Pendugaan emisi karbon potensial akibat pemanenan kayu secara mekanis pada hutan alam tropis (studi kasus di IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah)

(1)

PADA HUTAN ALAM TROPIS

(Studi Kasus di IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah)

PASKARI ARISKA WAYANA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

PADA HUTAN ALAM TROPIS

(Studi Kasus di IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah)

PASKARI ARISKA WAYANA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(3)

PASKARI ARISKA WAYANA. E14063005. Pendugaan Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Kayu Secara Mekanis pada Hutan Alam Tropis (Studi Kasus di IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah). Dibimbing oleh TEDDY RUSOLONO.

Pemanenan kayu di hutan alam dengan sistem tebang pilih dapat mempengaruhi potensi simpanan karbon hutan melalui kegiatan penebangan pohon-pohon komersial serta kematian pohon-pohon yang mengalami kerusakan sebagai dampak dari kegiatan pemanenan kayu tersebut. Simpanan karbon yang hilang dari pohon-pohon yang rusak akibat pemanenan kayu maupun sisa-sisa penebangan yang berada di dalam hutan yang nantinya terdekomposisi akan berpotensi menghasilkan emisi karbon. Besarnya pengurangan simpanan karbon ini perlu diketahui untuk mengkaji dampak pemanenan kayu terhadap potensi emisi karbon yang ditimbulkan.

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh kegiatan pemanenan kayu terhadap kerusakan tegakan tinggal dan menentukan besarnya emisi karbon potensial akibat kegiatan penebangan dan penyaradan kayu. Penelitian dilakukan di areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah dengan mengukur sebanyak 10 plot contoh, masing-masing seluas 1 ha. Karbon hutan didekati dengan pendugaan biomassa hutan, dimana 50% dari biomassa adalah karbon (Brown 1997). Pendugaan biomassa dilakukan dengan menggunakan persamaan alometrik yang dibuat oleh Brown (1997). Untuk memperhitungkan emisi karbon potensial akibat pemanenan kayu maka dapat diduga dari besarnya biomassa hutan yang terdapat pada pohon yang dipanen, pohon yang rusak akibat penebangan dan dari pohon yang rusak akibat penyaradan.

Volume tegakan yang dipanen dalam penelitian ini rata-rata sebesar 55,45 m3/ha dengan rata-rata intensitas pemanenan nya adalah 11,70 pohon/ha. Kegiatan pemanenan kayu dalam bentuk penebangan dan penyaradan mengakibatkan terjadinya kerusakan tegakan tinggal, yang terdiri dari kerusakan ringan 32,51%, kerusakan sedang 23,19% dan kerusakan berat 44,31%. Pemanenan kayu sebesar 55,45 m3/ha mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal dengan kategori berat sebesar 11,14 m3/ha. Hal ini berarti bahwa setiap pemanenan 1 m3 mengakibatkan kerusakan berat pada tegakan tinggal sebesar 0,20 m3 per hektar nya. Kerusakan berat pada tegakan tinggal paling banyak terjadi pada kelas diameter 20-29 cm sebanyak 13,70 pohon/ha. Kerusakan tegakan tinggal secara nyata (p < 0,05) berkaitan dengan intensitas pemanenan pohon, semakin tinggi intensitas pemanenan menyebabkan peningkatan kerusakan tegakan tinggal. Rata-rata potensi simpanan karbon yang terdapat pada plot penelitian adalah 114,14 ton C/ha. Setelah dilakukan kegiatan pemanenan kayu, emisi karbon potensial yang terjadi adalah 34,53 ton C/ha, sehingga terdapat pengurangan simpanan karbon sebesar 30,25%. Emisi karbon potensial ini berasal dari karbon yang hilang dari pohon yang dipanen sebesar 27,64 ton C/ha dan karbon yang hilang dari kerusakan pohon akibat pemanenan kayu sebesar 6,89 ton C/ha.

Kata kunci : pemanenan kayu, kerusakan tegakan tinggal, emisi karbon potensial, hutan alam tropis, penebangan dan penyaradan


(4)

PASKARI ARISKA WAYANA. E14063005. Estimation of Potential Carbon Emission Caused by Mechanical Timber Harvesting in Tropical Natural Forest (Case Study in IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber, Central Kalimantan). Supervised by TEDDY RUSOLONO.

Timber harvesting in natural forest using selective logging system can affect carbon stock potential in the forest through commercial trees logging and mortality of damaged trees caused by timber harvesting activities. Carbon stock loss from damaged trees caused by timber harvesting and the remnant from logging within the forest which later decomposed will potentially generate carbon emission. The amount of carbon stock reduction is necessary known for assessment the impact of timber harvesting on the potential carbon emission generated.

This research aims to analyze the effect of timber harvesting activities on residul stand damage and to determine the amount of potential carbon emission from logging and skidding. The research was conducted at IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber, Central Kalimantan by measuring as many as 10 sample plots which is 1 ha each. Forest carbon approximated by using forest biomass estimation, where 50% of biomass is carbon (Brown 1997). Biomass estimation is done by using allometric equation created by Brown (1997). Calculation of the potential carbon emission from timber harvesting can be predicted from the amount of forest biomass contained in harvested trees, trees damaged by logging and trees damaged by skidding.

The stand volume that were harvested in this study on average of 55,45 m3/ha where the average of its harvesting intensity is 11,70 trees/ha. Timber harvesting activities in the shape of logging and skidding resulted in damage to the residual stand, consisting of 32,51% minor damage, 23,19% medium damage and 44,31% severe damage. Harvesting wood for 55,45 m3/ha caused damage to the residual stand by severe category at 11,14 m3/ha. This means that every harvesting of 1 m3 resulted in severe damage to the residual stand at 0,20 m3 per hectare. Severe damage on residual stand most occur in the diameter class of 20-29 cm which is 13,70 trees/ha. Damage to residual stand was significantly (p < 0,05) related to the intensity of tree harvesting, the higher the intensity of harvesting caused increased damage to residual stand. The average of carbon stock potential that contained in the research plots was 114,14 tonnes C/ha. After timber harvesting activities is done, potential carbon emission that occur is 34,53 tonnes C/ha, this shows the reduction of carbon stock amounted to 30,25%. Potential carbon emission derived from carbon loss from harvested trees is 27,64 tonnes C/ha and carbon loss from damaged trees due to timber harvesting which is 6,89 tonnes C/ha.

Keywords : timber harvesting, residual stand damage, potential carbon emission, tropical natural forest, logging and skidding


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Kayu Secara Mekanis pada Hutan Alam Tropis (Studi Kasus di IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2011

Paskari Ariska Wayana NRP E14063005


(6)

Nama : Paskari Ariska Wayana

NIM : E14063005

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS NIP. 19621024 198803 1 002

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001


(7)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pendugaan Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Kayu Secara Mekanis pada Hutan Alam Tropis (Studi Kasus di IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah).

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua tercinta (Ahmad Ramadhan dan Ni Nyoman Tamin) serta adik-adikku (Koming Ayu Juliana Sari dan Sinta Anggraini Indah Pebrialita) atas kasih sayang, dukungan moral dan material, doa serta semangat yang diberikan kepada penulis.

2. Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS selaku dosen pembimbing atas saran, kritik, bimbingan dan arahan yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.

3.

Segenap direksi, staf, dan karyawan PT. Sarmiento Parakantja Timber atas

bantuan, dukungan, dan kerjasamanya.

4.

Dian Octavianingsih beserta keluarga atas doa, kesabaran dan semangat yang diberikan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

5.

Rekan seperjuangan, Nosesa Hijrianto atas kebersamaan dan bantuannya dalam pengambilan data selama penelitian.

