“Fungsi dan Makna Perayaan Sembahyang Arwah pada Upacara Penghormatan Leluhur Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar”

(1)

i

FUNGSI DAN MAKNA PERAYAAN SEMBAHYANG ARWAH PADA UPACARA PENGHORMATAN LELUHUR MASYARAKAT TIONGHOA DI PEMATANGSIANTAR

印尼先达华裔对七月十五中元节习俗研究 (Yìnní xiān dá huáyì duì qī yuè shíwǔ zhōng yuán jié xísú yánjiū)

SKRIPSI SARJANA

Oleh:

DIAH SOVIANA 110710047

PROGRAM STUDI SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

FUNGSI DAN MAKNA PERAYAAN SEMBAHYANG ARWAH PADA UPACARA PENGHORMATAN LELUHUR MASYARAKAT TIONGHOA DI PEMATANGSIANTAR

印尼先达华裔对七月十五中元节习俗研究 (Yìnní xiān dá huáyì duì qī yuè shíwǔ zhōng yuán jié xísú yánjiū)

SKRIPSI

Skripsi ini ditujukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana dalam bidang ilmu Sastra Cina.

Oleh:

DIAH SOVIANA 110710047

Pembimbing I,

Drs. Fadlin, M.A.

NIP. 196102201989031003

Pembimbing II,

Julina, MTCSOL

PROGRAM STUDI SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

i ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Fungsi dan Makna Perayaan Sembahyang Arwah pada Upacara Penghormatan Leluhur Masyarakat Tionghoa di Pematangsintar”. Fokus kajian adalah terhadap fungsi dan makna perayaan sembahyang arwah pada upacara penghormatan leluhur. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori fungsionalisme dari Malinowski untuk mengkaji fungsi dan teori semiotik dari Pierce untuk mengkaji makna. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan berdasarkan sumber di lapangan, wawancara, observasi, dan peneliti bertindak sebagai pengamat terlibat. Hasil yang diperoleh secara keilmuan pada (1) fungsinya adalah sebagai perwujudan rasa cinta kasih dan bakti anak cucu kepada leluhurnya, penyampai doa dan harapan agar kehidupan senantiasa berjalan baik, dan memberikan kesempatan bagi anak cucu yang ditinggalkan untuk berbuat kebajikan di dunia demi arwah leluhur maupun keluarganya (2) maknanya adalah setiap tradisi memiliki makna lambang ketakwaan (Shun) manusia kepada Tuhan (Thian Min) dan bakti anak terhadap arwah ayah bunda yang sudah meninggal dunia, termasuk pula terhadap arwah leluhurnya, arwah teman, serta arwah umum yang sudah tidak ada sanak saudara yang menyembahyanginya, makna kehidupan, makna rezeki, makna kebahagiaan, makna kemakmuran, makna keharmonisan keluarga serta makna umur panjang bagi orang yang masih hidup dan berperan dalam perayaan ini.


(4)

ii ABSTRACT

The title of the study was “Function and Meaning of Prayer for the Deceased in the Chinese Ancestor Homage Ceremony at Pematangsiantar.” It was focused on the function and meaning of prayer for the deceased in ancestor homage. The study used Malinowski’s theory of functionalism in order to analyze Pierce’s semiotic function and meaning. It also used qualitative method, based on field study, interviews, and observation in which the researcher herself actively acted. The result of the study showed that 1) the function was a realization of love and homage of the descendants to their ancestors, prayer and hope for good life, and giving the opportunity to the descendants for doing good deeds for the sake of the soul and the spirit of the deceased and the families and 2) the meaning was that every tradition had the symbol of piety (Shun) of man toward God (Thian Min) and homage of children toward their late parents’, friends’, and all the deceased’s soul and spirit, the meaning of life, the meaning of earnings, the meaning of happiness, the meaning of prosperity, the meaning of harmony in family life, and the meaning of having a long life for those who are still alive and who play their role in the ceremony.

Keywords: Function, Meaning, Prayer for the Deceased, Ancestor Homage Ceremony


(5)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhana Wataala atas segala rahmat dan karunia-Nya, telah memberikan kesempatan kepada penulis, mulai dari masa perkuliahan sampai dengan tahap penyelesaian tugas akhir di Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Shalawat berangkaikan salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, yang telah menuntun penulis dengan Islam dan iman.

Adapun tugas akhir yang diberi judul “Fungsi dan Makna Perayaan Sembahyang Arwah pada Upacara Penghormatan Leluhur Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar” ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Budaya, Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Secara akademis, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan penulis banyak dukungan, semangat, waktu, bimbingan dan doa, yaitu diantaranya, Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H.,M.Sc.(C.T.M), Sp.A.(K.). atas kesempatan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis berstatus mahasiswi Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara serta kesempatan untuk menyelesaikan Studi S-I dengan baik. Dan ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara , Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. dan


(6)

iv

segenap jajarannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua Program Studi Sastra China FIB USU, Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. dan Sekretaris Program Studi Sastra China FIB USU, Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si. yang selalu memberikan pengarahan kepada penulis selama perkuliahan.

Kepada Bapak Drs. Fadlin, M.A. yang merupakan Dosen Pembimbing I saya, yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tugas akhir saya. Bapak selalu meluangkan waktu untuk saya di tengah kesibukan bapak serta dengan sabar membimbing saya sampai penulisan skripsi ini terselesaikan dengan baik. Penulis juga berterima kasih kepada Laoshi Julina,MTCSOL yang merupakan Dosen Pembimbing II saya, yang juga banyak membantu saya dalam menyelesaikan skripsi China saya. Laoshi telah membimbing saya dengan sabar dan selalu memberikan masukan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya tercinta, yaitu Ayahanda Selamat Kusumo dan Ibunda Zuraida Siregar. Mama dan papa yang telah bersusah payah membesarkan, mendidik, dan menyekolahkan saya sampai tingkat yang lebih tinggi, yaitu di tingkat S1 ini. Mama yang selalu memberikan semangat kepada saya ketika saya mengeluh, dan mama yang selalu mendukung saya dalam pengerjaan skripsi saya. Begitu juga dengan papa yang selalu membantu saya memberikan informasi yang saya butuhkan serta selalu mendukung saya dalam pengerjaan skripsi saya. Papa juga selalu menemani saya berkeliling kota Pematangsiantar, mulai dari mengunjungi beberapa vihara, mewawancari para informan, serta mencari


(7)

data-v

data tanpa kenal lelah. Papa dan mama selalu memberikan doa, semangat, dukungan, kasih sayang yang begitu besar, serta nasehat agar saya selalu berjuang. Akhirnya, berkat dukungan papa dan mama, putri kalian dapat menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana. Terima kasih buat Papa dan Mama yang sangat saya cintai, dan masih tahap awal inilah yang dapat saya berikan buat papa dan mama.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kakak saya tercinta, Yoan Silviana yang selalu membantu dan menghibur saya selama proses penulisan skripsi ini. Dan juga kepada adik saya tercinta, Jihan Sabrina yang selalu memberikan senyuman kepada kakaknya ketika saya pulang ke kampung halaman. Dan keduanya telah memberikan saya semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga berterima kasih kepada seluruh keluarga besar saya yang turut serta memberikan dukungan kepada saya.

Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada Oktri Pani Wiranata yang selalu setia menemani penulis, mengantarkan saya ketika ingin bertemu pembimbing dan mencari data-data, membantu saya ketika saya kesusahan, dan selalu mendampingi saya demi memberikan semangat. Kepada para sahabatku yaitu, Sally, Erviana, Intan, Isda, Lily, Ika, Anggi, serta Nisa yang selalu menyemangati penulis selama penulisan skripsi ini dan memberikan dukungan. Terima kasih juga kepada teman-teman stambuk 2011 yang telah menemani penulis selama empat tahun belajar dan berjuang di Sastra Cina, FIB USU, serta para kakak senior yang turut membantu dan memberikan dukungan kepada penulis, sehingga penulis mendapatkan masukan serta nasehat.


(8)

vi

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada beberapa informan yang telah memberikan waktu dan kesempatan serta memberikan ilmu kepada penulis, yaitu Biksu Zheng Yuan, Koko Erbin, Bapak Kim Hok, Ibu Wardani, serta beberapa masyarakat yang telah berkenan untuk diwawancarai oleh penulis sehingga penulis mendapatkan informasi mengenai pembahasan tulisan ini. Kalian sangat berperan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap agar tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca. Selain itu dapat menjadi sumbangan untuk ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Sastra Cina.

Oleh sebab itu, kepada semua pihak penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun, demi perbaikan skripsi ini.

Medan, 8 Oktober 2015 Penulis,

DIAH SOVIANA NIM. 110710047


(9)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Peta Kota Pematangsiantar ... 16

Gambar 2 Vihara Avalokitesvara Pematangsiantar ... 32

Gambar 3 Patung 12 Shio ... 32

Gambar 4 Rumah Arwah ... 43

Gambar 5 Uang Arwah ... 44

Gambar 6 Mobil Arwah ... 46

Gambar 7 Kapal ... 49

Gambar 8 Kue Apem ... 53

Gambar 9 Kue Bao (pao) ... 54

Gambar 10 Nanas ... 55

Gambar 11 Aneka Permen ... 56

Gambar 12 Onde ... 57

Gambar 13 Bakcang ... 58

Gambar 14 Teh 茶 ... 59

Gambar 15 Susu 牛奶 ... 60

Gambar 16 Apel, Pir, Nasi, Daging ... 62

Gambar 17 Proses Pembakaran ... 64


(10)

viii DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Batasan Masalah ... 5

1.3 Rumusan Masalah ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 6

1.5.2 Manfaat Praktis ... 7

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Konsep ... 8

2.2.1 Penghormatan Leluhur ... 8

2.2.2 Sembahyang ... 9

2.2.3 Sembahyang Arwah ... 9

2.2.4 Tradisi-Tradisi Sembahyang Arwah ... 10

2.2.5 Masyarakat Tionghoa ... 11

2.2.6 Kota Pematangsiantar ... 12

2.2 Landasan Teori ... 17

3.2.1 Teori Fungsionalisme ... 17

3.2.2 Teori Semiotik ... 19

2.3 Tinjauan Pustaka ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 24

3.1 Metode Penelitian ... 24

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 25

3.2.1 Observasi ... 26

3.2.2 Wawancara ... 26

3.2.3 Studi Kepustakaan ... 27

3.3 Data dan Sumber Data ... 28

3.4 Teknik Analisis Data ... 29

3.4.1 Lokasi penelitian ... 30

BAB IV GAMBARAN UMUM AJARAN TAOISME DAN BUDDHISME 33 4.1 Ajaran Taoisme ... 33


(11)

ix

BAB V FUNGSI DAN MAKNA PERAYAAN SEMBAHYANG ARWAH PADA UPACARA PENGHORMATAN

LELUHUR MASYARAKAT TIONGHOA DI

PEMATANGSIANTAR ... 40

5.1 Fungsi Tradisi Persembahaan Makanan, Bakar Harta, Bakar Transportasi, danMembagikan Sembako pada Perayaan Sembahyang Arwah ... 40

