Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga
hak kewalian orang tua, hak waris keluarga dekat, wasiyyah wâjibah, dan pengelolaan wakaf
24
. Berkaitan dengan reformasi hukum keluarga dalam rangka pembaharuan hukum
yang perlu direfesi, dilakukan dengan cara mengkriminalkan perilaku yang pada awalnya bukan suatu perbuatan pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai
peristiwa pidana atau dikenal dengan kriminalisasi. Ada beberapa pembaharuan dalam hukum keluarga yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu tentang
perkawinan, diantaranya poligami. Kriminalisasi dalam kasus poligami terdapat pada negara-negara islam di dunia,
diantaranya Turky, Tunisia, Pakistan. Mengenai kriminalisasi poligami, dengan merujuk pada penelitian yang dicatat oleh Tahir Mahmood dalam hukum keluarga
Turki Turkish Code of Personal Status 1926 dapat dikemukakan sebagai berikut
25
: Undang-Undang hukum perdata Turki menyatakan bahwa tidak seorang pun
boleh menikah untuk kedua kalinya jika ia tidak bisa membuktikan perkawinannya yang pertama telah putus karena kematian suamiisteri atau
karena perceraian atau karena putusan pembatalan oleh Pengadilan. Dinyatakannya pula bahwa suatu perkawinan yang kedua yang dilakukan
seseorang dapat dianggap tidak sah oleh Pengadilan berdasarkan alasan bahwa orang tersebut masih terikat perkawinan dengan pasangannya yang
pertama.
24
Ibid. h. 2 dikutip dari Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: Times Press, 1987, h. 11-12.
25
Ibid. h. 14 dikutip dari Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, h. 21. Penulis tidak berhasil mengakses teks UU dimaksud. dalam bukunya ini, Tahir Mahmood hanya
membuat catatan, tidak memuat teks UU tersebut. dalam proposisinya tersebut, Tahir Mahmood merujuk kepada Pasal pasal 93 dan 112 Turkish Code of Personal Status 1926.
Sedangkan dalam hukum perkawinan Tunisia, kriminalisasi poligami diatur dalam The Tunisian Code of Personal Status 1956 seperti dipaparkan dalam pasal 18
ayat i menyatakan
26
: Memiliki lebih dari satu orang isteri atau poligami adalah dilarang. Siapa
saja yang sudah menikah dan pernikahannya itu secara hukum belum putus melakukan pernikahan lagi, akan dipidana dengan pidana kurungan selama
satu tahun atau dengan pidana denda sebesar 240.000 malims atau dengan kombinasi pidana kurungan dan pidana denda tersebut, dan bahkan
perkawinannya yang terkemudian dianggap melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini.
Dalam hukum keluarga Pakistan, kriminalisasi poligami diatur dalam The Muslim Family Laws Ordinance 1961 seperti yang dipaparkan dalam pasal 6 ayat 1 The
Muslim Family Laws Ordinance 1961 menyatakan
27
: Seorang laki-laki, selama masih terikat dengan perkawinan yang ada, tidak
boleh, kecuali memiliki izin tertulis terlebih dahulu dari Majelis Arbitrase melakukan akad perkawinan dengan perempuan lain atau akad perkawinan
tanpa ada izin tertulis tersebut juga tidak dapat dicatat menurut undang- undang ini.
Dalam pasal ini memuat ketentuan bahwa siapa saja yang hendak melakukan poligami, harus terlebih dahulu memiliki izin tertulis dari Majelis Arbitrase.
Ditegaskan juga bahwa perkawinan poligami yang dilakukan tanpa memiliki izin dimaksud tidak diakui secara hukum atau tidak sah secara hukum.
26
Ibid. h. 17 dikutip dari teks UU dimaksud merujuk kepada Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis, h. 153
27
Ibid. h. 21 kutipan teks UU dimaksud merujuk kepada Tahir Mahmood, Personal Law … , ibid., h. 245
Sedangkan di indonesia dalam undang-undang perkawinan tidak memuat adannya kriminalisasi poligami ataupun ketentuan pidana, dalam Undang-Undang no. 1 tahun
1974 pada dasarnya menganut azas monogami, sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 ayat 1 dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri.
Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, namun di ayat 2 disebutkan pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pengadilan akan memberi izin apabila pelaku poligami mengajukan permohonan dengan ketentuan–
ketentuan yang sangat ketat sebagaimana tertulis pada pasal 5 ayat 1, untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
ayat 1 undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut
28
: a. Adanya persetujuan dari istriistri-istrinya;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Ketentuan izin dari pengadilan juga disebutkan dalam pasal 4 ayat 2, pengadilan dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini hanya memeberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila
29
:
28
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1986, h. 142
29
Ibid., h. 141-142
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiabnya sebagai istri; b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan. Dari beberapa ketentuan kriminalisasi dalam hukum keluarga di dunia Islam
kontemporer diantarannya, Turki, Tunisia, dan Pakistan. Diantara negara yang melakukan kriminalisasi terhadap poligami diatas, hanya negara pakistanlah yang
menyantumkan ketentuan izin dari majelis arbitrase bagi seorang yang hendak berpoligami.
Beberapa ketentuan aturan yang mengatur tentang hal yang berkaitan dengan perkawinan yang ada di indonesia tidak ada yang memuat ketentuan pidana, tidak
seperti halnya di negara Turki, Tunisia yang mengkriminalkan poligami, di indonesia hanya dalam Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU
No. 1 Tahun 1974 Bab IX yang terdapat ketentuan pidana, diantaranya Pasal 45 yaitu
30
: 1 Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku maka: a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3,
10 ayat 3, 40 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7500 tuju ribu limaratus;
30
PP. NO. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU NO. 1 Tahun 1974 yang dikutip dari sayuti thalib. h. 186
b. Pegawai pencatat yang melanggar ketetuan yang diatur dalam pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat 1, 11, 13 dan 44 peraturan pemerintah ini
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setingggi-tingginya Rp7500.
2 Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat 1 diatas merupakan pelanggaran.
28