6. Teman-teman Manajemen Hutan angkatan 43 atas dukungan, keceriaan dan kekeluargaannya.

7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Mei 2011 Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 3 April 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Ahmad Ramadhan dan Ibu Ni Nyoman Tamin. Pada tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri 64 Jambi, kemudian dilanjutkan ke SMP Negeri 11 Jambi dan lulus tahun 2003. Pada tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Jambi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama masa perkuliahan di IPB, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dendrologi tahun 2008-2010, asisten praktikum mata kuliah Inventarisasi Sumberdaya Hutan tahun 2008-2009. Penulis aktif menjadi pengurus Divisi Media dan Komunikasi Forest Management Student Club

(FMSC) tahun 2007-2008, Public Relation (PR) International Forest Student

Association (IFSA) tahun 2007-2008, panitia Bina Corp Rimbawan (BCR) tahun

2008 dan panitia Temu Manajer (TM) Jurusan Manajemen Hutan tahun 2008. Selain itu penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah pada tahun 2010.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Pendugaan Emisi Karbon Potensial Akibat Pemanenan Kayu Secara Mekanis pada Hutan Alam Tropis (Studi Kasus di IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah) di bawah bimbingan Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.1 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Kayu ... 3

2.2 Hutan Alam Tropis ... 5

2.3 Dampak Pemanenan Kayu Terhadap Kerusakan Vegetasi dan Emisi Karbon di Hutan Alam Tropis ... 7

2.4 Biomassa, Pool Karbon dan Cara Pendugaannya ... 9

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

3.2 Alat dan Bahan ... 14

3.3 Metode Penelitian ... 14

3.4 Analisis Data ... 17

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas ... 21

4.2 Tanah dan Geologi ... 22

4.3 Iklim ... 23

4.4 Hidrologi ... 23

4.5 Keadaan Hutan ... 23

4.6 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat ... 24

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan ... 27

5.2 Kegiatan Pemanenan Kayu ... 28

5.3 Kerusakan Tegakan Pasca Pemanenan ... 31


(10)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 49

6.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Emisi karbon akibat degradasi hutan dan deforestasi di hutan tropis .... 7

2. Emisi karbon dari praktek logging konvensional di hutan tropis ... 9

3. Persamaan alometrik untuk menduga biomassa di hutan alam tropis berdasarkan zona iklim ... 12

4. Persentase luas areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber berdasarkan kelas lereng ... 23

5. Kondisi penutupan lahan areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber ... 24

6. Jumlah rumah tangga dan penduduk di sekitar areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber ... 25

7. Kepadatan penduduk di sekitar areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber ... 25

8. Kondisi tegakan plot penelitian sebelum pemanenan ... 27

9. Intensitas pemanenan pada plot penelitian ... 30

10. Bentuk kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan ... 31

11. Kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan ... 33

12. Bentuk kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan ... 34

13. Kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan ... 36

14. Analisis ragam hubungan kerusakan tegakan tinggal dengan kerapatan tegakan dan intensitas pemanenan ... 37

15. Hubungan antar peubah dengan besarnya kerusakan tegakan tinggal ... 38

16. Keterbukaan areal akibat pembuatan jalan sarad ... 39

17. Potensi karbon pada plot penelitian sebelum pemanenan ... 40

18. Emisi karbon potensial akibat penebangan ... 42

19. Emisi karbon potensial pohon yang rusak akibat penebangan ... 43

20. Emisi karbon potensial pohon yang rusak akibat penyaradan ... 44

21. Analisis ragam hubungan emisi karbon potensial dengan potensi karbon awal tegakan dan intensitas pemanenan ... 47

22. Hubungan antar peubah dengan besarnya emisi karbon potensial ... 48 No.


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Bentuk dan ukuran plot contoh dalam penelitian ... 15 2. Distribusi kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan

berdasarkan kelas diameter ... 32 3. Distribusi kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penyaradan

berdasarkan kelas diameter ... 35 4. Keadaan simpanan karbon sebelum dan pasca pemanenan ... 45 No.


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar nama jenis pohon yang ditemukan di lokasi penelitian ... 54

2. Kondisi tegakan plot penelitian sebelum dan pasca pemanenan ... 55

3. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu ... 56

4. Simpanan karbon plot penelitian sebelum dan pasca pemanenan ... 57

5. Pecah batang akibat pemanenan ... 59

6. Patah batang akibat pemanenan ... 59

7. Rusak tajuk akibat pemanenan ... 60

8. Roboh akibat pemanenan ... 60

9. Peta areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber ... 61

10. Peta kerja RKT 2010 IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber ... 62

11. Peta plot penelitian pada petak 90V RKT 2010 ... 63 No.


(14)

1.1 Latar Belakang

Aktifitas kehutanan sangat mempengaruhi potensi simpanan karbon yang ada di dalam hutan. Pemanenan kayu sebagai salah satu kegiatan pengelolaan hutan dapat mengakibatkan terjadinya pengurangan simpanan karbon melalui kegiatan penebangan pohon-pohon komersial serta kematian pohon-pohon yang mengalami kerusakan sebagai dampak dari kegiatan pemanenan kayu tersebut. Simpanan karbon yang hilang dari pohon-pohon yang rusak akibat pemanenan kayu maupun sisa-sisa penebangan yang berada di dalam hutan yang nantinya terdekomposisi akan berpotensi menghasilkan emisi karbon. Lasco (2002) menyatakan bahwa aktifitas penebangan hutan untuk pemanenan kayu berperan dalam menurunkan simpanan karbon di atas permukaan tanah minimal 50%. Pada hutan tropis asia penurunan simpanan karbon akibat aktifitas pemanenan kayu berkisar antara 22-67%, di Indonesia diperkirakan 38-75%.

Pemanenan kayu di hutan alam tropis umumnya menggunakan sistem tebang pilih yang berdasarkan limit diameter dan jenis pohon. Salah satu sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia adalah sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Pemanenan kayu dengan sistem tebang pilih ini dilakukan pada pohon-pohon komersial yang memiliki diameter ≥ 40 cm sehingga akan semakin banyak pohon yang ditebang dan menyebabkan dampak kerusakan yang lebih besar. Penerapan metode pemanenan kayu berdampak rendah atau Reduced Impact Logging (RIL) sebagai salah satu pemenuhan syarat dalam sertifikasi konsesi hutan merupakan bentuk dari perhatian dunia internasional yang diharapkan dapat mengurangi dampak kerusakan akibat kegiatan pemanenan kayu sehingga emisi karbon potensial yang dihasilkan akan semakin rendah dan simpanan stok karbon pada pohon di dalam hutan dapat menjadi lebih banyak.


(15)

Kegiatan pemanenan kayu yang hingga saat ini dilakukan oleh pemegang IUPHHK mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi dan struktur vegetasi hutan. Perubahan komposisi dan struktur vegetasi hutan berakibat terhadap kemampuan vegetasi hutan tersebut untuk menyerap ataupun melepaskan karbon ke atmosfir sehingga dapat menimbulkan emisi karbon.

Penelitian mengenai pendugaan emisi karbon potensial akibat pemanenan kayu di hutan alam tropis ini khususnya di Indonesia sangat penting untuk dilakukan. Hal ini untuk mengkaji seberapa besar dampak kegiatan pemanenan kayu terhadap besarnya potensi emisi karbon yang dihasilkan.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mempelajari pengaruh dari kegiatan pemanenan kayu terhadap kerusakan tegakan tinggal yang terjadi di IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber.

2. Menentukan emisi karbon potensial akibat kegiatan penebangan dan penyaradan kayu di IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber. 1.3 Manfaat Penelitian

Mendapatkan informasi mengenai besarnya emisi karbon potensial akibat

kegiatan pemanenan kayu pada hutan yang terdapat di areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber yang dapat digunakan untuk kepentingan


(16)

2.1 Pemanenan Kayu

Pemanenan kayu merupakan upaya pemanfaatan hutan berupa kayu. Pemanenan kayu didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon dan biomassa lainnya menjadi bentuk yang dapat dipindahkan ke lokasi lain sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat (Suparto 1979). Conway (1982) mendefinisikan pemanenan kayu sebagai aktifitas-aktifitas yang mengurangi area hutan melalui pengeluaran kayu sebagai hasil pemanenan dalam bentuk kayu bulat untuk kemudian dikirim ke pabrik pengolahan kayu dengan biaya yang semurah mungkin. Pemanenan kayu juga didefinisikan sebagai kegiatan yang meliputi semua kegiatan penebangan pohon dan kegiatan memindahkan pohon dari hutan ke jalan untuk diangkut keluar dari hutan (Sessions 2007).

