kejahatan seksual. Yang memiliki dampak psikis yang lebih fatal bagi para saksi korban.
C. Analisis Hukum Islam
Jika dilihat dari segi hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Edi Murjono, SE., merupakan tindak pidana yang
dikenai hukuman ta’zir, karena dalam hal ini hukuman had dan qishash tidak mengatur.
Menurut A. Djazuli ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta’zir karena hukuman tersebut sebenarnya meng-
halangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membutnya jera.
158
Selain itu apabila dilihat, tindak pidana yang dilakukan oleh Edi Murjono, SE., merupakan tindak pidana berangkai al-Jarîmah al-I’tiyad yakni jarimah
yang dilakukan berulang-ulang berangkai. Jarimah itu sendiri tidak termasuk dalam kategori jarimah, tetapi berulang-ulangnya jarimah tersebut yang
menjadikannya sebagai suatu jarimah. Bentuk jarimah ini banyak terdapat dalam jarimah ta’zir, di mana petunjuknya diperoleh dari nas yang mengharamkan
perbuatan tersebut.
159
158
A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000, h.165.
159
Abdul Qâdir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâî al-Islâmî: Muqâranan bi al-Qân n al-Wâdi’î, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1992, juz I, h. 104.
Tindak pidana pencabulan merupakan jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kehormatan kerusakan akal. Mengenai tindak pidana ini hukum Islam tidak
mengaturnya secara spesifik, tindak pidana pencabulan dianalogikan dengan perbuatan yang mendekati zina.
160
Sebagaimana firman Allah SWT : n
N a.-
Z,q€…p N
P WB .
d5im 6 •-+-c
† ‡i
†
:
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.
Q.S.: al- Isra’a17: 32
Kata mendekati zina bukan berarti melakukan perbuatan zina itu sendiri. Ulama Malikiyah mendefinisikan zina dengan me-wathi-nya seorang laki-laki
mukallaf terhadap faraj wanita yang bukan miliknya dilakukan dengan sengaja. Sedangkan ulama Syafi’iyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukkan
zakar ke dalam faraj yang haram dengan tidak subhat dan secara naluri
memuaskan hawa nafsu.
161
Dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu tindak pidana jarimah dikatakan perbuatan sebagai zina apabila memasukkan alat
kelamin pria dalam alat kelamin wanita dan ini dilakukan untuk memuaskan hawa nafsu. Sedangakan jarimah pencabulan itu sendiri tidak sampai pada konteks
persetubuhan, jarimah pencabulan yakni segala perbautan yang melanggar kesusilaan kesopanan atau perbuatan keji yang dilakukan dalam lingkungan
160
Perbuatan mendekati zina di sini yakni perbuatan seperti mencium dan meraba-raba, meskipun dilakukan dengan tidak ada paksaan. Lihat Djazuli, Fiqh Jinayah, h.181.
161
Ibid., h. 35.
nafsu birahi kelamin. Seperti cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb.
162
Oleh karena itu dalam hal ini jarimah pencabulan
dianalogikan sebagai perbuatan mendekati zina
163
. Hukuman ta’zir bagi pelaku jarimah pencabulan ini yakni berupa hukuman
jilid sebagai hukuman pokok. Mengenai jumlah maksimal hukuman jilid dalam jarimah ta’zir ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yakni:
4. Dalam mazhab Hanafiyah hukuman ta’zir tidak boleh melebihi batas hukuman had. Hal ini berdasarkan hadis:
\-ﺏ ﻡ [ D
ی N ﻡ
164
Artinya: “Barang siapa memberi hukuman mencapai batas had pada selain jarimah hudud, maka ia termasuk orang yang melampaui batas”
HR. al-Baihaqi dari Nu’am bin Basyir dan al-Dhahak. Meskipun dalam penerapannya mereka berbeda pendapat. Abu Hanifah
misalnya berpendapat tidak boleh lebih dari 39 kali jilid, mengingat bahwa jilid bagi peminum khamr adalah 40 kali jilid. sedangkan Abu Yusuf
berpendapat bahwa maksimal jumlah jilid dalam ta’zir adalah 79 kali, mengingat jumlah jilid bagi penuduh zina adalah 80 kali jilid.
