1. Dakwaan dan Tuntutan
Dalam Surat Dakwaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang diajukan oleh JPU, terdakwa Edi Murjono, SE., didakwa telah melakukan melakukan
tindak pidana kesusilaan terhadap anak yang usianya belum mencapai 15 tahun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 290 angka 2 KUHP. Dalam surat
tuntutan tersebut dinyatakan bahwa: Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, maka
sampailah kami kepada pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan yaitu Pasal 290 angka 2 KUHP jo Pasal 65 ayat 1
KUHP, dengan unsur-unsur sebagai berikut: - Unsur Barangsiapa
Kata barangsiapa dalam perundang-undangan pidana adalah kepada subjek hukum atau pelaku tindak pidana dengan pengertian siapa saja
yaitu orang yang mempunyai hak dan kewajiban yang tidak cacat mental dan mampu bertanggung jawab di hadapan hukum serta tidak
masuk sebagai orang-orang yang dalam perbuatannya dikenakan alasan penghapusan penuntutan seperti tersebut pada Buku I Titel ke-3 KUHP,
bahwa dalam persidangan terdakwa telah menunjukkan jati dirinya dimana terdakwa telah mampu menjawab secara jelas dan tegas serta
lancar atas segala pertanyaan Majelis Hakim maupun Penuntut Umum. Sehingga unsur barang siapa telah mnunjukkan orang yang melakukan
perbuatan tersebut dalam hal ini dalah terdakwa Edi Murjono, SE. Dengan demikian unsur ini telah terbukti secara sah menurut hukum.
- Unsur melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan
Yang dimaksud unsur “melanggar kesusilaan” adalah setiap perbuatan yang keji dalam lingkungan nafsu birahi kelamin misalnya cium-
ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dsb.
Bahwa pada sekitar bulan April 2006 dan bulan September 2006 atau setidak-tidaknya pada waktu tertentu dalam tahun 2006 bertempat di
SMP Budi Waluyo Jl.Cisanggiri II No.15 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, terdakwa telah melakukan perbuatan berupa memeluk,
memegang, mengelus-elus dan meraba-raba payudara serta paha saksi Leni Diah Ayu Ekawati, terdakwa juga telah membuka kancing baju
atas seragam sekolah saksi Fiona Andriani lalu memegang payudara saksi Natasha Ruth Ivanka namun tidak berhasilkarena dapat ditangkis
oleh saksi Natasha Ruth Ivanka. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa
Edi Murjono,SE pada saat mengajar atau memberikan materi pelajaran komputer di ruang lab komputer dan juga saat mengajar atau memberi-
kan pelajaran ekonomi di ruang kelas. Unsur ini terbukti secara sah menurut hukum.
- Unsur dengan seseorang yang diketahuinya atau secara patut harus dapat diduganya, bahwa orang tersebut belum mencapai usia lima
belas tahun, atau jika tidak dapat diketahui dari usianya, orang itu belum dapat dikawini.
Perbuatan cabul atau perbuatan asusila yang dilakukan terdakwa Edi Murjono, SE terhadap saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati, Fiona
Andriani dan Natasha Ruth Ivanka pada sekitar bulan April 2006 dan bulan September 2006 atau setidak-tidaknya pada tahun 2006 tersebut,
secara patut diketahui atau dapat diduga oleh terdakwa bahwa usia para saksi korban saat itu belum mencapai usia 18 tahun atau belum
masanya untuk dikawin yaitu bahwa saksi korban Fiona Andriani berusia sekitar 13 tahun sedangkan saksi korban Natasha Ruth Ivanka
baru berusia sekitar 12 tahun. Unsur ini terbukti secara sah menurut hukum.
- Unsur melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan-perbuatan yang berdiri sendiri.
Terdakwa telah melakukan tindak pidana terhadap saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati pada tanggal 4 April 2006, 11 April 2006 dan
tanggal 18 April 2006, sedangkan terhadap saksi korban Fiona Andriani dan saksi korban Natasha Ruth Ivanka dilakukan sekitar bulan
September 2006 sehingga dengan demikian patut dipandang sebagai satu perbuatan yang berdiri sendiri.
Dengan demikian unsur ini terbukti secara sah menurut hukum.
Selanjutnya berdasarkan
fakta-fakta yang
terungkap dalam persidangan terdakwa juga didakwa Pasal 82 UU No.232003 tentang
Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat 1 KUHP, dengan unsur-unsur sebagai berikut:
- Unsur Barangsiapa
Unsur ini telah dijelaskan pada dakwaan sebelumnya, dan terbukti.