Kegiatan pemanenan kayu menentukan kesuksesan dan kegagalan pengelolaan hutan secara lestari dalam jangka panjang karena hal tersebut merupakan hal yang paling dominan dalam manajemen hutan secara keseluruhan. Ilmu dan teknologi di bidang pemanenan kayu hingga saat ini telah mengalami berbagai perkembangan, hal ini sebagai konsekuensi perubahan pendekatan manajemen hutan dari prinsip kelestarian hasil kepada prinsip pembangunan hutan lestari. Menurut Elias (2002) arah perkembangan pemanenan kayu tersebut adalah meliputi pengertian pemanenan kayu yang mengalami perluasan yang lebih menekankan pada perencanaan sebelum pemanenan, supervisi teknik dan pencegahan kerusakan lebih lanjut; usaha memperpendek rantai tahapan pemanenan kayu; menerapkan sistem pemanenan kayu sesuai dengan klasifikasi fungsional lapangan di bidang kehutanan; mengintegrasikan pengolahan kayu primer ke dalam tahapan pemanenan kayu; penciptaan peralatan pemanenan kayu dengan perhatian ditekankan pada keunggulan produktivitas tinggi, keunggulan biaya, menekan kerusakan lingkungan dan meningkatkan keselamatan kerja.


(17)

Kegiatan pemanenan kayu akan lebih optimal apabila disesuaikan dengan tipe hutan dimana pemanenan tersebut dilakukan. Hutan di Indonesia termasuk ke dalam tipe hutan tropis. Menurut Sessions (2007) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kegiatan pemanenan kayu di hutan tropis yaitu 1). iklim, intensitas terjadinya hujan, kering dan lengas dalam satu tahun mempengaruhi pemilihan alat-alat yang akan digunakan, lamanya kegiatan dan produktivitas pekerja; 2). topografi, topografi dalam hutan keadaannya bervariasi dari keadaan datar hingga berbukit-bukit; 3). tanah, tanah yang lunak dan basah memiliki daya dukung yang kurang baik terhadap pembuatan akses jalan darat sehingga membutuhkan perlakuan khusus dan pada akhirnya menimbulkan biaya yang besar; 4). jenis/spesies, tajuk pohon bersifat rapat atau berdekatan dengan tajuk pohon lain yang dihubungkan oleh tumbuh-tumbuhan merambat dan liana.

Tahapan kegiatan pemanenan kayu dibedakan menjadi empat komponen yaitu : 1. Penebangan, yaitu mempersiapkan kayu seperti menebang pohon serta

memotong kayu sesuai dengan ukuran batang untuk disarad.

2. Penyaradan, yaitu usaha untuk mengangkut kayu dari tempat penebangan ke tepi jalan angkutan.

3. Pengangkutan, yaitu usaha untuk mengangkut kayu dari hutan ke tempat penimbunan atau pengolahan kayu.

4. Penimbunan, yaitu usaha untuk menyimpan kayu dalam keadaan baik sebelum digunakan atau dipasarkan, dalam keadaan ini termasuk pemotongan ujung-ujung kayu yang pecah atau kurang rata sebelum ditimbun.

Sistem pemanenan kayu ditinjau dari derajat mekanisasi nya dibagi menjadi tiga macam yaitu sistem manual, sistem semi mekanis dan sistem mekanis. Sistem manual dicirikan dengan penggunaan alat-alat pemanenan kayu tradisional yang melibatkan teknologi sederhana dan umum nya dilaksanakan dengan tenaga manusia. Sejak dari proses penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pemotongan batang-batang pohon menjadi ukuran tertentu, penyaradan hasil penebangan ke TPn serta pengangkutan dilakukan dengan tenaga manusia. Sistem semi mekanis merupakan sistem pemanenan kayu yang dilakukan dengan tenaga manusia namun dengan bantuan mesin-mesin pemanenan kayu. Dalam


(18)

sistem ini proses penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian batang, penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara semi mekanis. Sistem mekanis merupakan sistem pemanenan kayu dengan menggunakan mesin-mesin pemanenan kayu dengan teknologi yang lebih maju. Dalam sistem mekanis sejak dari tahap penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian batang, serta penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara mekanis. Sistem ini pada umum nya diterapkan pada pekerjaan yang berskala besar seperti pemanenan kayu di hutan alam. Dalam merekayasa sistem dan teknik pemanenan kayu selain aspek teknis, aspek sosial, ekonomis dan lingkungan juga harus dipertimbangkan terutama aspek penciptaan lapangan kerja baru (Elias 2002).

2.2 Hutan Alam Tropis

Ada beragam definisi mengenai hutan maupun hutan alam tropis. Budiharto (2009) merangkum beragam definisi yang telah digunakan oleh berbagai negara dan institusi internasional. Dari beragam definisi yang dikemukakan, yang terkait dengan perubahan stok karbon adalah definisi pada kelompok definisi hutan sebagai penutup lahan. Pada umumnya hutan dibatasi dengan persentase tutupan tajuk/kerapatan, tinggi pohon, dan luas minimum.

FAO (2006) mendefinisikan hutan adalah lahan dengan luas lebih dari 0,5 hektar, tinggi pohon lebih dari 5 meter dan tutupan tajuk lebih besar dari 10%. Menurut UNFCCC (2001), hutan didefinisikan sebagai areal dengan luas 0,05 sampai 1 hektar, tinggi pohon mencapai 2-5 meter dan tutupan tajuk pohon 10-30%. Indonesia melalui Peraturan Menteri Kehutanan No.14/Menhut-II/2004 menetapkan bahwa yang dimaksud hutan ialah lahan yang luasnya minimal 0,25 hektar dan ditumbuhi oleh pohon dengan persentase penutupan tajuk minimal 30% yang pada akhir pertumbuhan mencapai ketinggian minimal 5 meter.

Hutan alam tropis merupakan hutan yang memiliki keanekaragaman tumbuhan yang sangat tinggi dengan pohon-pohon yang tinggi, iklim yang hangat dan curah hujan yang tinggi. Mabberley (1992) menyebutkan bahwa hutan alam tropis merupakan suatu komunitas tumbuhan yang bersifat selalu hijau, selalu basah dengan tinggi tajuk sekurang-kurangnya 30 meter serta mengandung spesies-spesies efifit berkayu dan herba yang bersifat efifit.


(19)

Hutan alam tropis merupakan habitat yang paling kaya serta kompleks. Hutan ini terdapat di wilayah tropis dengan suhu relatif seragam berkisar antara 25-30⁰ C, serta curah hujan yang tinggi berkisar antara 2000 mm - 3000 mm per tahunnya (Ewusie 1990). Pada umumnya wilayah hutan tropis dicirikan oleh adanya 2 musim dengan perbedaan yang jelas, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Ciri lainnya adalah suhu dan kelembapan udara yang tinggi, demikian juga dengan curah hujan, sedangkan hari hujan merata sepanjang tahun.

Berdasarkan luasannya hutan alam tropis di Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo di mana hutan-hutan ini memiliki kekayaan yang unik. Forest Watch Indonesia (2001) mengemukakan bahwa tipe-tipe hutan utama di Indonesia berkisar dari hutan-hutan dipterocarpaceae dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera dan Kalimantan, sampai hutan-hutan monsun musiman dan padang savanna di Nusa Tenggara, serta hutan-hutan non dipterocarpaceae dataran rendah dan kawasan alpin di Papua. Hutan alam tropis di Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi karena memiliki 11% spesies tumbuhan yang terdapat di dunia, 10% spesies mamalia dan 16% spesies burung (Forest Watch Indonesia 2001).

