Perspektif Hukum Islam Pengertian Perkawinan di Bawah Umur

Dalam fiqih Asy-Syafi’i, usia haid minimal dapat terjadi pada usia 9 tahun. Abu Hanifah berpendapat bahwa usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan untuk anak perempuan adalah 17 tahun. Sementara Abu Yusuf, Muhammad Bin Hasan, dan Asy-Syafi’i menyebutkan usia 15 tahun sebagai tanda baligh, baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan 37 . Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwasannya perkawinan di bawah umur adalah perkawinan antara seorang mempelai yang salah satu atau keduanya belum mencapai umur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Pengertian inilah yang dimaksud dalam penelitian ini dengan istilah perkawinan di bawah umur. Adapun perkawinan yang dilakukan pada umur diatas 19 tahun bagi pria, dan 16 tahun bagi wanita walaupun masih di bawah umur 21 tahun tetap dianggap sebagai perkawinan yang layak dan bukan perkawinan usia dini. Dasar hukum perkawinan di bawah umur dalam hukum islam adalah al-Qur’an dan sunnah, tentang perkawinan di bawah umur ini, para ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan, masing-masing saling memberikan alasannya. Para ulama yang membolehkan perkawinan di bawah umur beralasan dengan beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah perkawinan. Berikut beberapa dasar yang membolehkan kawin dalam usia muda atau perkawinan di bawah umur, yakni: 37 Ibid. h. 90 yang dikutip dari Al-Kasani, Budai’ Ash-Shanai, juz VII, H. 171-172. Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, juz II, Beirut: Dar Al-ihya’at-Turats al-Arabi, h. 166                38 “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi monopause di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu tentang masa iddahnya, Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid”. QS. Ath-Thalaq 05: 4 Pada dasarnya ayat ini berbicara mengenai masa iddah masa menunggu bagi perempuan yang sudah menopaose dan bagi perempuan yang belum haid. Masa iddah bagi kedua kelompok perempuan ini adalah 3 tiga bulan. Secara tidak langsung, ayat ini juga dapat dipahami mengandung pengertian bahwa perkawinan bisa dilaksanakan pada perempuan belia usia muda karena iddah hanya bisa dikenakan kepada orang-orang yang sudah kawin dan bercerai 39 . Husein Muhammad memberikan alasan lain terhadap ayat ini, ia mengartikan bahwa masa tunggu bagi wanita yang diceraikan untuk melakukan perkawinan lagi adalah tiga bulan, baik itu telah mengalami menstruasi atau belum. Kata lam yahid menunjukkan bahwa yang belum menstruasi, jika diceraikan harus menunggu tiga bulan untuk melangsungkan perkawinannya yang kedua kalinya. Muhammad 38 Ath-Thalaq 05: 4 39 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, cet. V Yogyakarta: LkiS, 2009, h. 91 menjelaskan bahwa secara tidak langsung ayat ini mengandung pengertian bahwa perkawinan dapat dilaksanakan bagi perempuan belia belum mengalami menstruasi, karena iddah hanya dapat dikenakan bagi seorang yang telah melangsungkan perkawinan 40 . Disamping mengambil dalil pada ayat-ayat di atas, yang sering dijadikan alasan untuk menikahkan seorang anak pada usia muda atau belia adalah mengambil dari peristiwa perkawinan Nabi dengan Aisyah r.a yang masih belia dan mengambil peristiwa sahabat yang menikahkan putra-putrinya. Sebagaimana ungkapan Aisyah r,a berikut ini: ﺎﮭﺑ ﻰﻨﺑو ﻊﺒﺳ وا ﺖﺳ ﺖﻨﺑ ﺎﮭﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺔﺸﺋ ﺎﻋ جوﺰﺗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر نا ﮫﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺎﮭﯿﺑا ﺮﻜﺑ ﻲﺑا حﺎﻜﻧءﺎﺑ ﺢﺴﺗ ﺖﻨﺑ . “Bahwa Rasulullah S.A.W. memperistri Aisyah r.a. pada usia 6 enam tahun atau 7 tujuh tahun, dan beliau menggaulinya pada usia 9 sembilan tahun, melalui pengawinannya Abu Bakar r.a., ayahnya.” HR. Bukhari 41 . Dan para fuqaha sepakat bahwa seorang ayah boleh memaksa kawin terhadap anak laki-lakinya yang belum dewasa. Demikian pula terhadap anak perempuannya yang masih gadis dan belum dewasa, tanpa dimintai pendapatnya 42 . 40 Ibid., h. 92 41 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, analisis fiqih para mujtahid jilid II, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, cet III. h. 405 42 Ibid., h. 404 Perlu dikemukakan juga beberapa pandangan imam madzhab madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali tentang hak ijbar bagi wali mujbir. Sedangkan yang disebut dengan wali mujbir ialah ayah, atau kalau tidak ada ayah-kakek. Hak ijbar sendiri ialah hak seorang ayah atau kakek untuk mengawinkan anak perempuannya, baik yang sudah dewasa maupun yang masih muda, tanpa harus mendapatkan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan yang akan dikawinkan, asal anak perempuan tersebut tidak berstatus janda 43 . Jadi menurut madzhab ini, hak ijabar hanya diberlakukan kepada perempuan yang masih di bawah umur dan tidak terhadap perempuan yang sudah dewasa. Walaupun demikian, hak ijbar ayah atau kakek tidak serta-merta dapat dilaksanakan dengan sekehendak sendiri. Ulama syafi’i para pengikut imam asy- syafi’i mengatakan bahwa untuk mengawinkan anak laki-laki di bawah umur disyaratkan adanya kemaslahatan kepentingan yang baik. Sedangkan untuk anak perempuan diperlukan beberapa syarat, antara lain 44 : 1. Tidak ada permusuhan yang nyata antara si anak perempuan dengan walinya, yaitu ayah atau kakek; 2. Tidak ada permusuhan kebencian yang nyata antara dia dengan calon suaminya; 3. Calon suami harus kufu’ sesuaisetara, dan 43 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LkiS, 2009, cet. V, h. 93 44 Ibid., h. 94 4. Calon suami mampu memberikan mas kawin yang pantas.