- Unsur Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Dikarenakan unsur ini bersifat alternativ, apabila salah satu unsur telah terbukti maka tidak perlu dibuktikan seluruhnya. Bahwa yang dimaksud
unsur “kekerasan” adalah setiap perbuatan yang mempergunakan tenaga badan yang tidak ringan yang ditujukan terhadap orang,
sedangkan yang dimaksud dengan unsur “perbuatan cabul” adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan kesopanan atau
perbuatan keji yang dilakukan dalam lingkungan nafsu birahi kelamin seperti cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba
buah dada, dan sebagainya. Bahwa pada sekitar bulan April 2006 dan bulan September 2006 atau
setidak-tidaknya pada waktu tertentu dalam tahun 2006 bertempat di SMP Budi Waluyo Jl.Cisanggiri II No.15 Kebayoran Baru Jakarta
Selatan, terdakwa telah melakukan perbuatan berupa memeluk, memegang, mengelus-elus dan meraba-raba payudara serta paha saksi
Leni Diah Ayu Ekawati, terdakwa juga telah membuka kancing baju atas seragam sekolah saksi Fiona Andriani lalu memegang payudara
saksi Natasha Ruth Ivanka namun tidak berhasilkarena dapat ditangkis oleh saksi Natasha Ruth Ivanka. Bahwa adanya pengakuan dari saksi
korban Fiona Andriani yang menyatakan dirinya pernah diancam oleh terdakwa menggunakan pisau sambil mengatakan “gue bunuh loe kalau
bilang-bilang”,
ternyata selama dalam proses persidangan hal tersebut hanya merupakan keterangan saksi dan tidak didukung oleh adanya alat
bukti lainnya sehingga pernyataan saksi korban Fiona Andriani tersebut tidak terbukti.
Unsur ini tidak terbukti secara sah menurut hukum.
137
Dan terdakwa dituntut dengan Pasal 290 angka 2 KUHP, dengan 2 tahun penjara dipotong masa tahanan dan dibebankan biaya perkara sebesar
Rp.2000,- Dua Ribu Rupiah. Menarik untuk dianalisis, karena seharusnya JPU dalam menyusun
surat dakwaan dan tuntutan berdasarkan fakta yang terungkap dalam pemeriksaan pendahuluan, di lain pihak surat dakwaan tersebut harus
137
Surat Tuntutan No.Reg.Perkara:PDM-273JKTSTLEp.1022007 selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran.
dibuktikan berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan.
138
Dalam hal ini, menurut penulis terdapat ketidaktepatan JPU dalam melakukan pendakwaan
dan penuntutan terhadap terdakwa Edi Murjono, SE. Adapun alasan-alasan yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut:
Pertama, apabila dilihat dari segi umur salah satu saksi korban yakni
Leni Diah Ayu Ekawati 17 tahun, pendakwaan dan penuntutan dengan Pasal 290 angka 2 adalah tidak tepat. Karena berdasarkan bukti di persidangan
yakni berupa akta kelahiran usia salah satu saksi korban 17 tahun, sedangkan bunyi Pasal 290 angka 2 KUHP yakni:
“Diancam dengan pidana penjara 7 tujuh tahun bagi barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk
kawin ”.
Pasal tersebut menyebutkan dengan jelas bahwa umurnya belum lima belas tahun atau paling tidak belum waktunya untuk dikawin.
Apabila merujuk pada Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 enam belas tahun.”
139
Dalam hal ini berarti saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati telah patut untuk dinikahi pantas untuk menikah,
138
Hari Sasangka, dkk., Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, Surabaya: Dharma Surya Berlian, 1996, h.76.
139
R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004, h.540.
karena umurnya yang telah mencapai 17 tahun. Dalam hal ini sudah jelas bahwa mendakwa dan menuntut dengan Pasal ini adalah tidak tepat.
Sebagaimana hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap Jaksa Penuntut Umum untuk selanjutnya disebut JPU Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan, yakni Ibu Henny.H,SH. katakan bahwa pendakwaan dan penuntutan dengan Pasal 290 angka 2 KUHP hanya dapat dilakukan terhadap seseorang
yang melakukan tindak pidana pencabulan terhadap seseorang yang usianya belum mencapai 15 tahun atau paling tidak belum patut untuk menikah
belum mencapai 16 tahun. Dan apabila umur salah satu saksi korban telah lebih dari 16 tahun dalam hal ini artinya saksi korban telah patut menikah
maka pendakwaan dan penuntutan dengan pasal ini tidak dilakukan karena unsur didalam Pasal 290 angka 2 KUHP tersebut tidak terpenuhi.
