Pengaruh humanitarian intervention PBB terhadap politik dalam negeri Myanmar paska bencana cyclone nargis tahun 2008

(1)

PENGARUH HUMANITARIAN INTERVENTION PBB

TERHADAP POLITIK DALAM NEGERI MYANMAR PASKA

BENCANA CYCLONE NARGIS TAHUN 2008

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ilmu Hubungan Internasional

Oleh:

RIZKAH AFTIA

NIM. 107083002202

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Perkembangan politik domestik di Myanmar menunjukkan terjadinya perubahan yang signifikan yang ditandai dengan pergantian pemerintahan dari Junta Militer ke pemerintahan sipil di bawah kepemimpinan Presiden Then Shein setelah diadakannya pemilu pada 7 November 2010. Selanjutnya, pemerintah sipil membebaskan tokoh pro demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi pada 13 November 2010 sejak menjadi tahanan rumah pada 1990. Perkembangan politik Myanmar juga tampak pada politik luar negeri Myanmar yang sebelumnya bersifat isolasionisme. Myanmar ditunjuk sebagai ketua ASEAN untuk periode 2014 dan sebagai penyelenggara SEA Games pada 2013 setelah mengikuti KTT ASEAN pada November 2011. Perkembangan lain yang menunjukkan perubahan pada politik Myanmar adalah kedatangan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton ke Myanmar pada 30 November – 2 Desember 2011. Pada kunjungan tersebut Hillary Clinton menemui Aung San Suu Kyi untuk membahas tentang prospek hubungan Amerika Serikat dengan Myanmar yang selama hampir 50 tahun merenggang.

Seluruh kejadian penting di atas menunjukkan bahwa Myanmar terus mengalami perubahan politik domestik. Penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan tersebut di atas mulai terjadi sejak masuknya PBB lewat humanitarian intervention

dan Responsibility to Protect paska bencana Cyclone Nargis pada 2 Mei 2008. Masuknya humanitarian intervention dan Responsibility to Protect PBB ke Myanmar adalah awal mulai terbukanya Myanmar terhadap dunia internasional. Selain PBB, ASEAN juga turut ambil bagian dalam tindakan humanitarian intervention dan

Responsibility to Protect tersebut. Oleh karena itu skripsi ini melihat bahwa

humanitarian intervention dan Responsibility to Protect berpengaruh terhadap perubahan politik dalam negeri Myanmar yang pada akhirnya juga mempengaruhi politik luar negeri Myanmar.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan Internasional.

Terima kasih dan syukur penulis ucapkan atas segala dukungan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis dari berbagai pihak sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dukungan dan motivasi dari berbagai pihak tersebut sangat membantu penulis dalam melalui hambatan selama proses penyelesaian skripsi ini. Berbagai pihak yang membantu di antaranya:

1. Orang Tua dan keluarga khususnya Chumairah Desiana, Syifa Fahma Hairani

dan Galuh Pangestu I, terima kasih untuk semangat, perhatian, kasih sayang dan doa hingga skripsi ini terselesaikan.

2. Ibu Dina Afrianty, Ph.D, Ketua Jurusan Hubungan Internasional dan

pembimbing skripsi saya. Terima kasih atas bimbingan, motivasi dan nasihatnya selama ini.

3. Dosen-dosen Jurusan Hubungan Internasional ; Bapak Agus Nilmada M.Si,

Bapak Adian Firnas M.Si, Bapak Nazaruddin Nasution SH, MA, Bapak Armein Daulay M.Si, Bapak Aiyub Mohsin, Bapak Dr. Abdul Hadi Adnan, Ibu Septi Silawati, Ibu Mutiara Pertiwi MA, Bapak Kiky Rizky, Bapak Arisman, Bapak Ahmad Dumyathi Bashori, Bapak Faisal Nurdin Idris, Bapak Badrus Sholeh. Terima kasih atas ilmu yang diberikan selama penulis menuntut ilmu di UIN Jakarta.

4. Ibu Dra. Ganewati Wuryandari MA dan Saudari Keke Agestu, terima kasih

atas waktu yang diberikan untuk saya melakukan wawancara.

5. Muhamad Rezza Ramadhan, terima kasih atas waktu dan dorongan semangat

untuk menemani dan membantu dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Teman-teman penulis : Rizky Raharjo, Dinda Nerissa, M. Dery al Fikry,

Zakaria, Faris Bimantara, Ragil Wibisono, Raudhatul Jannah, Hudaf Mandhaga, Nada Ibnu Kaustar, Chezar Irawan, Shandy Tanjaya, Puthi


(7)

Muslimah, Siti Maryam Nizar, Fitria Rahmawati, Sekar Ayu Lestari, Intan Uswatun Nisa, Hasbi Asyidiqi, Fitrah Siska Mariska, Hardiaty Gustina, Monica Julyani, Rachmatullah Rinady, Alfi Perdana, Ichsan Abdillah, Hery Kurniawan, Nadya Hajarani, Benardy Ferdiansyah, Christa Suryo Puteri, Ali Fikri, Adi Mulia Pradana, Pinky Mytha, Hary Murti Bolang, Adryn Nova, Risardi Faiz, Kartika, Tri Handayani, Nadia Galuh, Zainal Naru, Yusron Pratyangga, Hilda Fitriani, Novi Sri Rahmawati, Asri Ulfah, Tita Miftahul, Indah Mustika, Saktika Miladina, Rachmi, Chandra Dwi Wahyudi, Rachmat Harry, Okky Zulham Hadi, Risa Ambarsari, Pradini N. Arliani, Andi Dian Rosahandita, Nyimas Diah P, Friska Ditha, Chairul Huda, Imam Baihaqi, Imam Fitra, Achmad Wawo Kurniawan, Rachmad Ramadhani. Terima kasih atas semangat, doa, kritik serta sarannya selama ini.

7. Serta semua pihak dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu

persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah berperan serta mewujudkan skripsi ini.

Terakhir, dengan segala kerendahan hati penulis memohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Dan untuk semua saran dan kritik yang bersifat membangun, sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa mendatang, serta besar harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan.


(8)

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 5

C. Kerangka Pemikiran ... 5

D. Metoda Penelitian ... 16

E. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II POLITIK DOMESTIK MYANMAR DAN BENCANA CYCLONE NARGIS A. Identitas Bangsa Myanmar ... 19

B. Pembangunan Politik Myanmar ... 25

B.1 Politik Domestik Myanmar Paska Kemerdekaan ... 25

B.2 Politik Myanmar Pada Periode Kepemimpinan Junta Militer Hingga Peristiwa Bencana Cylone Nargis ... 30

C. Bencana Cyclone Nargis dan Dampaknya bagi Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik Myanmar ... 41


(9)

C.1 Dampak Sosial ... 44 C.2 Dampak Ekonomi ... 46 C.3 Dampak Politik ... 47

BAB III HUMANITARIAN INTERVENTION PBB

A. Humanitarian Intervention dan Responsibilty to Protect (R2P) ... 52

B. Humanitarian Intervention dan Responsibilty to Protect (R2P) PBB

di Myanmar dalam Penanggulangan Bencana Cyclone Nargis ... 66

C. Kerjasama PBB dan ASEAN dalam Penanggulangan Bencana Cyclone

Nargis ... 71

BAB IV ANALISA PENGARUH HUMANITARIAN INTERVENTION PBB

TERHADAP POLITIK DALAM NEGERI MYANMAR PASKA CYCLONE

NARGIS

A. Analisa Pengaruh keberadaan Humanitarian Intervention PBB Paska

Bencana Cyclone Nargis Tahun 2008 terhadap Politik Dalam Negeri

Myanmar ... 75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 82 DAFTAR PUSTAKA


(10)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Peta Bencana Cyclone Nargis di kawasan Delta Ayeyarwady dan

Divisi Yangoon ... 44 Gambar III.1 Laporan Perkembangan 2 Tahun Paska Cyclone Nargis di Myanmar ... 73


(11)

DAFTAR TABEL


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Myanmar saat ini terus menjadi sorotan dunia internasional. Hal ini antara lain disebabkan oleh perkembangan politik yang terjadi di Myanmar. Perkembangan ini di awali setelah dilaksanakannya pemilu yang menurut pemerintah Myanmar lebih demokratis pada 7 November 2010 (Antara News, November 2010). Pemilu 2010 ini berhasil menggantikan pemerintahan Junta Militer menjadi pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Presiden Thein Sein. Perkembangan lain adalah pembebasan tokoh pro demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi pada 13 November 2010 yang telah menjalankan tahanan rumah sejak tahun 1990 (New York Times, 11 Desember 2011).

Myanmar juga menunjukkan perubahan dalam politik luar negeri Myanmar yang sejak 1962 bersifat isolasionisme atau tertutup, menjadi lebih terbuka (Ganesan & Hlaing 2007). Pada 2011, Myanmar di bawah pemerintahan barunya ikut menghadiri KTT ASEAN di Bali, pada 17 November 2011 (Kementrian Luar Negeri RI 2011). Sikap terbuka ini menjadi salah satu alasan yang membuat negara anggota ASEAN lainnya sepakat menunjuk Myanmar sebagai ketua ASEAN untuk periode 2014. Selain itu Myanmar ditunjuk menjadi tuan rumah pada acara SEA Games 2013. Perkembangan terakhir yang paling signifikan dalam politik luar negeri Myanmar adalah kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton pada 30 November – 2 Desember 2011 ke Myanmar setelah hampir 50 tahun hubungan kedua negara merenggang (The Jakarta Globe, 29 November 2011).


(13)

Perubahan-perubahan tersebut sebenarnya telah mulai tampak sejak bencana

Cyclone Nargis menimpa negara tersebut pada Mei 2008. Cyclone Nargis merupakan

bencana alam terbesar yang pernah terjadi di Myanmar. Cyclone Nargis

menghancurkan Rangoon (Yangoon), kota terbesar di Myanmar yang dahulu merupakan ibukota Myanmar sebelum Junta Militer memindahkan ibukota Myanmar ke Nay Pyi Taw dan merupakan daerah komersial atau ekonomi di Myanmar. Cylone

Nargis merusak daerah di kawasan Teluk Bengal yang meliputi Myanmar, India, Sri

Langka, Bangladesh, Thailand dan Indonesia, namun Myanmar adalah negara yang mengalami dampak paling besar akibat badai ini karena hampir sebagian wilayah di Myanmar dekat dengan Teluk Bengal. Cyclone Nargis mengakibatkan kerusakan besar bagi Myanmar. Badai angin topan ini menyerang daerah di Selatan Myanmar atau daerah kawasan Delta Irrawaddy (Ayeyarwaddy) (kawasan utama pertanian/persawahan penghasil beras, kawasan mangrove juga tambak air tawar) termasuk Rangoon (Yangoon), Labutta, Bogale dan badai ini juga bergerak perlahan ke daerah lain di Myanmar seperti Karen namun tidak memberikan dampak kerusakan yang signifikan (South 2008, h. 224-225).

Kerusakan yang dialami Myanmar akibat Cyclone Nargis sangat besar, merusak jalan, jembatan, aliran listrik dan komunikasi, rumah, transportasi serta korban jiwa. Pemerintah sulit mendata jumlah korban meninggal dan korban selamat. PBB melansir kurang lebih 140.000 orang meninggal dan 2.4 juta orang kehilangan tempat tinggal dan anggota keluarga (United Nations News Centre 2011). Sembilan puluh persen lahan pertanian di kawasan Delta Irrawaddy rusak, sawah tertutup air


(14)

3

dan hasil pertanian terutama beras tidak lagi layak untuk diolah dan dikonsumsi, sumber air pun terkontaminasi.

Akibat kerusakan dan dampaknya yang besar bagi kemanusiaan, dunia internasional merasa memiliki tanggung jawab untuk membantu pemerintah Myanmar. Beberapa negara dan organisasi internasional memberikan respon langsung untuk membantu para korban bencana Cyclone Nargis ini. Negara tetangga Myanmar seperti Thailand, Cina, India mengirim bantuan relawan dan makanan, namun bantuan dari luar Myanmar ditolak oleh pemerintah Junta Militer. Tidak hanya bantuan dari negara tetangga Myanmar saja yang ditolak, tetapi juga bantuan yang diberikan Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Junta Militer menutup akses bagi bantuan asing untuk masuk ke Myanmar.