5.1.1 Fungsi Persembahan Makanan ... 41

5.1.2 Fungsi Membakar Harta ... 42

5.1.2.1 Rumah Arwah ... 42

5.1.2.2 Uang Arwah ... 44

5.1.2.3 Mobil ... 45

5.1.3 Fungsi Membakar Transportasi ... 47

5.1.3.1 Kapal ... 48

5.1.3.2 Pesawat ... 49

5.1.4 Fungsi Membagikan Sembako ... 50

5.2 Makna Tradisi Persembahan Makanan, Membakar Harta, Membakar Transportasi, dan Membagikan Sembako ... 50

5.2.1 Persembahan Makanan ... 51

5.2.1.1 Berebut Makanan bagi Arwah Gentayangan ... 51

5.2.1.1.1 Kue Apem ... 52

5.2.1.1.2 Kue Bao(Pao) ... 53

5.2.1.1.3 Nanas ... 54

5.2.1.1.4 Aneka Permen ... 55

5.2.1.1.5 Onde ... 56

5.2.1.1.6 Bakcang ... 57

5.2.1.1.7 Teh 茶 ... 58

5.2.1.1.8 Susu牛奶 ... 59

5.2.1.2 Sajian Makanan bagi Leluhur dan Orang Tua ... 60

5.2.1.2.1 Apel ... 60

5.2.1.2.2 Buah Pir (Li) ... 61

5.2.1.2.3 Nasi dan Daging ... 61

5.2.2 Bakar Harta ... 62

5.2.3 Bakar Transportasi ... 64

5.2.4 Membagikan Sembako ... 65

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 67

6.1 Simpulan ... 67

6.2 Saran... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69 LAMPIRAN

Daftar Informan Daftar Pertanyaan Paritta (Mantra)


(12)

i ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Fungsi dan Makna Perayaan Sembahyang Arwah pada Upacara Penghormatan Leluhur Masyarakat Tionghoa di Pematangsintar”. Fokus kajian adalah terhadap fungsi dan makna perayaan sembahyang arwah pada upacara penghormatan leluhur. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori fungsionalisme dari Malinowski untuk mengkaji fungsi dan teori semiotik dari Pierce untuk mengkaji makna. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan berdasarkan sumber di lapangan, wawancara, observasi, dan peneliti bertindak sebagai pengamat terlibat. Hasil yang diperoleh secara keilmuan pada (1) fungsinya adalah sebagai perwujudan rasa cinta kasih dan bakti anak cucu kepada leluhurnya, penyampai doa dan harapan agar kehidupan senantiasa berjalan baik, dan memberikan kesempatan bagi anak cucu yang ditinggalkan untuk berbuat kebajikan di dunia demi arwah leluhur maupun keluarganya (2) maknanya adalah setiap tradisi memiliki makna lambang ketakwaan (Shun) manusia kepada Tuhan (Thian Min) dan bakti anak terhadap arwah ayah bunda yang sudah meninggal dunia, termasuk pula terhadap arwah leluhurnya, arwah teman, serta arwah umum yang sudah tidak ada sanak saudara yang menyembahyanginya, makna kehidupan, makna rezeki, makna kebahagiaan, makna kemakmuran, makna keharmonisan keluarga serta makna umur panjang bagi orang yang masih hidup dan berperan dalam perayaan ini.


(13)

ii ABSTRACT

The title of the study was “Function and Meaning of Prayer for the Deceased in the Chinese Ancestor Homage Ceremony at Pematangsiantar.” It was focused on the function and meaning of prayer for the deceased in ancestor homage. The study used Malinowski’s theory of functionalism in order to analyze Pierce’s semiotic function and meaning. It also used qualitative method, based on field study, interviews, and observation in which the researcher herself actively acted. The result of the study showed that 1) the function was a realization of love and homage of the descendants to their ancestors, prayer and hope for good life, and giving the opportunity to the descendants for doing good deeds for the sake of the soul and the spirit of the deceased and the families and 2) the meaning was that every tradition had the symbol of piety (Shun) of man toward God (Thian Min) and homage of children toward their late parents’, friends’, and all the deceased’s soul and spirit, the meaning of life, the meaning of earnings, the meaning of happiness, the meaning of prosperity, the meaning of harmony in family life, and the meaning of having a long life for those who are still alive and who play their role in the ceremony.

Keywords: Function, Meaning, Prayer for the Deceased, Ancestor Homage Ceremony


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Budaya atau kebudayaan berasal daribuddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kat, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Herskovits dan Malinowski (www.wikipedia.com) mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termas istiadat, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha b berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.


(15)

2

Kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep kebudayaan dari wujud sebagai rangkaian tindakan berpola suatu aktivias manusia (Kroeber, 1958:582 – 583). Menurut Larson dan Smalley (1972:39), kebudayaan sebagai blue print yang memandu prilaku orang dalam suatu komunitas dan diinkubasi dalam kehidupan keluarga. Menurut Kroeber dan Kluckholn (1952) yang mengumpulkan berpuluh-puluh defenisi yang dibuat ahli-ahli antropologi dan membaginya atas 6 golongan, yaitu

(1) deskriptif, yang menekan unsur-unsur kebudayaan, (2) historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan, (3) normatif, yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku, (4) psikologis, yang menekankan kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup, (5) struktural, yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur, dan (6) genetika, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.

Menurut Tylor (1871:1), kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.

Cina merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki budaya begitu beragam. Ini disebabkan budaya Cina sendiri yang jumlahnya tidak sedikit dan ditambah dengan budaya asing yang terus masuk dan menjadi warna tersendiri. Dalam kebudayaan cina, penghormatan kepada leluhur merupakan fenomena


(16)

3

budaya yang universal. Bagi masyarakat Tionghoa, penghormatan kepada orang tua, baik kepada yang masih hidup maupun kepada yang sudah meninggal merupakan sebuah kebudayaan sejak zaman dahulu kala.Wujud penghormatan leluhur, selain dengan cara upacara, juga menyertakan nama-nama leluhur ke dalam nama seseorang. Salah satu perayaan kebudayaan Tionghoa pada upacara penghormatan leluhur adalah perayaan sembahyang arwah.

Sembahyang arwah adalah sebuah tradisi perayaan dalam kebudayaan Tionghoa. Suku Chiong Si Ku yang jatuh pada pertengahan bulan ke-chit ngiet pan). Ritual ini sering dikaitkan dengan hari ray

jatuh pada tanggal Imlek juga

dikenal sebagai Bulan Hantu (Chinese Ghost Month) dimana ada kepercayaan bahwa dalam kurun waktu satu bulan ini, pintu alam baka terbuka dan hantu-hantu di dalamnya dapat bersuka ria berpesiar ke alam manusia.

Demikian halnya sehingga pada pertengahan bulan 7 diadakan perayaan dan sembahyang sebagai penghormatan kepada arwah-arwah tersebut. Tradisi ini sebenarnya merupakan produk masyarakat bermula dari penghormatan kepada leluhur serta dewa-dewa supaya panen yang biasanya jatuh di musim gugur dapat terberkati dan berlimpah. Adanya pengaruh (makhluk Preta) yang perlu dijamu pada masa kehadiran mereka di dunia manusia. Pada hari itu diadakan pembacaan paritta dan pesembahan untuk roh-roh gentayangan yang tidak berkeluarga atau yang ditelantarkan oleh keluarganya.


(17)

4

Sebab itu, perayaan ini secara umum dikenal dengan nama Sembahyang Rebutan (Cioko). Setelah perayaan selesai, barang-barang persembahan (makanan yang dipersembahkan) diberikan kepada fakir miskin.

Untuk mengetahui lebih dalam, penulis melakukan suatu penelitian ilmiah yang memfokuskan tulisan ini pada tradisi seperti persembahan makanan, membakar harta, membakar transportasi, dan membagikan sembako.

Persembahan makanan merupakan tradisi yang akan tetap dipertahankan karena memiliki nilai luhur dalam hal penghormatan pada orang tua yang sudah meninggal ataupun para arwah leluhur. Biasanya para anggota keluarga mempersembahkan makanan yang biasa dimakan para almarhum semasa hidupnya. Kepada arwah gentayangan, pihak vihara juga memberikan persembahan makanan.

Pada tradisi bakar harta, harta yang dimaksud adalah rumah arwah yang terbuat dari kertas, uang arwah yang terbuat dari kertas, dan mobil yang terbuat dari kertas. Sedangkan membakar transportasi seperti pesawat dan kapal yang semuanya juga terbuat dari kertas. Masyarakat Tionghoa sangat mempercayai bahwa, bukan hanya manusia yang masih hidup yang membutuhkan makanan dan harta, tetapi arwah leluhur atau orang tua mereka juga membutuhkan makanan dan harta untuk di alam baka.

Masyarakat Tionghoa tersebar hampir di seluruh dunia. Salah satunya di kota Pematangsiantar yang penulis jadikan sebagai lokasi penelitian dilakukan, tepatnya di Vihara Avalokitesvara. Penulis memilih Vihara Avalokitesvara Pematangsiantar sebagai lokasi penelitian karena di vihara ini, perayaan


(18)

5

sembahyang arwah dirayakan sangat besar-besaran dan meriah setiap tahunnya. Di vihara Avalokitesvara Pematangsiantar, tradisi ini tetap dijalankan tanpa mengurangi nilai kebudayaan. Masyarakat Tionghoa Pematangsiantar terhadap kebudayaan mereka masih sangat lekat dan mereka masih memahami kebudayaan itu dengan baik, baik di kalangan generasi tua maupun generasi muda. Dengan demikian penulis membuat judul penelitian Fungsi dan Makna Perayaan Sembahyang Arwah pada Upacara Penghormatan Leluhur Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

1.2 Batasan Masalah

Untuk menghindari batasan yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian pada fungsi dan makna tradisi seperti persembahan makanan, membakar harta, membakar transportasi, dan membagikan sembako bagi masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar pada perayaan sembahyang arwah.