140
Selain itu, sebagaimana yang terdapat pada analisis yuridis JPU,
141
dalam melakukan analisis yuridis JPU mengenai Pasal 290 angka 2, entah terdapat unsur kesengajaan atau tidak, dalam hal ini JPU tidak mencantumkan
umur saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati untuk dianalisis, sehingga menyebabkan penuntutan dengan Pasal ini adalah terbukti. Apakah suatu
perbuatan yang wajar JPU lalai terhadap umur saksi korban, padahal dalam kasus tersebut saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati yang paling sering
140
Lihat Lampiran, Hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 29 Juni 2009 terhadap Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Ibu Henny.H,SH., h.143.
141
Lihat lampiran, Ad.3 h. 137.
diperlakukan asusila oleh terdakwa Edi Murjono, SE., di sini penilis melihat terdapat adanya sedikit keganjilan.
Kedua, dalam kasus tersebut apabila dicermati mengenai Surat
Dakwaan dan Keterangan Saksi korban Natasha Ruth Ivanka, apa yang diperlakukan oleh terdakwa Edi Murjono, SE., terhadap saksi korban Natasha
Ruth Ivanka merupakan tindakan percobaan. Dalam hal ini JPU lagi-lagi
tidak cermat dalam menerapkan Pasal dan mengindentifikasi kasus. Hal ini dikarenakan bahwa pada tanggal yang tidak dapat diingat lagi bulan
September 2006, terdakwa meletakkan tangan kanannya ke arah payudara saksi korban Natasha Ruth Ivanka, karena saksi korban Natasha Ruth Ivanka
kaget sehingga langsung menangkis tangan kanan terdakwa.
142
Selanjutnya menurut keterangan saksi korban Natasha Ruth Ivanka bahwa benar tindak pidana tersebut dilakukan terdakwa pada saat pelajaran
komputer, tiba-tiba terdakwa sudah berada di belakang saksi kemudian tangan kanannya tiba-tiba sudah berada di depan payudara kiri saksi, namun karena
kaget sehingga saksi langsung menangkis tangan terdakwa menggunakan tangan kanan sehingga terdakwa belum sempat memegang payudara
saksi.
143
Sebagaimana yang diatur di dalam KUHP mengenai percobaan yakni terdapat pada Pasal 53 dalam hal ini ayat 1 dan 2, yang berbunyi:
142
Lihat lampiran..
143
Untuk selengkapnya dapat dilihat di lampiran.
1 Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendak sendiri.
2 Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.”
Dalam hal ini tindakan percobaan memiliki tiga unsur yakni: a Niat atau kehendak petindak untuk melakukan kejahatan.
Niat adalah salah satu syarat dari percobaan untuk melakukan kejahatan.
144
Dalam hal ini terdakwa Edi Murjono, SE., telah dengan sengaja melakukan perbuatan cabul padahal telah diketahuinya bahwa
umur saksi korban Natasha Ruth Ivanka belum mencapai 15 lima belas tahun atau belum waktunya untuk dikawin Pasal 290 angka 2 KUHP.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa terdapat unsur niat didalamnya.
b Ada permulaan pelaksanaan tindakan begin van uitvoering. Apabila menggunakan penafsirkan secara tatabahasa taalkundige
interpretatie maka kata-kata permulaan pelaksanaan tindakan harus
dihubungkan dengan kata-kata niat yang mendahuluinya yang terdapat dalam pokok kalimat perumusan tersebut, jadi yang dimaksud ialah:
permulaan pelaksanaan tindakan dari niat petindak. Dalam hal ini
144
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002, h. 317.
percobaan adalah pelaksanaan tindakan dari kejahatan yang telah dimulai tetapi tidak selesai.
145
Pada kasus diatas terdakwa Edi Murjono, SE., telah meletakkan tangan kanannya ke arah payudara saksi korban Natasha Ruth Ivanka, ini
merupakan tindakan pelaksanaan. c Pelaksanaan itu tidak selesai hanyalah karena keadaan di luar kehendak
petindak. Pada unsur ketiga ini ada 3 macam hal yang dapat menjadi perhatian
yaitu: 1 Tidak selesai
Yang tidak selesai itu adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang, atau tidak
sempurna memenuhi unsur-unsur dari kejahatan menurut rumusannya. 2 Hanyalah
Penggunaan istilah hanyalah, perlu mendapat perhatian pula. Berarti, kendati pengurungan niat atau tidak meneruskan pelaksanaan
tindakan tersebut secara sukarela dan karena penyesalan, tetapi disertai dengan perasaan takut tetap masih dapat dipidana karena percobaan.
