau qhadi berhak
pula atas perwalian, terutama bagi mereka yang safih atau lalai. Perwalian ini juga boleh dilimpahkan hakim kepada seseorang yang dipercayainya.
C. Perwalian Anak dalam Tata Hukum di Indonesia: Tinjauan KHI, Undang-