Keberadaan hutan alam tropis merupakan bagian yang penting dalam menunjang kehidupan secara keseluruhan. Hutan tropis merupakan jalur hijau sepanjang equator ± 10⁰ LU/LS atau kira-kira hanya 8% dari seluruh daratan di bumi, tetapi merupakan habitat dari lebih 50% tumbuhan kayu yang ada. Selain itu hutan tropis merupakan ekosistem yang paling kompleks dan paling tinggi keanekaragamannya (Soerjani 1990). Hutan tropis membantu menstabilkan iklim dunia dengan cara menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Pembuangan karbon dioksida ke atmosfer menyebabkan terjadinya perubahan iklim melalui pemanasan global. Karenanya hutan tropis mempunyai peran yang penting dalam mengatasi pemanasan global.

Saat ini keberadaan hutan alam tropis di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan, laju deforestasi dan degradasi hutan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Kerusakan hutan alam tropis ini dikarenakan para pengelola hutan dalam melakukan pengelolaan hutan tidak menerapkan prinsip pengelolaan hutan yang berkesinambungan.


(20)

Deforestasi dan degradasi hutan di hutan tropis berpengaruh terhadap proses penyerapan CO2 dari atmosfir yang dapat mempengaruhi kondisi iklim global, yaitu menimbulkan efek gas rumah kaca (GRK). Pengurangan deforestasi dan degradasi hutan merupakan langkah ke depan untuk stabilisasi konsentrasi GRK. Deforestasi dari hutan tropis diperkirakan menyumbang 15-35% dari global emisi tahunan CO2. Diperkirakan sekitar 350-430 GtC (Giga ton Carbon) saat ini tersimpan di hutan tropis dan dapat diemisikan ke atmosfir melalui peningkatan deforestasi dan degradasi hutan (Laporte et al. 2008).

Tabel 1 Emisi karbon akibat degradasi hutan dan deforestasi di hutan tropis

Sumber Republik Kongo

(t CO2/ha)

Indonesia (t CO2/ha)

Bolivia (t CO2/ha)

Degradasi Hutan 26 88 17

Deforestasi 1015 777 473

Sumber : GOFC-GOLD (2009)

Tabel 1 memperlihatkan besarnya penurunan stok karbon dari pohon hidup yang diestimasikan dari biomassa di atas permukaan tanah akibat deforestasi dan degradasi hutan melalui kegiatan pemanenan kayu dengan sistem tebang pilih pada tiga negara di hutan tropis yaitu Republik Kongo, Indonesia, dan Bolivia. Perbedaan yang cukup besar diantara tiga negara tersebut terkait besarnya degradasi hutan disebabkan oleh perbedaan terhadap intensitas pemanenan kayu (sekitar 3 hingga 22 m3/ha).

2.3 Dampak Pemanenan Kayu Tehadap Kerusakan Vegetasi dan Emisi Karbon di Hutan Alam Tropis

Dampak dari kegiatan pemanenan kayu di hutan alam tropis salah satunya adalah dapat mengakibatkan kerusakan terhadap vegetasi yang ditinggalkan seperti vegetasi tegakan tinggal. Kerusakan tersebut dapat berupa tumbang atau roboh, luka-luka pada batang, kerusakan tajuk, dan kerusakan terhadap anakan. Menurut Elias (1998) tingkat kerusakan vegetasi tegakan tinggal ditetapkan berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan kayu dengan jumlah pohon yang terdapat di dalam areal tersebut sebelum pemanenan yang dikurangi jumlah pohon yang dipanen.


(21)

Tingkat kerusakan tegakan tinggal di hutan alam tropis dapat dipengaruhi oleh teknik pemanenan kayu yang digunakan. Kegiatan pemanenan kayu dengan sistem Conventional Logging mengakibatkan kerusakan yang besar pada tegakan tinggal dan tanah. Menurut Sukanda (2002) sistem pemanenan dengan teknik

Reduced Impact Logging dapat menekan tingkat kerusakan tegakan tinggal sampai 48% dan kerusakan tanah dapat ditekan sampai 50%, areal yang terbuka akibat pembuatan jalan hutan dapat ditekan sebesar 68%.

Kerusakan tegakan tinggal di hutan alam tropis akibat kegiatan pemanenan dengan sistem Conventional Logging (CL) disebabkan oleh kegiatan penyaradan, yaitu pohon rebah 88,32%, condong 4,47%, luka batang/kulit 4,47%, rusak tajuk, banir dan batang 2,74% (Elias 1993). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa dampak pemanenan hutan alam di Indonesia diakibatkan oleh kegiatan penebangan dan penyaradan yang menyebabkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 25-45% dan keterbukaan areal sebesar 20-35% (Elias 1998).

Menurut hasil penelitian CIFOR (1998) di beberapa negara di dunia seperti Brazil, Indonesia, Malaysia, Kamerun, Bolivia, Tanzania, dan Zambia menunjukkan bahwa kerusakan tegakan tinggal dan tanah akibat kegiatan pemanenan hutan di hutan hujan tropis dapat ditekan sampai 25% dengan menggunakan teknik Reduced Impact Logging, sedangkan dengan menggunakan teknik pemanenan konvensional (Conventional Logging) dapat merusak tegakan tinggal dan kerusakan tanah yang cukup besar berkisar antara 5-50%.

Aktifitas penebangan hutan untuk pemanenan kayu memberikan dampak yang cukup besar terhadap terjadinya emisi karbon dan berperan dalam menurunkan cadangan karbon di atas permukaan tanah minimal 50%. Di hutan tropis Asia penurunan cadangan karbon akibat aktifitas pemanenan kayu berkisar antara 22-67%, di Indonesia diperkirakan 38-75% (Lasco 2002). Sumber emisi karbon yang berasal dari pemanenan kayu (logging) dan degradasi hutan adalah berasal dari (1) pembukaan wilayah hutan yang meliputi pembuatan basecamp, jalan angkutan, jalan sarad, TPn, dan logyard; (2) fragmentasi hutan dan termasuk dampak di sekitar jalan logging dan kehilangan biomassa dari fragmentasi hutan; (3) penebangan kayu yaitu volume yang ditebang, pohon yang mengalami kerusakan dan dekomposisi vegetasi lain.


(22)

Tabel 2 Emisi karbon dari praktek logging konvensional di hutan tropis

Sumber Wilayah Emisi

(ton C/ha)

% Stock emitted

ton C rusak/ ton C panen

Asner et al. 2005 Amazonia 47,6 37% na

Pearson et al. 2006 Para,Amazonia 13,5 na 1,5

Brown et al. 2005 Republik Kongo 9,3 3% 1,7

Stanley 2009 Papua 67 29% na

Pinard & Putz 1996 Malaysia 192 56% 2,3

Pearson et al. 2005 Pine,Mexico 6,6 na 1,4

Sumber : Rusolono (2009)

2.4 Biomassa, Pool Karbon dan Cara Pendugaannya

Biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per ha (Brown 1997). Menurut Whitten et al. (1984) biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme dan dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (ton/ha). Biomassa dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Menurut Hairiah (2002) yang termasuk ke dalam komponen biomassa di atas permukaan tanah adalah semua vegetasi di atas permukaan tanah yang masih hidup termasuk semak-semak, tumbuhan bawah, dan bagian-bagian vegetasi yang mati (nekromassa) termasuk serasah di atas permukaan tanah, batang, cabang dan ranting.

Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap karbondioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Jumlah biomassa di dalam hutan adalah hasil dari perbedaan antara produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui respirasi dan proses penebangan (Whitten et al. 1984).

Menurut Chapman (1976) secara garis besar metode pendugaan biomassa di atas permukaasn tanah dapat dikelompokkan menjadi dua cara yaitu :

1. Metode Pendugaan Langsung (Destructive Sampling) a. Metode Pemanenan Individu Tanaman

Metode ini dapat digunakan pada tingkat kerapatan yang cukup rendah dan komunitas dengan jenis yang sedikit. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area contoh.