Penolakan terhadap bantuan luar negeri ini mempersulit penanggulangan bencana dan pemberian bantuan bagi para korban. Prinsip isolasionisme yang menolak bantuan asing khususnya dari negara Barat (Amerika Serikat) dan sekutunya, didasarkan pada kekhawatiran masuknya pengaruh Barat seperti demokrasi untuk tumbuh dan berkembang di Myanmar.

Penolakan pemerintah Junta Militer Myanmar terhadap bantuan kemanusiaan negara asing dianggap sebagai sikap yang tidak bertanggung jawab atas keselamatan warganya sendiri, seperti yang diungkapkan Menteri Luar Negeri Prancis Bernard Kouchner seperti dikutip oleh Barber (2009, h.4). Kouchner mengatakan bahwa perlu adanya tindakan tegas seperti melakukan humanitarian intervention atau


(15)

mengeluarkan resolusi agar bantuan kemanusian bagi korban Cyclone Nargis dapat segera ditangani serta memberikan sanksi bagi pemerintah Junta Militer Myanmar.

Adanya hambatan bagi relawan dan bantuan asing ini membuat PBB segera mengambil tindakan. Di awali dengan melakukan kontak dengan Jenderal Than Shwe agar bantuan kemanusiaan diizinkan masuk. Namun, usaha ini gagal. PBB akhirnya melakukan protes dengan mengeluarkan pernyataan pers dan keprihatinannya terhadap korban bencana Cyclone Nargis serta menyatakan akan mengambil tindakan tegas demi kemanusiaan (CBC News, 12 Mei 2008).

Pada 23 Mei 2008 Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon, melakukan kunjungan ke Myanmar guna melakukan negosiasi kembali dengan pemerintah Junta Militer (Jenderal Than Shwe) agar pemerintah Myanmar mau membuka diri dan menerima segala bantuan asing yang datang sehingga korban Cyclone Nargis dapat segera mendapat bantuan. Akhirnya Jenderal Than Shwe mengizinkan PBB dengan untuk masuk ke Myanmar dan memberikan bantuan kemanusiaan dengan syarat bantuan tersebut harus disalurkan melalui ASEAN (The Jakarta Post, 30 Mei 2008). Keputusan pemerintah Myanmar untuk mengizinkan masuknya bantuan asing inilah yang membuat penulis tertarik untuk melihatnya secara lebih jauh. Hal ini karena penulis melihat bahwa sikap pemerintah yang akhirnya membuka diri terhadap dunia internasional sedikit banyak menjadi awal bagi perubahan politik domestik negara tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melihat apakah keterbukaan pemerintah Myanmar terhadap humanitarian intervention negara asing dan organisasi internasional berpengaruh terhadap perkembangan politik domestik di negara tersebut.


(16)

5

B. Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan yang muncul pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana penerapan humanitarian intervention PBB pada bencana

Cyclone Nargis di Myanmar?

2. Bagaimana pengaruh humanitarian intervention PBB paska bencana

Cyclone Nargis terhadap politik domestik Myanmar?

C. Kerangka Pemikiran

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu Pengaruh Humanitarian Intervention PBB di Myanmar terhadap Politik Dalam Negeri Myanmar Paska Bencana Cyclone

Nargis Tahun 2008 maka untuk menganalisisnya penulis menggunakan beberapa

konsep dalam hubungan internasional, yaitu diantaranya, konsep organisasi internasional, konsep humanitarian intervention, sovereignty serta konsep

Responsibility to Protect. Sebelum menjelaskan secara terperinci konsep-konsep

tersebut, penulis akan memaparkan teori dasar yang penulis gunakan dalam penelitian ini, yaitu teori sistem. Penulis melihat bahwa teori sistem (Dougherty dan Pfaltzgraff 1989, h.136-137) yang terdapat dalam hubungan internasional dapat digunakan untuk menjelaskan perubahan politik suatu negara, termasuk yang terjadi di Myanmar. Hal ini karena politik domestik suatu negara, dalam hal ini Myanmar, dipengaruhi oleh situasi politik internasional. Dan sebaliknya, terbentuknya sistem politik internasional dan perubahan yang terjadi dalam politik internasional juga dipengaruhi oleh politik domestik negara dalam sistem internasional tersebut. Tindakan humanitarian

intervention yang dipilih oleh PBB dalam penanganan bencana Cyclone Nargis


(17)

Junta Militer melakukan penutupan akses dan penolakan bantuan bagi korban bencana Cyclone Nargis.

Selanjutnya, penulis akan menjelaskan konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Organisasi internasional, cukup banyak dirumuskan oleh beberapa tokoh sosial, seperti Duverger (dikutip oleh Archer 2001, h.2) yaitu:

One form of the organization of international relations can be seen in institutions – the collective forms of basic structures of social organizations as established by law or by human traditions – whether these be trade, commerce, diplomacy, conference or international organizations (Duverger, 1972: 68). Satu bentuk dari organisasi dalam hubungan internasional dapat dilihat dalam institusi-institusi- bentuk kolektif dari struktur utama dalam organisasi sosial yang dibentuk berdasarkan pada hukum atau tradisi, kemanusiaan, dapat berupa perdagangan, kerjasama, diplomasi, perjanjian atau organisasi internasional. (Terjemahan Penulis)

Tokoh lain yaitu Philip Selznick (dikutip oleh Archer 2001, h.2) mendefinisikan organisasi internasional sebagai berikut:

International organizations in this context represents a form of institution that refer to a formal system of rules and objectives, a rationalized administrative instrument and which has a formal technical and material organizations: constitutions, local chapters, physical equipment, machines, emblems, letterhead stationery, a staff and administratives hierarchy and so forth (Selznick, 1957: 8). Organisasi internasional dalam konteks ini mewakili sebuah bentuk institusi yang merujuk pada sistem aturan formal dan objektif, instrumen administrasi yang rasional, serta yang memiliki aturan organisasi yang bersifat teknis dan material berupa: konstitusi, aturan-aturan lokal, peralatan, lambang atau simbol, kop surat, pegawai administrasi yang tersusun secara struktural serta memiliki kantor pusat. (Terjemahan Penulis)

Dalam studi hubungan internasional konsep organisasi internasional muncul dalam aliran liberalisme institusional yang pertama kali diungkapkan oleh Woodrow Wilson (Jackson & Sorensen 2005). Organisasi internasional ini muncul pada masa Perang Dunia I yaitu sekitar tahun 1919 pada saat konferensi Perjanjian Versailles. Pertemuan antar kepala negara dan pemerintah negara-negara kuat yang terlibat


(18)

7

Perang Dunia I seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Italia dan Belgia menilai perlunya membentuk sebuah institusi internasional untuk menciptakan dan menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Selain itu untuk membantu permasalahan sosial dan ekonomi negara-negara di dunia. Ide tentang perlu adanya sebuah organisasi internasional ini muncul pertama kali dari Wilson yang ketika itu menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat. Menurut Wilson, perdamaian dan keamanan akan tercipta dengan membentuk sebuah organisasi internasional yang akan mengatur keamanan internasional yang tidak bisa teratasi hanya dengan kerjasama bilateral. Menurut Wilson perdamaian tidak hanya dapat dijalankan dalam lingkup domestik dalam sebuah negara tapi dunia internasional juga harus mempunyai sistem atau regulasi dan aturan untuk mencegah terjadinya persengketaan dan konflik internasional (Baylis dan Smith 2005, h.191).

Atas dasar inilah, pada 10 Januari 1920 dibentuk sebuah organisasi internasional yang diberi nama The League of Nations atau Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Tujuannya adalah untuk mempertahankan perdamaian internasional dan meningkatkan kerjasama internasional. Namun, keberadaan LBB ini tidak berlangsung lama, LBB dianggap gagal menciptakan dan menjaga perdamaian pasca Perang Dunia I. Hal ini dikarenakan munculnya blok-blok pertahanan berdasar ideologi seperti NATO serta munculnya paham seperti imperialisme dan kolonialisme yang berujung pada meletusnya Perang Dunia II. Gagalnya LBB ini justru memicu terbentuknya organisasi internasional baru yang memiliki fungsi dan tugas yang sama dengan LBB namun memiliki cakupan yang lebih luas yaitu tidak


(19)

hanya masalah keamanan dan perdamaian, tetapi mencakup masalah politik, ekonomi, sosial, kemanusian dan sebagainya.

Pada 24 Oktober 1945 dibentuklah The United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pembentukan organisasi internasional seperti PBB juga didukung oleh aliran liberalisme klasik seperti Immanuel Kant. Menurut Kant, adalah penting untuk mengedepankan hukum internasional yang dijalankan oleh institusi internasional [seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa] (Maliki 2008, h.78) guna menciptakan tatanan dunia yang lebih baik, damai, aman dan harmonis. Selain itu, dalam The Third Definitive Article for A Perpetual Peace, Kant (dikutip dari Baylis and Smith 2005, h.189) menjelaskan tentang konsep kosmopolitan etik di mana tiap manusia punya kewajiban atas manusia lainnya dan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat harus ditanggapi dengan serius. Dari konsep tersebut, penulis menyimpulkan bahwa secara tersirat Kant menyetujui konsep pentingnya kerjasama yang terwujud dalam sebuah organisasi atau institusi internasional seperti PBB.

Tujuan utama pembentukan PBB adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia, menjalin kerjasama di berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, perlindungan hukum, HAM dan lingkungan serta menjunjung tinggi harkat dan martabat setiap manusia dan negara-negara di dunia. Seperti tertuang dalam Preamble

of the UN Charter (Piagam PBB) (dikutip dari United Nations Information Centres)

yang menegaskan bahwa:

We the peoples of the United Nations [are] determined to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large and small. Kami Perserikatan Bangsa-Bangsa berketetapan untuk kembali menguatkan


(20)

9

keyakinan kepada hak asasi manusia, dalam kerangka menghormati harkat dan martabat manusia, dalam kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan serta antara negara kecil dan negara besar. (Terjemahan Penulis)

Inilah yang menjadi dasar bagi PBB untuk menjalankan tujuan utamanya sebagai organisasi pemelihara perdamaian dunia. Terkait dengan masalah bencana

Cyclone Nargis di Myanmar, PBB sebagai organisasi pemelihara keamanan dunia

harus mengambil bagian dalam penanganan masalah bencana alam ini. Sebuah negara yang mengalami bencana alam umumnya tidak mampu menangani akibat dari bencana secara efektif. Oleh karena itu bantuan dari negara lain atau organisasi internasional sangatlah dibutuhkan. Sebagai organisasi internasional, PBB harus melakukan tindakan nyata dalam penanganan tragedi kemanusiaan seperti bencana alam dan konflik. Dalam konteks bencana Cyclone Nargis ini PBB mengambil tindakan nyata yang didasarkan pada prinsip humanitarian intervention. Oleh karena itu, penulis menggunakan konsep kedua mengenai humanitarian intervention. Keberadaan PBB atau organisasi internasional dalam penanganan sebuah tragedi kemanusiaan apapun bentuknya merupakan satu wujud dari intervensi. R.J Vincent (dikutip dari Bellamy 2003, h.3) mendefinisikan intervensi sebagai berikut:

Activity undertaken by a state, a group within a state, a group of states or an international organization which interferes coercively in the domestic affairs of another states. … . It is not necessarily lawful or unlawful, but it does break a conventional pattern of international relations (Vincent, 1974: 13). Aktivitas yang dilakukan oleh sebuah negara, oleh sebuah kelompok dalam negara tersebut, sebuah kelompok negara-negara atau sebuah organisasi internasional yang melakukan intervensi secara koersif dalam masalah domestik dari suatu negara. Tidak penting apakah intervensi ini sesuai atau tidak melanggar hukum, namun intervensi ini melanggar pola atau kebiasaan dalam hubungan internasional (Terjemahan Penulis).


