pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan lain sebagainya, mereka ini masuk dalam mekanisme yang disebut sistim hukum pidana
65
. Dari adanya usaha pencegahan perbuatan yang dilarang itu dengan suatu
peraturan atau perundang-undangan mungkin sekali mendatangkan perasaan aman dan tentram dikalangan masyarakat. Kenapa dikatakan “mungkin sekali” karena
memang pada umumnya hal tersebut tergantung pula dari sifat perbuatan yang dilarang itu dan pemilihan tersebut, apakah benar-benar tidak dikehendaki oleh
seluruh rakyat
66
. Dalam hukum pidana masih ada lagi yang perlu diperhatikan, yaitu efek dari pidana itu sendiri terhadap terpidana. Kita juga harus memperhitungkan,
bahwa hukum pidana itu sendiri bersifat kriminogen, artinya menjadi sumber timbulnya tindak pidana. Karena itu harus benar-benar dipertimbangkan akibat dari
sesuatu peraturan pidana. Jadi dari penjelasan diatas cukup jelas bahwasanya tidak mudah untuk
mengkriminalkan mempidana pelaku perkawinan di bawah umur. Dalam kehidupan masyarakat saat ini kasus itu memang tidak asing, dengan banyaknya kasus
pernikahan di bawah umur sesuai dengan hasil penelitian dari PKPA Pusat Kajian dan Perlindungan Anak pada tahun 2008 di kabupaten Nias yaitu angka pernikahan
antara usia 13-18 tahun mencapai angka sekitar 9,4 dari 218 responden perempuan yang sudah menikah dan yang akan menikah. Angka pernikahan di usia muda bagi
65
Ibid., h. 46
66
Ibid., h. 46-47
anak perempuan 3x lebih besar dibanding dengan anak laki-laki. Di kota malang menurut catatan kantor pengadilan agama PA, angka perkawinan di bawah usia 15
tahun meningkat dibanding pada tahun 2007, hingga bulan september 2008 tercatat terjadi 10 perkawinan yang usia pengantin perempuannya masih di bawah umur 15
tahun
67
. Adanya fenomena perkawinan di usia anak-anak tidak jauh berbeda antara kota
yang telah diteliti PKPA dengan kota lainnya, seperti di daerah Bantul dengan adanya
data jumlah perkara dispensasi kawin di pengadilan agama bantul sampai bulan maret 2009 perkara dispensasi kawin sudah pada 23 perkara
68
. Dengan kenaikan sangat tinggi, tidak menutup kemungkinan pada tahun 2010 perkara dispensasi kawin
akan sampai pada angka melebihi 100, mengingat fakta perilaku seksual remaja yang
melakukan hubungan seks pra nikah dan sering berujung pada pernikahan dini serta kultur masyarakat indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai
warga kelas dua, dan ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan diantaranya masalah ekomoni, sosial, anggapan pendidikan tinggi tidak terlalu
penting bagi anak perempuan dan stigma terhadap status perempuan tua
69
.
67
Ahmad Sofyan, MA dan Misran Lubis. Pernikahan Dini, artikel diakses pada tanggal 18 juli 2011dari
http:niaschild.multiply.comjournal PKPA Nias-indonesia
68
Lily Ahmad, Hakim dan Pernikahan Dini, artikel diakses pada 5 agustus 2011 dari http:lilyahmad.multiply.comjournalitem26HAKIM_DAN_PERNIKAHAN_DINI
69
opcit
Hasil dari penelitian PKPA pusat kajian dan perlindungan anak diatas, dapat dijadikan dasar pertimbangan tentang perlunya kriminalisasi perkawinan di bawah
umur, dengan mengingat dampak-dampak yang akan timbul dari adanya perkawinan di bawah umur, jelaslah sebuah upaya hukum harus dilakukan demi melindungi hak-
hak yang terzdholimi dengan adanya pernikahan di bawah umur, hal ini haruslah diperhatikan dengan sungguh-sungguh karena hal itu merupakan hal yang tidak kalah
krusialnya. Sebab diantara masalah yang akan timbul dari pernikahan dini atau di bawah umur adalah dampak-dampaknya yang akan dirasakan semakin lama semakin
menarik perhatian bagi banyak kalangan. Untuk mengetahui dampak dari pernikahan di bawah umur menjadi sangat penting dalam rangka upaya untuk menemukan
obyektifikasi hasil penelitian ini. Sebab dengan mengetahui dampaknya perbuatan yang tidak dikehendaki, maka
akan lebih mudah bagi kita untuk menganalisis pernikahan di bawah umur dari aspek maslahah dan mafsadahnya. Diantara dampak-dampak yang akan timbul dari adanya
