Pertanyaan Penelitian Kerangka Pemikiran

8 hanya masalah keamanan dan perdamaian, tetapi mencakup masalah politik, ekonomi, sosial, kemanusian dan sebagainya. Pada 24 Oktober 1945 dibentuklah The United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB. Pembentukan organisasi internasional seperti PBB juga didukung oleh aliran liberalisme klasik seperti Immanuel Kant. Menurut Kant, adalah penting untuk mengedepankan hukum internasional yang dijalankan oleh institusi internasional [seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa] Maliki 2008, h.78 guna menciptakan tatanan dunia yang lebih baik, damai, aman dan harmonis. Selain itu, dalam The Third Definitive Article for A Perpetual Peace, Kant dikutip dari Baylis and Smith 2005, h.189 menjelaskan tentang konsep kosmopolitan etik di mana tiap manusia punya kewajiban atas manusia lainnya dan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat harus ditanggapi dengan serius. Dari konsep tersebut, penulis menyimpulkan bahwa secara tersirat Kant menyetujui konsep pentingnya kerjasama yang terwujud dalam sebuah organisasi atau institusi internasional seperti PBB. Tujuan utama pembentukan PBB adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia, menjalin kerjasama di berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, perlindungan hukum, HAM dan lingkungan serta menjunjung tinggi harkat dan martabat setiap manusia dan negara-negara di dunia. Seperti tertuang dalam Preamble of the UN Charter Piagam PBB dikutip dari United Nations Information Centres yang menegaskan bahwa: We the peoples of the United Nations [are] determined to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large and small. Kami Perserikatan Bangsa-Bangsa berketetapan untuk kembali menguatkan 9 keyakinan kepada hak asasi manusia, dalam kerangka menghormati harkat dan martabat manusia, dalam kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan serta antara negara kecil dan negara besar. Terjemahan Penulis Inilah yang menjadi dasar bagi PBB untuk menjalankan tujuan utamanya sebagai organisasi pemelihara perdamaian dunia. Terkait dengan masalah bencana Cyclone Nargis di Myanmar, PBB sebagai organisasi pemelihara keamanan dunia harus mengambil bagian dalam penanganan masalah bencana alam ini. Sebuah negara yang mengalami bencana alam umumnya tidak mampu menangani akibat dari bencana secara efektif. Oleh karena itu bantuan dari negara lain atau organisasi internasional sangatlah dibutuhkan. Sebagai organisasi internasional, PBB harus melakukan tindakan nyata dalam penanganan tragedi kemanusiaan seperti bencana alam dan konflik. Dalam konteks bencana Cyclone Nargis ini PBB mengambil tindakan nyata yang didasarkan pada prinsip humanitarian intervention. Oleh karena itu, penulis menggunakan konsep kedua mengenai humanitarian intervention. Keberadaan PBB atau organisasi internasional dalam penanganan sebuah tragedi kemanusiaan apapun bentuknya merupakan satu wujud dari intervensi. R.J Vincent dikutip dari Bellamy 2003, h.3 mendefinisikan intervensi sebagai berikut: Activity undertaken by a state, a group within a state, a group of states or an international organization which interferes coercively in the domestic affairs of another states. … . It is not necessarily lawful or unlawful, but it does break a conventional pattern of international relations Vincent, 1974: 13. Aktivitas yang dilakukan oleh sebuah negara, oleh sebuah kelompok dalam negara tersebut, sebuah kelompok negara-negara atau sebuah organisasi internasional yang melakukan intervensi secara koersif dalam masalah domestik dari suatu negara. Tidak penting apakah intervensi ini sesuai atau tidak melanggar hukum, namun intervensi ini melanggar pola atau kebiasaan dalam hubungan internasional Terjemahan Penulis. 10 Vincent sendiri tidak menjelaskan arti humanitarian intervention secara terperinci. Namun, dari konsep intervensi klasik inilah konsep humanitarian intervention berkembang. Berawal dari banyaknya konflik atau perang yang terjadi di dunia, khususnya pada masa Perang Dunia II, konsep intervensi dan humanitarian intervention ini muncul dan berkembang. Theodore Roosevelt dalam Robertson 2002, h.429 pada tahun 1904 menyatakan bahwa melakukan intervensi terhadap negara berdaulat bertujuan untuk menghentikan kekejaman dan penindasan dari para penguasa atau pemilik kekuatan. Di saat sebuah negara dianggap tidak lagi mampu memberikan perlindungan kepada warga negaranya atau bahkan negara sendirilah yang menjadi aktor ‘kejahatan’ terhadap warga negaranya, maka perlu ada aktor lain di luar negara tersebut yang dapat menjadi mediator atau bagian dari penyelesaian sebuah tragedi kemanusiaan. Penerapan konsep intervensi ini pada dasarnya menghadapi kendala- kendala. Yaitu, intervensi dianggap bertentangan dengan moralitas serta prinsip non- intervention dan sovereignity kedaulatan yang juga sudah berkembang dalam hubungan internasional Pattison 2010. Namun, pada akhirnya konsep intervensi atau humanitarian intervention ini diterapkan juga oleh PBB dalam beberapa penanganan tragedi kemanusiaan seperti pada kasus krisis kemanusiaan di Rwanda tahun 1994, Kosovo tahun 1999 dan Darfur tahun 2003 Pattison 2010, h.1. Penerapan konsep ini tidak selalu berhasil, karena konsep humanitarian intervention ini di satu sisi dianggap menghilangkan kedaulatan sebuah negara namun di sisi lain penerapan konsep ini sangat dibutuhkan untuk kemanusiaan. 