1.3 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang dikemukakan penulis diatas, beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah untuk memfokuskan pembahasan masalah pada:

1. Bagaimana fungsi perayaan sembahyang arwah pada upacara penghormatan leluhur masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar?


(19)

6

2. Apa saja makna perayaan sembahyang arwah pada upacara penghormatan leluhur masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar?

1.4 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami fungsi perayaan sembahyang arwah pada upacara penghormatan leluhur masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

2. Untuk mengetahui makna perayaan sembahyang arwah pada upacara penghormatan leluhur masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara Teoritis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap fungsi dan makna perayaan sembahyang arwah pada upacara penghormatan leluhur masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar, adalah:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat luas bahwa setiap tradisi ini memiliki fungsi dan makna tersendiri, dan harus tetap kita lestarikan dari setiap generasi.

2. Menjadi sumber dan pengetahuan bagi penulis pada bidang kebudayaan, dan memberi manfaat bagi kelestarian budaya masyarakat Tionghoa.


(20)

7 1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini secara praktis diharapkan sebagai salah satu bahan perbandingan dalam kajian perayaan sembahyang arwah pada upacara penghormatan leluhur masyarakat Tionghoa.


(21)

8 BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata (Soedjadi, 2000: 14). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:456) konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret, gambaran mental dari objek apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Dalam hal ini defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang akan diteliti.

2.1.1 Penghormatan Leluhur

Penghormatan leluhur pada budaya Cina (Hanzi: 敬祖, pinyin jingzu) adalah kebiasaan yang dilakukan anggota keluarga yang masih hidup untuk berusaha mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang sudah meninggal dan membuat mereka berbahagia di akhirat. Praktik tersebut merupakan upaya untuk tetap menunjukkan bakti kepada mereka yang telah meninggal, dan juga memperkokoh persatuan dalam keluarga dan yang segaris keturunan. Menunjukkan rasa bakti kepada leluhur merupakan sebuah ideologi yang berakar mendalam pada masyarakat China. Dasar pemikirannya adalah kesalehan anak


(22)

9

(孝, xiào) yang ditekankan oleh Konghucu. Kesalehan anak adalah sebuah konsep untuk selalu mengasihi orang tua sebagai seorang anak. Dipercaya bahwa meskipun orang yang terkasih telah meninggal, hubungan yang terjadi selama ini masih tetap berlangsung, serta orang yang telah meninggal memiliki kekuatan spiritual yang lebih besar dibandingkan pada saat masih hidup. Penghormatan leluhur dilakukan pada tempat-tempat tertentu yaitu di rumah abu, kelenteng, vihara, dan di rumah tempat tinggal keluarga serta kuburan-kuburan.

2.1.2 Sembahyang

Pada intinya, bersembahyang dalam kepercayaan apapun, terhadap siapapun, wajib memiliki sikap menghormati dan menjunjung kecucian, dan terdapat pula struktur-struktur tertentu. Begitu pula sembahyang 祭拜 jibai) pada kebudayaan Tionghoa yang memiliki struktur tersendiri. Dimulai dari cara berdiri, cara membungkukkan badan, hio yang digunakan beserta tata caranya, dan altar yang digunakan untuk sembahyang.

Setiap masyarakat Tionghoa yang bersembahyang memiliki tujuan untuk mendoakan para leluhur dan kerabat yang telah meninggal dunia supaya hidup sejahtera di alam baka. Mereka juga mendoakan keluaga yang masih hidup agar dapat hidup bahagia didunia.

2.1.3 Sembahyang Arwah

Sembahyang arwah adalah sebuah tradisi perayaan dalam kebudayaan Tionghoa. Perayaan ini juga sering disebut sebagai Festival Tionggoan (Hanzi:


(23)

10

中元, pinyin: zhong yuan). Perayaan ini jatuh pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek. Namun pengaruh religius terutama dari Buddhisme menjadikan tradisi perayaan ini sebagai mitologi tentang hantu-hantu kelaparan yang perlu dijamu pada masa kehadiran mereka di dunia manusia.

Tradisi membagi-bagikan hasil bumi (beras, mie, bihun, kue, buah-buahan, dan sebagainya) di kelenteng-kelenteng diwariskan turun temurun hingga sekarang untuk memberi kesempatan kepada manusia di dunia agar bisa beramal kebajikan bagi para leluhurnya. Menurut kepercayaan, pada setiap bulan ketujuh penanggalan Imlek, pintu neraka akan dibuka lebar-lebar, dan para arwah akan diberi kesempatan untuk turun ke dunia menjenguk anak cucunya. Bagi para arwah yang anak cucunya tidak menyediakan sesajian di rumah, mereka akan mencari makanan di kelenteng, vihara ataupun di rumah abu yang melaksanakan ritual ini.

2.1.4 Tradisi-tradisi Sembahyang Arwah

Adapun tradisi-tradisi yang dilakukan pada sembahyang arwah adalah sebagai berikut:

1. Persembahan Makanan. 2. Bakar Harta.

3. Bakar Transportasi. 4. Pembagian Sembako.


(24)

11 2.1.5 Masyarakat Tionghoa

Masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku sesuai dengan adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, dimana setiap anggota masyarakat terikat suatu rasa identitas bersama (Koentjaningrat, 1985:60). Masyarakat manusia juga merupakan sistem hubungan sosial (social relation system) yang utama. Hubungan ini ditentukan oleh kebudayaan manusia. Untuk mencapai persatuan dan integrasi melalui kebudayaan anggota masyarakat perlu belajar dan memperoleh warisan kebudayaan, termasuk apa yang diharapkan oleh mereka dalam suatu keadaan tertentu.

Masyarakat adalah orang yang berinteraksi dalam sebuah wilayah tertentu dan memiliki budaya bersama (John J. Macionis 1997). Masyarakat juga merupakan sekelompok individu yang memiliki kepentingan bersama dan memiliki budaya serta lembaga yang khas. Masyarakat juga bisa dipahami sebagai sekelompok orang yang terorganisasi karena memiliki tujuan bersama. (www.wikipedia.com).

Tionghoa adalah adat istiadat yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata zhonghuo dalam Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Istilah Tionghoa dibuat sendiri oleh keturunan Cina, berasal dari kata zhonghua. Zhonghua dalam bahasa Mandarin dilafalkan sebagai Tionghoa.

Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di Indonesia. Masyarakat Tionghoa juga memiliki berbagai jenis adat istiadat budaya yang kita kenal dengan perayaan-perayaan ataupun festival-festival tradisional.


(25)

12

Bangsa Tionghoa dalam pengertian modern merujuk kepada semua rakyat di negara Tiongkok tanpa memandang kumpulan etnik. Yang disebut orang Tionghoa tidak serta merta merujuk pada bangsa Han.

Suku bangsa) di salah satu Tenglang Tengnang Thongnyin

Tangren 唐人, "orang Tang"). Suku bangsa

Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.

2.1.6 Kota Pematangsiantar

Secara geografis kota Pematangsiantar terletak diantara 3°01’09”-2 54’00” Lintang Utara dan 99°06’-99 01’ Bujur Timur. Kota ini terletak pada ketinggian 400 meter diatas permukaan laut. Seluruh kota Pematangsiantar memiliki luas wilayah 79,07 kilometerpersegi. Kota Pematangsiantar mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum antara 23,2-24,1 Celcius dan suhu maksimum berkisar antara 30,6-34,1 Celcius. Selain itu, karena letaknya hanya 400 di atas permukaan laut maka suhu di daerah ini umumnya tidak terlalu dingin.


(26)

13

Pematangsiantar adalah kota yang majemuk , baik dalam hal suku maupun agama. Meskipun kota ini dikelilingi kabupaten Simalungun, namun data statistik menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kota Pematangsiantar adalah suku Batak Toba (Tapanuli) sebanyak 47,4 persen, disusul oleh suku jawa diurutan kedua sebanyak 25,5 persen, baru Simalungun 6,6 persen diurutan keluarga. Selebihnya adalah Madina 5,6 persen, Cina 3,7 persen, Minang 2,4 persen dan Karo 1,7 persen. Sisanya daalah Melayu , Pakpak, Aceh dan sebagainya. Agama yang dianut pun beraneka ragam. Mayoritas adalah Kristen Protestan sebanyak 44,4 persen, disusul oleh Islam 43,6 persen, Buddha 6,6 persen, Katolik 5 persen, sisanya adalah Hindu, Konghucu, dan lain-lain.

Polarisasi agama dan etnik adalah sebahagian besar penganut Protestan dan Katolik adalah etnik batak Toba dan Simalungun. Sementara itu, agama Islam mayoritas dianut oleh suku Jawa, Mandailing, Melayu, Aceh, dan lainnya. Orang-orang Tionghoa di Kota Pematangsiantar umumnya mayoritas beragama Budha dan Konghucu, dan juga Protestan dan Katolik. Orang Tionghoa yang beragama Protestan umumnya berada dalam organisasi Gereja Methodis. Orang Tionghoa yang beragama Islam biasanya masuk ke dalam kelompok ahlusunnah wal jamaah atau Sunni dan sebahagian adalah dalam organisasi Muhammadiyah. Orang-orang Tionghoa muslim ada yang menyatu dalam kelompok PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia).

Secara perekonomian, masyarakat Tionghoa di Kota Pematangsiantar umumnya adalah bergerak di bidang perniagaan menjadi pedagang. Mereka membuka mal, kedai sampah, grosir, perniagaan alat-alat industri, makanan dan


(27)

14

minuman, usaha perkebunan, dan lain-lainnya. Di antara masyarakat Tionghoa ini ada juga yang berusaha sebagai penanam sayur-mayur, yang selalu disebut sebagai Cina kebun sayur. Bagaimanapun, orang Tionghoa umumnya ulet dalam usaha perdagangan ini, termasuk di Kota Pematangsiantar. Sebagian besar penduduk hidup sebagai pegawai, karyawan, pedagang dan wiraswasta, dan hanya sebagian kecil yang hidup sebagai petani.

Sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar merupakan daerah kerajaan Siantar, yang berkedudukan di Pulau Holing dan raja terakhir Dinasti keturunan marga Damanik ialah Tuan Sangnawaluh Damanik, yang memegang kekuasaan sebagai raja tahun 1906. Setelah Belanda memasuki Sumatera Utara, Simalungun menjadi daerah kekuasaannya, sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan para raja-raja. Contreleur Belanda yang semula berkedudukan di Perdagangan pada tahun 1907 dipindahkan ke Pematangsiantar. Sejak itu Pematangsiantar berubah menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru. Bangsa Cina mendiami kawasan Timbang Galung dan Kampung Melayu.