(21)

Vincent sendiri tidak menjelaskan arti humanitarian intervention secara terperinci. Namun, dari konsep intervensi klasik inilah konsep humanitarian intervention

berkembang. Berawal dari banyaknya konflik atau perang yang terjadi di dunia, khususnya pada masa Perang Dunia II, konsep intervensi dan humanitarian

intervention ini muncul dan berkembang. Theodore Roosevelt (dalam Robertson

2002, h.429) pada tahun 1904 menyatakan bahwa melakukan intervensi terhadap negara berdaulat bertujuan untuk menghentikan kekejaman dan penindasan dari para penguasa atau pemilik kekuatan.

Di saat sebuah negara dianggap tidak lagi mampu memberikan perlindungan kepada warga negaranya atau bahkan negara sendirilah yang menjadi aktor ‘kejahatan’ terhadap warga negaranya, maka perlu ada aktor lain di luar negara tersebut yang dapat menjadi mediator atau bagian dari penyelesaian sebuah tragedi kemanusiaan. Penerapan konsep intervensi ini pada dasarnya menghadapi kendala-kendala. Yaitu, intervensi dianggap bertentangan dengan moralitas serta prinsip

non-intervention dan sovereignity (kedaulatan) yang juga sudah berkembang dalam

hubungan internasional (Pattison 2010). Namun, pada akhirnya konsep intervensi atau humanitarian intervention ini diterapkan juga oleh PBB dalam beberapa penanganan tragedi kemanusiaan seperti pada kasus krisis kemanusiaan di Rwanda tahun 1994, Kosovo tahun 1999 dan Darfur tahun 2003 (Pattison 2010, h.1). Penerapan konsep ini tidak selalu berhasil, karena konsep humanitarian intervention

ini di satu sisi dianggap menghilangkan kedaulatan sebuah negara namun di sisi lain penerapan konsep ini sangat dibutuhkan untuk kemanusiaan.


(22)

11

Perdebatan tentang konsep humanitarian intervention yang dianggap bertentangan dengan konsep kedaulatan (sovereignty) dapat dijelaskan sebagai berikut, kedaulatan (sovereignty) diartikan sebagai :

A sovereign state is empowered in international law to exercise exclusive and total jurisdiction within its territorial borders. Other states have the corresponding duty not to intervene in the internal affairs of a sovereign state. If that duty is violated, the victim state has the further right to defend its territorial integrity and political independence dikutip dari Report of The

International Commission on Intervention and State Sovereignty 2001).

Kedaulatan sebuah negara dijamin dalam hukum internasional untuk menggunakan jurisdiksi secara total dalam wilayah teritorialnya. Negara lain memiliki tugas yang sama untuk tidak melakukan intervensi. Jika hal tersebut dilanggar maka negara yang diintervensi memiliki hak untuk mempertahankan integritas teritorialnya dan kemerdekaan politik negaranya (Terjemahan Penulis).

Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa sebuah negara memiliki kedaulatan sehingga humanitarian intervention dianggap akan menghilangkan kedaulatan sebuah negara. Hal tersebut dapat dilihat dalam Piagam PBB (U.N. Charter art.51) tentang

Principle of Non-interference in Article 2(7): “Nothing contained in the present

Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are

essentially within the domestic jurisdiction of any state”. Tidak ada satu ketentuan

pun dalam Piagam ini yang memberikan kuasa kepada PBB untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri suatu negara (Terjemahan Penulis).

Perdebatan lain misalnya tentang siapakah aktor yang pantas untuk melakukan penerapan konsep humanitarian intervention ini atau apakah konsep ini bertentangan dengan moralitas dan cenderung memiliki tujuan politik tertentu (Pattison 2010, h.1). Pertanyaan lain yang juga masih menjadi kendala adalah apakah diperlukan


(23)

penggunaan kekuatan militer dalam proses penerapan humanitarian intervention. Namun, pada kenyataannya humanitarian intervention sering kali hanya diartikan sebagai tindakan intervensi melalui militer. Padahal, seperti yang disampaikan Pattison (2010, h.9) humanitarian intervention tidak hanya berarti intervensi lewat serangan militer. Intervensi melalui militer dalam humanitarian intervention hanya diberlakukan pada kasus khusus dengan syarat pemberlakuan tertentu. Selain itu penerapan hukum dalam penerapan konsep humanitarian intervention seperti sampai kapan atau berapa lama tindakan humanitarian intervention dapat diterapkan pada suatu negara juga menjadi hal yang masih diperdebatkan.

Pada kasus bencana Cyclone Nargis di Myanmar yang merupakan negara yang mengisolasi diri dari dunia internasional, Myanmar berusaha menjaga kedaulatan negaranya dari pihak asing terutama intervensi atau pengaruh dari Barat khususnya Amerika Serikat. Selain itu prinsip non-intervention ini diterapkan karena ASEAN menganggap tiap negara memiliki kedaulatan masing-masing yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain (ASEAN Selayang Pandang 2010, h. 11). Hal ini semakin mempersulit penerapan humanitarian intervention. Terbukti beberapa saat setelah bencana Cyclone Nargis menyerang Myanmar, pemerintah Junta Militer Myanmar melarang segala bantuan kemanusiaan yang masuk ke Myanmar.

Hambatan penerapan konsep humanitarian intervention dengan adanya konsep kedaulatan membuat PBB mengeluarkan konsep Responsibility to Protect

atau R2P (Report of The International Commission on Intervention and State

Sovereignty 2001). Dalam piagam PBB dijelaskan bahwa ‘All members shall refrain


(24)

13

integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent

with the purposes of the UN’ (UN Charter Art.2: 4). Artinya seluruh anggota dalam

hubungan internasional, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB.

Responsibility to Protect mengkolaborasikan konsep kedaulatan dengan

intervensi, yaitu bahwa dengan kedaulatan berarti negara bertanggung jawab untuk melindungi keamanan dan kehidupan warga negara serta memperjuangkan kesejahteraan warganya. Dalam piagam PBB, konsep Responsibility to Protect

memungkinkan penggunaan kekerasan dalam intervensi. Penggunaan kekerasan atau militer dalam intervensi hanya berlaku jika ada ancaman terhadap perdamaian dan untuk melindungi keamanan dan perdamaian internasioanal. Selain itu, penggunaan kekerasan atau militer dalam intervensi juga bertujuan untuk melindungi semakin meluasnya dampak dari konflik atau bencana alam, seperti kematian, kekerasan fisik atau penyebaran penyakit.

Meski memiliki hambatan dalam penerapannya, humanitarian intervention

juga membawa pengaruh pada suatu negara. Pengaruh penerapan humanitarian

intervention, tidak hanya berdampak pada penanganan sebuah krisis kemanusiaan

seperti yang dilakukan PBB di Myanmar, tetapi juga memiliki dampak bagi kondisi perpolitikan Myanmar. Tujuan utama humanitarian intervention adalah untuk menyelamatkan dan melindungi korban selamat dari sebuah tragedi kemanusiaan serta memberi jaminan atas hak asasi manusia. Tetapi pada prakteknya penerapan


(25)

(Pattison 2010, h.153). Oleh karena itulah, penulis berargumen bahwa humanitarian

intervention PBB di Myanmar telah memberi pengaruh terhadap kondisi politik

domestik Myanmar.

Dengan kondisi politik yang belum stabil dan semakin diperparah dengan datangnya bencana alam membuat humanitarian intervention yang diterapkan PBB membawa dampak lain yaitu mendorong Myanmar agar sesegera mungkin menerapkan sistem demokrasi di negaranya. Penerapan humanitarian intervention di Myanmar oleh PBB tidak terlepas dari keputusan yang dihasilkan oleh Dewan Keamanan PBB sebagai badan khusus yang paling bertanggung jawab dalam masalah yang berkaitan dengan humanitarian intervention dan Responsibility to Protect

seperti yang tertuang dalam Piagam PBB tahun 2005 pasal 30 yaitu “..endorsement of the responsibility to protect, states at the 2005 World Summit asserted that any robust

action should be undertaken through the Security Council” (dikutip dari Pattison

2010, h.2). ... dukungan terhadap Responsibility to Protect, yang disebutkan pada Konferensi dunia 2005 menekankan bahwa segala tindakan yang diambil harus dilakukan melalui Dewan Keamanan.

Dampak dari adanya bencana Cyclone Nargis ini dan masuknya PBB dengan

humanitarian interventionnya sendiri sudah menunjukkan perubahan politik yang

cukup signifikan bagi Myanmar. Prinsip isolasionisme yang dianut Myanmar selama ini terlihat semakin melunak. Myanmar mulai membuka diri dengan memberikan izin bagi masuknya pengaruh asing ke negaranya seperti masuknya humanitarian


(26)

15

Di luar dari melunaknya sikap pemerintah Myanmar terhadap interaksi internasional, negara ini memang sudah mendapat tekanan yang besar baik dari dalam maupun dari dunia internasional. Tekanan ini terkait sikap pemerintah Junta Militer Myanmar yang dianggap telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan menahan tokoh-tokoh demokrasi seperti Aung San Suu Kyi. Kediktatoran pemerintah Junta Militer Myanmar serta kekecewaan warga negara Myanmar juga membuat posisi Junta Militer semakin terancam. Sebelum terjadi Cyclone Nargis, pemerintah Junta Militer Myanmar telah merencanakan adanya referendum konstitusi Myanmar pada tanggal 10 Mei 2008. Meski mengalami bencana Junta Militer tetap ingin melaksanakan referendum sesuai jadwal. Sikap pemerintah Junta Militer ini mendapat respon langsung baik dari dunia internasional dan dari dalam negara Myanmar sendiri. Mereka menuntut agar referendum ditunda mengingat kondisi pasca bencana belum memungkinkan untuk melaksanakan referendum. Warga yang menjadi korban lebih membutuhkan pasokan makanan dan kelangsungan hidup mereka sendiri dibanding kelangsungan hidup politik negaranya. Dengan kritik dan kecaman tersebut akhirnya Junta Militer memutuskan untuk menunda referendum hingga 24 Nei 2008. Meskipun referendum tetap dijalankan, tekanan yang datang dari dunia internasional langsung disampaikan melalui keberadaan humanitarian

intervention PBB tersebut.

Dari pemaparan di atas penulis menyimpulkan bahwa penerapan

humanitarian intervention PBB di Myanmar masih menjadi perdebatan. Namun,

pemilihan konsep ini merupakan akibat dari situasi politik domestik Myanmar. Menurut penulis, jika penerapan humanitarian intervention di Myanmar tersebut


(27)

disahkan dan berhasil, maka akan menjadi pertimbangan bagi PBB untuk menerapkan aturan hukum yang pasti terkait penerapan tindakan humanitarian intervention dalam kasus bencana alam.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memaparkan tentang pengaruh humanitarian intervention PBB terhadap politik dalam negeri Myanmar paska bencana Cyclone Nargis tahun 2008. Menurut Cresswell (1998) pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada fenomena sosial dan masalah manusia.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini, penulis mengandalkan data sekunder sebagai acuan, yakni data-data yang didapat dalam bentuk yang sudah jadi berupa publikasi dan sudah dikumpulkan oleh pihak atau instansi lain. Data ini diperoleh melalui studi kepustakaan untuk mengetahui adakah pengaruh

humanitarian intervention PBB terhadap politik dalam negeri Myanmar paska

bencana Cyclone Nargis tahun 2008. Sumber-sumber data tersebut dapat berupa buku, jurnal, interview dari sumber yang berkepentingan yakni peneliti dari Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ibu Dr. Ganewati Wuryandari, MA serta wartawan TV One Keke Agestu. Sumber lain juga penulis dapatkan dari internet, surat kabar dan penerbit-penerbit lainnya.

E. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah B. Pertanyaan penelitian


(28)

17 C. Kerangka Pemikiran

D. Metoda Penelitian E. Sistematika Penulisan

BAB II Politik Domestik Myanmar dan Bencana Cyclone Nargis

A. Identitas Bangsa Myanmar B. Pembangunan Politik Myanmar

B.1 Politik Domestik Myanmar Paska Kemerdekaan

B.2 Politik Myanmar Masa Junta Militer Hingga Peristiwa Bencana

Cylone Nargis

C. Bencana Cyclone Nargis dan Dampaknya bagi Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik Myanmar

C.1 Dampak Sosial C.2 Dampak Ekonomi C.3 Dampak Politik

BAB III Humanitarian Intervention PBB

A. Humanitarian Intervention dan Responsibilty to Protect (R2P)

B. Humanitarian Intervention dan Responsibilty to Protect (R2P) PBB di

Myanmar dalam Penanggulangan Bencana Cyclone Nargis

C. Kerjasama PBB dan ASEAN dalam Penanggulangan Bencana

Cyclone Nargis

BAB IV Analisa Pengaruh Humanitarian Intervention PBB terhadap


(29)

A. Analisa Pengaruh keberadaan Humanitarian Intervention PBB Paska Bencana Cyclone Nargis Tahun 2008 terhadap Politik Dalam Negeri Myanmar.

BAB V Penutup


(30)

19

BAB II

Politik Domestik Myanmar dan Bencana Cyclone Nargis

Pada bab ini penulis akan menggambarkan tentang Myanmar secara umum. Diantaranya tentang kondisi sosial kemasyarakatan, suku, ras serta kehidupan beragama di Myanmar. Penulis juga akan menjelaskan situasi dan perkembangan pembangunan politik di Myanmar sejak awal Myanmar merdeka hingga terjadinya

bencana Cyclone Nargis pada tahun 2008. Selain itu, penulis akan menjelaskan

bagaimana situasi perkembangan politik negara Myanmar khususnya paska bencana

Cyclone Nargis.

A. Identitas Bangsa Myanmar

Myanmar adalah negara yang terletak di ujung barat wilayah Asia Tenggara dan merupakan negara terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan luas wilayah

sekitar 676,578 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 50 juta. Secara geografis

Myanmar memiliki letak yang cukup strategis, karena berbatasan dengan 5 negara yakni dengan Cina di sebelah utara; Laos di sebelah timur; Thailand di sebelah tenggara; Bangladesh di sebelah barat dan India disebelah barat laut (Irewati 2007, h.6). Selain itu, letak Myanmar juga berhadapan dengan Laut Andaman dan Teluk Bengal di sebelah barat dayanya. Dengan memiliki wilayah yang subur, sebagian besar masyarakat Myanmar melakukan kegiatan ekonomi dibidang pertanian. Penduduk Myanmar terbagi ke dalam beberapa kelompok suku bangsa yang memiliki perbedaan baik dalam bahasa maupun agama.


(31)

Menurut Zahler (2010, h.14) penduduk Myanmar terbagi ke dalam 8 besar kelompok etnis yang kemudian terbagi lagi ke dalam 135 kelompok etnis kecil. Kelompok etnis pertama adalah Burman (Bamar/Birma) yang merupakan kelompok etnis terbesar dan mendominasi Myanmar dengan hampir 2/3 penduduk atau 68% atau sekitar 30 juta penduduk dari seluruh populasi Myanmar. Suku Burman awalnya berasal dari Timur Himalaya yang datang dan mendiami kawasan delta Irrawaddy lebih dari 1200 tahun yang lalu. Suku Burman beragama Budha, dan mereka berbicara bahasa yang mirip dengan bahasa Cina dan Tibet. Selanjutnya, ada suku Shan yang penduduk aslinya juga berasal dari Cina. Suku Shan kurang lebih berjumlah 9-15% dari total populasi Myanmar. Mereka tinggal di wilayah bagian Shan, berbahasa Shan atau Burmese. Suku Shan kebanyakan beragama Budha dan

yang lainnya menganut kepercayaan aminisme yang percaya akan roh yang mendiami

alam semesta. Warga Shan bermata pencaharian sebagai petani yang biasa menanan padi, buah, sayur dan kedelai dan sebagian lagi bermatapencaharian sebagai penambang.

Suku ketiga adalah suku Karen (Kayin) yang berjumlah sekitar 6% dan datang ke Myanmar dari daerah Tibet. Suku Karen sebagian tinggal di wilayah timur dari negara bagian Karen yang berbatasan dengan Thailand. Sebagian besar suku Karen beragama Budha dan beberapa diantaranya juga ada yang menganut animisme. Sebagian suku Karen lainnya beragama Kristen yang dibawa oleh pemuka agama Kristen dari Amerika Serikat pada abad ke 19. Warga suku Karen berprofesi sebagai petani. Selanjutnya, suku Arakanese (Rakhine) yang tinggal di negara bagian Rakhine dan berjumlah sekitar 4% dari populasi Myanmar. Suku Rakhine beragama Budha


(32)

21

dan mengklaim diri mereka sebagai suku pertama di Myanmar yang menganut agama Budha. Warga suku Rakhine sebagian besar juga berprofesi sebagai petani beras.

Berikutnya adalah suku Mon, suku ini tinggal di negara bagian Mon yang juga berbatasan dengan Thailand. Mon adalah suku pertama yang mendiami wilayah Asia Tenggara dan yang menyebarkan ajaran Budha ke wilayah Burma (Myanmar) dan Thailand. Suku Mon datang pertama kali ke wilayah Mon sekitar tahun 1500 sebelum Masehi dan sebagian besar penduduk Mon adalah petani. Suku yang juga berbatasan dengan Thailand adalah suku Karenni (Kayah). Suku Kayah datang dari Mongolia pada abad ke 8 SM. Suku ini mendiami wilayah bagian Karenni di perbatasan antara Thailand dan Myanmar. Suku Kayah sering disebut sebagai “Red Karen” karena kebiasaan penduduknya menggunakan pakaian merah. Suku Kayah ada sekitar 5% dari total populasi Myanmar dan beragama Kristen.

Selanjutnya terdapat suku Kachin, suku ini mendiami wilayah paling utara Myanmar yang berbatasan dengan Cina. Mayoritas penduduk Kachin beragama Kristen dan berprofesi sebagai petani; Suku Chin datang ke Myanmar dari Cina, mendiami wilayah bagian Chin yang berbatasan dengan Bangladesh dan India. 70 persen penduduk Chin beragama Kristen. Di Myanmar juga terdapat suku yang penduduknya beragama Islam yaitu suku Ronghiya yang tinggal di utara Rakhine. Dan terakhir suku The Wa yaitu suku yang mendiami wilayah Shan dan mayoritas menganut animisme. Sebagian besar penduduk suku The Wa adalah petani, namun karena wilayah yang berbukit-bukit menyebabkan lahan mereka kurang subur, yang akhirnya membuat penduduk suku The Wa mengembangkan opium yang digunakan untuk memproduksi narkotika (Zahler 2010, h.15-16).


(33)

Meski memiliki keragaman etnis, dominasi suku dan agama di Myanmar sangat terlihat jelas. Suku Burman adalah suku yang mendominasi berbagai bidang kehidupan Myanmar dengan 2/3 persen penduduk dari total popolasi Myanmar. Steinberg (2010 h.59) menjelaskan dominasi suku di Myanmar juga menyebabkan Myanmar memutuskan untuk menjadi negara beragama Budha. Suku Burman merupakan suku mayoritas di Myanmar dan beragama Budha. Pada masa pemerintahan Perdana Menteri U Nu tahun 1961, Myanmar resmi menjadi negara beragama Budha. Keputusan ini meski diterima namun pada dasarnya menyinggung perasaan suku minoritas lain seperti Kachin dan Karen yang tidak menganut agama Budha. Dominasi suku mayoritas ini juga menyebabkan banyak pemberontakan yang kemudian menimbulkan masalah baru bagi Myanmar seperti pemberontak yang kabur ke negara tetangga Myanmar menyebabkan konflik di perbatasan yang juga mengancam integritas dari Myanmar itu sendiri.

Menurut Irewati (2007 h.7) dengan keadaan geografis yang cukup strategis, yaitu berbatasan dengan 5 negara serta keragaman etnis ikut mempengaruhi dan membentuk kehidupan politik domestik Myanmar. Dari kelima negara yang berbatasan langsung dengan Myanmar hampir semua memiliki hubungan politik yang kurang baik dengan Myanmar. Seperti dengan Thailand, Bangladesh dan India. Ketiga negara ini memiliki masalah terkait perbatasan dan pengungsi serta kelompok pemberontak. Masalah pengungsi ini terkait dengan kelompok etnis Myanmar yaitu suku Mon, Karenni dan Karen yang menghindar dari pengejaran Junta Militer yang kemudian melarikan diri guna mencari perlindungan di wilayah negara tetangga seperti Thailand Selatan. Hubungan Myanmar dengan Bangladesh ditandai dengan


(34)

23

adanya masalah pengungsi, setelah suku Rohingya yang merupakan etnis muslim Myanmar masuk ke wilayah Bangladesh untuk mencari perlindungan, karena etnis muslim merasa terdiskrimasi di Myanmar. Sementara dengan pemerintah India, Myanmar memiliki masalah perbatasan yang disebabkan oleh adanya kelompok

separatis India yang di berbasis di daerah Sagaing (Sagaing Division) di Myanmar

yang telah bertahun-tahun menempati wilayah di Myanmar tersebut dan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah India. Masalah perbatasan inilah yang membuat hubungan Myanmar dengan ketiga negara di atas menjadi kurang harmonis. Hubungan politik luar negeri Myanmar dengan ketiga negara yang telah disebutkan di atas menjadi bertambah tidak baik. Diantaranya disebabkan juga oleh faktor internal Myanmar yang tidak mampu mengelola keragaman suku dan etnis secara baik dan adil.

Hal yang sama terjadi dalam hubungan Myanmar dengan Cina. Menurut Steinberg (2010 h. 20-22) Myanmar memiliki hubungan yang mengalami pasang surut. Myanmar berbatasan langsung dengan Cina, penduduk Myanmar sebagian besar datang dari dataran Cina, oleh karena itu etnis dan agama yang dianut mayoritas penduduk Myanmar sama dengan Cina. Di masa lampau atau sekitar tahun 1200-1700an saat negara belum terbentuk dan masih berupa kerajaan, bangsa Cina banyak yang melarikan diri ke wilayah Myanmar. Tepatnya dimasa Dinasti Ming pada 1644. Pada saat itu banyak warga Cina yang melarikan diri ke wilayah Myanmar akibat kekalahan Dinasti Ming dari Dinasti Manchu Qing. Tidak hanya warga Cina yang melarikan diri ke wilayah Myanmar, di tahun 1765-1769 pemerintah Dinasti Cina juga melakukan invasi ke Myanmar. Namun, invasi tersebut terhenti sampai di


(35)

provinsi Yunan karena di wilayah Myanmar saat itu sedang terjangkit wabah malaria. Dengan latar belakang yang demikianlah, Myanmar memiliki banyak kemiripan dengan Cina, tidak hanya dalam segi agama dan etnis tetapi juga pada sistem perpolitikan. Myanmar dan Cina sama-sama menganut paham sosialis (komunis), walaupun sebenarnya Myanmar mendeklarasikan diri sebagai negara Republik Demokrasi. Namun, praktek-praktek paham sosialis dan komunis masih diterapkan di Myanmar.

Steinberg (2010 h.45-47) menjelaskan bahwa paham sosialis-komunis ini mempengaruhi Myanmar sejak periode 1948-1949, yaitu saat terjadi Revolusi Cina. Pada masa ini, sistem internasional berada pada situasi perang dingin antara blok Barat (Amerika Serikat dan sekutu yang berideologi liberal-kapitalis) dengan blok Timur (Uni Soviet dan sekutunya yang berideologi sosialis-komunis). Seperti diketahui, pada masa perang dingin ini kedua blok tersebut berusaha menyebarkan pengaruh mereka masing-masing ke seluruh dunia. Cina merupakan salah satu negara sekutu Uni Soviet yang menganut paham sosialis-komunis.