11 Perdebatan tentang konsep humanitarian intervention yang dianggap bertentangan dengan konsep kedaulatan sovereignty dapat dijelaskan sebagai berikut, kedaulatan sovereignty diartikan sebagai : A sovereign state is empowered in international law to exercise exclusive and total jurisdiction within its territorial borders. Other states have the corresponding duty not to intervene in the internal affairs of a sovereign state. If that duty is violated, the victim state has the further right to defend its territorial integrity and political independence dikutip dari Report of The International Commission on Intervention and State Sovereignty 2001. Kedaulatan sebuah negara dijamin dalam hukum internasional untuk menggunakan jurisdiksi secara total dalam wilayah teritorialnya. Negara lain memiliki tugas yang sama untuk tidak melakukan intervensi. Jika hal tersebut dilanggar maka negara yang diintervensi memiliki hak untuk mempertahankan integritas teritorialnya dan kemerdekaan politik negaranya Terjemahan Penulis. Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa sebuah negara memiliki kedaulatan sehingga humanitarian intervention dianggap akan menghilangkan kedaulatan sebuah negara. Hal tersebut dapat dilihat dalam Piagam PBB U.N. Charter art.51 tentang Principle of Non-interference in Article 27: “Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state” . Tidak ada satu ketentuan pun dalam Piagam ini yang memberikan kuasa kepada PBB untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri suatu negara Terjemahan Penulis. Perdebatan lain misalnya tentang siapakah aktor yang pantas untuk melakukan penerapan konsep humanitarian intervention ini atau apakah konsep ini bertentangan dengan moralitas dan cenderung memiliki tujuan politik tertentu Pattison 2010, h.1. Pertanyaan lain yang juga masih menjadi kendala adalah apakah diperlukan 12 penggunaan kekuatan militer dalam proses penerapan humanitarian intervention. Namun, pada kenyataannya humanitarian intervention sering kali hanya diartikan sebagai tindakan intervensi melalui militer. Padahal, seperti yang disampaikan Pattison 2010, h.9 humanitarian intervention tidak hanya berarti intervensi lewat serangan militer. Intervensi melalui militer dalam humanitarian intervention hanya diberlakukan pada kasus khusus dengan syarat pemberlakuan tertentu. Selain itu penerapan hukum dalam penerapan konsep humanitarian intervention seperti sampai kapan atau berapa lama tindakan humanitarian intervention dapat diterapkan pada suatu negara juga menjadi hal yang masih diperdebatkan. Pada kasus bencana Cyclone Nargis di Myanmar yang merupakan negara yang mengisolasi diri dari dunia internasional, Myanmar berusaha menjaga kedaulatan negaranya dari pihak asing terutama intervensi atau pengaruh dari Barat khususnya Amerika Serikat. Selain itu prinsip non-intervention ini diterapkan karena ASEAN menganggap tiap negara memiliki kedaulatan masing-masing yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain ASEAN Selayang Pandang 2010, h. 11. Hal ini semakin mempersulit penerapan humanitarian intervention. Terbukti beberapa saat setelah bencana Cyclone Nargis menyerang Myanmar, pemerintah Junta Militer Myanmar melarang segala bantuan kemanusiaan yang masuk ke Myanmar. Hambatan penerapan konsep humanitarian intervention dengan adanya konsep kedaulatan membuat PBB mengeluarkan konsep Responsibility to Protect atau R2P Report of The International Commission on Intervention and State Sovereignty 2001. Dalam piagam PBB dijelaskan bahwa ‘All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial 13 integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purposes of the UN ’ UN Charter Art.2: 4. Artinya seluruh anggota dalam hubungan internasional, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB. Responsibility to Protect mengkolaborasikan konsep kedaulatan dengan intervensi, yaitu bahwa dengan kedaulatan berarti negara bertanggung jawab untuk melindungi keamanan dan kehidupan warga negara serta memperjuangkan kesejahteraan warganya. Dalam piagam PBB, konsep Responsibility to Protect memungkinkan penggunaan kekerasan dalam intervensi. Penggunaan kekerasan atau militer dalam intervensi hanya berlaku jika ada ancaman terhadap perdamaian dan untuk melindungi keamanan dan perdamaian internasioanal. Selain itu, penggunaan kekerasan atau militer dalam intervensi juga bertujuan untuk melindungi semakin meluasnya dampak dari konflik atau bencana alam, seperti kematian, kekerasan fisik atau penyebaran penyakit. Meski memiliki hambatan dalam penerapannya, humanitarian intervention juga membawa pengaruh pada suatu negara. Pengaruh