Kerjasama PBB dan ASEAN dalam Penanggulangan Bencana

74 Selama dua tahun tersebut yaitu hingga tahun 2010 kehidupan masyarakat Myanmar dari segala aspek baik ekonomi, soial dan politik menurut laporan yang dikeluarkan TCG menunjukan perbaikan. Namun meski menunjukan perbaikan akan tetapi target utama penyelesaian hingga tahun 2011 belum terpenuhi. Di bulan Juli 2010 pemerintah Junta Militer Myanmar menyatakan bahwa kelompok kerjasama antara pemerintah Myanmar, PBB dan ASEAN yaitu TCG telah berakhir Burma Partnership , 2010. Hal ini membuat kecewa PBB dan ASEAN serta komunitas internasional lainnya. Namun pada dasarnya upaya penanggulangan bencana Cyclone Nargis sudah berjalan selama 2 tahun dan menunjukan hasil yang cukup baik. 75

BAB IV Analisa Pengaruh

Humanitarian Intervention PBB terhadap Politik Dalam Negeri Myanmar Paska Cyclone Nargis Dalam bab IV ini, penulis akan coba menjelaskan analisa penulis tentang pengaruh humanitarian intervention PBB terhadap politik dalam negeri Myanmar paska bencana Cyclone Nargis tahun 2008. Penulis ingin menjelaskan bahwa humanitarian intervention yang dilakukan PBB memberi dampak pada perubahan politik dalam negeri Myanmar seperti yang menjadi dugaan penelitian. Serta bagaimana kondisi politik Myanmar setelah masuknya humanitarian intervention PBB tersebut.