3 Keadaan-keadaan di luar kehendak petindak Yang dimaksud dengan kehendak keadaan di luar petindak adalah
setiap keadaan baik badaniah fisik maupun rohaniah psychis yang
145
Ibid., h. 317 dan 318.
datangnya dari luar yang menghalangi atau menyebabkan tidak sempurna terselesaikan kejahatan itu.
146
Dalam hal ini terdakwa Edi Murjono, SE., telah meletakkan tangan kanannya ke arah payudara saksi korban Natasha Ruth Ivanka,
karena saksi korban Natasha Ruth Ivanka kaget sehingga langsung menangkis tangan kanan terdakwa. Keadaan tersebut terjadi di luar
kehendak terdakwa. Berdasarkan keterangan saksi dan Surat Dakwaan unsur-unsur tindakan
percobaan telah terbukti. Jadi khusus terhadap saksi korban Natsha Ruth Ivanka terdakwa seharusnya dikenakan Pasal 82 UU No. 232003 tentang
Perlindungan Anak jo Pasal 53 ayat 1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Ketiga, dalam analisis yuridis Pasal 82 UU Perlindungan Anak JPU
mengatakan bahwa unsur “dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”
merupakan unsur yang bersifat alternatif, yakni apabila salah satu unsur telah terbukti maka tidak perlu dibuktikan seluruhnya.
147
Tetapi dalam analisis tersebut JPU hanya membuktikan mengenai unsur kekerasan, yang telah dibuktikan di dalam persidangan bahwa unsur tersebut
tidak terbukti. Padahal selain unsur kekerasan pada Pasal 82 UU Perlindungan
146
Ibid., h. 324-325.
147
Lihat lampiran, h. 136
Anak tersebut juga terdapat unsur memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul. Sebagaimana hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap JPU
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, yakni Ibu Henny.H,SH. katakan bahwa unsur-unsur didalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak merupakan unsur yang
bersifat alternatif, jadi semua unsur tidak perlu dibuktikan apabila salah satu unsur telah terbukti, begitu juga sebaliknya.
148
Oleh karena itu dalam hal ini penulis ingin membuktikan mengenai unsur lainnya, yakni mengenai unsure
tipu muslihat. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia tipu muslihat mengandung
pengertian bermacam-macam tipu, berbagai daya upaya yang buruk. Sedangkan tipu mengandung pengertian perbuatan atau perkataan yang tidak
jujur bohong atau palsu dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali atau mencari untung; atau kecoh.
149
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dari keterangan saksi-saksi yang didengar keterangannya yaitu saksi Leni Diah
Ayu Ekawati dan Nida Sururi, yang saling bersesuaian satu sama lainnya dan didukung oleh adanya petunjuk dan barang bukti juga dari keterangan
148
Lihat Lampiran, Hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 29 Juni 2009 terhadap Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Ibu Henny.H,SH., h.143.
149
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976, h.1079.
terdakwa Edi Murjono, SE., yang menyatakan bahwa benar pada hari selasa tanggal 18 April 2006 pada saat selesai pelajaran komputer terdakwa
menyuruh saksi Leni untuk kembali ke ruang komputer karena ada pekerjaan yang salah, dan pada saat itu saksi Nida Sururi memperingatkan saksi Leni
untuk berhati-hati karena takut dikerjai lagi oleh terdakwa lalu saksi Leni menjawab “iya nih aku takut kalau dikerjai lagi” lalu terdakwa menyuruh
saksi Nida Sururi untuk keluar dari lab komputer, lalu saksi keluar kemudian bersembunyi di balik ruang kelas SD, pada saat itu saksi melihat terdakwa
sedang memegang-megang payudara saksi Leni menggunakan tangan kanannya sedangkan saksi Leni hanya diam karena ketakutan.
Yang patut dicermati dari keterangan dua saksi tersebut yakni saksi korban Leni Diah Ayu Ekawati dan saksi Nida Sururi adalah bahwa
pemanggilan kembali saksi Leni oleh terdakwa ke ruang komputer untuk memperbaiki tugasnya yang salah adalah berupa tipu muslihat yang dilakukan
oleh terdakwa. Karena apabila benar bahwa tugas komputer saksi korban Leni perlu diperbaiki terdakwa tidak perlu menyuruh saksi Nida Sururi untuk
keluar. Dari sini penulis dapat melihat bahwa terdakwa sengaja melakukan tipu muslihat terhadap saksi Leni untuk memperlancar tindak kejahatannya.