Berdasarkan Staadblad Belanda Nomor 285 tanggal 1 Juli 1917, Pematangsiantar kemudian berubah menjadi Gemeente yang punya kewenangan otonomi sendiri. Sejak 1 Januari 1939 berdasarkan StaadBlad Nomor 717 Kota Siantar berubah menjadi Gemeente yang punya Dewan Kota. Pada masa pendudukan Jepang berubah menjadi Siantar State dan menghapuskan Dewan Kota. Kemudian setelah proklamasi kemerdekaan, berdasarkan UU Nomor 22/1948, status Gemeente dirubah menjadi ibukota Kabupaten Simalungun dan


(28)

15

walikotanya dirangkap Bupati Simalungun hingga tahun 1957. Berdasarkan UU Nomor 1/1957 berubah menjadi Kotapraja penuh. Dengan keluarnya UU Nomor 18/1965 berubah menjadi Kotamadya dan berdasarkan UU Nomor 5/1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, resmi menjadi Kotamadya Pematangsiantar, dan dengan keluarnya UU No.5/1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah berubah menjadi Daerah Tingkat II Pematangsiantar, dan sejak 1999 nama “Kotamadya” Pematangsiantar berubah menjadi “Kota” Pematangsiantar.


(29)

16 Gambar 1:

Peta Kota Pematangsiantar

Sumber: http://blog.ub.ac.id/sriuriani/profil-daerahpematangsiantar/keadaan-geografis-kota-pematangsiantar/


(30)

17 2.2 Landasan Teori

Untuk mengkaji fungsi perayaan sembahyang arwah pada penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa Kota Pematangsiantar, penulis menggunakan teori fungsionalisme yang lazim digunakan di dalam ilmu antropologi. Sedangkan untuk mengkaji makna segala aktivitas atau tradisi perayaan sembahyang arwah dalam masyarakat Tionghoa di Kota Pematangsintar, penulis menggunakan teori semiotik. Kedua teori tersebut dijelaskan secara terperinci sebagai berikut.

2.2.1 Teori Fungsionalisme

Teori Fungsionalisme dalam ilmu Antropologi Budaya mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia sebagai putra bangsawan Polandia. Bagi Malinowski dalam (Ihroni 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.

Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa


(31)

18

kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan. Koentjaraningrat (1987:167) membedakan antara fungsi social dalam tiga tongkat abstraksi yaitu:

1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat. Tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.

2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial ataupun unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial ataupun unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial tertentu.


(32)

19

Contohnya : unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan menimbulkan kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi.

2.2.2 Teori Semiotik

Semiotik (semiotics) berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda atau sign. Tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif, mampu menggantikan suatu yang lain (stand for something else) yang dapat dipikirkan atau dibayangkan (Broadbent, 1980).

Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (Van Zoest, 1993: 1). A. Teew (1984: 6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra yang mempertanggung jawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun.

Teori semiotik adalah teori kritikan pascamodern, ia memahami karya sastra melalui tanda-tanda atau perlambangan yang ditemui di dalam teks. Teori ini berpendapat bahwa dalam sebuah teks terdapat banyak tanda dan pembaca atau penganalisis harus memahami apa yang dimaksudkan dengan tanda-tanda tersebut. Hubungan antara tanda dengan acuan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:


(33)

20 1. Ikon

Ada kemiripan antara acuan dengan tanda. Tanda merupakan gambar atau arti langsung dari petanda. Misalnya, foto merupakan gambaran langsung yang difoto. Ikon masih dapat dibedakan atas dua macam, yakni ikon tipologis, kemiripan yang tampak disini adalah kemiripan rasional. Jadi, didalam tanda tampak juga hubungan antara unsur-unsur yang diacu, contohnya susunan kata dalam kalimat, dan ikon metaforis, ikon jenis ini tidak ada kemiripan antara tanda dengan acuannya, yang mirip bukanlah tanda dengan acuan melainkan antar dua acuan dengan tanda yang sama.

2. Indeks

Istilah indeks berati bahwa antara tanda dan acuannya ada kedekatan ekstensial. Penanda merupakan akibat dari petanda (hubungan sebab akibat). Misalnya, mendung merupakan tanda bahwa hari akan hujan, asap menandakan adanya api. Dalam karya sastra, gambaran suasana muram biasanya merupakan indeks bahwa tokoh sedang bersusah hati.

3. Simbol

Simbol yang ada tentunya sudah mendapat persetujuan antara pemakai tanda dengan acuannya. Misalnya, bahasa merupakan simbol yang paling lengkap, terbentuk secara konvensional, hubungan kata dengan artinya dan sebagainya.

Charles Sanders Pierce menyatakan bahwa analisis semiotik terdiri dari tiga aspek penting sehingga sering disebut dengan segitiga makna atau triangle of meaning (Littlejohn, 1998). Tiga aspek tersebut adalah :


(34)

21 1.Tanda

Dalam kajian semiotik, tanda merupakan konsep utama yang dijadikan sebagai bahan analisis di mana di dalam tanda terdapat makna sebagai bentuk interpretasi pesan yang dimaksud. Secara sederhana, tanda cenderung berbentuk visual atau fisik yang ditangkap oleh manusia.

2. Acuan tanda atau objek

Objek merupakan konteks sosial yang dalam implementasinya dijadikan sebagai aspek pemaknaan atau yang dirujuk oleh tanda tersebut.

3. Pengguna Tanda (interpretant)

Konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. (Kriyantono, 2007 : 263).

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka merupakan hasil dari meninjau, pandangan, pendapat, sesudah menyelidiki atau mempelajari kitab-kitab; buku; buku primbon (KBBI, 2003:912).

Tinjauan pustaka merupakan hasil dari penelitian terdahulu yang memaparkan pandangan dan analisis yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti.

Sesuai dengan pendapat diatas, maka penulis akan memaparkan beberapa tinjauan pustaka seperti:


(35)

22

Reny Syafrida, skripsi (2012): “Kajian fungsi dan makna tradisi penghormatan leluhur dalam sistem kepercayaan masyarakat Tionghoa di Medan”. Skripsi ini menjelaskan bahwa penghormatan leluhur memiliki fungsi seperti ritual, solidaritas keluarga serta kelangsungan garis keturunan. Penulis juga menuliskan beberapa upacara penghormatan leluhur serta tata cara jalannya upacara. Skripsi ini juga menjelaskan bahwa makna budaya yang terkandung di dalam aktivitas penghormatan leluhur ini memiliki makna integrasi keluarga dan kerabat.

Laya Pirevia Maengkom, skripsi (1987): “Penghormatan leluhur suatu tradisi dalam keluarga Cina”. Skripsi ini menjelaskan tentang tata cara penghormatan leluhur pada suatu keluarga etnis Tionghoa yang merupakan unit sosial dasar dimana setiap anggotanya ikut ambil bagian dalam pemeliharaan religi tradisional tersebut. Dalam penghormatan leluhur ini penulisnya juga menguraikan bahwa tradisi ini bukan hanya merupakan suatu kepercayaan atau religi saja tetapi juga mempunyai fungsi social dan turut berperan dalam kehidupan keluarga.

Hermina Sutami, jurnal (2012): “Kuliner untuk Arwah: Realita Akulturasi Budaya Kaum Cina Peranakan”. Jurnal ini menjelaskan tentang akulturasi budaya di bidang kuliner khususnya untuk memperingati hari kematian arwah leluhur. Sajian yang dihidangkan berupa kuliner yang memang berasal dari cina, tetapi dari daerah setempat juga tidak dilarang. Penulis menekankan tulisan ini pada upacara ritual Konfusianisme yang agak berbeda dengan daerah lain. Upacara hari


(36)

23

peringatan kematian leluhur dilakukan di rumah pribadi ataupun vihara. Dalam upacara tersebut sajian kuliner yang dipersembahkan tidaklah sama.

Chris Ferdinand Gulo, skripsi (2014): “Makna dan Fungsi Pembakaran Kertas Pada Masyarakat Tionghoa”. Skripsi ini menguraikan 3 perayaan yaitu, imlek, cap go meh, dan ceng beng. Dalam 3 perayaan tersebut, adanya tradisi pembakaran kertas dan kertas yang digunakan pun berbagai macam jenis, makna, dan fungsinya. Dalam perayaan Imlek dan Cap Go Meh, makna dari tradisi pembakaran kertas ini adalah sebagai rasa pengucapan rasa syukur terhadap Tuhan. Sedangkan pada perayaan Ceng Beng, makna dari tradisi pembakaran kertas adalah sebagai penghormatan terhadap leluhur dan orang tua yang telah meninggal.

Para Confucian (2011:4) dalam artikel yang berjudul “Pembakaran kertas pada Tradisi Tionghoa”. China: Tiongkok. Menguraikan bahwa, pembakaran kertas merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa mempercayai tradisi bakar kertas akan membuat leluhurnya tidak kekurangan dana di alam baka. Uang kertas yang dibakar merupakan dana yang digunakan para leluhur di alam baka. Pembakaran kertas dilaksanakan agar para leluhur tidak mengalami kelaparan dan kehausan serta tidak kekurangan dana atau uang di alam baka, karena masyarakat Tionghoa mempercayai di alam baka memiliki kehidupan yang sama seperti di bumi, oleh sebab itu para leluhur membutuhkan materi sama seperti manusia.


(37)

24 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian makna persembahan makanan, membakar harta, membakar transportasi, dan membagikan sembako bagi masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar dalam ritual sembahyang arwah dengan metode Antropologi budaya dan dengan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Yang lebih menekankan hasil pengamatan adalah pada pelaksanaan tradisi persembahan makanan, membakar harta, membakar transportasi, dan membagikan sembako bagi masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar dalam perayaan sembahyang arwah.

Menurut Punaji Setyosari penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan suatu keadaan, peristiwa, objek apakah orang, atau segala sesuatu yang terkait dengan variabel-variebel yang bisa dijelaskan baik dengan angka-angka maupun kata-kata. Hal senada juga dikemukakan oleh Best bahwa penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya.