Oleh karena itu, Cina juga turut menyebarkan paham ini dan Myanmar sebagai negara tetangga yang memiliki kesamaan etnis menjadi tujuan utama penyebaran paham ini. Pada 1950 saat Cina mendeklarasikan negaranya sebagai Republik Rakyat Cina, Myanmar langsung memberi dukungan dan pengakuan terhadap Republik tersebut. Namun, hubungan Myanmar dengan Cina sempat

mengalami ketengangan saat pasukan Kuomintang1

1 Kuomintang merupakan sebuah partai politik di Cina yang terbentuk diakhir tahun 1800an. Partai ini memiliki 3 prinsip, yaitu anti komunisme, liberal conservatism dan cenderung kepada nasionalis Cina. (nasionalis Cina) yang melarikan


(36)

25

diri dari Cina ke wilayah Shan di Myanmar akibat mengalami kekalahan dari pasukan komunis Cina (tahun 1949). Pada 1961 pemerintah Cina mengirimkan pasukannya kurang lebih 20.000 orang ke Myanmar, pemerintah Cina juga dibantu militer Myanmar dengan 5.000 orang pasukannya mencoba melakukan perlawanan terhadap pasukan Kuomintang. Pasukan Kuomintang ini adalah pasukan anti komunis Cina yang mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat khususnya lewat badan

intelegennya yaitu Central Intelligence Agency (CIA). Namun, lemahnya pasukan

Cina dan militer Myanmar menyebabkan pasukan Kuomintang menguasai Rangoon. Hal ini menimbulkan ketegangan, sehingga militer Myanmar yang memiliki pengaruh kuat di Myanmar melakukan aksi protes terhadap PBB dan menolak bantuan yang diberikan Amerika Serikat. Hal inilah yang juga mendorong Myanmar untuk menerapkan prinsip isolasionisme dalam politik luar negerinya sejak Junta Militer berkuasa tahun 1962. Prinsip isolasionisme ini berlaku terutama kepada negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan sekutunya. Untuk selanjutnya pembahasan mengenai politik di Myanmar akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya ini.

B. Pembangunan Politik Myanmar

B.1 Politik Domestik Myanmar Paska Kemerdekaan

Pergolakan dan perang terjadi di Cina antara tahun 1928-1949 yang kemudian dimenangi oleh Partai Komunis Cina yang memaksa pasukan Kuomintang keluar dari Cina. Pasukan ini kemudian membangun basis di negara-negara sekitar termasuk di Myanmar. Pemerintah Myanmar yang cenderung menganut prinsip atau paham sosialis merasa terancam dengan adanya pasukan anti komunis, Kuomintang, di salah satu wilayahnya. Dan pemerintah berusaha mengeluarkan pasukan Kuomintang dari Myanmar. Butuh waktu yang lama untuk menyelesaikan masalah ini dan Myanmar menggunakan kekuatan militernya untuk mengusir pasukan Kuomintang dari Myanmar. (Steinberg 2010, h.45)


(37)

Sejak resmi merdeka dari penjajahan Inggris pada 4 Januari 1948, banyak

harapan yang muncul dari negara baru yang saat itu telah menyebut diri sebagai The

Union of Burma (Union of Myanmar saat ini), seperti pembangunan dan modernisasi

di bidang ekonomi, politik, dan sosial (Maung 1990, h. 602). Sistem pemerintahan Republik Demokrasi Parlementer menjadi dasar bagi kehidupan di Myanmar pada awal kemerdekaan untuk menunjang pembangunan dan modernisasi yang dicita-citakan. Sistem pemerintahan Republik Demokrasi Parlementer ini diadopsi dari

Konstitusi 19472 yang dibuat sebelum kemerdekaan Myanmar dan Aung San3

2

Konstitusi 1947 adalah konstitusi yang dibuat sebelum kemerdekaan untuk mendorong kemerdekaan serta merupakan sebuah usaha untuk membawa Myanmar menggunakan sistem Demokrasi Parlementer setelah memperoleh kemerdekaan. Sistem Demokrasi Parlementer ini dianggap sistem yang paling tepat bagi Myanmar yang memang memiliki keragaman etnis dan suku bangsa. Konstitusi ini dibuat oleh 15 Burmans (orang Burma/Myanmar) yang sebagian dari mereka telah memperoleh pelatihan resmi pembuatan konstitusi dari pemerintah kolonial Inggris. 15 Burmans ini merupakan perwakilan dari suku mayoritas dan minoritas di Myanmar (Steinberg 2010, h. 52-53).

adalah penggagas konstitusi tersebut (Steinberg 2010, h.53). Dengan sistem pemerintahan Republik Demokrasi Parlementer ini Myanmar diperintah oleh seorang Perdana Menteri dan U Nu menjadi Perdana Menteri pertama di Myanmar. Sebagaimana halnya negara yang baru merdeka, pemerintahan Perdana Menteri U Nu dihadapkan pada kondisi sosio politik yang rumit (Firnas 2003, h.129). Perdana Menteri U Nu

menerapkan strategi pembangunan Pydawtha (negara yang makmur) untuk

3 Aung san adalah salah satu tokoh pemimpin Myanmar yang dikenal sebagai bapak dari kesatuan Myanmar (the Union of Burma). Aung San juga merupakan penggagas dari konstitusi 1947 yang dianut Myanmar pada masa awal kemerdekaan 1948. Dia adalah tokoh yang disegani warga Myanmar karena mampu mengadakan negosiasi dengan pemerintah Inggris untuk kemerdekaan Myanmar. Aung San pulalah yang menyatukan suku minoritas dan memberi tempat bagi perwakilan minoritas di parlemen meski hal ini terjadi sebelum kemerdekaan, karena Aung San wafat pada 1947. Aung San bukan merupakan tokoh demokratis, dia dianggap lebih cenderung berpaham sosialis. Meski demikian dialah yang menggagas persatuan Myanmar, keadilan bagi suku minoritas disegala bidang termasuk pemerataan sumber daya alam serta menggagas pemerintahan dengan sistem partai yang tunggal. Dan Aung San merupakan pemimpin dari The Anti-Fascist People’s Freedom League (AFPFL)yaitu partai koalisi Myanmar (Steinberg 2010, h.42-43).


(38)

27

menyelesaikan berbagai persoalan dalam negerinya. Namun, akhirnya strategi ini gagal mengatasi persoalan kompleks yang dihadapi Myanmar (Firnas 2003, h.129).

Persoalan kompleks yang dihadapi Myanmar antara lain masalah demokrasi. Meski menganut sistem pemerintahan demokrasi, kondisi politik di Myanmar belum sepenuhnya mencerminkan nilai yang demokratis. Nilai-nilai demokratis seperti persamaan hak di mata hukum, kebebasan bertanggung jawab di segala bidang, adanya pemilihan umum yang adil, adanya perwakilan dari setiap suku atau golongan di dalam pemerintahan serta sistem pemerintahan yang berpihak pada rakyat bukan

militer belum terwujud dalam kehidupan negara Myanmar. Situasi yang demikian

mengakibatkan terjadinya beberapa pemberontakan atau konflik yang melibatkan suku mayoritas (Burman) dan minoritas (Karen) pada tahun 1949 (Brown 1997, h.23-24). Selain itu, muncul beberapa ancaman dari luar negara Myanmar akibat masalah perbatasan wilayah, khususnya konflik perbatasan dengan negara Cina dan masalah tentara Cina Koumintang yang diusir dari Cina yang kemudian masuk dan menduduki salah satu wilayah di Myanmar yaitu Shan (Seekins 2006, h. xxvi).

Meski menganut demokrasi, namun pada kenyataannya sejak masa kemerdekaan 1948 Myanmar sangat dipengaruhi oleh paham sosialis atau komunis (Steinberg 2010, h.50). Hal ini terbukti dengan adanya dua partai besar dan memiliki

peran yang cukup besar di Myanmar yaitu The Red Flag Communist Party

(Communist Party of Burma) dan The White Flag Communist Party (Burma

Communist Party). Kedua partai ini memiliki basis militer yang kuat yang nantinya


(39)

atau komunis masuk ke Myanmar akibat pengaruh yang datang dari Cina yang memang memiliki kedekatan wilayah dan kemiripan etnis dengan Myanmar seperti yang sudah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya.

Pemberontakan militer yang dilakukan oleh dua partai komunis tersebut ditujukan kepada pemerintahan Myanmar (Perdana Menteri U Nu). Militer Myanmar memiliki tempat yang terhormat dalam status sosial masyarakat Myanmar dan

anggota militer Myanmar juga merupakan anggota dari dua partai komunis The Red

dan The White Flag Communist Party (Steinberg 2010, h. 54). Pemberontakan

terhadap pemerintahan Perdana Menteri U Nu ini terjadi karena partai yang

mengusung U Nu yaitu The Anti-Fascist People’s Freedom League (AFPFL)

dianggap hanya mementingkan kekuasaan bukan melakukan perbaikan di Myanmar. Menurut militer, hal tersebut dapat mengancam keutuhan negara kesatuan Myanmar. Sebelum pemberontakan terjadi, pemerintah U Nu telah berencana untuk melaksanakan pemilu pada 1958. Kemudian, militer memilih mengambil langkah pemberontakan atau kudeta terhadap pemerintah untuk mencegah terjadinya perang sipil dan pertumpahan darah saat pemilu.

Dengan adanya pemberontakan atau kudeta militer ini, Perdana Menteri U Nu mengambil langkah untuk mundur sementara dari jabatannya pada 1958 dan mengajak militer yang saat itu dipimpin oleh Jenderal Ne Win untuk mengambil alih

pemerintahan yang dipimpinnya. Sejak Oktober 1958, Union of Burma atau

Myanmar resmi diperintah oleh militer atau yang lebih dikenal dengan istilah


(40)

29

Myanmar dengan menerapkan tiga prinsip utama yaitu memulihkan atau memperbaiki hukum, menghilangkan pemberontakan dibidang ekonomi, dan mempersiapkan negara untuk pemilihan umum (Steinberg 2010, h.55). Selama 18

bulan memerintah, Caretaker Goverment berhasil memimpin Myanmar dengan baik

yang ditandai dengan, tidak adanya korupsi, penerapan kebijakan ekonomi yang memihak rakyat dengan menurunkan harga barang dan makanan, memperkuat hukum negara Myanmar dan membersihkan kota ( Steinberg 2010, h.55).

Pada Februari 1960 diadakan pemilihan umum sesuai dengan prinsip bebas, bersih dan adil. Pemilu ini sebagai pengganti dari pemilu yang sebelumnya tertunda pada 1958 akibat pemberontakan. U Nu mengikuti pemilihan umum kembali bersama

partainya AFPFL (The Anti-Fascist People’s Freedom League) yang telah berubah

nama menjadi Union Party. U Nu memenangkan pemilu dengan mendapat suara dari

pendukungnya yang mayoritas beragama Budha. Dukungan masyarakat Budha didapatkan karena U Nu menjanjikan bahwa agama Budha akan dijadikan agama negara (Steinberg 2010, h. 58-59). Pemilihan Umun ini (tahun 1960) akhirnya membawa U Nu kembali memimpin Myanmar. Namun, kembalinya U Nu tidak membawa perubahan berarti, misalnya, tidak mampu mempertahankan kondisi yang

cukup stabil seperti yang dicapai selama periode Caretaker Government. Ekonomi

Myanmar melemah, pemberontakan atau konflik meningkat dan kekuatan militer meningkat.

Kondisi yang kembali tidak stabil dibawah pemerintahan U Nu periode kedua ini (1960-1962) membuat kekecewaan banyak pihak terutama militer. Militer


(41)

menganggap U Nu tidak kompeten dalam menjalankan pemerintahan. Di saat banyak pemberontakan, pemerintahan U Nu justru membangun 60.000 pagoda atau candi yang menurutnya merupakan simbol ketenangan dan wujud nyata dari janjinya menjadikan Myanmar sebagai negara beragama Budha tanpa melakukan usaha untuk meredakan pemberontakan. Pada 1961 agama Budha secara resmi menjadi agama negara Myanmar. Namun, peresmian agama Budha ini menurut militer Myanmar dianggap menyinggung perasaan suku Kachin dan Karen yang merupakan suku minoritas di Myanmar yang menganut agama Kristen, walaupun dalam undang-undang lain kebebasan beragama tetap diterapkan (Steinberg 2010, h. 59).

