Bencana Politik Domestik Myanmar dan Bencana

44 Gambar II.1 Peta Bencana Cyclone Nargis di kawasan Delta Ayeyarwady dan Divisi Yangoon Sumber: Myanmar Information Management Unit MIMU, Office of the UN Resident Coordinator, Myanmar United Nations Environment Programme C.1 Dampak Sosial Dalam sejarah negara Myanmar, Cyclone Nargis merupakan bencana alam paling berbahaya dan berdampak paling buruk. Bencana Cyclone Nargis memberi dampak buruk bagi kehidupan sosial masyarakat Myanmar, seperti kerusakan infrastruktur di Myanmar seperti di daerah bagian selatan Myanmar dikawasan Delta IrrawaddyAyeyarwaddy yaitu Rangoon Yangoon, Ayeyarwady, Labutta, Bogale yang mengalami kerusakan paling parah Zahler 2010, h.123. Rangoon Yangoon 45 sendiri merupakan kota terbesar dan pusat ekonomi Myanmar 6 . Daerah-daerah tersebut merupakan daerah komersil bagi perekonomian Myanmar, serta merupakan daerah pertanian paling subur di Myanmar. Semua sarana dan prasarana di daerah ini rusak akibat badai angin topan yang juga disertai dengan air yang terbawa oleh angin tersebut. Tidak hanya kerusakan fisik, korban jiwa pun tak terhindarkan. Kurang lebih 140.000 orang meninggal dunia, 53.836 orang hilang, 19.359 terluka. Dan total penduduk yang terkena dampak Cyclone Nargis ini sekitar 2.4 juta jiwa dan sekitar 7.35 juta jiwa akan hidup wilayah yang terkena bencana. Diperkirakan akan ada sekitar 800.000 orang terlantar dan 200.000 akan terus tinggal di pengungsian. Ada sekitar 37 kota di Myanmar yang terkena Cyclone Nargis terutama di negara bagian Rangoon Yangoon dan Ayeyarwady dan total kerusakan wilayah akibat Cyclone Nargis mencapai 23.500 km 2 Dampak sosial lain yang muncul akibat Cyclone Nargis dengan kerusakan infrastrukturnya adalah kecenderungan memburuknya hubungan antara kelompok- kelompok etnis dan agama yang menjadi korban Cyclone Nargis akibat tidak meratanya pemberian bantuan kemanusiaan The Tripartite Core Group comprised of atau hampir dua kali luas wilayah negara Libanon The Tripartite Core Group comprised of Representatives of the Government the Union of Myanmar, the ASEAN and the UN with support of the Humanitarian and development Community 2008, h. 1. 6 Myanmar merupakan negara yang secara administrasi terbagi menjadi 7 negara dan 7 negara bagian. Daerah yang terkena dampak paling parah dari bencana Cyclone Nargis adalah negara bagian RangoonYangoon dan Ayeyarwady. Negara bagian Rangoon termasuk 2 daerah yaitu kota juga desa Rangoon Yangoon. Sedangkan negara bagian Ayeyarwady kesemua daerahnya masih berupa desa yang mencakup seluruh wilayah didaerah Delta Ayeyarwady. 46 Representatives of the Government the Union of Myanmar, the ASEAN and the UN with support of the Humanitarian and development Community 2008, h. 21-22. C.2 Dampak Ekonomi Dari segi ekonomi, bencana Cyclone Nargis membawa dampak bagi penurunan Pendapatan Domestik Bruto PBD Myanmar Post Nargis Joint Assassement 2008. Diperkirakan Myanmar mengalami kerugian 2.7 persen dari PDB nasional tahun 2008. Adapun rincian kerugian paska Cyclone Nargis adalah sebagai berikut: Tabel II.1: Impact on GDP Nom inal GDP 2008 Kyat billion Gr oss Losses Value Added Coefficient s Value Added Losses I m pact on Sect or Tot al GDP Agr icult ur e 10,632 225 0.8 185 1.7 Livest ock and Fisher ies 2,330 160 0.6 98 4.2 I ndust r y 5,130 1,362 0.2 239 4.6 Com m er ce 6,708 461 0.7 334 5.0 Tot a l GD P 31,672 857 2 .7 Su m be r : Post N a r gis Join t 2 0 0 8 Econ om ic a nd Soia l I m pa ct a ft e r N a r gis Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa bencana Cyclone Nargis memberi dampak pada Pendapatan Domestik Bruto PDB Myanmar. Tercatat kerugian paling besar dialami sektor perdagangan dan pariwisata sebesar 5.0. Sektor industri mengalami kerugian sebesar 4,6, perikanan merugi 4,2 dan pertanian sebsar 1,7. Total PDB Myanmar merugi 2,7 akibat bencana Cyclone Nargis The Tripartite Core Group comprised of Representatives of the Government the Union of Myanmar, the ASEAN and the UN with support of the Humanitarian and development Community 2008, h. 1. 