Sukmadinata (2006:72) menjelaskan penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena


(38)

25

itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya

Penelitian deskriptif tidak hanya terbatas pada masalah pengumpulan dan penyusunan data, tapi juga meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data tersebut. Data yang dikumpulkan berasal dari naskah, artikel, wawancara, foto, dokumen pribadi, lapangan, dan sebagainya

Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Oleh karena itu, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi objek yang diteliti menjadi lebih jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang betujuan untuk menggambarkan dan menganalisa suatu keadaan atau status fenomena secara sistematis dan akurat mengenai fakta dari tradisi persembahan makanan, membakar harta, membakar transportasi, dan membagikan sembako bagi masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar dalam perayaan sembahyang arwah.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Secara metodologi dikenal beberapa macam teknik pengumpulan data, diantaranya observasi, wawancara, angket dan studi dokumentasi (studi


(39)

26

kepustakaan). Untuk memperoleh data yang diperlukan maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data studi dokumentasi (studi kepustakaan) (Abdurrahmat, 2005:104).

Studi dokumentasi adalah langkah-langkah atau cara pengumpulan data atau informan yang menyangkut masalah yang diteliti dengan mempelajari buku, majalah atau surat kabar dan bentuk tulisan lainnya yang ada relevannya dengan masalah yang diteliti.

3.2.1 Observasi

Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berarti tidak melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69). Dalam mengumpulkan data salah satu teknik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan secara langsung/observasi terhadap subyek yang akan diteliti.

Dalam penelitian ini penulis mengadakan berulang kali pengamatan/observasi secara langsung terhadap tradisi perayaan sembahyang arwah. Observasi terencana juga sudah dilakukan berulang kali dimana sekarang ini peneliti telah memfokuskan penelitian pada persembahan makanan, membakar harta, membakar transportasi, dan membagikan sembako.

3.2.2 Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah teknik wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung


(40)

27

kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan,

“…kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, teknik bertanya, dan pencatat data hasil wawancara.”

Dalam studi ini penulis melakukan penelitian terhadap beberapa rumah pada keluarga etnis Tionghoa dan vihara-vihara yang ada di kota Pematangsiantar. Penulis menggunakan metode wawancara terutama dengan informan kunci yaitu orang yang banyak mengetahui dan mengerti tentang tradisi pada perayaan sembahyang arwah.

Metode wawancara yang penulis gunakan adalah:

1. Wawancara tak berencana atau unstandardized interview. Walaupun dalam wawancara masalah-masalah yang dipertanyakan tidak menggunakan daftar pertanyaan, namun penulis menggunakan suatu pedoman yang berisikan garis besar pokok masalah yang ingin penulis peroleh informasinya.

2. Wawancara sambil lalu atau Casual Interview. Bentuk wawancara ini penulis gunakan juga terhadap beberapa pengurus vihara.

3.2.3 Studi Kepustakaan

Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan berfikir dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan, guna melengkapi apa yang dibutuhkan dalam penulisan dan penyesuaian data dari hasil wawancara. Sumber bacaan atau literatur ini dapat berasal dari penelitian


(41)

28

yang sudah pernah dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi. Selain itu sumber bacaan yang menjadi tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa buku, jurnal, surat kabar, artikel dan berita-berita dari situs internet.

3.3 Data dan Sumber Data

Dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi setiap penulis untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai dalam perayaan sembahyang arwah pada upacara penghormatan leluhur masyarakat Tionghoa di kota Pematangsiantar. Data-data yang digunakan diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer tersebut adalah sebagai berikut:

1. Nama : Bapak Selamat Kusumo / He Wen Bin Profesi : Guru

Usia : 60 tahun Agama : Islam

Alamat : Jl. Flores No.2B Pematangsiantar 2. Nama : Biksu Zheng Yuan

Profesi : Biksu Usia : 49 tahun Agama : Buddha

Alamat : Jl. Thamrin (Vihara Fo Lian Tang / Samiddha Bhagya) Kecamatan Siantar Barat


(42)

29 3. Nama : Erbin

Profesi : Ketua Pembina Pemuda Tionghoa Pematangsiantar Usia : 24 tahun

Agama : Buddha

Alamat : Jl. Sibolga No.3 Pematangsiantar 4. Nama : Ibu Wardani / Huang Tai Tai

Umur : 42 tahun Agama : Taoisme

Alamat : Jl. Pematang, Pematangsiantar

5. Nama : Bapak Kinarja Wong / Huang Kim Hok Umur : 47 tahun

Agama :Taoisme

Alamat : Jl. Pematang, Pematangsiantar. Sumber data sekunder adalah:

Sumber data sekunder : Sekilas Budaya Tionghoa

Halaman : 120hlm

Percetakan : Gramedia

Penerbit : PT Bhuana Ilmu Komputer

3.4 Teknik Analisis Data

Data merupakan keterangan atau kenyataan yang memaparkan suatu peristiwa yang dikumpulkan dan disatukan untuk dipergunakan sebagai bahan informasi.


(43)

30

Data artinya informasi yang didapat melalui pengukuran-pengukuran tertentu, untuk digunakan sebagai landasan dalam menyusun argumentasi logis menjadi fakta. Sedangkan fakta itu adalah kenyataan yang telah diuji kebenarannya secara empiris, antara lain melalui analisis data (Abdurrahmat, 2005:104)

Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam atau menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab keseluruhan pertanyaan penelitian.

Adapun proses yang dilakukan adalah:

1. Mewawancarai beberapa tokoh masyarakat Tionghoa, untuk memudahkan penulis untuk mengerjakan tulisan ini, serta mendapatkan informasi tentang makna tradisi persembahan makanan, membakar harta, membakar transportasi, dan membagikan sembako, serta tata cara pelaksanaannya. 2. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat

mendukung penelitian ini kemudian memilih data yang dianggap paling penting dan penyusunannya secara sistematis.

3. Pemaknaan antara lambang menjadi arti.

4. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis dapat membuat kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya penelitian ini.

3.4.1 Lokasi Penelitian`

Lokasi penelitian berada di beberapa tempat di Kota Pematangsiantar khususnya di Jl. Pane vihara Avalokitesvara. Vihara Avalokitesvara merupakan


(44)

31

salah satu bangunan tempat ibadah terpopuler di Pematangsiantar. Bangunan vihara ini sangat megah dan memiliki eksotika yang luar biasa indahnya. Vihara Avalokitesvara ini terletak di pusat kota Pematangsiantar dan sangat mudah sekali dijangkau karena letaknya yang sangat strategis.

Vihara Avalokitesvara ini mempunyai beberapa hal yang sangat menarik. Salah satunya adalah patung Dewi Kwan Im terbesar di Asia Tenggara yang tampak begitu megah yang menghiasi halaman vihara. Selain patung Dewi Kwan Im, di sekitar halaman vihara Avalokitesvara ini juga berdiri beberapa patung lainnya, seperti patung dari beberapa shio yang letaknya berurutan sesuai urutan shio. Patung-patung tersebut di wujudkan dalam bentuk hewan-hewan. seperti ayam, tikus, kerbau, ular, kuda, macan, kelinci, naga, monyet, babi, anjing dan kambing.

Beberapa vihara lain yang menjadi lokasi penelitian adalah Jl. Thamrin no.7 vihara Bhagya / Fo Lian Tang , Jl. Thamrin no.63/64/65 perpustakaan vihara Bhagya, , Jl. Pematang vihara Ci Fa Gong Pematangsiantar dan perumahan masyarakat Tionghoa yang berada di Kecamatan Dwikora. Pemilihan lokasi penelitian ini, karena disini terdapat banyak masyarakat Tionghoa, sehingga penulis lebih mudah untuk mewawancarai masyarakat Tionghoa.


(45)

32 Gambar 2:

Vihara Avalokitesvara Pematangsiantar Dokumentasi: Diah Soviana, 2014

Gambar 3:


(46)

33 BAB IV

GAMBARAN UMUM

AJARAN TAOISME DAN BUDDHISME

4.1 Ajaran Taoisme

Ajaran Tao tercipta atas dasar reaksi alamiah manusia dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan dan misteri. Setelah perjalanan panjangnya selama 5.000 tahun, kini terwarisi berbagai metode Tao. Metode untuk menjalani hidup yang berlandaskan alamiah, selaras dan mengikuti kodrat alam. Metode yang merupakan reaksi alamiah manusia untuk bertahan hidup, meningkatkan kualitas hidup, mengungkap misteri hidup serta memberi arti hidup.

Haryono (1994:33) menyimpulkan bahwa pada dasarnya filsafat Taoisme dibangun dengan tiga kata, yaitu:

1. Tao Te, “tao” adalah kebenaran, hukum alam, sedangkan “te” adalah kebajikan. Jadi Tao Te berarti hukum alam yang merupakan irama dan kaidah yang mengatur bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya. 2. Tzu-Yan artinya wajar. Manusia seharusnya hidup secara wajar, selaras

dengan cara bekerja sama dengan alam.

3. Wu-Wei berarti tidak campur tangan dengan alam. Manusia tidak boleh mengubah apa yang sudah diatur oleh alam.

Pada zaman pertengahan Dinasti Han muncul seseorang yang bernama Zhang Dao Ling, yang juga menulis kitab Tao. Zhang Dao Ling juga menyembuhkan orang sakit, membuat jimat sehingga banyak orang m enjadi


(47)

34

pengikutnya. Begitu besar pengaruhnya hingga pada akhirnya ajaran-ajarannya menjadi dasar dari agama Tao yang kemudian disebut Tao Jiao.

Pengaruh ajaran Taoisme bagi masyarakat Tionghoa dapat dilihat dari tindakan-tindakan yang positif dan kecintaan masyarakat Tionghoa terhadap lingkungan. Selain itu berusaha mewujudkan perdamaian dan cinta kasih teradap sesama umat manusia.

Inti dari ajaran ini adalah setiap orang hendaknya memberikan kasih sayang tidak terbatas bukan pada para anggota keluarga saja, akan tetapi harus kepada seluruh anggota keluarga yang lain. Peperangan dan upacara ritual yang mengeluarkan biaya tinggi akan merugikan rakyat, dan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan dasar kecintaan manusia dan oleh karenanya dicela. Prinsip pokok Taoisme adalah jika kita menyayangi orang lain maka orang lain akan menyayangi kita, (Achmadi, 1994:93).

Dalam ajaran Taoisme, perayaan sembahyang arwah (zhongyuan) adalah perayaan yang memperingati hari kelahiran Kaisar Di Guan dan juga untuk menyambut kedatangan Kaisar Di Guan [地官大帝] ke bumi atau alam manusia untuk memberikan pengampunan terhadap dosa-dosa manusia yang telah meninggal dunia (roh). Kaisar Di Guan adalah salah satu dari 3 Kaisar Tritunggal agama Tao yang terdiri dari Kaisar Tian Guan [天官大帝] atau disebut juga dengan Shang Yuan [上元], Kaisar Di Guan [地官大帝] atau disebut juga dengan Zhong Yuan [中元] dan Kaisar Shui Guan [水官大帝] yang juga disebut dengan Xia Yuan [下元].