Hal tersebut terbukti di persidangan karena selain adanya keterangan dari saksi-saksi juga terdapat petunjuk mengenai adanya unsur tipu muslihat
tersebut.
Dan sebagaimana yang terdapat pada Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP bahwa: “Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Menurut penulis dalam hal ini unsur-unsur Pasal 82 UU Perlindungan Anak ini terbukti.
Keempat, apabila JPU ingin tetap menggunakan Pasal yang terdapat
dalam KUHP maka Pasal yang lebih tepat dituntut terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Edi Murjono, SE., adalah Pasal 294 ayat 2
angka 2 yang berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun pengurus, dokter,
guru, pegawai, pengawas aatau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau
lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.”
Kejahatan dalam ayat 2 angka 2 Pasal 294 ini, kualitas subjek hukum atau si pembuat ada enam, berikut tujuh unsur keadaan yang menyertai
kualitas pembuat tersebut, sesuai yang telah dirinci di atas. Sudah barang tentu setiap unsur keadaan yang menyertai akan melekat pada kualitas si
pembuat yang sesuai. Dalam hal ini unsur keadaan yang menyertai tempat pendidikan pastilah melekat pada kualitas seorang guru, dan tidak mungkin
melekat pada kualitas seorang dokter.
Pasal 294 ini juga mengandung unsur paksaan psikis dan tidak dapat dikatakan atas dasar suka sama suka karena dilakukan dengan seseorang yang
lebih rendah tingkatannya dari segi strata sosial kekeluargaan dan strata sosial hubungan kerja di mana si pria memiliki kekuasaan dan wewenang untuk
memaksa si wanita secara psikis agar menuruti kemauan dan kehendaknya.
150
Drs.Adami Chazawi,SH di dalam bukunya menjelaskan bahwa: “Pasal ini adalah tepat diperuntukkan apabila seorang guru mencabuli salah
seorang siswa tempat guru tersebut mengajar, demikian seterusnya. Pencabulan itu tidak harus dilakukan di sekolah, bisa saja pencabulan itu di
tempat lain, misalnya murid dibawa oleh guru ke losmen, lalu di salah satu kamar losmen tersebut, murid itu dicabuli.”
151
Karena dalam hal ini profesi terdakwa Edi Murjono, SE., yakni seorang guru ekonomi dan komputer di SMP Budi Waluyo Jakarta Selatan, dan
terdakwa melakukan semua tindak pidana tersebut di lingkungan sekolah, yakni di lab komputer dan di kelas pada saat mengajar. Berarti unsur Pasal ini
terbukti dan terpenuhi. Seharusnya JPU dapat lebih cermat dalam hal ini.
152
Kelima, mengingat profesi terdakwa adalah seorang guru seharusnya
terdakwa dikenakan sanksi tambahan. Dalam hal ini JPU tidak menuntut sanksi tambahan terhadap tedakwa.
150
Muhammad Abduh Malik,. Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2003, h.183.
151
Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997, h. 105-106.
152
Lihat juga pada lampiran, Hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 29 Juni 2009 terhadap Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Ibu Henny.H,SH.,
h.144.
Seperti halnya dengan profesi lainnya, guru juga memiliki kode etik profesi keguruan yang mana didalamnya mengatur sikap, tingkah laku dan
perbuatan di dalam dam di luar kedinasan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Basuni sebagai Ketua Umum PGRI dalam pembukaan Kongres PGRI
XII tahun 1973 menyatakan bahwa: “Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam
melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru”.
153
Jelas bahwa kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh
setiap anggota profesi dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat.
Salah satu Kode Etik Guru Indonesia yakni membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
Untuk menunjang hal ini guru memiliki Undang-undang tersendiri yakni UU No. 142005 tentang Guru dan Dosen, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal
20 huruf d yang berbunyi: “Guru berkewajiban menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan
etika” . Pasal selanjutnya yakni Pasal 77 ayat 5 yang berbunyi:
“Guru yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi oleh organisasi profesi. Selain itu, di dalam KUHP sendiri mengatur mengenai
pidana tambahan yakni di dalam Pasal 10 huruf b yang menyatakan bahwa pidana tambahan dapat berupa pencabutan hak-hak tertentu”.
153
Soetjipto dan Raflis Kasasi, Profesi Keguruan, Jakarta: Rieneka Cipta, 2007, h.30
Jadi, berdasarkan Kode Etik Profesi Keguruan, UU No.142005 Guru dan Dosen dan juga KUHP terdakwa dapat dikenai sanksi tambahan yakni
berupa pencabutan hak-hak tertentu dalam hal ini mengenai ijin kerjanya sebagai seorang guru.
154
2. Putusan