Anggapan dari militer Myanmar bahwa pemerintahan sipil gagal membawa perubahan dan menjadi ancaman bagi kesatuan Myanmar mendorong militer untuk mengkudeta pemerintah pada 1962. Pada 2 Maret 1962 militer Myanmar dibawah pimpinan Jenderal Ne Win melakukan kudeta. Steinberg (2010, h.60) menjelaskan dalam kudeta ini militer menangkap siapapun (baik anggota pemerintahan mulai dari badan eksekutif, legislatif juga yudikatif) yang kritis terhadap kudeta dan yang berusaha menghalangi kudeta tersebut. Bagi militer, kudeta merupakan sebuah tindakan yang dibuat untuk mengabadikan kekuasaan militer (Steinberg 2010, h.60).

B.2 Politik Myanmar Pada Periode Kepemimpinan Junta Militer Hingga

Peristiwa Bencana Cylone Nargis

Paska kudeta 1962, kehidupan bernegara di Myanmar berubah, Jenderal Ne


(42)

31

Revolutionary Council dengan 17 perwira dan Ne Win sebagai pemimpin

tertingginya. Dalam The Revolutionary Council terdapat aturan atau dasar bagi

pemerintahan militer (Junta) Myanmar ini yang dibuat oleh Jenderal Ne Win. Pemerintah Junta Militer menghapuskan partai-partai yang independen, mengekang

kebebasan pers dan hanya mengizinkan pers atau media massa tunggal yaitu The

Working People’s Daily (Steinberg 2010, h.65). Padahal kebebasan pers baru

terwujud pada masa awal kemerdekaan dan di masa pemerintahan U Nu. Dalam bidang ekonomi, pemerintah militer Myanmar menerapkan sistem ekonomi yang sosialis dan mulai menutup diri dari bantuan dan kerjasama ekonomi dengan pihak

asing.Pihak asing yang dimaksud disini adalah negara-negara Barat yang berideologi

demokrasi liberal khususnya Amerika Serikat serta organisasi internasional lainnya. Myanmar tetap menerima bantuan asing hanya dari negara yang memiliki kesamaan ideologi dengan negaranya yaitu Cina dan Rusia (Steinberg 2010, h.120-121).

Dalam bidang ekonomi, pemerintah Junta Militer menasionalisasi perusahan-perusahaan asing maupun lokal dan ekonomi ini dijalankan oleh orang-orang pilihan Junta Militer yang sebenarnya tidak berkompeten dalam bidang ekonomi, sehingga menyebabkan kondisi ekonomi Myanmar menjadi tidak stabil. Di tahun 1964 partai politik dilarang, dan seperti yang telah penulis sebutkan Myanmar resmi menutup diri dari pergaulan internasional. Kondisi politik, ekonomi dan sosial Myanmar juga terus mengalami ketidakstabilan, pemberontakan antar suku di Myanmar juga kembali mengemuka.


(43)

Dalam bidang politik, pemerintah militer Myanmar tidak memperkenankan rakyatnya untuk memilih pemimpinnya sendiri, karena keputusan politik harus

melalui pemimpin militer di Rangoon. Burmese Socialist Programme Party (BSPP),

pimpinan Jenderal Ne Win, menjadi satu-satunya partai resmi yang berdiri (Firnas 2003, h.131). Pemerintahan militer (BSPP) ini membuat kondisi politik dalam negeri Myanmar mengalami perubahan. Pemerintah Junta Militer menghapuskan dan mengganti struktur kepemerintahan Myanmar dari sipil menjadi militer. Junta Militer juga merupakan pengambil keputusan tertinggi di Myanmar, dan siapapun, baik warga negara atau anggota pemerintah yang berani mengkritik atau melawan kebijakan pemerintah Junta Militer harus siap menerima resiko. Resiko dari kritik atau perlawanan terhadap Junta Militer adalah pengasingan dan dipenjarakan.

Burma Socialist Programme Party (BSPP) ini berjalan sejak Junta Militer berkuasa

pada 1962 hingga awal 1980-an. BSPP tidak memberi jaminan akan kehidupan yang baik bagi warga Myanmar. Kekuasaan Junta Militer absolut (diktator) sehingga menyebabkan kondisi ekonomi memburuk. Ekonomi dalam negeri Myanmar pun mengalami beberapa perubahan akibat kebijakan yang diambil oleh Junta Militer. Kebijakan tersebut misalnya, pada Juli 1988 pemerintah Junta Militer mulai membuka hubungan perdagangan kembali dengan Cina setelah sempat vakum karena masalah perbatasan (Steinberg 2010, h.86). Kebijakan Junta Militer ini mulai membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk bersaing dalam perekonomian Myanmar. Sejalan dengan bidang ekonomi, politik Myanmar juga mengalami perkembangan dan perubahan. Setelah mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi


(44)

33

banyak warga terutama mahasiswa yang melakukan demonstrasi menolak kebijakan tersebut khususnya kebijakan menyerahkan eksplorasi kekayaan Myanmar ke pihak asing4

Kudeta tersebut dikenal dengan kudeta 1988

. Demonstrasi mahasiswa ini berakhir dengan penangkapan dan pembunuhan terhadap mahasiswa yang melakukan demonstrasi terhadap Junta Militer. Banyak universitas yang ditutup sementara hingga suasana kembali aman. Demonstrasi mahasiswa ini berakhir dengan kudeta yang dilakukan militer terhadap pemerintahan Jenderal Ne Win.

5

4

Pada tahun 1988 setelah kebijakan dan undang-undang baru investasi asing dikeluarkan pemerintah Junta Militer terjadi eksplorasi besar-besaran terhadap kekayaan alam Myanmar terutama minyak bumi, hasil hutan dan laut. Thailand dan Cina adalah dua negara yang menyepakati kontrak kerjasama dengan pemerintah Junta Militer. Kedua negara ini kemudian melakukan eksploitasi yang menyebabkan kerusakan alam Myanmar (Steinberg 2010, h. 86).

yang merupakan kudeta kedua terbesar di Myanmar setelah kudeta 1962. Kudeta ini terjadi sebagai akibat dari protes masyarakat Myanmar yang terdiri dari pelajar atau mahasiswa, pejabat sipil, pekerja hingga kaum biksu. Peristiwa demonstrasi massa ini tepatnya terjadi pada 8 Agustus

1988 sehingga peristiwa ini dikenal dengan istilah ‘the 8888 uprising’ (Irewati 2007,

h.11). Kudeta 1988 ini membuat BSPP digantikan oleh The State Law and Order

5 Kudeta 1988 adalah kudeta menentang pemerintahan Ne Win dan Junta Militernya yang dianggap terlalu diktator dan otoriter. Kudeta 1988 juga merupakan bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan warga Myanmar dengan BSPP yang selama ini dibanggakan oleh Junta Militer. Kudeta ini terjadi akibat protes massa besar-besaran di Myanmar yang meliputi berbagai kalangan mulai dari pelajar/mahasiswa, pegawai sipil, aktivis politik, hingga kaum biksu Budha. Pada dasarnya, kudeta ini dilakukan oleh kalangan militer sendiri untuk meredakan pemberontakan massa ketika itu. Kudeta inilah yang kemudian terus melanggengkan ketidakstabilan kondisi politik, ekonomi dan sosial di Myanmar. Sejak kudeta ini Junta Militer sempat beberapa kali berganti pemimpin namun hanya satu tahun setelah kudeta Jenderal Than Shwe menjadi pemimpin tertinggi Junta Militer. Kudeta ini memaksa sekelompok Jenderal untuk mengkudeta Jenderal Ne Win dan mengadakan pemilihan umum. Kelompok Jenderal yang memang sudah disiapkan oleh Jenderal Ne Win sendiri ini kemudian menunjuk Jenderal Saw Maung (yang pada 1985 diangkat menjadi Panglima Tatmadaw (pasukan militer Myanmar)) untuk melancarkan kudeta. Data ini dikutip dari Min Zin, “Sorting the Tatmadaw after Ne Win”, The Irrawaddy, Vol. 11 No. 1, Januari-Februari 2003, http://www.irrawaddy.org/database/2003/vol.11.1/c-sorting.html


(45)

Restoration Council (SLORC) (Steinberg 2010, h.81). Tidak hanya BSPP, Jenderal Ne Win pemimpin Junta dan BSPP juga harus mundur dari jabatannya dan digantikan oleh Jenderal Saw Maung yang memang sudah disiapkan oleh Jenderal Ne Win sebagai pemimpin SLORC (Steinberg 2010, h.83). Namun, pergantian ini hanya semata-mata pergantian pemerintah Junta Militer yang “lama” menjadi pemerintahan Junta Militer yang “baru” (Firnas 2003, h. 132). Pada dasarnya kekuasaan pemerintahan tetap berada di tangan militer. SLORC ini mulai diberlakukan setelah terjadi demonstrasi dan kudeta militer.

Akibat dari perkembangan di atas, kepemimpinan Junta Militer diambil alih oleh Jenderal Than Shwe yang sebelumnya merupakan sekretaris dari SLORC. Jenderal Than Shwe menggantikan pemimpin Junta Militer paska kudeta yaitu Jenderal Saw Maung yang hanya berkuasa satu tahun paska kudeta 1988. Jenderal Than Shwe memerintah Myanmar hingga tahun 2009. SLORC kemudian berganti

nama lagi menjadi the State Peace and Development Council (SPDC) pada tahun

1997, pergantian nama ini kenyataannya tidak banyak memberi makna pada reformasi politik Myanmar (Irewati 2007, h.11). Sebelumnya, di tahun 1989, pemerintahan Junta Militer dibawah kepemimpinan Jenderal Than Shwe mengubah

nama Union of Burma menjadi the Union of Myanmar (Steinberg 2010, h. xx).

Di bawah pemerintahan SLORC ini Junta Militer berfokus pada pengembangan kemiliteran itu sendiri yang ditekankan sebagai dasar atau ideologi bernegara di Myanmar. Junta Militer melakukan pembangunan sekolah serta pendidikan bagi militer Myanmar. Pembangunan sekolah militer ini merupakan


(46)

35

respon Junta Militer atas kritik terhadap perwira-perwira yang bergabung dalam Junta Militer hampir semua berpendidikan rendah dan banyak disanksikan oleh masyarakat Myanmar akan mampu untuk memimpin Myanmar. Pada masa sebelumnya saat BSPP, fokus dari Junta Militer tidak dititikberatkan pada ideologi militer melainkan pada pendekatan sekularisme yang menuju kepada sosialisme (Steinberg 2010, h.84-85).

Kemajuan bidang militer yang diusahakan Junta Militer semakin memperkuat posisinya dalam kehidupan bernegara Myanmar. Kondisi politik dan ekonomi Myanmar sejak masa kepemimpinan Than Shwe hampir tidak jauh berbeda dengan masa militer sebelumnya. Zahler (2010, h.6) mengatakan bahwa Than Shwe memerintah secara diktator, banyak warga masyarakat yang akhirnya memilih masuk dalam militer sehingga menjadi bagian dari pemerintahan Junta Militer. Kelompok lain di Myanmar seperti kaum Budha atau para biksu, suku minoritas tetap berjuang memperoleh keadilan hidup dari pemerintah Junta Militer. Tidak jarang mereka melakukan perlawanan terhadap Junta Militer walaupun pada akhirnya mereka tetap tidak mampu melawan kekuasaan Junta Militer.