(23)

b. Metode Pemanenan Kuadrat

Metode ini mengharuskan memanen semua individu dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik tumbuhan yang dipanen di dalam suatu unit area contoh.

c. Metode Pemanenan Individu Pohon yang Mempunyai Luas Bidang Dasar Rata-rata

Metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang memiliki ukuran individu seragam. Pohon yang ditebang ditentukan berdasarkan rata-rata diameternya dan kemudian menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon contoh yang ditebang dengan jumlah individu pohon dalam suatu unit area tertentu atau jumlah berat dari semua pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara luas bidang dasar dari semua pohon dalam suatu unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua pohon contoh.

2. Metode Pendugaan Tidak Langsung (Non Destructive Sampling) a. Metode Hubungan Alometrik

Persamaan alometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik antar dimensi pohon dengan biomassanya. Sebelum membuat persamaan tersebut, pohon-pohon yang mewakili sebaran kelas diameter ditebang dan ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dari suatu unit area tertentu.

b. Metode Crop Meter

Pendugaan biomassa metode ini dengan cara menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu. Biomassa tumbuhan yang terletak antara dua elektroda dipantau dengan memperhatikan electrical capacitance yang dihasilkan alat tersebut.

Menurut Brown (1997), ada dua pendekatan untuk menduga biomassa dari pohon, yaitu pendekatan pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha), sedangkan pendekatan kedua dengan menggunakan persamaan regresi biomassa


(24)

atau lebih dikenal dengan persamaan alometrik. Persamaan alometrik digunakan untuk mempermudah pendugaan biomassa berdasarkan parameter pohon hidup dengan mengukur dimensi pohon atau tegakan yang mudah diukur, biasanya menggunakan diameter setinggi dada (Dbh) sebagai dasar pendugaan. Metode ini menggunakan biomassa sebagai fungsi dari diameter pohon dengan persamaan sebagai berikut :

Biomassa di atas tanah (Y) = a Db Dimana :

Y = Biomassa pohon (kg)

D = Diameter setinggi dada (130 cm) a dan b merupakan konstanta

Menurut Ketterings et al. (2001) metode yang paling akurat dalam pengukuran biomassa tegakan di atas permukaan tanah adalah dengan cara menimbang biomassa pohon secara langsung di lapangan, tetapi metode tersebut membutuhkan banyak waktu, sangat merusak dan pada umumnya terbatas pada area yang sempit serta ukuran pohon yang kecil. Pendugaan biomassa meggunakan metode non destructive dengan alometrik bisa lebih cepat dilaksanakan dan area yang lebih luas bisa dijadikan contoh. Persamaan alometrik sering digunakan pada studi-studi ekologi dan inventarisasi hutan dalam menduga hubungan antara diameter setinggi dada atau variabel-variabel lain yang mudah diukur dengan volume pohon atau biomassa pohon.

Penetapan persamaan alometrik yang akan digunakan dalam pendugaan biomassa merupakan tahapan penting proses pendugaan biomassa. Setiap persamaan alometrik dikembangkan berdasarkan kondisi tegakan dan variasi jenis tertentu yang berbeda satu dengan yang lain. Penelitian Brown (1997) telah menghasilkan persamaan alometrik untuk menduga biomassa vegetasi di atas permukaan tanah di hutan alam tropis. Pada Tabel 3 disajikan beberapa persamaan alometrik yang telah dibuat untuk menduga biomassa di hutan alam tropis berdasarkan perbedaan curah hujan. Persamaan tersebut dikembangkan dari data 371 pohon dari 3 daerah tropis dengan rentang diameter antara 5-148 cm yang dikumpulkan dari berbagai sumber.


(25)

Tabel 3 Persamaan alometrik untuk menduga biomassa di hutan alam tropis berdasarkan zona iklim

Zona Iklim Persamaan Kisaran Dbh

(cm)

Jumlah Contoh Pohon

R2

Kering Y = exp[-1,996 + 2,32 * ln(D)] 5 - 40 28 0,89 Y = 10^[-0,535 + log10 (BA)] 3 - 30 191 0,94

Lembab Y = 42,69 – 12,800(D) + 1,242(D

2

) 5 - 148 170 0,84

Y = exp[-2,134 + 2,530 * ln(D)] 0,97

Basah Y = 21,297 6,953(D) + 0,740(D2

) 4 - 112 169 0,92

Sumber : Brown (1997) Keterangan :

Y = Biomassa per pohon (kg)

D = Diameter pohon setinggi dada (cm) BA = Basal area (cm2)

Persamaan tersebut diperuntukkan untuk 3 zona iklim yang berbeda, yaitu kering, lembab dan basah. Suatu tempat dikatakan masuk dalam zona kering apabila curah hujan lebih rendah dibandingkan dengan potensial evapotranspirasi (curah hujan <1500 mm/th dan periode kering selama beberapa bulan). Zona lembab adalah zona yang curah hujannya mendekati seimbang dengan potensial evapotranspirasi (curah hujan antara 1500-4000 mm/th dengan tanpa periode kering atau periode kering sangat pendek). Zona basah mempunyai curah hujan yang lebih besar dari potensial evapotranspirasi (curah hujan >4000 mm/th dan tanpa periode kering).

Dalam inventarisasi karbon hutan, terdapat setidaknya ada 4 pool karbon (carbon pool) yang diperhitungkan. Keempat pool karbon tersebut adalah biomassa atas permukaan, biomassa bawah permukaan, bahan organik mati dan karbon organik tanah. Biomassa atas permukaan adalah semua material hidup di atas permukaan. Termasuk bagian dari pool karbon ini adalah batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji dan daun dari vegetasi baik dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai hutan. Biomassa bawah permukaan adalah semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup. Pengertian akar ini berlaku hingga ukuran diameter tertentu yang ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab akar tumbuhan dengan diameter yang lebih kecil dari ketentuan cenderung sulit untuk dibedakan dengan bahan organik tanah dan serasah. Bahan organik mati meliputi kayu mati dan serasah. Serasah dinyatakan sebagai semua bahan organik mati dengan


(26)

diameter yang lebih kecil dari diameter yang telah ditetapkan dengan berbagai tingkat dekomposisi yang terletak di permukaan tanah. Kayu mati adalah semua bahan organik mati yang tidak tercakup dalam serasah baik yang masih tegak maupun yang roboh di tanah, akar mati, dan tunggul dengan diameter lebih besar dari diameter yang telah ditetapkan. Karbon organik tanah mencakup karbon pada tanah mineral dan tanah organik termasuk gambut.

Karbon di hutan alam dapat diduga dengan menggunakan pendugaan biomassa hutan. Brown (1997) menyatakan bahwa umumnya 50% dari biomassa hutan tersusun atas karbon. IPCC (2006) menyatakan bahwa konsentrasi karbon dalam bahan organik adalah sekitar 47%, dengan demikian estimasi jumlah karbon tersimpan dapat dihitung dengan mengalikan total berat massanya dengan konsentrasi karbon yaitu total biomassa dikalikan dengan konsentrasi karbon dalam biomassa sebesar 0,47. Untuk memperhitungkan besarnya emisi karbon potensial akibat kegiatan pemanenan kayu maka dapat diduga dari besarnya biomassa hutan yang terdapat pada pohon yang di panen/ditebang, pohon yang mengalami kerusakan akibat kegiatan penebangan dan dari pohon yang mengalami kerusakan akibat kegiatan penyaradan.

Total emisi karbon tahunan merupakan fungsi dari (1) luas areal yang ditebang per tahun; (2) jumlah kayu yang dipanen per unit area (ha) per tahun; (3) jumlah limbah per ha per tahun yang merupakan sisa penebangan, pohon yang rusak/mati akibat penebangan, kematian pohon akibat jalan sarad, jalan angkut, TPn, logyard; (4) biomassa kayu yang dipakai lama sebagai produk kayu (GOFC-GOLD 2009).