perkawinan di bawah umur terdapat beberapa aspek, diantaranya yaitu:
a. Dampak hukum, setiap negara mempunyai peraturan-peraturan yang terwujud
dalam sebuah undang-undang. Salah satu sifat undang-undang adalah mengikat terhadap seluruh warga negaranya. Mengikat disini mengandung
pengertian terdapat kewajiban bagi warga negara untuk selalu mentaati adanya peraturan Undang-Undang yang berlaku, dimana bagi setiap orang
yang melanggarnya dikenakan sangsi bagi warga negara yang melanggar
aturan tersebut atau yang lebih tepatnya disebut dengan adanya ancaman pidana, denda atau sangsi administrasi. Dalam perkawinan di bawah umur,
secara yuridis terdapat pelanggaran terhadap undang-undang dalam beberapa aspek, diantaranya adalah Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan pasal 7 ayat 1, adapun isinya bahwasannya perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapi umur 19 tahun dan wanita 16 tahun,
dan Undang-Undang no.23 tahun 2002 pasal 26 ayat 1, bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik
dan melindungi anak dengan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan pada
usia anak-anak.
Amanah dari undang-undang tersebut bertujuan untuk melindungi anak, agar tetap sesuai dengan kodratnya, dan tetap memperoleh hak-haknya untuk
tetap hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Undang-undang merupakan salah
satu bentuk representasi dari masyarakat yang di tetapkan oleh pemerintah atau pemimpin untuk mengatur masyarakatnya demi melindungi hak-hak
masyarakat yang menjadi tanggungannya. b. Dampak biologis, pernikahan di bawah umur memberikan dampak yang tidak
bagus dalam tumbuh kembang anak-anak, hal ini dikarenakan jika dilihat dari kacamata biologis, anak-anak yang masih belum dewasa dan masih dalam
masa pertumbuhan baik dari segi fisik maupun mental, jika dipaksakan pernikahan tersebut akan mengganggu pertumbuhan alat reproduksinya, hal
ini dikarenakan alat kelamin tersebut masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya,
apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan berakibat sangat tidak baik bagi perempuan yang melangsungkan pernikahan
di bawah umur tersebut, maka akan terjadi trauma ataupun gangguan fisik maupun mental, robeknya alat kelamin dan infeksi yang membayangi dan
akan membahayakan organ reproduksinya dan tidak menutup kemungkinan sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks
yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan terhadap seorang anak.
c. Dampak psikis, secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis yang
berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak
mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan Wajar 9 tahun, hak
bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
d. Dampak sosial, yang dimaksud dampak sosial disini adalah adanya hirarki
laki-laki dengan perempuan, dan adanya ketidakstabilan dalam fungsi keluarga. Adanya hirarki antara laki-laki dengan perempuan tidak bisa lepas
dari fenomena sosial, hal ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada
posisi yang rendah dan hanya dianggap sebagi pelengkap sex bagi orang laki- laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun
termasuk islam yang sangat menghormati perempuan.
Dampak sosial selanjutnya adalah berhubungan dengan perjalanan keluarga. Menurut Muhammad Amin Summa pernikahan tidak semata-mata
tercermin pada konotasi makna biologis. Akan tetapi jauh dari pada itu pernikahan juga akan mengakibatkan hubungan psikis, kejiwaan dan
perbuatan-perbuatan tingkah laku dibalik hubungan biologis mereka berdua. Selain itu juga akan mencerminkan hubungan-hubungan dengan orang lain
yang masuk sebagai konsekuensi dari sebuah perkawinan yaitu hubungan dengan keluarga dan mertua, juga hubungan yang dilakukan dengan
masyarakat sekitarnya. Sebab orang yang sudah melakukan perkawinan secara otomatis ia akan mendapatkan predikat kehormatan sejajar dengan
kehormatan manusia itu sendiri.