(48)

35

Sejak zaman dibuka oleh Raja Neraka Yan Luo Wang (阎罗王), agar makhluk-makhluk halus (hantu) yang tidak mendapat persembahan makanan dari keluarganya dapat menikmati persembahan makanan di alam manusia. Kemudian pada hari terakhir bulan 7, pintu neraka akan ditutup dan semua makhluk halus (hantu) harus pulang ke alam neraka. Oleh karena itu, bulan 7 menurut penanggalan Imlek disebut juga dengan Bulan Hantu.

Keutamaan dari perayaan sembahyang arwah (zhongyuan) yaitu menolong makhluk yang sengsara. Tradisi membagi-bagikan hasil bumi (beras, mie, bihun, kue, buah-buahan, dan sebagainya) di kelenteng-kelenteng diwariskan turun temurun hingga sekarang untuk memberi kesempatan kepada manusia di dunia agar bisa beramal kebajikan bagi para leluhurnya. Menurut kepercayaan, pada setiap bulan ketujuh penanggalan Imlek, pintu neraka akan dibuka lebar-lebar, dan para arwah akan diberi kesempatan untuk turun ke dunia menjenguk anak cucunya. Bagi para arwah yang anak cucunya tidak menyediakan sesajian di rumah, mereka akan mencari makanan di kelenteng, vihara ataupun di rumah abu yang melaksanakan ritual ini.

4.2 Ajaran Buddhisme

Dalam agama Buddha, bulan 7 tanggal 15 menurut kalender Imlek diperingati sebagai Hari Suci Ulambana, yang mana pada Hari Suci Ulambana ini para umat Buddha akan membacakan paritta atau mantra dan melakukan ritual upacara untuk menghormati para leluhur yang telah meninggal dunia dan untuk


(49)

36

menolong makhluk yang menderita di alam Preta yaitu alam kehausan dan kelaparan sepanjang masanya (lebih sering disebut dengan alam hantu kelaparan). Dalam bahasa Mandarin, ritual tersebut sering disebut dengan Chao Du Fa Hui (超渡法会).

Ulambana bermula dari kisah seorang murid Buddha yang memiliki kesaktian luar biasa, bernama Bhante Moggalana (Maha Maudgalyayana/ Muk Lien). Dalam bahasa Mandarin, cerita ini dikenal sebagai Mu Lien Ciu Mu (Y.M. Moggalana menolong ibunya). Cerita inilah yang paling dikenal masyarakat luas. Cerita ini terdapat dalam Ulambanapatra Sutra yang ditemukan pada Kanon China. Cerita ini tidak ditemukan pada Kanon Pali atau Tibet. Menurut cerita ini, pada waktu sedang bermeditasi, Bhante Moggalana mempergunakan kemampuan batinnya untuk melihat alam-alam lain selain alam manusia. Pada waktu itu Bhante Moggalana melihat surga, tempat para dewa dan dewi. Selain itu, beliau juga melihat ke alam-alam menderita, alam setan, setan raksasa (Asura), setan kelaparan atau alam peta dan juga alam neraka.

Bhante Moggalana dengan prihatin melihat alamalam menderita yang sangat menyedihkan ini. Di salah satu alam setan kelaparan, Bhante Moggalana melihat ibunya terlahir di sana. Oleh karena ibunya terlalu lama tidak dapat makan dan minum, maka tubuhnya tinggal tulang dan kulit yang kering, kurus, dan pucat. Melihat kondisi ibunya sedemikian buruk, Bhante Moggalana sangat sedih dan ingin membantu meringankan penderitaan ibundanya. Dengan amat tergesa-gesa, beliau mengisi patta-nya (mangkok makanan bagi seorang bhikkhu) dengan nasi, dan dengan kekuatan gaibnya nasi itu dikirim kepada ibunya yang


(50)

37

malang itu. Karena ia merasa sangat lapar serta khawatir nasinya direbut oleh setan-setan lain, maka setelah nasi itu diterima, ibunya cepat-cepat menutupi nasi tersebut dengan telapak tangan kiri dengan serapat-rapatnya.

Kemudian dengan tangan kanan ia mengambil segenggam nasi untuk meringankan rasa laparnya, tetapi betapa malangnya, begitu nasi itu sampai di depan mulutnya berubah menjadi arang yang membara dan ia pun tak dapat memakannya dan tetap kelaparan. Melihat nasib ibunya yang malang itu, Bhante Moggalana sebagai seorang anak yang sangat cinta kepada orangtuannya tambah sedih karena gagal menolong ibundanya. Karena tidak ada jalan lain, beliau dengan perasaan dukacita kembali ke vihara dan menyampaikan apa yang telah dialaminya kepada Buddha. Bhante Moggalana bertanya kepada Guru Buddha tentang sebab musabab kegagalan usaha pertolongannya kepada ibunya.

Buddha menerangkan kepada Bhante Moggalana dalam Ulambanapatra Sutra sebagai berikut:

“Maha Maudgalyayana yang berbudi, apa sebabnya hingga kemampuan kegaibanmu tidak dapat berbuah sesuatu terhadap seseorang yang bertubuh setan kelaparan? Ketahuilah, sebabnya adalah karma buruk yang pernah ditimbun oleh ibumu pada masa silam itu akarnya terlalu dalam, tentu saja kamu sendiri tidak dapat mencabut akar itu hanya dengan kemampuan gaib tanpa disertai kebajikan. Dan akar kejahatan itu tidak dapat kamu cabut seorang diri dengan mengandalkan daya gaib saja. Walaupun kamu bermaksud baik, bercita-cita luhur, sampai-sampai teriakanmu yang mengharukan bias mengguncangkan langit dan bumi, tetap saja para dewata, para dewa bumi dan surga, para orang suci, bahkan raja adikuasa dari surga catur maharajakayika, dan sebagainya, tidak dapat berbuat apa-apa; kesemuannya kehilangan cara untuk membantumu dan semua maksud baik dan segala keinginanmu itupun sia-sia.”


(51)

38

“Ketahuilah Maha Maudgalyayana yang berbudi! Jika segala keinginan dan cita-citamu ingin terwujud, undanglah para Bhiksu dan Bhiksuni dari Sravaka-Sangha yang berada di 10 penjuru; butlah suatu kebaktian bersama dan buatlah juga kebajikan-kebajikan untuk dianugerahkan kepada ibumu. Dengan demikian segala belenggu dan kesengsaraan yang menimpa ibumu akan lepas semua. Sekarang akan Kuuraikan cara untuk menyelamatkan para umat yang sedang mengalami siksaan di alam Samsara kepada anda sekalian.”

Buddha bersabda kepada Maha Maudgalyayana lagi:

“Dengarlah baik-baik Maha Maudgalyayana yang berbudi! Pada setiap tanggal 15 bulan 7 (menurut penanggalan Candrasangkala) adalah Hari Pravarana Sangha. Pada saat inilah para Bhiksu dan Bhiksuni yang berada di 10 penjuru berlibur, dan pada saat itu pulalah mereka sering mengadakan pembincangan untuk pertobatan. Pada saat itu, kamu bisa mengambil kesempatan untuk mengadakan suatu upacara berdana makanan kepada para orang suci, yakni upacara Ulambana namanya. Dan gunannya khusus untuk menyelamatkan orang tua si pemuja baik mereka yang masih hidup maupun yang telah meninggal atau yang sedang tertimpa malapetaka.”

Apakah para putra-putri yang berbudi atau siswa siswi Buddhis di masa yang akan datang dapat menggunakan cara Ulambanapatra ini untuk menyelamatkan orangtua atau ayahibunya dalam 7 turunan yang telah meninggal pada masa silam?

Buddha menjawab,

“Sekarang dengarlah baik-baik putra-putri yang berbudi! Apabila terdapat bhiksu, bhiksuni, para raja, pangeran, pejabat-pejabat kerajaan, serta para rakyat jelata yang berada di masa sekarang atau di masa mendatang berkasrat ingin melaksanakan bakti, membalas budi kepada orangtuannya; iba hati kepada para makhluk yang sengsara, mereka boleh menyediakan berbagai macam makanan serta sajian lain pada Hari Pravarana Sangha itu, dan mengadakan upacara Ulambana di suatu tempat suci dengan maksud berdana makanan kepada para suci yang datang dari 10 penjuru, sehingga ayah-bunda mereka yang masih hidup mendapat umur panjang dan senantiasa menikmati hidup yang sejahtera. Sedangkan orangtua mereka yang telah meninggal beserta ayah-bunda dalam 7 turunan dari masa yang lampau itu dapat keluar dari alam setan kelaparan atau alam samsara lain, dan mereka dapat dilahirkan di alam


(52)

39

manusia atau di alam kebahagiaan, agar mereka dapat berbahagia selama-lamanya.”

Buddha menjelaskan bahwa bila akan menolong makhluk di alam menderita hendaknya orang melakukannya dengan cara pelimpahan jasa. Pelimpahan jasa adalah melakukan suatu perbuatan baik atas nama orang yang telah meninggal yang akan ditolong. Oleh karena itu, Bhante Moggalana kemudian disarankan oleh Sang Buddha untuk memberikan persembahan jubah dan makanan kepada pada bhikkhu Sangha atas nama ibunya. Nasehat Sang Buddha ini diikuti oleh Bhante Moggalana. Beberapa waktu kemudian Bhante Moggalana mengundang para bhikkhu, mempersembahkan dana makan, mempersembahkan jubah, kemudian melakukan pelimpahan jasa atas nama ibunya. Setelah melaksanakan upacara pelimpahan jasa, Bhante Moggalana bermeditasi lagi. Dengan mata batinnya beliau mencari ibunya di alam peta. Ketika bertemu, keadaan ibunya jauh berbeda. Ibunya kini kelihatan segar, sehat, awet muda, pakaiannya bagus, rapi dan bersih. Melihat hal itu, Bhante Moggalana berbahagia. Berdasarkan cerita itulah orang mengenal upacara pelimpahan jasa. Upacara pelimpahan jasa ini juga sering dihubungkan dengan tradisi mendoakan para makhluk menderita yang dilaksanakan setiap tanggal 15 di bulan 7 menurut penanggalan Imlek.