(27)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK-HA PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Waktu penelitian dilakukan selama dua bulan dari bulan April 2010 sampai dengan bulan Juni 2010.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tally sheet, alat tulis, kalkulator, peta areal kerja, phiband meter untuk mengukur diameter pohon, haga hypsometer untuk mengukur tinggi pohon, meteran untuk mengukur areal penelitian, kompas untuk menunjukkan arah, Global Positioning System (GPS) untuk mengetahui jalur penyaradan dan luasan keterbukaan areal, cat untuk menandai pohon dalam jalur pengukuran dan pengamatan, patok untuk menandai batas-batas jalur dan petak pengamatan, seperangkat komputer dengan software Microsoft Excel dan SPSS 17 untuk mengolah data, software Map Info untuk pemetaan, serta kamera untuk dokumentasi. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan hutan dan data hasil ITSP dari petak yang ditebang. 3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Metode Kerja

Langkah awal dalam melaksanakan penelitian ini adalah dengan cara menentukan secara purposive petak tebang yang akan dilakukan penebangan. Petak tebang yang terpilih dalam penelitian ini adalah petak 90V pada RKT 2010 yang merupakan areal hutan bekas tebangan tahun 1984. Petak tebang yang terpilih kemudian dibuat plot berukuran 100 m x 100 m sebanyak 10 plot dengan lokasi mengikuti kegiatan pemanenan dalam petak tersebut. Pendugaan emisi karbon potensial akibat pemanenan kayu dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap pohon yang ditebang/dipanen, pohon yang mengalami kerusakan akibat kegiatan penebangan dan pohon yang mengalami kerusakan


(28)

akibat kegiatan penyaradan. Untuk kerusakan setelah penyaradan dilakukan dengan mengikuti jalur sarad pohon yang ditebang.

3.3.2 Metode Pengumpulan Data

Tahapan kerja yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut : 1. Menentukan plot contoh

a. Melakukan observasi lokasi tebangan dengan melihat peta kerja IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber yang masuk dalam RKT (Rencana Kerja Tahunan) yang akan dilakukan kegiatan penebangan. b. Menetapkan plot contoh sebanyak 10 plot dengan luas tiap plot

sebesar 100 m x 100 m (1 ha). Plot yang diambil terletak pada petak 90V yang akan dilakukan penebangan. Plot yang diambil mewakili kerapatan tegakan yang berbeda dan intensitas penebangan yang berbeda. Pembuatan plot dilakukan dengan metode jalur dengan ukuran 20 m x 100 m, seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Bentuk dan ukuran plot contoh dalam penelitian. 2. Inventarisasi pohon pada plot contoh

a. Memeriksa kebenaran LHC (Laporan Hasil Cruising), mengambil beberapa pohon untuk dihitung ulang dan dicocokkan dengan data yang terdapat pada LHC.

100 m 20 m


(29)

b. Inventarisasi ulang pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm pada plot contoh (10 plot). Mencatat nama/jenis pohon, nomor pohon, mengukur diameter pohon setinggi dada (1,3 m di atas permukaan tanah) dan mengukur tinggi pohon.

3. Penebangan

a. Menghitung jumlah dan jenis pohon yang ditebang pada setiap plot. b. Menghitung jumlah dan jenis pohon yang rusak pada setiap plot akibat

kegiatan penebangan.

c. Menghitung bentuk kerusakan pohon :

 Jenis kerusakan (rusak tajuk, luka batang, patah batang, pecah batang, roboh, miring, dan rusak banir).

 Menghitung persentase kerusakan dengan cara membandingkan data jumlah pohon sebelum penebangan dengan sesudah penebangan.

 Mengkategorikan kerusakan yang akan dikelompokkan berdasarkan kategori tingkat kerusakan pohon yaitu kerusakan ringan, sedang atau berat.

4. Penyaradan

a. Menghitung jumlah dan jenis pohon yang rusak pada setiap plot akibat kegiatan penyaradan.

b. Menghitung bentuk kerusakan pohon seperti pada kegiatan penebangan. c. Menghitung persentase kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan

penyaradan.

d. Mengukur panjang dan lebar jalan sarad kemudian menghitung luasnya sehingga mendapatkan keterbukaan areal akibat pembuatan jalan sarad. e. Melakukan tracking jalan sarad dengan menggunakan GPS.

3.3.3 Data Sekunder

Data sekunder yang diambil adalah berupa data potensi tegakan sebelum dilakukannya kegiatan penebangan yang diperoleh dari Laporan Hasil Cruising

(LHC), data kondisi umum perusahaan, peta areal kerja pengusahaan hutan dan daftar nama pohon yang berada di kawasan IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber.


(30)

3.4 Analisis Data

3.4.1 Perhitungan Volume Tegakan

Perhitungan volume tegakan dilakukan untuk mengetahui besarnya potensi volume tegakan yang terdapat pada plot penelitian serta untuk mengetahui seberapa besar volume pemanenan yang dilakukan. Volume tegakan per hektar diperoleh dengan cara merata-ratakan volume tegakan yang terdapat pada seluruh plot contoh dan volume tegakan tiap plot ditentukan melalui penjumlahan nilai volume pohon-pohon yang ditemukan pada plot tersebut. Untuk menentukan besarnya volume dilakukan dengan menggunakan rumus :

V = ¼. π. D2. Hbc. f

Dimana :

V = Volume pohon (m3) D = Diameter pohon (m)

Hbc = Tinggi pohon bebas cabang (m) π = Phi (3,14)

f = Faktor angka bentuk (0,7)

3.4.2 Perhitungan Biomassa dan Karbon

Perhitungan biomassa yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan persamaan alometrik biomassa yang disusun oleh Brown (1997) yang diterapkan pada zona iklim lembab yaitu :

Y = exp [-2,134 + 2,530 x ln(D)] Dimana :

Y = Biomassa per pohon (Kg)

D = Diameter pohon setinggi dada (cm)

Kandungan karbon di hutan alam dapat dihitung dengan menggunakan pendugaan biomassa hutan. Brown (1997) menyatakan bahwa umumnya 50% dari biomassa hutan tersusun atas karbon sehingga dari hasil perhitungan biomassa dapat diubah kedalam bentuk karbon (ton C/ha) yaitu dengan mengalikan nilai biomassa dengan faktor konversi sebesar 0,5.

Karbon (C) = B x 0,5 Dimana :

C = Jumlah karbon (ton C/ha) B = Biomassa (ton/ha)


(31)

Untuk memperhitungkan besarnya emisi karbon potensial akibat kegiatan pemanenan kayu maka dapat diduga dari besarnya karbon yang terdapat pada pohon yang di panen/ditebang, karbon pada pohon yang rusak akibat penebangan dan karbon pada pohon yang rusak akibat penyaradan.

3.4.3 Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal

Beberapa tingkat bentuk kerusakan yang terjadi pada individu pohon menurut Elias (1993) yaitu :

1. Tingkat kerusakan berat a. Patah batang. b. Pecah batang.

c. Roboh, tumbang atau miring sudut <45° dengan permukaan tanah. d. Rusak tajuk (>50% tajuk rusak), juga didasarkan atas banyaknya

cabang pembentuk tajuk patah.

e. Luka batang/rusak kulit (>1/2 keliling pohon atau 300-600 cm kulit mengalami kerusakan).

f. Rusak banir/akar (>1/2 banir atau perakaran rusak/terpotong). 2. Tingkat kerusakan sedang

a. Rusak tajuk (30-50% tajuk rusak atau 1/6 bagian tajuk mengalami kerusakan).

b. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling pohon rusak atau 150-300 cm kulit rusak).

c. Rusak banir/akar (1/3-1/2 banir/akar rusak atau terpotong).

d. Condong atau miring (pohon miring membentuk sudut >45° dengan tanah).

3. Tingkat kerusakan ringan

a. Rusak tajuk (<30% tajuk rusak).

b. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling dan panjang luka <1,5 m atau kerusakan sampai kambium dengan lebar lebih dari 5 cm, lebih kurang sepanjang garis sejajar sumbu longitudinal dari batang).