70
70
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005, h. 49
e. Dampak perceraian, salah satu dampak pernikahan di bawah umur adalah
rawan perceraian. Keluarga bahagia dan sejahtera yang menjadi tujuan dari pada pernikahan yang sudah tidak lagi menjadi acuan dan bahkan sulit di
dapatkan dalam perkawinan di bawah umur. Hal ini dikarenakan ketika macam-macam permasalahan dan aneka konsekuensi pada pernikahan dan
berkeluarga datang menerpa, mereka yang notabene kurang berpendidikan
dan berpengalaman tidak mampu menyelesaikan permasalahan dengan baik.
Dengan maraknya wacana dampak-dampak dari perkawinan di bawah umur yang disebutkan diatas yang menjadikan adanya anggapan bahwa perlunya dilakukan
sebuah tindakan terhadap pelaku perkawinan di bawah umur. Karena perkawinan di bawah umur dianggap sebagai sebuah perbuatan yang tidak dikehendaki dalam
masyarakat karena pada nantinya akan menimbulkan dampak yang tidak baik dalam tatanan masyarakat.
Hal penting yang perlu diingat dalam menyikapi permasalahan perkawinan di bawah umur adalah hal ini merupakan permasalahan perdata, adalah salah ketika
memasukkan masalah pernikahan di bawah umur kedalam masalah hukum pidana, berbeda halnya dengan pemaksaan untuk menikah terhadap seorang anak, yang
dengan itu seorang anak merasa terintimidasi dan dilanggar hak dan privasinya untuk tetap tumbuh kembang sesuai dengan sewajarnya, dengan ini layak atas kasus ini
menjadi ranah pada hukum pidana, hal ini bukan semata karena terjadinya
perkawinan tersebut tapi karena adanya unsur pemaksaan dalam proses berlangsungnya pernikahan tersebut
71
. Dan hal lain yang perlu perhatikan untuk melakukan perkawinan adalah rukun
dan syarat dalam perkawinan tersebut, karena rukun dan syarat menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum. Dalam sebuah perkawinan rukun dan syarat tidak
boleh tertinggal dan dipisahkan, bila dari kedua hal itu tidak lengkap maka tidak sah dari perkawinan tersebut. Keduanya mengandung arti yang berbeda tetapi terdapat
sebuah kaitan yang pasti. Adapun yang dimaksud rukun adalah suatu yang berada dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan
syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya
72
. Dalam perkawinan perlu diperhatikan juga asas dan prinsipnya, dan yang
dimaksud dengan asas dan prinsip perkawinan disini adalah ketentuan perkawinan yang menjadi dasar dan dikembangkan dalam materi batang tubuh undang-undang
perkawinan. Adapun asas-asas dan prisip-prinsip yang di anut oleh undang-undang perkawinan adalah sebagaimana yang terdapat pada penjelasan umum undang-
undang perkawinan itu sendiri, diantaranya sebagai berikut
73
:
71
Wawancara pribadi dengan Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA, wakil ketua KPAI pada tanggal 21 juli 2011
72
Prof. DR. Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana Prenada Media Croup, 2009, cet.3, h. 53
73
Ibid., h. 25-26
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan meteril.
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut
hukum masing-masing
agama dan
kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan setiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian, yang
dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga di muat dalam daftar pencatatan.
3. Undang-Undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan seorang yang lebih dari seorang,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan dapat
diputuskan oleh pengadilan. 4. Undang-Undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah
masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Disamping
itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang
ini menetukan bahwa untuk melangsungkan kawin baik bagi pria maupun wanita ialah usia, 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
Jadi secara sederhananya asas dan prinsip dari perkawinan itu adalah sebagai berikut
74
: 1. Asas sukarela
2. Partisipasi keluarga
74
Ibid., h. 26
3. Perceraian dipersulit 4. Poligami di batsasi secara ketat
5. Kematangan calon mempelai 6. Memperbaiki derajat wanita
Dari ketentuan diatas, yang dimaksudkan sebagai asas dan prinsip dari perkawinan yang ada dalam undang-undang perkawinan yang salah satu poinnya
menyebutkan bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, disini bisa diartikan bahwa kematangan umur bagi
calon mempelai sangatlah relatif sesuai kondisi fisik dan mental para pelaku perkawinan, dengan inilah perlu diperketat dalam pelaksanaanya, agar nantinya dapat
menjadi pintu masuk dari upaya dalam menekan angka perkawinan di bawah umur. Dikarenakan anak yang melakukan perkawinan sangatlah memerlukan kesiapan fisik
dan mental yang matang untuk membina rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Poin lainnya adalah untuk memperbaiki derajat wanita. Dari poin ini bisa
diartikan bahwa dalam kehidupan keluarga banyak wanita yang menjadi korban perkawinan di bawah umur, terutama di daerah pedesaan. Sehingga seorang anak
perempuan tidak bisa menjalani masa kanak-kanak dengan sewajarnya, dan tidak bisa menikmati pendidikan dimana pendidikan itu guna mengembangkan sikap dan
kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka secara optimal.