penerapan humanitarian intervention , tidak hanya berdampak pada penanganan sebuah krisis kemanusiaan seperti yang dilakukan PBB di Myanmar, tetapi juga memiliki dampak bagi kondisi perpolitikan Myanmar. Tujuan utama humanitarian intervention adalah untuk menyelamatkan dan melindungi korban selamat dari sebuah tragedi kemanusiaan serta memberi jaminan atas hak asasi manusia. Tetapi pada prakteknya penerapan humanitarian intervention memiliki tujuan lain yaitu bersifat politik dan ekonomi 14 Pattison 2010, h.153. Oleh karena itulah, penulis berargumen bahwa humanitarian intervention PBB di Myanmar telah memberi pengaruh terhadap kondisi politik domestik Myanmar. Dengan kondisi politik yang belum stabil dan semakin diperparah dengan datangnya bencana alam membuat humanitarian intervention yang diterapkan PBB membawa dampak lain yaitu mendorong Myanmar agar sesegera mungkin menerapkan sistem demokrasi di negaranya. Penerapan humanitarian intervention di Myanmar oleh PBB tidak terlepas dari keputusan yang dihasilkan oleh Dewan Keamanan PBB sebagai badan khusus yang paling bertanggung jawab dalam masalah yang berkaitan dengan humanitarian intervention dan Responsibility to Protect seperti yang tertuang dalam Piagam PBB tahun 2005 pasal 30 yaitu “..endorsement of the responsibility to protect, states at the 2005 World Summit asserted that any robust action should be undertaken through the Security Council” dikutip dari Pattison 2010, h.2. ... dukungan terhadap Responsibility to Protect, yang disebutkan pada Konferensi dunia 2005 menekankan bahwa segala tindakan yang diambil harus dilakukan melalui Dewan Keamanan. Dampak dari adanya bencana Cyclone Nargis ini dan masuknya PBB dengan humanitarian intervention nya sendiri sudah menunjukkan perubahan politik yang cukup signifikan bagi Myanmar. Prinsip isolasionisme yang dianut Myanmar selama ini terlihat semakin melunak. Myanmar mulai membuka diri dengan memberikan izin bagi masuknya pengaruh asing ke negaranya seperti masuknya humanitarian intervention yang dilakukan PBB. 15 Di luar dari melunaknya sikap pemerintah Myanmar terhadap interaksi internasional, negara ini memang sudah mendapat tekanan yang besar baik dari dalam maupun dari dunia internasional. Tekanan ini terkait sikap pemerintah Junta Militer Myanmar yang dianggap telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan menahan tokoh-tokoh demokrasi seperti Aung San Suu Kyi. Kediktatoran pemerintah Junta Militer Myanmar serta kekecewaan warga negara Myanmar juga membuat posisi Junta Militer semakin terancam. Sebelum terjadi Cyclone Nargis, pemerintah Junta Militer Myanmar telah merencanakan adanya referendum konstitusi Myanmar pada tanggal 10 Mei 2008. Meski mengalami bencana Junta Militer tetap ingin melaksanakan referendum sesuai jadwal. Sikap pemerintah Junta Militer ini mendapat respon langsung baik dari dunia internasional dan dari dalam negara Myanmar sendiri. Mereka menuntut agar referendum ditunda mengingat kondisi pasca bencana belum memungkinkan untuk melaksanakan referendum. Warga yang menjadi korban lebih membutuhkan pasokan makanan dan kelangsungan hidup mereka sendiri dibanding kelangsungan hidup politik negaranya. Dengan kritik dan kecaman tersebut akhirnya Junta Militer memutuskan untuk menunda referendum hingga 24 Nei 2008. Meskipun referendum tetap dijalankan, tekanan yang datang dari dunia internasional langsung disampaikan melalui keberadaan humanitarian intervention PBB tersebut. Dari pemaparan di atas penulis menyimpulkan bahwa penerapan humanitarian intervention PBB di Myanmar masih menjadi perdebatan. Namun, pemilihan konsep ini merupakan akibat dari situasi politik domestik Myanmar. Menurut penulis, jika penerapan humanitarian intervention di Myanmar tersebut 16 disahkan dan berhasil, maka akan menjadi pertimbangan bagi PBB untuk menerapkan aturan hukum yang pasti terkait penerapan tindakan humanitarian intervention dalam kasus bencana alam.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memaparkan tentang pengaruh humanitarian intervention PBB terhadap politik dalam negeri Myanmar paska bencana Cyclone Nargis tahun 2008. Menurut Cresswell 1998 pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada fenomena sosial dan masalah manusia. Untuk menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini, penulis mengandalkan data sekunder sebagai acuan, yakni data-data yang didapat dalam bentuk yang sudah jadi berupa publikasi dan sudah dikumpulkan oleh pihak atau instansi lain. Data ini diperoleh melalui studi kepustakaan untuk mengetahui adakah pengaruh humanitarian intervention PBB terhadap politik dalam negeri Myanmar paska bencana Cyclone Nargis tahun 2008. Sumber-sumber data tersebut dapat berupa buku, jurnal, interview dari sumber yang berkepentingan yakni peneliti dari Pusat Penelitian Politik P2P Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Ibu Dr. Ganewati Wuryandari, MA serta wartawan TV One Keke Agestu. Sumber lain juga penulis dapatkan dari internet, surat kabar dan penerbit-penerbit lainnya.

E. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Pertanyaan penelitian 17 C. Kerangka Pemikiran D. Metoda Penelitian E. Sistematika Penulisan

BAB II Politik Domestik Myanmar dan Bencana

Cyclone Nargis

A. Identitas Bangsa Myanmar

B. Pembangunan Politik Myanmar

B.1 Politik Domestik Myanmar Paska Kemerdekaan B.2 Politik Myanmar Masa Junta Militer Hingga Peristiwa Bencana Cylone Nargis C. Bencana Cyclone Nargis dan Dampaknya bagi Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik Myanmar C.1 Dampak Sosial C.2 Dampak Ekonomi C.3 Dampak Politik

BAB III Humanitarian Intervention PBB

A. Humanitarian Intervention dan Responsibilty to Protect R2P B. Humanitarian Intervention dan Responsibilty to Protect R2P PBB di Myanmar dalam Penanggulangan Bencana Cyclone Nargis C. Kerjasama PBB dan ASEAN dalam Penanggulangan Bencana Cyclone Nargis

BAB IV Analisa Pengaruh

Humanitarian Intervention PBB terhadap Politik Dalam Negeri Myanmar Paska Cyclone Nargis 18 A. Analisa Pengaruh keberadaan Humanitarian Intervention PBB Paska Bencana Cyclone Nargis Tahun 2008 terhadap Politik Dalam Negeri Myanmar.

BAB V Penutup

A. Kesimpulan 19

BAB II Politik Domestik Myanmar dan Bencana

Cyclone Nargis Pada bab ini penulis akan menggambarkan tentang Myanmar secara umum. Diantaranya tentang kondisi sosial kemasyarakatan, suku, ras serta kehidupan beragama di Myanmar. Penulis juga akan menjelaskan situasi dan perkembangan pembangunan politik di Myanmar sejak awal Myanmar merdeka hingga terjadinya bencana Cyclone Nargis pada tahun 2008. Selain itu, penulis akan menjelaskan bagaimana situasi perkembangan politik negara Myanmar khususnya paska bencana Cyclone Nargis .

A. Identitas Bangsa Myanmar

Myanmar adalah negara yang terletak di ujung barat wilayah Asia Tenggara dan merupakan negara terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan luas wilayah sekitar 676,578 km 2 dengan jumlah penduduk sekitar 50 juta. Secara geografis Myanmar memiliki letak yang cukup strategis, karena berbatasan dengan 5 negara yakni dengan Cina di sebelah utara; Laos di sebelah timur; Thailand di sebelah tenggara; Bangladesh di sebelah barat dan India disebelah barat laut Irewati 2007, h.6. Selain itu, letak Myanmar juga berhadapan dengan Laut Andaman dan Teluk Bengal di sebelah barat dayanya. Dengan memiliki wilayah yang subur, sebagian besar masyarakat Myanmar melakukan kegiatan ekonomi dibidang pertanian. Penduduk Myanmar terbagi ke dalam beberapa kelompok suku bangsa yang memiliki perbedaan baik dalam bahasa maupun agama.