B. Pengertian Anak dan Batas Usia 1.

Perspektif Hukum Positif Dalam setiap negara mempunyai pendefinisian tersendiri tentang anak, dan mungkin tidak sama dengan negara lain. Dalam convention on the raight of the child CRC, mendefinisikan anak: “Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun kecuali menurut Undang- Undang yang berlaku pada anak-anak, kedewasaan dicapai lebih awal”. 45 Pengertian dan batas usia anak dapat dilihat dalam berbagai perundang-undangan. Batas usia anak sendiri untuk memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Batas usia anak adalah pengelompokan batas maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih menjadi usia dewasa atau sudah bisa menjadi sebagai seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan atau tindakan hukum. Dalam pandangan Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juga disebutkan hal yang sama dalam KHA namun dalam Undang-Undang ini disisipkan kalimat anak yang masih dalam kandungan yaitu: ”anak adalah seseorang 45 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: tawaran gagasan radikal peradilan anak tanpa pemidanaan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka 2010, h. 40 yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Seharusnya setelah lahir Undang-Undang perlindungan anak yang dikategorikan lex specialis semua ketentuan definisi anak harus disesuaikan, namun dalam kenyataannya yang dikemukakan oleh Hadi Supeno: kriminalisasi anak, 2010, masih banyak disharmonisasi perundang-undangan yang berkaitan dengan anak. Beberapa Undang-Undang disebutkan 46 : a. Undang-Undang no. 1 tahun 1974, misalnya, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. b. Undang-Undang nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak mendefinisikan anak berusia 21 tahun dan belum kawin. c. Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia 8 delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin. d. Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum kawin. e. Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun. 46 Ibid., h. 41 f. Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan nasional memberlakukan wajib belajar 9 tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 tahun sampai 15 tahun, dan ketentuan lainnya. Dengan penetapan batas umur anak, seseorang yang umurnya belum mencapai batas yang ditetapkan harus dianggap belum matang secara seksual karena itu harus dianggap belum mampu memberikan atau menerima persetujuan secara matang untuk melakukan kontak seksual.

2. Perspektif Hukum Islam

Ketika berbicara batas usiaumur kapan seseorang diperbolehkan untuk menikah maka, inilah diperlukan ijtihad ulama karena dalam hukum islam tidak adanya dalil yang membatasi secara jelas pada usia berapa seorang boleh menikah, dan banyak para ulama yang berbeda pendapat mengenai masalah ini. Maka dari situ dalam hukum Islam tidak adanya penjelasan secara spesifik mengenai pengertian dari perkawinan di bawah umur secara pasti. Apabila kedewasaan di nilai dari segi balighnya anak dalam hukum Islam di tandai dengan ihtilam mimpi yang mengakibatkan keluarnya sperma pada anak laki- laki, dan bagi perempuan balighnya ditandai dengan menstruasi atau haid 47 . Jika batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun menurut pendapat Asy-Syafi’i minimal menstruasi dapat terjadi pada usia 9 tahun bagi anak perempuan, sedangkan 47 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LkiS, 2009, cet V. h. 90