(32)

Kerusakan tegakan tinggal dihitung berdasarkan persentase jumlah pohon yang rusak terhadap jumlah pohon yang seharusnya tinggal dan sehat. Untuk menghitung tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan kayu digunakan rumus :

K = R

P−Q × 100%

Dimana :

K = Tingkat kerusakan tegakan tinggal (%)

R = Jumlah pohon yang mengalami kerusakan (pohon/ha) P = Jumlah pohon 20 cm up sebelum penebangan (pohon/ha) Q = Jumlah pohon yang ditebang (pohon/ha)

3.4.4 Perhitungan Keterbukaan Areal Akibat Penyaradan

Perhitungan keterbukaan areal berasal dari pembuatan jalan sarad pada petak tebangan. Keterbukaan lahan akibat penyaradan adalah luas tanah yang terbuka akibat kegiatan penyaradan pohon yang dilewati oleh bulldozer atau lalu lintas bulldozer menuju lokasi penyaradan. Keterbukaan lahan akibat penyaradan ditentukan dengan mengukur panjang dan lebar jalan sarad pada petak tebangan kemudian dihitung luas jalan sarad tersebut. Penelusuran jalur sarad dilakukan dengan menggunakan GPS dan meteran. Persentase keterbukaan areal akibat penyaradan dihitung dengan rumus :

K = L

10.000 × 100%

Dimana :

K = Persentase keterbukaan areal (%) L = Luas areal yang terbuka (m2)

3.4.5 Analisis Hubungan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Tegakan Tinggal dan Emisi Karbon Potensial

Untuk mengetahui pengaruh kegiatan pemanenan kayu terhadap terjadinya kerusakan tegakan tinggal dan emisi karbon potensial, maka dilakukan analisis regresi. Faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap kerusakan tegakan tinggal yaitu kerapatan tegakan dan intensitas pemanenan yang dilakukan. Semakin tinggi kerapatan tegakan dan intensitas pemanenan maka akan semakin besar nilai kerusakannya. Persamaan regresi linier hubungan antara kerapatan


(33)

tegakan dan intensitas pemanenan terhadap besarnya kerusakan tegakan tinggal dinyatakan dalam persamaan regresi sebagai berikut :

Ŷ = b0 + b1X1 + b2X2

Dimana :

Ŷ = Kerusakan tegakan tinggal (%) X1 = Kerapatan tegakan (pohon/ha) X2 = Intensitas pemanenan (pohon/ha) b0, b1,b2 merupakan koefisien regresi

Faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap besarnya emisi karbon potensial adalah potensi awal tegakan sebelum pemanenan dan intensitas pemanenan yang dilakukan. Semakin besar intensitas pemanenan yang dilakukan maka akan semakin besar pula emisi karbon potensial yang ditimbulkan. Persamaan regresi linier hubungan antara potensi awal tegakan sebelum pemanenan dan intensitas pemanenan terhadap besarnya emisi karbon potensial dinyatakan dalam persamaan regresi sebagai berikut :

Ŷ = b0 + b1X1 + b2X2

Dimana :

Ŷ = Emisi karbon potensial (ton C/ha)

X1 = Potensi awal tegakan sebelum pemanenan (m3/ha) X2 = Intensitas pemanenan (m3/ha)

b0, b1,b2 merupakan koefisien regresi

Analisis data dilakukan dengan menggunakan paket statistik SPSS. Untuk mengetahui pengaruh peubah X1 dan X2 terhadap persamaan regresi yang dihasilkan, maka dilakukan analisis ragam dan pengujian hipotesis.


(34)

4.1 Letak dan Luas

Dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam hutan produksi, IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber mempunyai luas areal 170.000 Ha sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian nomor 219/Kpts/Um/5/73 tanggal 11 Mei 1973. Pada tahun 1994, izin pemanfaatan IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber diperpanjang sesuai dengan Izin Prinsip nomor 1277/Menhut-IV/94 dengan luas areal kerja 305.535 Ha. Kemudian dengan adanya konversi lahan ke perkebunan kelapa sawit, areal kerja IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber menjadi 204.200 Ha.

IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber memperoleh perpanjangan IUPHHK definitif seluas 216.580 ha untuk jangka waktu 45 tahun (periode tahun 1992 s/d 2037) sesuai Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.266/Menhut-II/2004 tanggal 21 Juli 2004. IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber melaksanakan pengusahaan hutan sejak tahun 1973 dan menerapkan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia/Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPI/TPTI). IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber telah melaksanakan pengusahaan hutan selama jangka pengusahaan hutan I (1973-1992), sebagian jangka pengusahaan II (1992-2037) dan akhir rotasi I (35 tahun) pada RKT 2007.

Tahun 2005 IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber ditunjuk sebagai salah satu pelaksana model sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) sesuai Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan nomor SK.77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 tentang penunjukan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam (IUPHHK-HA) sebagai model sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Pengusahaan hutan untuk rotasi II sampai akhir jangka pengusahaan pada tahun 2037 dengan berbagai faktor pertimbangan teknis akan menerapkan sistem silvikultur TPTI hingga tahun 2007 dan menerapkan sistem silvikultur TPTII hingga tahun 2037.


(35)

Areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber terletak pada kelompok

hutan sungai Kalek - sungai Nahiang. Secara geografis areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber berada pada 111o55’BT - 112o19’BT dan

1o10’LS - 1o57’LS. Menurut pembagian wilayah Administrasi Pemerintahan,

areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber meliputi Kecamatan Seruyan Hulu dan Seruyan Tengah, Mentaya Hulu dan Antang, serta Katingan Hulu yang terletak di Kabupaten Kotawaringin Timur, Seruyan dan Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah.

Berdasarkan pembagian Administrasi Kehutanan, areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber termasuk ke dalam wilayah Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah yang meliputi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kotawaringin Timur, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Seruyan dan Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan.

Batas areal kerja IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : PT. Erna Djuliawati dan PT. Meranti Mustika

2. Sebelah Timur : PT. Kayu Tribuana Rama, PT. Berkat Cahaya Timber dan PT. Inhutani III

3. Sebelah Selatan : HTI Trans PT. Kusuma Perkasa Wana

4. Sebelah Barat : PT. Hutanindo Lestari Jaya Utama, PT. Sentral Kalimantan Abadi dan PT. Intrado Jaya Intiga

4.2 Tanah dan Geologi

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Tumbang Manjul Kalimantan Tengah skala 1 : 250.000 bahan geologi pada areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber terdiri dari jenis batuan Andesit dan Granit. Sebagian besar jenis tanah di areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber adalah Dystropepts (61%) dan Tropudults (39%). Keadaan topografi areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber umumnya datar, landai, bergelombang dan agak curam hingga curam dengan ketinggian minimum 18 mdpl dan maksimum 944 mdpl. Adapun persentase kemiringan lapangan dan luasannya dapat dilihat pada Tabel 4.


(36)

Tabel 4 Persentase luas areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber berdasarkan kelas lereng

Klasifikasi Kelerengan (%) Luas Areal

Ha %

Datar 0-8 109.728 51

Landai 8-15 37.304 17

Agak Curam 15-25 31.747 15

Curam 25-40 33.231 15

Sangat Curam >40 4.570 2

Jumlah 216.580 100

Sumber : PT. Sarmiento Parakantja Timber (2006) 4.3 Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kondisi iklim di areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber termasuk tipe iklim A. Curah hujan rata-rata tahunan adalah 3.086 mm/tahun dan rata- rata hari hujan 145 hari/tahun. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Maret. Pada areal tersebut tidak terdapat bulan kering yang nyata (< 60 cm/bulan).

