Kriminalisasi dalam Perspektif Hukum Islam

B. Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga

Sebagaimana telah dibahas di atas, yang dimaksud dengan kriminalisasi adalah proses memperhatikan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat 22 , jadi yang dimaksud dengan kriminalisasi dalam hukum keluarga adalah proses yang semula tidak dianggap sebagai suatu peristiwa pidana dalam hukum keluarga, tetapi dalam perkembangan hukum kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. Ada beberapa ketentuan kriminalisasi dalam hukum keluarga diberbagai negara islam karena adanya tuntutan pembaharuan hukum yang akan merubah hukum lama dengan hukum baru, diantaranya kasus poligami, nikah sirri atau di bawah tangan. Salah satu fenomena penting yang muncul di dunia muslim sejak awal abad ke-20 adalah adanya upaya reformasi hukum keluarga di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Turki tercatat sebagai negara pertama yang melakukan reformasi hukum keluarga. Adapun tujuan usaha reformasi dalm hukum keluarga yang berbeda antara satu negara dengan negara lain, secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori diantaranya 23 : 22 Marbun B. N., Kamus Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 2006. h. 148 23 Dr. Asmawi, M.A, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di dunia Islam Kontemporer, h. 2 artikel diakses pada 18 april 2011 dari http:www.pdfreference.comKriminalisasi- Poligami-dalam-Hukum-Keluarga-di-Dunia-Islam-Kontemporer 1. Negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum perkawinan. Usaha unifikasi ini dilakukan karena ada sejumlah madzhab yang diikuti di negara yang bersangkutan, yang boleh jadi terdiri atas madzhab- madzhab di kalangan Sunni, atau antara Sunni dan Syi’i. Bahkan, untuk kasus Tunisia, unifikasi hukum perkawinan ditujukan untuk semua warga negara tanpa memandang perbedaan agama. 2. Bertujuan untuk peningkatan status wanita. Meskipun tujuan ini tidak disebutkan secara eksplisit, dari situ dapat dilihat dari sejarah legislasinya, yang diantaranya untuk merespon tuntutan-tuntutan peningkatan status wanita. Undang-Undang perkawinan Mesir dan Indonesia adalah contoh yang masuk dalam kelompok kedua ini. 3. Bertujuan untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman, karena doktrin fiqih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya. Dapat dikatakan bahwa tujuan ketiga ini merupakan tujuan dari reformasi undang-undang perkawinan dimayoritas negara-negara muslim, meskipun tidak menutup kemungkinan dibeberapa negara mencakup beberapa tujuan sekaligus. Menurut penelitian dari Tahir Mahmood, ada tiga belas aspek dalam undang- undang hukum keluarga di dunia muslim kontemporer yang mengalami reformasi yakni: batasan umur minimal boleh kawin, pembatasan peran wali dalam perkawinan, pembatasan kebolehan poligami, nafkah keluarga, pembatasan hak cerai suami, hak- hak dan kewajiban para pihak akibat perceraian, masa kehamilan dan implikasinya, hak kewalian orang tua, hak waris keluarga dekat, wasiyyah wâjibah, dan pengelolaan wakaf 24 . Berkaitan dengan reformasi hukum keluarga dalam rangka pembaharuan hukum yang perlu direfesi, dilakukan dengan cara mengkriminalkan perilaku yang pada awalnya bukan suatu perbuatan pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana atau dikenal dengan kriminalisasi. Ada beberapa pembaharuan dalam hukum keluarga yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu tentang perkawinan, diantaranya poligami. Kriminalisasi dalam kasus poligami terdapat pada negara-negara islam di dunia, diantaranya Turky, Tunisia, Pakistan. Mengenai kriminalisasi poligami, dengan merujuk pada penelitian yang dicatat oleh Tahir Mahmood dalam hukum keluarga Turki Turkish Code of Personal Status 1926 dapat dikemukakan sebagai berikut 25 : Undang-Undang hukum perdata Turki menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh menikah untuk kedua kalinya jika ia tidak bisa membuktikan perkawinannya yang pertama telah putus karena kematian suamiisteri atau karena perceraian atau karena putusan pembatalan oleh Pengadilan. Dinyatakannya pula bahwa suatu perkawinan yang kedua yang dilakukan seseorang dapat dianggap tidak sah oleh Pengadilan berdasarkan alasan bahwa orang tersebut masih terikat perkawinan dengan pasangannya yang pertama. 24 Ibid. h. 2 dikutip dari Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: Times Press, 1987, h. 11-12. 25 Ibid. h. 14 dikutip dari Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, h. 21. Penulis tidak berhasil mengakses teks UU dimaksud. dalam bukunya ini, Tahir Mahmood hanya membuat catatan, tidak memuat teks UU tersebut. dalam proposisinya tersebut, Tahir Mahmood merujuk kepada Pasal pasal 93 dan 112 Turkish Code of Personal Status 1926.