Putusan Analisis Hukum Positif

Jadi, berdasarkan Kode Etik Profesi Keguruan, UU No.142005 Guru dan Dosen dan juga KUHP terdakwa dapat dikenai sanksi tambahan yakni berupa pencabutan hak-hak tertentu dalam hal ini mengenai ijin kerjanya sebagai seorang guru. 154

2. Putusan

Hakim dalam memutus perkara berdasarkan fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang dapat diketahui Hakim dari alat-alat bukti yang ada di persidangan. Meskipun demikian, Hakim bukanlah malaikat yang bebas dari berbagai kekhilafan atau bahkan justru kesalahan sehingga terkadang putusan tersebut belum memuaskan. 155 Sebagaimana putusan yang dijatuhkan oleh Ketua Majelis Achmad Sobari, SH., Hakim Anggota Eddy Joenarso dan Syafrullah Sumar, SH., setelah membaca surat-surat perkara, mendengar keterangan-keterangan saksi dan terdakwa, menimbang dan sebagainya memutuskan bahwa terdakwa Edi Murjono, SE., telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Kesusilaan terhadap anak di bawah umur” dan menghukum oleh karena itu terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 1 satu tahun 4 empat bulan, dan membebankan kepada terdakwa untuk 154 Lihat juga lampiran, Hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 29 Juni 2009 terhadap Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Ibu Henny.H,SH., h.144. 155 Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1985, h.172. membayar onkos perkara sebesar Rp. 2.000,- Dua ribu rupiah. Dalam putusan ini juga terdapat kejanggalan yakni: Pertama, dalam hal ini Ketua Majelis memvonis terdakwa dengan Pasal 290 angka 2 KUHP dakwaan subsidier, dan tidak mengabulkan dakwaan primer yakni Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Padahal berdasarkan fakta- fakta yang terungkap dalam persidangan yakni dari keterangan saksi-saksi, keterangan-keterangan ahli dan petunjuk-petunjuk 156 yang saling bersesuaian di persidangan Pasal 82 UU Perlindungan Anak terbukti. Dimana salah satu unsur di dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak yakni unsur melakukan tipu muslihat adalah terbukti. Sebagaimana yang terdapat pada Pasal 183 KUHAP bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Jadi dalam hal ini Pasal 82 UU Perlindungan Anak terbukti karena terdapat dua alat bukti yakni alat bukti keterangan saksi dan petunjuk. Kedua, , dalam hal ini Ketua Majelis memvonis terdakwa 1 satu tahun 4 empat bulan penjara, dan membebankan membayar onkos perkara sebesar Rp. 2000,- Dua Ribu Rupiah adalah hal yang tidak tepat karena ancaman 156 Petunjuk hanya dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa Pasal 188 ayat 2 KUHAP. Jadi petunjuk merupakan kesimpulan yang diambil dari alat bukti yang sah. Lihat Hari Sasangka, dkk., Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, Surabaya: Dharma Surya Berlian, 1996, h. 151. hukuman dalam Pasal 290 angka 2 tersebut maksimal 7 tujuh tahun penjara, dan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana gabungan perbuatan meerdaadsche samenloop yakni gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana Pasal 65 ayat 1. Dalam ayat selanjutnya diatur mengenai maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga. Jadi dapat diperkirakan bahwa hukuman yang seharusnya divonis terhadap terdakwa adalah Pasal 82 UU Perlindungan anak dengan ancaman hukuman maksimum 20 tahun, atau minimal 4 tahun disertai dengan sanksi tambahan yaitu berupa pemecatan secara tidak terhormat. Ketiga, dalam hal penjelasan tentang keadaan-keadaan yang dapat memberatkan hukuman bagi terdakwa, Ketua Majelis tidak melakukannya dengan maksimal. Ketua Majelis hanya menyebutkan tiga point, yakni: terdakwa dalam memberikan keterangan sering berbelit-belit sehingga menghambat jalannya persidangan, akibat dari perbuatan yang dilakukan terdakwa menimbulkan trauma dan rasa takut pada diri para saksi korban serta perbuatan terdakwa juga menimbulkan keresahan pada diri orang tua saksi. Sedangkan apabila melihat pada Pasal 13 UU Perlindungan Anak yang berbunyi: 1 Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a.Diskriminasi; b.Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c.Penelantaran; d.Kekejaman, kekerasan, dan penganiyaan; e.Ketidakadilan;dan f. Perlakuan salah lainnya. 157 2 Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Selain itu, di dalam Pasal 58 ayat 1 dan 2 UU HAM, yang berbunyi: 3 ”Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk pelecehan seksual selama berada dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut. 4 dalam hal orang tua atau pengasuh anak melakukan pelecehan seksual termasuk perkosaan maka harus dikenakan pemberatan hukuman”. Selanjutnya di dalam Undang-undang yang sama, yakni di dalam Pasal 65, yang berbunyi: ”Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual”. Didalam Konvensi Hak-hak Anak juga diatur yakni terdapat didalam Pasal 19 yakni mengenai perlindungan anak dari penyalahgunaan seks. Seharusnya dalam hal pemberatan hukuman Ketua Majelis mempertimbangkan hal ini, agar dalam vonis hukuman dapat sesuai dengan peraturan yang ada. Terlebih lagi mengingat para saksi korban adalah anak, yang patut dilindungi dari kejahatan apapun, termasuk 157 Perlakuan salah lainnya yakni pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak. Lihat penjelasan Pasal 13 UU No.232003 tentang Perlindungan Anak.h.52. kejahatan seksual. Yang memiliki dampak psikis yang lebih fatal bagi para saksi korban.

C. Analisis Hukum Islam