Perubahan paska kudeta 1988 tidak hanya terjadi pada bidang politik, Kusumah (2010) menjelaskan bahwa dalam bidang ekonomi kudeta 1988 turut mempengaruhi hubungan kerjasama ekonomi Myanmar dengan beberapa negara, misalnya dengan Amerika Serikat. Kudeta 1988 ini mengakibatkan penundaan semua perjanjian jual beli senjata serta bantuan asing dari Amerika Serikat ke Myanmar

kecuali bantuan yang ditujukan untuk kemanusiaan pada bulan September 1988 (Far


(47)

Jepang dan komunitas negera Eropa yang juga menunda sementara bantuan ekonomi hingga pemerintah Junta Militer Myanmar menyelesaikan dan mengatasi pertumpahan darah dan konflik yang terjadi di Myanmar.

Di tahun yang sama dengan kudeta 1988 berdirilah National League for

Democracy (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi (puteri dari Aung San), Tin U dan

Aung Gyi (Seekins 2006, h. xxix). Steinberg (2010, h.63-64) mengatakan para tokoh dan anggota NLD bersama mahasiswa melakukan demonstrasi dan perlawanan terhadap pemerintah Junta Militer, yang akhirnya membuat banyak mahasiswa serta Aung San Suu Kyi dan Thin U ditangkap dan kemudian dipenjarakan. Penahanan ini tidak ditentukan batasnya dan mereka para tahanan tidak diperbolehkan melakukan banding atau proses hukum lainnya. Semua berjalan sesuai kehendak Junta Militer.

Demonstran yang tidak tertangkap oleh Junta Militer kemudian melarikan diri ke arah perbatasan terutama ke perbatasan Thailand dan ke daerah pemberontakan untuk kemudian bergabung dengan kelompok pemberontak. Kekacauan politik Myanmar ini berlangsung sejak akhir 1988 hingga akhir 1990-an. Setelah itu pemerintah membuat Undang-Undang tentang pemilu dan pemilu multipartai. Akhirnya pemerintah melaksanakan pemuli multipartai pada tahun 1990 dengan 235 partai peserta pemilu termasuk partai NLD pimpinan Aung San Suu Kyi (Steinberg 2010, h. 86-87).

Pemilu multipartai tahun 1990 tersebut dimenangkan oleh partai NLD dengan 392 dari 485 kursi yang tersedia. Namun, hasil pemilu ini ditolak oleh Junta Militer yang menganggap pemilu tersebut curang. Junta Militer kemudian memboikot pemilu tersebut dan Suu Kyi yang sebelumnya ikut dipenjarakan akibat ikut berdemo


(48)

37

dipindahkan menjadi tahanan rumah oleh Junta Militer (Seekins 2006, h. xxix). Suu Kyi menjadi tahanan rumah sejak 1990 hingga tahun 2010. Pergolakan terus terjadi meskipun tidak secara beruntun, tetapi tercatat sejak 1990 hingga tahun kini pergolakan tetap terjadi di Myanmar. Hal inilah yang menyebabkan Myanmar menjadi negara yang sangat tidak stabil dalam segala bidang terutama politik, ekonomi dan sosialnya.

Selama tahun 1990 hingga awal 2000an kondisi Myanmar mengalami pasang surut dalam berbagai bidang kehidupan. Misalnya, di bidang ekonomi, pada 30 April tahun 1994 Myanmar kembali diembargo dan dijatuhi sanksi ekonomi dari Amerika

Serikat (President’s Export Council 1997, h.I-42). Disamping itu, pemerintah

Amerika Serikat melalui keputusan kongres terhadap peraturan mengenai bantuan

asing, memasukkan Myanmar ke dalam daftar negara-negara “rogue” (penipu) atau

outlaw” (pencabutan perlindungan hukum) bersama dengan Libya, Korea Utara dan

Irak. Keputusan ini berarti Amerika Serikat tidak akan memberi bantuan, baik secara langsung maupun melalui organisasi internasional kepada Myanmar. Sebagai respon terhadap embargo serta sanksi ekonomi tersebut, pemerintah Junta Militer melalui SLORCnya melarang segala bentuk impor produk atau barang-barang lainnya untuk mensiasati agar jumlah uang asing tidak berkurang dan juga untuk meningkatkan

industri manufaktur domestik (Washington Post, 18 Mei 1997).

Di bidang politik, pada 1996-1997 Myanmar memulai proses untuk masuk

menjadi anggota komunitas regional kawasan Asia Tenggara yaitu Association of

Southeast Asia Nations (ASEAN). Pada Juli 1996 tujuh anggota ASEAN yang sudah


(49)

Brunei, dan Vietnam memberi Myanmar izin atau status sebagai pengamat di ASEAN sebagai jalan atau tahapan dalam pemberian keanggotaan penuh terhadap

Myanmar (New York Times, 22 Juli 1996).

Keputusan ASEAN memberi status pada Myanmar membuat Kanada dan Uni Eropa pada 24 Juli 1996 mendesak PBB untuk membuat kebijakan guna memaksakan reformasi politik di Myanmar. Namun proposal ini ditolak dan dikecam oleh seluruh negara anggota ASEAN karena menganggap proposal tersebut sebagai suatu bentuk

intervensi terhadap kedaulatan suatu negara (International Herald Tribune, 25 July

1996, h.4). Namun, pada September 1996 terjadi penangkapan lebih dari 600 orang anggota partai oposisi oleh pemerintah Junta Militer Myanmar sehingga mendorong ASEAN memutuskan untuk menunda penerimaan atau masuknya Myanmar menjadi

anggota ASEAN sampai batas waktu yang belum ditentukan (Financial Times, 30

September 1996). Pada bulan Oktober 1996 Amerika Serikat dan Uni Eropa mengeluarkan larangan bagi para pemimpin, petugas atau pegawai pemerintahan Myanmar untuk masuk ke wilayah mereka. Namun sanksi ini direspon Junta Militer Myanmar dengan mengeluarkan larangan bagi petugas resmi serta seluruh warga

Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk masuk ke wilayah Myanmar (International

Herald Tribune, 5-6 Oktober 1996).

Pada Desember 1996 para pemimpin dari tujuh anggota ASEAN yang telah disebutkan di atas berkumpul di Singapura untuk menerima Myanmar sebagai anggota ASEAN. Peristiwa ini mendapat protes keras dari negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Kanada dan Uni Eropa serta protes dari Aung San Suu Kyi. Namun, pada 31 Mei 1997 seluruh anggota ASEAN setuju untuk menerima dan


(50)

39

mengakui Myanmar sebagai anggota ASEAN. Anggota ASEAN ini menilai bahwa pendekatan yang konstruktivis akan lebih memberikan dampak positif daripada memberi sanksi yang justru dapat semakin mendekatkan Myanmar dengan komunis

(negara Cina) (New York Times, 1 Juni 1997).

Masuknya Myanmar menjadi anggota ASEAN merupakan awal yang baik bagi pergaulan internasional Myanmar. Meski demikian Myanmar tetap menjadi perhatian dunia internasional dengan segala pergolakan politik di dalamnya. Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi dan memberi pengaruh bagi kehidupan Myanmar di awal tahun 2000an. Di tahun 2005, Junta Militer juga memindahkan ibukota Myanmar dari Rangoon (Yangoon) ke Nay Pyi Taw, dan Rangoon dijadikan kawasan ekonomi dan pusat industry. Junta Militer juga mengganti bendera negara Myanmar.

Pada tahun 2007, Myanmar kembali mengalami pergolakan politik. Terjadi

demonstrasi massa yang dimotori oleh kaum biksu Budha (monks) disepanjang jalan

di Rangoon. Aksi ini menentang kebijakan pemerintah Junta Militer yang menaikkan harga bahan bakar minyak hingga 500%, pencabutan subsidi minyak, serta rencana kenaikan gaji bagi para pegawai/perwira militer (Zahler 2010). Selain itu, aksi ini juga merupakan puncak dari kekecewaan rakyat Myanmar akibat kediktatoran Junta Militer. Saat aksi ini terjadi, pemerintah Junta Militer menutup segala akses untuk meliput peristiwa tersebut. Hal ini dikarenakan aksi para biksu tersebut berakhir dengan tindak kekerasan yang dilakukan Junta Militer. Tidak hanya para biksu atau demonstran yang menjadi korban, wartawan khususnya wartawan asing juga menjadi korban kekerasan Junta Militer. Kekacauan ini terjadi di bulan September 2007


(51)

bertepatan dengan Sidang Umum PBB di New York. Melalui satu sumber yang berhasil menyebarkan peristiwa kekacauan di Myanmar tersebut hingga sampai pada Sidang Umum PBB membuat PBB segera mengambil langkah penyelesaian kasus tersebut (Zahler 2010).

Dalam peristiwa tersebut ribuan biksu menjadi korban, dan aksi ini juga berdampak bagi kehidupan Myanmar baik domestik maupun internasional. Ekonomi Myanmar merosot tajam setelah peristiwa tersebut seperti dijelaskan berikut ini:

Another important factor is that the recent events themselves represent a significant socioeconomic shock. Many businesses had to close their doors for days and it took some time for commerce to begin slowly picking up. This had a significant impact on the large number of people who rely on the industry for income, which resulted in a knock-on effect for the economy as a whole. The economic conditions—a significant factor underlying the recent protests—therefore underwent a further decline in the months after the protests. The business elite, many of whom were closely associated with the military leadership, were doubly hit: first, by the impact of the events themselves on key sectors such as tourism; and second, by the increasing difficulties in conducting international financial transactions as a result of US financial sanctions. (Wilson & Skidmore 2008, h.22-23) Faktor penting lainnya adalah bahwa peristiwa tersebut yang baru saja terjadi tersebut (aksi biksu 2007) merupakan goncangan sosio-ekonomi di Myanmar. Banyak pelaku bisnis yang akhirnya menutup usaha mereka dan berusaha keluar dari keadaan kacau dan berbahaya tersebut dalam waktu cukup lama. Ini memberi dampak besar bagi kelangsungan industri serta warga Myanmar yang bekerja di dalamnya. Kondisi ekonomi-sebagai sebuah faktor penting yang menjadi pendorong terjadinya protes-mengalami keterpurukan. Kelompok elit bisnis, yang dekat dengan kalangan militer, juga terkena dampak : pertama, pengaruh kejadian ini terhadap sektor pariwisata; kedua, kesulitan dalam melakukan transaksi keuangan internasional akibat sanksi dari AS (Terjemahan Penulis).

Dalam bidang politik dampak peristiwa ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

The country has been left traumatised by recent events. People are angry about the violent response to the demonstrations and the failure of the authorities to acknowledge the grievances of the population, but more than anything they are angry about the brutal treatment of the monks. What


(52)

41

happens next will depend in part on the interplay between these dominant emotions of anger and fear. The authorities are maintaining a significant, if largely hidden, military presence in Yangoon (Wilson & Skidmore 2008, h.23). Negara Myanmar berada dalam trauma akibat peristiwa yang terjadi (tahun 2007). Warga marah akibat respon yang keras dan brutal yang dilakukan Junta Militer terhadap demonstrasi yang terjadi dan kegagalan penguasa untuk memahami kesulitan masyarakat dan yang lebih

mengecewakan adalah perlakuan brutal terhadap para monks (biksu). Apa

yang terjadi selanjutnya dipengaruhi oleh rasa marah atau takut. Pihak berwenang (Junta Militer) terus mempertahankan kehadiran militer di Yangoon (Terjemahan Penulis).

Setelah mengalami pergolakan hebat pada 2007, kondisi Myanmar belum sepenuhnya normal. Di saat Myanmar berada dalam proses perbaikan ada peristiwa besar lain yang penting bagi kehidupan Myanmar selanjutnya.

Pada bulan Mei 2008 bencana alam Cyclone Nargis menyerang Myanmar.

Bencana alam ini kembali membuat kondisi Myanmar terpuruk. Bukan hanya karena bencana alam ini merusak kondisi alam serta infastruktur Myanmar, banyaknya korban jiwa (140.000 orang tewas) akibat bencana ini, melainkan juga memberi dampak bagi perubahan kondisi politik Myanmar. Pembahasan mengenai bencana alam ini akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya.