47 C.3 Dampak Politik Besarnya kerusakan yang diakibatkan Cyclone Nargis memberi dampak juga pada kehidupan politik domestik Myanmar. Dalam masa kurang dari satu tahun paska pergolakan politik tahun 2007, Cyclone Nargis kemudian menyerang Myanmar. Perbaikan kondisi politik paska demonstrasi tahun 2007 belum selesai terlaksana dan Myanmar harus dihadapi pada kerusakan wilayah dan infrastuktur. Pemerintah Junta Militer mengambil tindakan dengan menutupi peristiwa ini dari dunia internasional. Junta Militer merasa mampu menanggulangi dan menangani bencana ini. Tidak hanya menutupi peristiwa ini tetapi pemerintah Junta Militer juga menolak bantuan kemanusian dari berbagai pihak. Sikap pemerintah Junta Militer ini diambil berdasarkan prinsip politik luar negeri Myanmar yaitu isolasionisme. Tindakan yang dilakukan Junta Militer Myanmar mendapat protes keras dari dunia internasional khususnya PBB dan negara Barat. Hal ini dikarenakan pemerintah Junta Militer pada kenyataannya bersikap acuh terhadap warganya sendiri. Beberapa hari sebelum bencana terjadi, pemerintah India memperingati pemerintah Junta Militer Myanmar akan datangnya angin topan yang berasal dari Samudera Hindia. Namun peringatan pemerintah India ini diacuhkan oleh Junta hingga akhinrnya bencana tersebut menyerang Myanmar. Beberapa saat setelah bencana ini terjadi pemerintah Junta Militer yang umumnya berdomisili di ibukota negara tidak mengetahui peristiwa tersebut Jackson 6 Mei 2008. Pemerintah Junta Militer baru mengetahui bahwa Myanmar dilanda bencana besar. Pemerintah Junta Militer Myanmar tidak langsung melakukan penyelamatan, Junta malah mengeluarkan kebijakan yang menurut mereka sesuai dengan prinsip politik luar negeri Myanmar 48 yaitu isolasionisme, yaitu penutup diri dan akses bagi masuknya bantuan kemanusiaan. Meski pemerintah Junta Militer Myanmar telah mengetahui besarnya kerusakan dan dampak akibat Cyclone Nargis tersebut pemerintah Junta Militer tetap bersikeras mempertahankan prinsip isolasionisme. Penutupan akses masuknya bantuan kemanusiaan juga berdampak pada tertutupnya komunikasi dengan dunia luar. Namun peristiwa bencana ini tetap diketahui oleh dunia internasional. Myanmar menolak bantuan dengan alasan pemerintah Junta Militer mampu menganggulangi masalah ini sendiri. Melihat kenyataan lambannya penanganan bencana dari Junta Militer membuat pihak di luar Myanmar seperti PBB, ASEAN, negara-negara Barat, Timur dan sekitar Myanmar terus berusaha mendapatkan akses masuk bagi bantuan kemanusiaan untuk menekan jumlah korban yang meninggal. Negara tetangga Myanmar seperti India, Cina dan Thailand sejak bencana Cyclone Nargis menyerang Myanmar langsung mengirimkan bantuan kemanusiaan berupa makanan, obat-obatan dan relawan, namun pemerintah Junta Militer menolak bantuan tersebut dan menutup akses masuk bagi bantuan kemanusiaan. PBB dan ASEAN juga mengirimkan bantuan kemanusiaan yang juga ditolak oleh pemerintah Junta Militer. Bahkan Amerika Serikat menawarkan bantuan sebesar US40.1 juta Martin dan Margesson 2008 yang juga ditolak oleh pemerintah Junta Militer. Hal inilah yang membuat dunia internasional merespon keras sikap Junta Militer. Meski mendapat respon negatif pemerintah Junta Militer tetap pada keputusannya. Hingga 2 minggu paska Cyclone Nargis Junta Militer tetap memegang prinsip penutupan akses dan penolakan bantuan. PBB berinisiatif melakukan negosiasi dengan pemimpin Junta Militer yaitu Jenderal Than Shwe. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon turun 49 langsung melakukan negosiasi dengan Junta Militer. Setelah dua kali melakukan negosiasi akhirnya pada 23 Mei 2008 Junta Militer mau membuka akses dan menerima bantuan kemanusian. Namun Junta Militer mengajukan syarat-syarat kepada bantuan kemanusiaan yang masuk ke Myanmar. Bantuan berupa makanan dan obat-obatan harus melalui proses pemeriksaan terlebih dahulu serta pendistribusian bantuan tersebut dilakukan oleh pihak Junta Militer. Syarat-syarat tersebut tidak hanya berlaku bagi bantuan seperti makanan dan obat-obatan juga berlaku kepada para relawan. Relawan harus melalui proses pemeriksaan dan harus memiliki visa yang disetujui oleh Junta Militer. Respon Junta Militer terhadap Cyclone Nargis ini tidak hanya memberi dampak pada politik Myanmar dimata dunia internasional tetapi juga pada politik domestik Myanmar sendiri. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebelum Cyclone Nargis menyerang Myanmar di tahun 2008, terjadi pergolakan politik besar-besaran pada tahun 2007 dan hal ini menyisakan pekerjaan rumah bagi pemerintah Junta Militer. Kekacauan tahun 2007 membuat pemerintah Junta Militer menjanjikan untuk melakukan perubahan melalui jalan referendum dan memilih konstitusi baru untuk menentukan apakah rakyat Myanmar masih menginginkan kepemimpinan Junta atau tidak. Referendum tersebut direncanakan akan dilaksanakan pada 10 Mei 2008, namun bencana Cyclone Nargis menyerang Myanmar terlebih dahulu. Pemerintah Junta Militer mengatakan bahwa referendum tetap diadakan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Warga penentang pemerintah oposisi menolak pelaksanaan referendum seperti yang diungkapkan media massa yang dimiliki kelompok oposisi Myanmar yang penulis kutip dari Martin dan Margesson 2008, h.15 dalam jurnal 50 Congressional Research Service yang berjudul Cyclone Nargis and Burma’s Constitutional Referendum berikut ini: A May 5 editorial in the Irrawwady stated, “The response by the Burmese regime to this weekend’s cyclone disaster shows that the junta is incapable of running the country, let alone helping the victims”. The editorial called for the postponement of the referendum as did other voices within the Burmese opposition movement. A representative of the opposition-run media group, the Democratic Voice of Burma, said, “They [the SPDC] would be very stupid to go ahead with the it. Thousands of people are dying or missing. It is very difficult to get around or get food and water. How can people vote?”. On May 7, 2008, one of Burma’s leading opposition groups, the National League for Democracy NLD, issued a statement demanding that “the referendum be held simultaneously in all parts of the country once the conditions in the country have improved”. Martin dan Margesson 2008, h.15 Menurut sebuah editorial di negara bagian Irrawaddy menyebutkan bahwa respon pemerintahan Junta militer Myanmar terhadap bencana cyclone menunjukkan ketidakmampuan Junta menjalankan negara, apalagi membantu korban bencana sendiri. Editorial tersebut meminta agar diadakan penundaan dilakukannya referendum sebagaimana juga usulan dari gerakan oposisi Myanmar. Perwakilan oposisi dalam the Democratic Voice of Burma menyebutkan “Mereka Junta Militer dengan program SPDCnya akan sangat bodoh apabila menjalankan referendum tersebut. Ribuan orang tewas dan hilang akibat bencana. Sangat sulit untuk mendapatkan makanan dan air. Bagaimana mungkin mereka melakukan pemilihan?”. Pada 7 Mei 2008 salah satu pemimpin kelompok oposisi Myanmar, the National League for Democracy NLD mengeluarkan pernyataan “referendum akan dilaksanakan serentak di seluruh bagian negara ketika kondisi negara telah membaik Terjemahan Penulis. Pemerintah Junta Militer mengeluarkan pernyataan pada 6 Mei 2008 bahwa wilayah Rangoon dan Ayeyarwady yang memang mengalami kerusakan paling parah. Referendum akhirnya dilaksanakan pada 24 Mei 2008, namun pihak oposisi megatakan bahwa referendum ini diwarnai banyak pemyimpangan dan intimidasi. Setelah referendum ini Junta Militer mengeluarkan keputusan the SPDC issued Announcement No. 72008 yang meenyatakan bahwa 98,12 dari 27.288.827 pemilih telah memberikan suara, dan bahwa 92,48 telah memilih mendukung 51 penerapan konstitusi baru Martin dan Margesson 2008, h.15. Dan tak lama kemudian Junta Militer mengumumkan telah meratifikasi konstitusi baru tersebut. Konstitusi baru ini pada intinya tetap melegitimasi kekuasaan Junta Militer. Oleh karena itu banyak pihak khususnya oposisi yang menolak dan meminta diadakan pemilihan umum. Dan akhirnya pemilihan umum dilaksanakan pada 7 November 2010. Pemilu multipartai ini digelar dengan sistem yang dianggap lebih demokratis untuk memilih presiden. Pemilu ini dimenangkan oleh Thein Shein seorang mantan Jenderal Junta Militer. Namun, pemilu ini dianggap tidak dilakukan secara transparan. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon seperti dikutip kantor berita antara mengungkapkan kekecewaannya akan hasil pemilu Myanmar yang dianggap tidak transparan dan tidak membawa Myanmar pada transisi demokrasi Antara News , November 2010. Dengan segala perkembangan politik yang telah disebutkan di atas, pada intinya paska bencana Cyclone Nargis Myanmar mulai menunjukkan keinginan baik bagi kemajuan politik Myanmar. Melunaknya prinsip isolasionisme Junta Militer terlihat dari kesediaan Myanmar membuka akses bantuan bagi korban bencana. Selain membuka akses Myanmar juga membuka diri dengan mau melakukan negosiasi dengan banyak pihak seperti PBB dan ASEAN turut membuka kesempatan bagi masuknya pengaruh dari luar Myanmar. Pengaruh ini yang akhirnya mendorong Myanmar untuk melakukan perubahan seperti mengadakan pemilu demokratis tahun 2010. Walaupun hasilnya mengecewakan banyak pihak, setidaknya Myanmar sudah membuka diri terhadap kritikan dan pengaruh dari luar negaranya. 52

BAB III Humanitarian Intervention PBB

Pada bab ini penulis akan memaparkan tentang konsep humanitarian intervention dalam melihat respon yang dilakukan PBB untuk membantu Myanmar menanggulangi bencana Cyclone Nargis. Selain itu, penulis juga akan menjelaskan konsep Responsibility to Protect untuk menjelaskan bahwa alasan bantuan PBB di dorong oleh tanggung jawab PBB sebagai organisasi internasional dalam memberi perlindungan bagi keselamatan manusia dari ancaman atau tindakan buruk yang dilakukan oleh negara. Selanjutnya penulis juga akan berusaha memaparkan apa bentuk intervensi PBB tersebut serta bagaimana bentuk kerjasama PBB dengan ASEAN sebagai bentuk humanitarian intervention PBB untuk membantu krisis di Myanmar dan dalam menganggulangi bencana Cyclone Nargis di Myanmar.

A. Humanitarian Intervention dan Responsibilty to Protect R2P

Humanitarian Intervention bukanlah konsep baru dalam hubungan internasional. Humanitarian Intervention merupakan perkembangan dari konsep intervensi yang bermula dari meningkatnya kesadaran akan hak-hak yang harus dimiliki oleh manusia. Meningkatnya kesadaran akan hak-hak yang harus dimiliki manusia, menurut Burchill 2001, h.69 kesadaran tersebut muncul saat dunia mulai menghadapi krisis kemanusiaan yaitu sejak masa akhir Perang Dunia 2 dan di awal 1990an, dimana terjadi konflik di banyak negara khususnya negara dunia ketiga seperti di kawasan Asia dan Afrika, seperti di Rwanda 1994, Kosovo 1999 dan Darfur 2003 Pattison 2010. Kesadaran akan hak-hak manusia tersebut juga sesuai dengan teori liberalisme. Menurut Burchill 2001, h. 55 dalam liberalisme terdapat 53 penghargaan terhadap hak-hak manusia sebagai individu. Manusia sebagai individu harus bebas dari kesewenang-wenangan kekuasaan negara dan penganiayaan. Setiap individu berhak mendapatkan kebebasan politik, berdemokrasi, mendapat jaminan akan hak konstitusional, dan persamaan di mata hukum. Dalam konsep perdamaian menurut Immanuel Kant yaitu perpetual peace dikenal istilah cosmopolitan ethic yang merupakan solidaritas lintas batas negara, dimana bila ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia di suatu tempat, maka merupakan pelanggran ditempat lainnya Burchill 2001, h.58 Dalam kamus hubungan internasional humanitarian intervention diartikan sebagai: The coercive intrusion into the internal affairs of a state to protect large-scale, humanitarian rights violations. As such, it is to be distinguished from humanitarian ‘assistance’ which does not involve coercion and usually occurs with the consent of the target state. In other words, humanitarian intervention involves the use of armed forced by a state, a group of states or an international organization on the ground of humanitarianism with the specific purpose of preventing or alleviating widespread suffering or death. As with other varieties of intervention, this is the subject of dispute in international relations and law of the grounds that it is subversive: it threatens institutional basis of international order. Specifically, it is regarded as a threat to the foundational westphalian principle of sovereignty and its corollary, non interventions Evans dan Newnham 1998 h.231. Penggunaan kekerasan ke dalam urusan dalam negeri suatu