165
162
Surat Dakwaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan terhadap Surat Tuntutan No.Reg.Perkara : PDM-273JKTSTLEp.1022007
163
Perbutan mendekati zina yakni melakukan sesuatu perbuatan yang merangsang untuk berbuat zina atau melakukan suatu perbuatan pra-zina. Lihat Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan
Hukum Islam dan KUHP , h. 9.
164
Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Msâ Ab Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Makkah al-Mukaramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1993, juz VIII, h. 327, hadits nomor 17362 dan 17363
165
Ibn al-Humam, Fath al-Qadir, tkp: ttp, tt, jilid IV, h.113. Lihat juga Djazuli, Fiqh Jinayah, h.197 dan 198.
5. Di kalangan mazhab Syafi’iyah hukuman ta’zir dengan jilid juga harus kurang dari jilid dalam had. Di samping itu, ada juga sebagian ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah yang berpendapat bahwa jumlah jilid dalam ta’zir tidak boleh lebih dari sepuluh kali, berdasarkan hadis:
; ﻡ
D Y ] - S -7ی
5-:ﻡ Z +K 9
166
Artimnya: “Seseorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali cambuk kecuali dalam salah satu dari had Allah SWT.”
HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Burdah.
6. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa sanksi ta’zir yang berupa jilid boleh melebihi had selama mengandung maslahat. Alasan mereka karena Umar ibn
Khathab telah menjilid Mu’in Za’idah yang memalsukan stempel baitul mal dengan 100 kali jilid.
167
Selanjutnya mengenai batas terendah hukuman jilid pada jarimah ta’zir juga mengalami perbedaan pendapat di kalangan ulama, yakni:
1 Ulama Hanafiyah berpendapat jilid sebagai sanksi ta’zir memiliki batas terendahnya harus mampu memberi dampak yang preventif dan ayng represif
bagi umat. 2 Ulama lain menyatakan batas terendah bagi jilid ta’zir adalah satu kali jilid.
3 Ulama lain lagi menyatakan tiga kali jilid. 4 Ibn Qudamah menyebutkan bahwa batas terendah tidak dapat ditentukan,
melainkan diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai dengan tindak pidananya, pelakunya, waktunya, dan pelaksanaannya. Dan tampaknya pendapat Ibn
166
al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahîh Bukhâri, juz VI, h. 2512 hadits nomor 6452 dan al-Nîsâburî, Shahih Muslim
, juz 8, h. 327 hadits nomor 17366.
167
Djazuli, Fiqh Jinayah, h..197-198.
Qudamah ini lebih baik, tetapi perlu tambahan ketetapan Ulil Amri sebagai pegangan semua hakim. Dan bila telah ada ketetapan hakim, maka tidak ada
lagi perbedaan pendapat, sesuai dengan kaidah:
168
5 +8
5W O
K _
Artinya: “Keputusan hakim itu meniadakan perbedaan pendapat” Sanksi jilid dalam hal ini memiliki segi eksklusifitas tersendiri dalam
hukuman ta’zir, yakni: 1. Lebih menjerakan atau represif, yakni pelaku merasakan perih.
2. Hukuman jilid pada jarimah ta’zir ini bukan suatu sanksi yang kaku, jilid dalam konteks ini bersifat fleksibel dimana jumlahnya jilidnya disesuaikan,
masing-masing berbdea pada tiap-tiap jarimahnya. 3. Low cost, jika dibandingkan hukuman kurungan maupun penjara.
4. Lebih murni karena dikenakan langsung kepada pelakunya.
169
Selain hukuman pokok berupa hukuman jilid, pelaku jarimah ta’zir dapat dikenai hukuman tambahan yakni berupa:
1. Peringatan keras dan dihadirkan di hadapan sidang. 2. Dicela
3. Dikucilkan 4. Dinasehati
5. Dipecat dari jabatannya
168
Ibid. , h.199.
169
Masyrofah, Jarimah Ta’zir, dalam materi perkuliahan Fiqh Jinayah, 4 Juni 2008, Semester VI Prodi Perbandingan Hukum.