C. Bencana Cyclone Nargis di Myanmar dan Dampaknya bagi Kondisi

Sosial, Ekonomi dan Politik Myanmar

Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, Myanmar mengalami berbagai pergolakan yang di mulai sejak masa kemerdekaan. Pergolakan yang terjadi di Myanmar disebabkan oleh faktor-faktor sosial, ekonomi maupun politik. Ketidakpuasan akibat kepemimpinan rezim yang otoriter dan diktator adalah penyebab umum yang mewarnai pergolakan politik Myanmar. Namun, pada tahun


(1)

(2)

TRANSKRIP WAWANCARA 1

Responden : Dr. Ganewati Wuryandari, MA

Jabatan : Peneliti Kajian Isu-isu Global Kontemporer Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Hari/Tanggal : Selasa, 6 Desember 2011 Waktu : 14.00 – 14.30

Tempat : Gedung Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahua Indonesia (LIPI) lt. 11 ruang: 11-07, Jl. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta 12710

T : Bagaimana menurut Ibu perdebatan tentang humanitarian intervention dan Responsibility to Protect dengan isu kedaulatan negara?

J : Perdebatan tentang humanitarian intervention maupun Responsibility to Protect adalah tentang siapa yang paling pantas melakukan tindakan ini, dan jika tindakan ini dilakukan permasalahan yang muncul kemudian adalah sampai berapa lama tindakan ini dapat diberlakukan. Menurut saya dalam pelaksanaan tindakan humanitarian intervention dan Responsibility to Protect terhadap suatu negara diperlukan aturan atau hukum yang dibuat oleh negara yang terintervensi tentang seberapa jauh dan lama tindakan humanitarian intervention dan Responsibility to Protect dapat diberlakukan. Terkait dengan konsep kedaulatan, menurut saya sesuai dengan namanya yaitu “humanitarian” pasti menyangkut masalah kemanusiaan. Humanitarian atau kemanusiaan tidak mengenal batas negara, dan untuk masalah yang menyangkut kemanusiaan apalagi kejahatan terhadap kemanusiaan, maka kedaulatan sebuah negara yang selama ini menjadi hambatan dalam penerapan humanitarian intervention tidak lagi dianggap sesuatu yang mutlak

T : Bagaiman menurut Ibu tentang kondisi politik dalam negeri Myanmar sebelum bencana Cyclone Nargis tahun 2008? Dan apakah Ibu melihat adanya kemungkinan Myanmar melakukan perubahan sistem politik paska terjadinya Cyclone Nargis?

J : Myanmar menurut sepengetahuan saya merupakan negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki sistem politik yang tertutup (isolasionisme) dan berada di bawah kepemimpinan Junta Militer yang kejam sehingga membuat Myanmar menjadi negara yang terbelakang. Terkait bencana Cyclone Nargis, bencana tersebut merupakan bencana massive yang terjadi di Myanmar dan bencana alam terburuk sepanjang sejarah Myanmar, oleh karena itu sudah bisa di pastikan dampaknya bagi kondisi Myanmar. Secara logis sebuah negara yang terkena bencana alam, terlebih bencana alam yang berskala besar seperti Cyclone Nargis, pasti membutuhkan bantuan untuk penanggulangan bencana serta proses perbaikan paska bencana. Dengan bencana yang besar pasti memberi dampak pada kehidupan negara Myanmar, termasuk system politik.


(3)

Cyclone Nargis dapat tergolong sebagai bentuk humanitarian intervention?apakah Ibu melihat bahwa masuknya PBB berpengaruh terhadap perbaikan sistem politik di Myanmar?

J : Jika melihat keadaan yang terjadi di Myanmar paska bencana Cyclone Nargis, seperti yang pernah saya baca di beberapa koran dan majalah, pemerintah Junta Militer tidak mengizinkan bantuan asing masuk ke dalam Myanmar dan membiarkan bantuan asing tersebut membusuk. Menurut saya jika suatu negara yang mengalami bencana mampu secara ekonomi untuk mengatasi masalah akibat bencana alam, maka merupakan hak negara tersebut untuk menolak bantuan dari pihak asing, namun untuk kasus Myanmar, negara yang secara ekonomi dan politik belum stabil dan bahkan menjadi negara dengan pelanggaran hak asasi manusia yang cukup tinggi, maka bentuk bantuan kemanusiaan seperti humanitarian intervention bisa dilakukan. Kalau masalah perbaikan politik menurut saya belum terlihat jelas tetapi kalau pengaruh terhadap politik Myanmar ada. Masuknya PBB sudah menunjukkan perubahan, Myanmar mau sedikit membuka diri.

T : Terkait dengan pertanyaan di atas , jika tergolong sebagai bentuk humanitarian intervention, menurut Ibu mengapa Myanmar mau mengizinkan PBB melakukan humanitarian intervention ?

J : Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, Myanmar bukan negara yang tergolong maju bahkan Myanmar cenderung negara yang terbelakang, dan bencana Cyclone Nargis memerlukan penanganan yang baik. Dan menurut saya izin masuk yang diberikan pemerintah Junta Militer terhadap PBB terkait masalah penganggulangan bencana tersebut.

T : Dampak apa yang muncul dalam politik domestik Myanmar sebagai akibat dari humanitarian intervention yang dilakukan PBB paska bencana Cyclone Nargis tahun 2008?

J : Seperti yang tadi saya katakan sebelumnya, pengaruh terhadap politik domestik Myanmar pasti ada, jika ditanya pengaruh yang diakibatkan adanya humanitarian intervention PBB, menurut saya adalah keterbukaan politik pemerintah Junta Militer Myanmar. Dan dampak bagi masa sekarang bagi Myanmar adalah pembebasan Aung San Suu Kyi sebagai ikon demokrasi Myanmar. Namun pembebasan Suu Kyi menurut saya ditunggangi kepentingan politik dari pihak lain. Seperti ASEAN yang memanfaatkan perubahan politik Myanmar untuk menunjukkan citra sebagai organisasi regional yang baik.


(4)

TRANSKRIP WAWANCARA 2 Responden : Keke Agestu

Jabatan : Wartawan Tv One untuk program Zona Merah (Meliput ke Myanmar pada Februari 2009)

Hari/Tanggal : Selasa, 24 November 2011 Waktu : 13.30 – 14.30

Tempat : Eat&Eat Mall Kelapa Gading 3, Jakarta Utara

T : Bagaimana menurut Anda tentang kondisi Myanmar saat melakukan liputan kesana? J : Yang pasti saya kesana tahun 2009, Februari 2009 tepatnya. Saya ditugaskan untuk

meliput gerilyawan demokrasi. Kondisi di Myanmar sendiri pada 2009 masih tertutup, sulit sekali masuk kesana. Saya kesana satu tahun paska bencana

Cyclone Nargis, itu semakin mempersulit saya masuk ke Myanmar. Saya dapat

visa kesana itu melalui kedutaan besar Myanmar di Thailand. Saya ke Myanmar mengaku sebagai turis bukan wartawan, karena wartawan pasti di curigai. Saya masuk kesana ditanya secara detail apa pekerjaan saya di Indonesia, akhirnya saya memalsukan identitas saya. Karena saya ditugaskan untuk meliput gerilyawan saya harus ke daerah perbatasan Myanmar dengan Thailand. Saya hanya bawa kamera kecil, bukan kamera wartawan. Karena kalau kita ke Myanmar itu pasti dicurigai, apalagi ke daerah selatannya. Kalau di Yangoon masih bisa bawa kamera wartawan yang besar tapi kalau mau keluar Yangoon sebaiknya bawa kamera turis aja. Satu hal kesan saya di Myanmar “disana gak bisa ngapa-ngapain, selalu dicurigain”. Susah sekali mencari informasi khususnya tentang politik. Tiap kita bicara politik pasti ada orang Myanmar yang bilang “anda tidak usah berbicara politik, itu bahaya, apalagi bicara tentang Aung San Suu Kyi”. Orang-orang disana selalu bilang ke semua turis untuk tidak percaya pada siapapun di Myanmar karena bisa saja orang-orang tersebut adalah mata-mata pemerintah Junta Militer Myanmar. Dan jika mata-mata pemerintah mengetahui keberadaan kita di Myanmar sebagai wartawan untuk meliput politik, kita bisa diikuti terus, dan saatnya kita balik ke negara kita, bisa saja hasil liputan kita diambil oleh mata-mata pemerintah. Kemungkinan dijadikan tahanan oleh mereka sangat besar. Myanmar itu menurut saya seperti Jakarta tahun 1970-an. Masyarakat Myanmar hidup dalam ketakutan, mereka takut mengkritik pemerintah

T : Bagaimana kondisi Myanmar paska bencana Cyclone Nargis? Apakah Anda mengetahui tentang penutupan akses masuk bagi bantuan asing untuk para korban?


(5)

kondisinya sudah baik. Hampir tidak terlihat lagi sisa-sisa bencana. Tapi saat saya menuju selatan Myanmar, masih ada beberapa daerah yang dalam perbaikan paska bencana. Dan ini menjadi bukti bahwa pendistribusian bantuan tidak berjalan baik. Saya tahu tentang penutupan akses masuk, maka dari itu saya dapat visa sulit. Saya tidak bisa dapat visa dari Kedutaan Besar Myanmar di Indonesia. Saya harus ke Thailand terlebih dahulu.

T : Terkait pertanyaan diatas, Myanmar akhirnya membuka akses bagi bantuan asing khususnya PBB, menurut Anda apakah masuknya PBB ini dapat digolongkan sebagai humanitarian intervention? Apakah masuknya PBB memberi pengaruh pada perubahan politik domestik Myanmar?

J : Saya kurang mendalami tentang humanitarian intervention, tapi menurut saya masuknya PBB merupakan bentuk dari intervensi kemanusiaan. Bukan intervensi seperti AS ke Irak tapi lebih ke tekanan asing untuk bisa masuk memberi bantuan kemanusiaan. Masuknya PBB dengan humanitarian interventionnya ke Myanmar paska bencana Cyclone Nargis memberi pengaruh pada perubahan citra politik Myanmar dimata dunia internasional. Meskipun tidak signifikan perubahan tersebut, setidaknya citra politik Myanmar yang tadinya tertutup terhadap dunia luar menjadi lebih terbuka dan mau sedikit membuka diri terhadap dunia luar. T : Apa yang anda maksud tentang ketidaksignifikan perubahan politik di Myanmar?

J : Ketidaksignifikan dari perubahan politik di Myanmar terbukti dari hingga kedatangan saya ke Myanmar pada tahun 2009 akses masuk ke Myanmar masih dibatasi. Akses mendapatkan informasi juga sangat terbatas karena warga Myanmar masih tunduk pada Junta dan tidak berani untuk berbicara mengenai politik atau kondisi negara kepada siapapun terlebih orang asing. Di surat kabar yang saya dapatkan di Myanmar, dihalaman terakhir koran berbahasa inggris milik pemerintah Myanmar tersebut selalu ada kolom himbauan bertuliskan seperti ‘warga Myanmar jangan mudah terprovokasi, percaya pada pemerintah

Junta Militer’ selain itu ada juga kolom bertuliskan ‘jangan percaya pada VOA

dan BBC’. Koran ini saya dapatkan setiap hari selama saya berada di Myanmar,

dan setiap hari pula di halaman terakhir koran ini selalu ada himbauan seperti itu.

T : Menurut Anda, bagaimana prospek politik Myanmar ke depan dengan adanya

humanitarian intervention PBB?

J : Masuknya humanitarian intervention PBB merupakan langkah awal bagi perbaikan politik Myanmar. Hal ini dapat dilihat dari pada 2010 terjadi pemilu yang lebih demokratis dan Junta Militer tidak lagi berkuasa penuh. Selain itu tokoh pro demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi akhirnya memperoleh kebebasan setelah sejak tahun 1990 menjadi tahanan rumah oleh Junta Militer. Meski merupakan awal yang baik, namun kebaikan ini bergantung pada pemerintah Myanmar sendiri yang menjalankan roda pemerintahan.


(6)