(53)

40 BAB V

FUNGSI DAN MAKNA PERAYAAN SEMBAHYANG ARWAH PADA UPACARA PENGHORMATAN LELUHUR MASYARAKAT TIONGHOA

DI PEMATANGSIANTAR

Bab lima ini membahas tentang Fungsi dan Makna Perayaan Sembahyang Arwah pada Upacara Penghormatan Leluhur Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Secara fungsional tradisi persembahan makanan, membakar harta, membakar transportasi, dan membagikan sembako pada masyarakat merupakan salah satu aspek yang merujuk pada pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan dan tradisi secara turun temurun dalam masyarakat keturunan Tionghoa, khususnya yang beragama Taoisme.

5.1 Fungsi Tradisi Persembahan Makanan, Membakar Harta, Membakar Transportasi, dan Membagikan Sembako pada Perayaan Sembahyang Arwah.

Untuk menganalisis fungsi tradisi persembahan makanan, membakar harta, membakar transportasi, dan membagikan sembako dalam perayaan sembahyang arwah pada penghormatan leluhur masyarakat Tionghoa, penulis berpedoman pada pendapat Malinowski (Ihroni 2006), yaitu sebagai berikut:

“…semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu


(54)

41

masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.”

5.1.1 Fungsi Persembahan Makanan

Tradisi persembahan makanan dalam perayaan sembahyang arwah pada upacara penghormatan leluhur masyarakat Tionghoa adalah suatu sistem yang didasari oleh kepercayaan. Masyarakat Tionghoa percaya, jika memberikan persebahan makanan kepada para arwah leluhur akan berdampak baik bagi keluarga yang ditinggalkan. Bagi masyarakat Tionghoa, khususnya yang menganut ajaran Buddha, Konghucu, dan Taoisme, memberikan makanan kepada arwah leluhur ataupun arwah sanak keluarga adalah kegiatan yang wajib dilakukan pada saat memperingati perayaan sembahyang arwah.

Dalam tradisi memberikan persembahan makanan, setiap anggota keluarga masyarakat Tionghoa yang meninggal wajib diberikan makanan. Makanan yang dipersembahkan tersebut biasanya adalah makanan yang biasa dia makan semasa hidup di dunia, Seperti nasi, daging, teh, dan buah. Mereka juga percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal juga merasakan lapar, Itulah sebabnya masyarakat Tionghoa selalu memberikan makanan kepada orang yang meninggal.

Berdasarkan teori fungsi dari Malinowski fungsi dari unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat tertentu. Dalam hal ini, makanan merupakan kebutuhan primer manusia hidup dan juga demikian para arwah leluhur. Fungsi dari tradisi persembahan makanan pada perayaan sembahyang arwah adalah agar para arwah


(55)

42

leluhur, sanak keluarga, maupun arwah gentayangan tidak merasa kelaparan, dan memang sudah sepantasnya arwah-arwah tersebut dijamu untuk menunjukkan perwujudan rasa cinta kasih dan bakti dari anak cucu kepada leluhurnya. Jadi selaras dengan pemikiran Malinowski, makanan ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dan arwah leluhur tentang makanan.

5.1.2 Fungsi Membakar Harta 5.1.2.1Rumah Arwah

Rumah arwah adalah rumah yang terbuat dari kertas dan merupakan media yang dipakai dalam perayaan sembahyang arwah pada upacara penghormatan leluhur bagi masyarakat Tionghoa. Rumah kertas ini akan dikirimkan ke alam baka dengan cara dibakar saat peringatan kematian/meninggalnya kerabat atau pendahulu mereka. Setiap tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek, pengurus vihara-vihara bergotong- royong membuat rumah dari kertas ini dengan sangat megah. Fungsi dari rumah kertas ini adalah untuk tempat tinggal para arwah leluhur dan sanak keluarga ketika berada di alam baka. Keluarga yang di dunia juga berfikir bahwa arwah para leluhur dan sanak keluarga membutuhkan tempat tinggal seperti ketika masih hidup.


(56)

43 Gambar 4: Rumah Arwah

Dokumentasi: Diah Soviana, 2014

Berdasarkan teori fungsi dari Malinowski fungsi dari unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat tertentu.

Sebagaimana halnya makanan, rumah juga menjadi unsur penting di dalam konteks kebutuhan dasar manusia. Rumah adalah tempat berteduh, bersosialisasi keluarga inti dan batih, dan lainnya. Rumah termasuk juga kebutuhan dasar manusia. Dalam hal ini arwah juga dalam kebudayaan Tiongho memerlukan sebuah rumah di alamnya sana. Oleh karena itu, maka dikirimlah sebuah rumah arwah dengan cara membentuknya sedemikian rupa dan kemudian dibakar. Rumah ini dipercayai menjadi rumah tempat tinggal arwah di alamnya.


(57)

44 5.1.2.2Uang Arwah

Sejak zaman dahulu, ada 2 jenis kertas yang digunakan dalam tradisi ini, yaitu kertas yang bagian tengahnya berwarna keemasan (Kimcua) dan kertas yang bagian tengahnya berwarna keperakan (Gincua). Menurut kebiasaan-nya Kimcua (Kertas Emas) digunakan untuk upacara sembahyang kepada dewa-dewa, sedangkan Gincua (Kertas Perak) untuk upacara sembahyang kepada para leluhur dan arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia. Kertas-kertas tersebut akan dikirimkan ke alam baka dengan cara dibakar.

Fungsi dari uang arwah adalah untuk memenuhi kebutuhan para arwah leluhur maupun sanak keluarga ketika berada di alam baka. Uang arwah dikatakan memiliki tujuan supaya anggota keluarga yang telah meninggal dapat membeli apapun yang mereka inginkan di akhirat. Uang arwah juga digunakan untuk memberi tebusan kepada Raja Neraka supaya arwah leluhur dapat segera dibebaskan.

Gambar 5: Uang Arwah


(58)

45

Berdasarkan teori fungsi dari Malinowski fungsi dari unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat tertentu.

Sebagaimana halnya makanan dan rumah, maka uang juga menjadi unsur yang penting di dalam konteks kebutuhan dasar manusia dan para arwah. Uang adalah perangkat dasar dalam konteks jual beli, dan memenuhi segala kebutuhan manusia. Uang adalah alat untuk ditukarkan kepada berbagai kebutuhan dasar manusia dan arwah. Dalam hal ini arwah juga dalam kebudayaan Tionghoa memerlukan uang di alamnya sana. Oleh karena itu, maka dikirimlah uang untuk arwah dengan cara membentuknya sedemikian rupa dan kemudian dibakar.

5.1.2.3Mobil

Pengiriman mobil ini untuk arwah leluhur dan sanak keluarga. Fungsi dari mobil ini adalah agar di alam baka, arwah leluhur maupun kerabat tetap memiliki kendaraan layaknya seperti di dunia. Mobil juga merupakan alat transportasi, tetapi mobil termasuk ke dalam harta pribadi milik arwah leluhur dan orang tua atau keluarga.


(59)

46 Gambar 6: Mobil untuk Arwah

Dokumentasi: Diah Soviana, 2014

Berdasarkan teori fungsi dari Malinowski fungsi dari unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat tertentu.

Sebagaimana halnya makanan, rumah, dan uang, maka mobil juga menjadi unsur yang penting di dalam konteks kebutuhan dasar manusia dan para arwah.


(60)

47

Mobil adalah sarana transportasi yang memiliki gengsi sosial tertentu pula. Orang yang memiliki mobil, rumah, dan dapat memenuhi berbagai kebutuhannya, maka dapat digolongkan sebagaimanusia berada yang memiliki status sosial lebih dibandingkan orang kebanyakan. Mobil ini dipandang sebagai sarana transportasi dan gengsi sosial baik di dalam alam manusia atau alam arwah. Demikianlah kepercayaan masyarakat Tionghoa pada umumnya.

5.1.3 Fungsi Membakar Transportasi

Berdasarkan teori fungsi dari Malinowski fungsi dari unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat tertentu.

Transportasi yang dimaksud adalah pesawat dan kapal yang terbuat dari kertas. Transportasi ini dibuat dengan ukuran yang besar dan indah. Tradisi membakar transportasi hanya ada pada perayaan sembahyang arwah (zhongyuan). Setelah dibakar, abu nya ditebarkan di sungai ataupun danau yang luas.

Fungsi dari pembakaran transportasi adalah untuk mengantarkan kembali ke alam baka para arwah leluhur yang telah berpesiar di alam manusia selama satu bulan penuh bersama dengan harta yang telah dipersembahkan oleh para sanak keluarga di dunia.


(61)

48 5.1.3.1Kapal

Berdasarkan teori fungsi dari Malinowski fungsi dari unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat tertentu.

Kapal merupakan salah satu alat transportasi yang digunakan untuk pemulangan arwah leluhur ke alam baka. Karena ada kalimat “samudra penderitaan dan menuju pantai sebrang”, maka dibuatlah kapal untuk menyebrangkan para arwah leluhur beserta seluruh harta yang dibawa dari dunia seperti mobil, rumah, dan uang ke pantai sebrang (alam baka) dengan selamat agar terhindar dari arwah gentayangan atau tidak memiliki keluarga yang berada di sepanjang perjalanan menuju alam baka. Kapal akan dibakar dan abunya akan disebar ke sungai agar arwah sampai ke alam baka.


(62)

49 Gambar 7: Kapal untuk Arwah

Dokumentasi: Diah Soviana, 2014

5.1.3.2Pesawat

Berdasarkan teori fungsi dari Malinowski fungsi dari unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat tertentu.


(63)

50

Pesawat juga merupakan alat transportasi yang digunakan untuk pemulangan arwah leluhur ke alam baka. Namun berbeda dengan kapal, pesawat hanya digunakan untuk pemulangan arwah leluhur yang tanpa harta.

5.1.4 Fungsi Membagikan Sembako

Berdasarkan teori fungsi dari Malinowski fungsi dari unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat tertentu.

Tradisi membagikan sembako merupakan tradisi yang ada pada perayaan sembahyang arwah. Tradisi membagi-bagikan hasil bumi seperti beras, mie, bihun, kue, buah-buahan, dan sebagainya di kelenteng-kelenteng, diwariskan turun temurun hingga sekarang. Sembako tersebut dibagikan kepada kaum fakir miskin.

Fungsi dari tradisi membagikan sembako adalah untuk memberi kesempatan kepada manusia di dunia agar bisa beramal kebajikan demi para leluhurnya.