6. Diumumkan kesalahannya
170
Apabila melihat dari kasus yang dilakukan oleh terdakwa Edi Murjono, SE., terhadap ketiga orang muridnya yakni Leni Diah Ayu Ekawati, Viona
Indriani dan Natasha Ruth Ivanka maka hukuman tambahan yang tepat dikenakan kepada pelaku yakni dipecat dari jabatannya.
171
Karena sanksi ta’zir berupa pemberhentian pemecatan dari jabatan ini biasa diberlakukan terhadap setiap
pegawai yang melakukan jarimah, baik berkaitan dengan yang lainnya, seperti melakukan kezaliman terhadap bawahannya
172
dalam hal ini dapat dikiaskan dengan hubungan antara guru dan murid.
Tindak pidana yang dilakukan oleh Edi Murjono,SE merupakan tindak pidana berangkai al-Jarimah al-I’tiyad, maka termasuk ke dalam kategori
gabungan hukuman yang benar-benar nyata Ta’addud al-Jarâim al-Haqiqiy, yakni apabila terjadi beberapa perbuatan dari pelaku sehingga masing-masing
perbuatan bisa dianggap sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri.
173
Dalam hal ini hukuman yang dijatuhkan yang dijatuhkan menggunakan teori saling
melengkapi Nazariyyat al-Tadâkhul yakni ketika terjadi gabungan perbuatan, hukumannya saling melengkapi sehingga semua perbuatan tersebut dijatuhi satu
hukuman, seperti halnya melakukan satu perbuatan.
170
Djazuli, Fiqh Jinayah, h..215.
171
Pemecatan disini yakni melarang seseorang dari suatu pekerjaan tertentu atau menurunkan atau memberhentikan dari suatu tugas atau jabatan tertentu. Lihat Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 219-220.
172
Ibid., h. 220.
173
Abdul Qâdir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâî al-Islâmî, juz. II, h. 250.
Meskipun perbuatan tindak pidana itu berganda, sedangkan jenis semuanya itu satu macam, hukuman atas perbuatan itu saling melengkapi. Artinya hanya
dikenai satu macam hukuman selama belum ada keputusan hakim karena jika pelaku melakukan suatu perbuatan yang sama setelah ada keputusan hakim, si
pelaku tetap harus dijatuhi hukuman yang lain. Dalam hal ini bukan penjatuhan hukuman yang dipertimbangkan, melainkan pelaksanaan hukuman. Karena itu,
setiap tindak pidana yang terjadi sebelum pelaksanaan hukuman maka hukuman- hukumannya saling melengkapi pada tindak pidana yang hukumannya belum
dilaksanakan. Menurut pandangan yang unggul kuat, beberapa perbuatan dianggap satu
macam perbuatan selama objeknya adalah satu meskipun berbeda-beda unsur serta hukumannya, seperti kasus diatas, yakni tindak pidana pencabulan dengan
percoban tindak pidana pencabulan, keduanya dikategorikan pencabulan perbuatan mendekati zina. Dalam keadaan seperti ini, hanya hukuman yang
paling berat yang harus dilaksanakan. Alasan prinsip penjatuhan satu hukuman saja adalah karena pada dasarnya
suatu hukuman dijatuhkan untuk maksud memberikan pendidikanpengajaran ta’dib dan pencegahan zajr terhadap orang lain.
174
Selain itu, tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Edi Murjono,SE. terhadap salah satu saksi korban yakni Natasha Ruth Ivanka merupakan jarimah
percobaan yang dapat dikenai hukuman sanksi karena dalam hal ini tindak pidana
174
Ibid., h.143.
yang dilakukan oleh terdakwa telah mencapai pada fase pelaksanaan Marhalah al-Tanfidz
karena perbuatan tersebut merupakan suatu maksiat meskipun belum selesai.
175
Berarti atas tindak pidana yang dilakukan olehnya, Edi Murjono,SE dikenai satu macam hukuman yakni jilid dan disertai hukuman tambahan yakni berupa
pemberhentianpemecatan dari jabatannya.
D. Analisis Penulis