negara untuk melindungi pelanggaran hak- hak asasi manusia dalam lingkup besar. Dengan demikian, sikap ini harus dibedakan dari humanitarian assistance bantuan kemanusiaan yang tidak melibatkan penggunaan senjata atau paksaan dan biasanya mendapat persetujuan dari target negara. Dengan kata lain, humanitarian intervention intervensi kemanusiaan melibatkan penggunaan senjata oleh negara, kelompok dalam negara, organisasi internasional yang berdasarkan kemanusiaan dengan tujuan khusus untuk mencegah atau meringankan penyebaran penderitaan atau kematian. Seperti intervensi yang lain, intervensi kemanusiaan ini menjadi perdebatan dalam hubungan dan hukum internasional karena dianggap bersifat subversive gerakan bawah tanah : mengancam tatanan dasar yang telah dibuat institusi internasional. Khususnya, prinsip intervensi kemanusiaan ini dianggap sebagai ancaman 54 terhadap prinsip dasar Westphalia tentang kedaulatan serta non intervensi Terjemahan Penulis. Dari pengertian menurut kamus hubungan internasional dapat disimpulkan bahwa konsep humanitarian intervention masih diperdebatkan karena dianggap melanggar ketetapan yang sudah disepakati sebelumnya oleh negara-negara di dunia seperti prinsip kedaulatan dan non-intervention Evans dan Newnham 1998 h.231. Prinsip kedaulatan sendiri diartikan sebagai kapasitas atau wewenang yang dimiliki sebuah negara atas orang-orang serta sumber daya di dalam wilayah negara tersebut. Meski tidak bersifat absolut, namun otoritas negara ini disahkan oleh konstitusi negara tersebut dikutip dari Report of The International Commission on Intervention and State Sovereignty 2001. Perdebatan konsep humanitarian intervention dengan kedaulatan adalah tentang siapa aktor yang paling pantas untuk melakukan intervensi tersebut. Menurut Dr. Ganewati 2011 dalam kasus intervensi aktor yang dianggap paling tepat melakukan tindakan tersebut adalah kelompok negara atau organisasi internasional seperti PBB. Hal ini karena jika intervensi dilakukan oleh suatu negara maka tujuan intervensi tersebut bukan bersifat kemanusiaan melainkan tujuan politik atau untuk kepentingan negara tersebut. Perdebatan lain yang muncul terkait humanitarian intervention dan kedaulatan adalah tentang aturan penerapan humanitarian intervention tersebut. Artinya seberapa lama tindakan humanitarian intervention tersebut dapat dilakukan. Aturan ini harus dibuat oleh negara yang di intervensi mengingat negara juga masih memiliki hak atas negaranya. Selain itu penerapan 55 humanitarian intervention ke dalam suatu negara dianggap perlu menilai kesiapan negara yang akan di intervensi, agar tidak menimbulkan masalah baru setelah intervensi dilakukan Dr.Ganewati 2011. Menurut Robertson 2002, h.429, konsep awal humanitarian intervention sudah diperkenalkan pada 1625, yaitu pada masa Grotious dalam De Jure Belli ac Paris atau Just War yang melegalkan hak untuk melakukan intervensi untuk mencegah perlakuan yang kejam dari negara terhadap warga negaranya. Pada 1904 Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt mengeluarkan pernyataan yang sama dengan Grotius yaitu bahwa intervensi terhadap negara berdaulat bertujuan untuk menghentikan kekejaman dan penindasan dari para penguasa atau pemilik kekuatan. Namun, pernyataan Grotious dan Roosevelt ini masih dikategorikan sebagai bagian dari konsep intervensi yang kemudian menjadi dasar bagi konsep humanitarian intervention . Konsep humanitarian intervention dianggap sebagai new interventionism dalam hubungan internasional terutama sejak paska Perang Dingin. Notoprayitno 2002, h.50 mengutip Penelope C. Simons mengatakan bahwa perdebatan mengenai konsep humanitarian intervention sebagai new interventionism terdapat dalam beberapa teori dalam hubungan internasional. Misalnya, menurut teori realis negara dianggap sebagai satu-satunya lingkungan yang bermoral yang bertujuan untuk mendapatkan keamanan demi kepentingan bangsa saja. Sedangkan intervensi kemanusiaan humanitarian intervention dianggap kurang penting bagi keseimbangan kekuatan negara dan dianggap melanggar aturan internasional. Sementara itu, kaum liberalis atau pluralis memandang masyarakat internasional