5.2 Makna Tradisi Persembahan Makanan, Membakar Harta, Membakar Transportasi, dan Membagikan Sembako

Sesuai dengan pendapat Pierce analisis semiotik terdiri dari tiga aspek penting yaitu tanda (representatum), acuan tanda atau objek, dan pengguna tanda


(64)

51

atau interpretan. Ketiga aspek ini terdapat pula dalam tradisi persembahan makanan, membajar harta, membakar transportasi, dan membagikan sembako.

Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, setiap tradisi yang dijalankan memiliki makna tersendiri. Disini penulis akan menguraikan makna atau arti dari tradisi persembahan makanan, bakar harta, bakar transportasi, dan membagikan sembako. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan beberapa tokoh masyarkat pada penelitian ini, penulis berhasil mengumpulkan beberapa informasi tentang makna tradisi persembahan makanan, bakar harta, bakar transportasi, dan membagikan sembako.

Adapun maknanya yaitu sebagai makna kehidupan, baik bagi yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal, makna kebahagiaan, makna sukacita, makna rezeki, makna kesejahteraan, makna keharmonisan keluarga, makna kemakmuran, dan makna umur panjang bagi yang masih hidup didunia. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menguraikannya secara terperinci makna pada tradisi persembahan makanan, bakar harta, bakar transportasi, dan membagikan sembako pada perayaan sembahyang arwah di kota Pematangsiantar.

5.2.1 Persembahan Makanan

5.2.1.1Berebut Makanan bagi Arwah Gentayangan

Bagi para arwah yang anak cucunya tidak menyediakan sesajian di rumah dan arwah-arwah yang gentayangan, mereka akan mencari makanan di vihara-vihara ataupun kelenteng-kelenteng. Anak cucu yang tidak menyediakan sesajian


(65)

52

makanan di rumah, dikarenakan keadaan ekonomi yang sulit, sehingga mereka menyerahkan kepada pihak vihara untuk menyediakannya.

Para arwah akan beramai-ramai berpesiar ke alam manusia menuju vihara-vihara untuk saling berebut makanan, karena selama mereka di alam baka mereka sangat kelaparan sehingga mereka disebut juga dengan sebutan hantu kelaparan.

Masyarakat Tionghoa yang memperebutkan makanan persembahan, diibaratkan seperti para arwah yang sedang memperebutkan makanan yang ada di vihara- vihara tersebut. Adapun makanan-makanan yang dipersembahkan untuk diperebutkan mengandung makna tersendiri. Ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Representatum (tanda): berebut makanan.

Interpretan: masyarakat Tionghoa dan para arwah. Objek: makanan pokok dan lauk pauk.

5.2.1.1.1 Kue Apem

Kue apem adalah kue yang berwarna merah muda yang pada bagian atas kue mengembang. Sajian ini memiliki makna agar anak cucu yang ditinggalkan dan masyarakat yang menyantap sajian ini, diharapkan agar kehidupannya bertambah berkembang sepanjang tahun, mekar seperti bentuk pada bagian atas kue ini. Pada Gambar 8, tampak beberapa kue apem yang disusun meninggi seperti gunung. Proses semiotik ini dapat dideskripsikan sebagai berikut.


(66)

53

Interpretan: masyarakat Tionghoa dan para arwah. Objek: kue apem.

Gambar 8: Kue Apem

Dokumentasi: Diah Soviana, 2014

5.2.1.1.2 Kue Bao (Pao)

包bao dengan nada satu berasal dari bahasa mandarin yang artinya roti dan dengan pelafalan bunyi yang hampir sama yaitu 饱 bao dengan nada tiga yang berarti kenyang atau penuh. Seperti artinya “penuh”, makna dalam menyantap sajian ini “mendapatkan rezeki yang berlimpah”. Bagi anak cucu yang ditinggalkan dan masyarakat yang telah menyantap sajian ini, diharapkan


(67)

54

mendapat rezeki yang berlimpah sepanjang tahun. Secara semiotik proses ini dapat dideskripsikan sebagai berikut.

Representatum (tanda): mendapat rezeki yang berlimpah. Interpretan: masyarakat Tionghoa dan para arwah yang dituju. Objek: kue bao.

Gambar 9: Kue bao (pao)

Dokumentasi: Diah Soviana, 2014

5.2.1.1.3 Buah Nanas

Nanas yang dalam bahasa mandarin disebut dengan 黄梨Huang li dan dengan pelafalan yang hampir sama yaitu 旺Wang yang mengandung arti


(68)

55

“makmur, subur”. Sajian ini diharapkan agar dalam menjalani kehidupan kita bisa maju dan dalam menjalani suatu usaha kita mampu mencapai kejayaan yang diinginkan. Secara semiotik dapat dideskripsikan sebagai berikut.

Representatum (tanda): makmur dan subur.

Interpretan: masyarakat Tionghoa dan para arwah yang dituju. Objek: buah nanas.

Gambar 10: Buah Nanas

Dokumentasi: Diah Soviana, 2014

5.2.1.1.4 Aneka Permen

Permen merupakan sajian yang manis. Makna dari disajikan aneka permen adalah agar kehidupan senantiasa manis sepanjang tahun. Secara semiotik dapat dideskripsikan sebagai berikut.


(69)

56

Interpretan: masyarakat Tionghoa dan para arwah yang dituju. Objek: berbagai permen.

Gambar 11: Aneka Permen

Dokumentasi: Diah Soviana, 2014

5.2.1.1.5 Onde

Onde merupakan sajian berbentuk bulat-bulat kecil yang menyatu. Makna dari sajian ini adalah agar anak cucu yang ditinggalkan dapat berkumpul selalu setiap tahunnya, seperti halnya para arwah yang berkumpul untuk berpesiar ke alam manusia. Secara semiotik dapat dideskripsikan sebagai berikut.

Representatum (tanda): anak cucu yang ditinggalkan dapat berkumpul. Interpretan: masyarakat Tionghoa dan para arwah yang dituju.


(70)

57

Gambar 12: Onde

Dokumentasi: Diah Soviana, 2014

5.2.1.1.6 Bakcang

Bacang merupakan sajian yang terbuat dari beras ataupun ketan yang diisi dengan daging cincang, serta bahan lainnya. Sajian ini dibungkus dengan menggunakan daun bambu. Makna dari sajian ini adalah sebagai bentuk penghormatan kepada arwah leluhur dengan menyediakan makanan pembuka untuk menyambut para arwah yang datang ke alam manusia. Secara semiotik dapat dideskripsikan sebagai berikut.

Representatum (tanda): penghormatan kepada arwah.

Interpretan: masyarakat Tionghoa dan para arwah yang dituju. Objek: bakcang.


(71)

58 Gambar 13: Kue Bakcang

Dokumentasi: Diah Soviana, 2014

5.2.1.1.7 Teh

Sesuai dengan jawaban beberapa informan yang telah diwawancarai, makna dari sajian teh adalah sebagai hidangan pembuka untuk menyambut kedatangan para arwah leluhur, sanak keluarga, maupun arwah gentayangan yang terlihat sangat kehausan. Secara semiotik dapat dideskripsikan sebagai berikut.

Representatum (tanda): menyambut kedatangan arwah yang haus. Interpretan: masyarakat Tionghoa dan para arwah yang dituju. Objek: teh.


(1)

14

(图一)纸别墅 (图二)纸钱箱

(图三)纸制私家汽车 (图四)焚化纸制

(图一)纸别墅,即将焚化寄送给祖先的纸造别墅和阴间专用金银财宝。 (图二)纸钱箱,在阴间专用金银财宝。

(图三)纸制 私家汽车,焚化纸制汽车用意是使祖先在黄泉下能像在生前

阳间时拥有私家车出门方便。


(2)

15

4.3 焚化纸制公用交通工具

世间慈善有心基极德人士们,团结制造漂亮而大的纸轮船,用意是来 帮忙大众祖先们游玩人间重返阴间时,方便带一些自己后人祭送的家产钱财 。一方面可以避免被无主魂野鬼的恶意打扰。

4.4 慈善济贫物品

4.4.1先达华裔“慈善济贫物品”习俗的意义

发放日用品及食物的传统是在敬拜鬼神活动的仪式。这一传统,那些热人希望长寿、平


(3)

16

4.4.2 先达华裔“慈善济贫物品”习俗的作用

传统分发物品是,在祭祀鬼神活动的仪式。结束后在寺庙里分, 如发米饭,面条,米粉

,糕点,水果等,传世至今。主食分发给穷力。先达华裔社发物品活动目地让在家人为他们祖先

多做好事。


(4)

17

第五章、结论

每个民族都有自己的文化。历史悠久的民族,其文化必然比其他文化 高一筹。农历七月十五中元节。本文也分析了先达华人历史背景。

1. 先达市华裔一向来都保持传统习俗,无论身在何处,心里总不忘本,

始祖文明接代相传至今,人所周知中华文化内涵美德,应该一代一代 地专承下去。

2. 大家要有坚强的意志,满怀的信心,不屈的毅力,为后一代而奋斗。


(5)

18

参考文献

[1] 车丽丝,2014年9月《印尼棉兰华裔烧纸文化习俗研》 (J) . ฀北大学฀文学院中文系。

[2] 萨菲妲,2012年《印尼棉兰华裔烧纸文化习俗研究》(J). 苏北大学华文学院中文系。 [3] 拉亚,比勒菲亚.敬祖是华人的传统 (J), 1987年

[4] 荷尔咪娜,苏妲咪。 “Kuliner untuk Arwah:Realita Akulturasi Budaya Kaum Cina Peranakan”(J), 2012年

[5] Confucian. 烧纸在中国传统的功能 [Z]. http://article.com.html, 2010年 [6] Teddy Jusuf. 《 中国文化》 (M)., PT Bhuana Ilmu Komputer ,2000年


(6)

19

致 谢

感谢上帝,因为他的恩慈,我身体健康,能顺利写完本人论文的;感

谢苏北大学,为我提供一所很好的大学,让我学到中文知识。非常感谢Julin

a老师在我大学的最后学习阶段——

毕业设计阶段给本人的指导,从最初的定题、资料收集、写作、修改、论文 定稿,她耐心的指导和无私的帮助。为了指导本人的毕业论文,她放弃了自 己的休息时间,她的这种无私奉献的敬业精神令人钦佩,在此我向她表示诚 挚的谢意。同时,感谢家庭的鼓励和所有同学在这四年来给本人的指导及帮 助,是他们教会了我专业知识、如何学习,如何做人。由于他们的支持,我 才能在各方面取得显著的进步,在此向他们表示我由衷的谢意。