C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukum Positif dalam Kriminalisasi
Perkawinan di Bawah Umur
Dalam hukum islam memang tidak ada pembahasan secara mandiri tentang kriminalisasi namun substansi dari kriminalisasi dalam hukum pidana islam sudah
ada, dengan adanya salah satu konsep penting dan fundamental dari hukum islam yaitu konsep dari maqasid al-syari’ah yang menegaskan bahwa hukum islam
disyari’atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Maslahah mursalah adalah metode penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan universal
sebagai tujuan syara’ tanpa berdasar secara langsung pada teks atau makna nas tertentu.
75
Pada dasarnya perkawinan di bawah umur dalam hukum islam tidak ada ketentuan yang melarang perkawinan yang pelakunya masih di bawah umur bahkan
ada hadis yang dijadikan dalil yang membolehkan perkawinan di bawah umur yang artinya:
“Bahwa Rasulullah S.A.W memperistri Aisyah r.a pada usia 6 enam tahun atau 7 tujuh tahun, dan beliau menggaulinya pada usia 9 tahun, melalui pengawinannya
Abu Bakar r.a., ayahnya” HR. Bukhori
76
. Dari hadis diatas bisa diartikan bahwasanya perlunya kesiapan mental dan fisik
untuk membangun rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, terutama kesiapan fisik
75
Hamka Haq, Al-Syatibi Aspek Teologi Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqat, Erlangga: 2007, h. 80
76
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analis Fiqih Para Mujtahid Jilid II, Jakarta: Pustaka Amani: 2007, cet. III. h. 405
ketika hendak melakukan hubungan suami istri. Jika seorang suami memaksakan untuk melakukan bubungan intim ketika sang istri belum siap dan berakibat
terlukanya alat kelamin sang istri. Maka tepatlah suami mendapatkan hukuman ta’zir karena telah melanggar dan
membuat kemadaratan kepada istrinya, sehingga terjadi bahaya dan mengganggu kesehatan sang istri. Kebutuhan-kebutuhan yang menjaga kemaslahatn sang isri dan
masyarakat merupakan alasan yang kuat bagi syara’ untuk menetapkan hukuman- hukuman ta’zir yang demikian itu kepada pelaku, sehingga akan tercipta sebuah
kemaslahatan dan keadilan bersama. Namun pada dasarnya menyetubuhi istri yang belum waktunya untuk dikawin ini tidaklah dilarang dan tidak dipidana atau dihukum
ta’zir. Baru dapat dikenakan hukuman ta’zir apabila dari persetubuhan itu mengakibatkan timbulnya luka-luka pada alat kelamin sang istri. Dari adanya luka-
luka itu sang suami bisa dikenakan hukuman ta’zir.
68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari keterangan-keterangan yang dikemukakan dalam bab-bab terdahulu dapat diambil beberapa kesimpulan dari rumusan masalah yang disebutkan dalam bab 1
diantaranya: 1. Dari pembahasan yang telah dibahas dalam bab-bab terdahulu dapat diambil
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang salah satu dari pelaku atau keduanya masih di bawah umur
menurut pandangan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana dalam peraturan tersebut diatur perihal batas minimal dari usia
pernikahan, untuk pria usia dibatasi 19 Sembilan belas tahun dan wanita 16 enam belas tahun, tetapi dalam hal ini terdapat pengecualian terhadap anak
yang masih di bawah umur yang hendak melakukan perkawinan, dengan ini tentunya diberlakukan dengan adanya syarat-syarat yang telah ditentukan
dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 2. 2. Selain itu dapat diambil kesimpulan pula bahwa pemidanaan perkawinan di
bawah umur dalam hukum positif sebagai kriminalisasi seperti halnya kasus perkawinan syekh puji hingga dia bisa dihukum bukan karena pernikahannya