A. Analisa Pengaruh Keberadaan

Humanitarian Intervention PBB Paska Bencana Cyclone Nargis Tahun 2008 terhadap Politik Dalam Negeri Myanmar Masuknya intervensi ke dalam suatu negara, baik intervensi yang bersifat militer ataupun kemanusiaan, secara tidak langsung memberi dampak pada kehidupan suatu negara. Hal inilah yang penulis lihat dalam kasus humanitarian intervention PBB ke Myanmar paska bencana Cyclone Nargis tahun 2008. Seperti yang telah dijelaskan pada Bab-bab sebelumnya, Myanmar merupakan negara yang menerapkan prinsip isolasionisme dalam politik luar negerinya Ganesan Hlaing 2007. Sehingga, pemerintah Junta Militer Myanmar pasti akan berusaha memproteksi negaranya dari pengaruh negara atau komunitas negara lain. 76 Pada kasus bencana Cyclone Nargis ini, pemerintah Junta Militer berusaha keras menghalangi masuknya bantuan dari luar Myanmar dengan melakukan penutupan akses masuk bagi bantuan dan relawan asing ke wilayah Myanmar CBC News, 12 Mei 2008. Padahal secara logis, menurut Dr. Ganewati Wuryandari, MA Peneliti di Pusat Penelitian Politik P2P LIPI dalam wawancara dengan penulis pada 6 Desember 2011 menjelaskan bahwa “sebuah negara yang terkena bencana alam, terlebih bencana alam yang berskala besar seperti Cyclone Nargis, pasti membutuhkan bantuan untuk penanggulangan bencana serta proses perbaikan paska bencana”. Sedangkan yang terjadi di Myanmar adalah bantuan yang datang dari komunitas internasional untuk para korban tidak diizinkan masuk dan dibiarkan membusuk. Para relawan dari komunitas internasional berusaha melobi pemerintah Junta Militer namun gagal. Bantuan dan relawan tetap tidak diizinkan masuk. Sikap Junta Militer inilah yang kemudian mendorong komunitas internasional untuk melakukan tindakan tegas terhadap Junta Militer Barber 2009, h.21. Kritik dan kecaman komunitas internasional, dan juga upaya lobi dan negosiasi tetap tidak berhasil mempengaruhi sikap Junta Militer. Menghadapi kenyataan yang demikian, beberapa negara seperti Perancis dan Amerika Serikat melalui Dewan Keamanan PBB mengusulkan agar PBB segera mengambil alih kasus bencana Cyclone Nargis atau menjatuhi sanksi kepada pemerintah Junta Militer Myanmar. Selanjutnya, PBB melalui sekretaris Jenderal Ban Ki Moon memutuskan untuk melakukan humanitarian intervention dan mengambil tanggung jawab untuk penanganan kasus 77 bencana Cyclone Nargis ini Barber 2009, h.21. Penerapan tindakan humanitarian intervention PBB terhadap Myanmar juga dibenarkan oleh Dr. Ganewati yang menyatakan bahwa “jika suatu negara yang mengalami bencana mampu secara ekonomi untuk mengatasi masalah akibat bencana alam, maka merupakan hak negara tersebut untuk menolak bantuan dari pihak asing”. Namun, untuk kasus Myanmar, negara yang secara ekonomi dan politik belum stabil dan bahkan menjadi negara dengan pelanggaran hak asasi manusia yang cukup tinggi, maka bentuk bantuan kemanusiaan seperti humanitarian intervention bisa dilakukan. Terkait masih adanya perdebatan apakah humanitarian intervention dapat diterapkan pada kasus bencana Cyclone Nargis atau tidak, Dr. Ganewati menjelaskan “humanitarian atau kemanusiaan tidak mengenal batas negara, dan untuk masalah yang menyangkut kemanusiaan apalagi kejahatan terhadap kemanusiaan, maka kedaulatan sebuah negara yang selama ini menjadi hambatan dalam penerapan humanitarian intervention tidak lagi dianggap sesuatu yang mutlak”. Bentuk nyata dari tindakan humanitarian intervention tersebut adalah kedatangan Sekretaris jenderal PBB, Ban Ki Moon beserta para relawan dan bantuan kemanusiaan pada 23 Mei 2008 ke Myanmar untuk melakukan negosiasi kembali dengan pemimpin Junta Militer Jenderal Than Shwe CNN, 23 Mei 2008. Sebelum kedatangan Ban Ki Moon, PBB dan komunitas internasional lainnya telah melakukan upaya agar pemerintah Junta Militer Myanmar bersedia membuka diri dan membiarkan PBB dan komunitas internasional mengambil tanggung jawab atas penanggulangan bencana tersebut. Negosiasi yang dilakukan PBB berhasil dan 78 pemerintah Junta Militer Myanmar pun akhirnya bersedia membuka akses bagi masuknya bantuan, namun dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan Junta Militer. Masuknya PBB ke Myanmar paska bencana Cyclone Nargis merupakan salah satu bentuk humanitarian intervention. Seperti yang telah penulis jelaskan pada Bab III tentang beberapa syarat yang harus ada jika suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai humanitarian intervention, masuknya PBB ke Myanmar paska bencana Cyclone Nargis telah sesuai dengan syarat-syarat tersebut. Di antaranya, pemerintah Junta Militer Myanmar telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan tidak mengizinkan bantuan asing masuk ke negaranya padahal kondisi negara dalam keadaan genting. Untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia, menurut Kyaw Tint Swe Permanent Representative of Myanmar dalam a memorandum on the situation of human rights in the Union of Myanmar yang dikirimkan ke PBB Oktober 2008 menyatakan bahwa Myanmar Junta Militer memang telah memiliki catatan buruk dalam penegakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, penutupan akses bagi masuknya bantuan kemanusiaan paska Cyclone Nargis ini semakin memperkuat citra Myanmar sebagai negara dengan pelanggaran hak asasi manusia yang cukup banyak. Tidak hanya melakukan pelanggaran hak asasi manusia, pemerintah Junta Militer juga tidak menjalankan tanggung jawabnya sebagai pelindung warga negaranya. Sebelum bencana Cyclone Nargis menyerang Myanmar, pemerintah Junta Militer telah mendapat peringatan dari pemerintah India The India Meteorological Department IMD and Joint Typhoon Warning Center tentang kemungkinan adanya