4.4 Hidrologi

Areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber terletak pada 3 (tiga) Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Seruyan, DAS Mentaya dan DAS Mentubar. DAS Seruyan terbagi menjadi 10 sub DAS yaitu sub DAS Kaleh, Seruyan Hulu, Tenkum, Kumpang, Bai, Purang, Kuwung, Sahabu, Seruyan Hilir dan Rangga. DAS Mentaya terbagi dalam 2 sub DAS yaitu sub DAS Mentaya Hulu dan Mentaya Hilir. DAS Mentubar terbagi dalam 2 sub DAS yaitu sub DAS Kuayan dan Tilap. Pola morfometri sungai (DAS) umumnya berpola lateral dan denditrik dengan arah aliran dari utara ke selatan, mengalir sepanjang tahun dengan kecepatan arus lambat sampai agak cepat, dasar saluran umumnya berbatu dan mengandung pasir.

4.5 Keadaan Hutan

Tipe hutan di areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber termasuk dalam tipe hutan hujan tropika (Low Land Tropical Rain Forest). Dari tipe hutan tersebut sebaran jenisnya untuk jenis komersial didominasi oleh kelompok kayu


(37)

meranti (Dipterocarpaceae) yang terdiri dari Meranti (Shorea sp.), Keruing

(Dipterocarpus sp.) dan jenis-jenis lainnya. Jenis kayu komersial non

dipterocarpaceae yang mendominasi terdiri dari Kempas (Koompassia malaccensis), Nyatoh (Palaquium sp.) dan Sindur (Sindora sp.). Selain itu terdapat juga jenis pohon langka yang dilindungi seperti Tengkawang dan Ulin

(Eusideroxylon zwageri).

Kondisi penutupan lahan IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber sesuai surat Kepala Badan Planologi Kehutanan Nomor S.213/VII/Peta-I/2005 tanggal 20 Mei 2005 perihal pemeriksaan citra Landsat 7 ETM+band 542 skala 1:100.000 liputan tanggal 19 Agustus 2004 adalah sebagai berikut :

Tabel 5 Kondisi penutupan lahan areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber

No Penutupan Lahan Luas (Ha)

HPT HPK Jumlah

1 Hutan primer/Virgin Forest 12.092 3.047 15.139

2 Hutan primer terpisah 1.010 0 1.010

3 Hutan sekunder/areal bekas tebangan 111.288 36.094 147.382

4 Hutan sekunder terpisah 700 0 700

5 Non hutan/areal tidak produktif 10.852 16.709 27.561

6 Kawasan lindung 9.395 2.035 11.430

7 Areal tidak efektif 12.043 1.315 13.358

Jumlah 157.380 59.200 216.580

Sumber : PT. Sarmiento Parakantja Timber (2006)

Areal kerja IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber seluas 216.580 ha terdiri dari kawasan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 157.380 ha dan kawasan hutan produksi konversi (HPK) seluas 59.200 ha. Pada kawasan tersebut terdapat hutan primer/virgin forest seluas 15.139 ha (6,99%), areal bekas tebangan seluas 147.382 ha (68,05%), areal yang tidak produktif/non hutan seluas 27.561 ha (12,73%), kawasan lindung seluas 11.430 ha (5,28%) dan areal yang tidak efektif seluas 15.068 ha (6,95%).

4.6 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber termasuk ke dalam 5 wilayah kecamatan antara lain kecamatan Seruyan Hulu, Seruyan Tengah, Mentaya Hulu, Antang Kalang dan Katingan Hulu. Masyarakat sekitar hutan


(38)

terdiri dari berbagai desa antara lain desa Tumbang Payang, Tumbang Kania, Tewai Hara, Tumbang Getas, Tumbang Bai, Rantau Panjang dan Mojang Baru. Penduduk asli masyarakat setempat adalah suku dayak.

Kesempatan kerja dan peluang berusaha penduduk di sekitar areal kerja IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber didominasi oleh sektor pertanian sebesar 85%, berdagang 8% dan lain-lain. Berdasarkan data pada kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Timur menunjukkan bahwa penduduk yang bermukim di dalam dan di sekitar areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber berjumlah 96.900 jiwa sebagaimana disajikan pada tabel berikut.

Tabel 6 Jumlah rumah tangga dan penduduk di sekitar areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber

Kecamatan Jumlah

Desa

Rumah Tangga

Penduduk

Laki-laki Perempuan Jumlah

Seruyan Hulu 28 2.231 5.581 5.072 10.653

Seruyan Tengah 28 5.365 12.961 11.259 24.220

Mentaya Hulu 30 6.674 14.667 12.933 27.600

Antang Kalang 29 5.427 12.680 10.787 23.467

Katingan Hulu 34 2.361 5.818 5.142 10.960

Sumber : PT. Sarmiento Parakantja Timber (2006)

Luas wilayah keseluruhan desa yang berada di kecamatan Seruyan Hulu, Seruyan Tengah, Mentaya Hulu, Antang Kalang dan Katingan Hulu adalah 15.735 km2 dengan rata-rata kepadatan penduduk 6,16 jiwa/km2. Kepadatan penduduk tertinggi berada di kecamatan Seruyan Tengah yaitu 12,04 jiwa/km2, sementara yang terendah di kecamatan Seruyan Hulu yaitu 2,24 jiwa/km2. Data kepadatan penduduk dan luas wilayah pada setiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Kepadatan penduduk di sekitar areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber

Kecamatan

Luas wilayah

(km2)

Kepadatan

Banyaknya Rata-rata

per Rumah Tangga Penduduk Rumah

Tangga

Seruyan Hulu 4.764 2,24 10.653 2.231 4,77

Seruyan Tengah 2.012 12,04 24.220 5.365 4,51

Mentaya Hulu 3.380 5,82 27.600 6.674 4,14

Antang Kalang 2.975 7,85 23.467 5.427 4,32

Katingan Hulu 2.604 4,21 10.960 2.361 4,64


(39)

Penyebaran pemeluk agama pada penduduk yang berada di dalam dan di sekitar areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber adalah sebagian besar beragama Islam yaitu sebanyak 59.422 jiwa (61%), beragama Hindu Kaharingan 25.847 jiwa (27%), beragama Protestan 8.034 jiwa (8%), beragama Katolik 3.407 jiwa (4%) dan beragama Budha sebanyak 191 jiwa (kurang dari 1%).

Pola penggunaan lahan menunjukkan bahwa desa-desa di sekitar areal kerja IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber merupakan desa tradisional di daerah pedalaman Kalimantan dengan tradisi perladangan yang masih dominan. Lahan sawah masih sangat sedikit dan bahkan pada beberapa desa belum ada. Selain itu, pada desa-desa tersebut juga terdapat areal tidak berhutan atau non hutan. Areal tidak berhutan tersebut sebagian terdapat di dalam dan sebagian lainnya di luar areal kerja IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber. Areal tidak berhutan tersebut merupakan lahan yang sedang dan atau pernah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk pemukiman, kegiatan usaha tani, dsb. Selain areal tidak berhutan, di sekitar desa juga terdapat areal berhutan baik yang berada di dalam areal kerja IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber maupun di luar areal kerja. Areal berhutan tersebut sebagian juga merupakan lokasi aktifitas masyarakat, terutama aktifitas mencari kayu, hasil hutan bukan kayu, berburu, maupun kegiatan budaya.

Beberapa upacara adat yang masih ada di masyarakat dalam rangka pemanfaatan sumberdaya hutan dan aktifitas berladang adalah memotong ayam pada saat pelaksanaan royong yang diikuti dengan menaruh darah ayam di batu dan kemudian diletakkan di batas-batas ladang. Upacara tersebut dimaksudkan agar hasil ladang menjadi subur dan memberikan hasil yang banyak serta mendapat perlindungan dari leluhur. Selain itu, jenis ritual adat masyarakat yang saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat diantaranya adalah upacara adat yang terkait dengan siklus hidup mulai dari upacara adat (1) kelahiran, (2) penyambutan, (3) pernikahan, dan (4) kematian.


(40)

5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan

Kegiatan ITSP (Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan) dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi tegakan pada plot yang diteliti sebelum dilakukannya kegiatan penebangan. Hasil ITSP pada plot yang diteliti menunjukkan besarnya kerapatan pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm adalah sebanyak 176,10 pohon/ha. Luas bidang dasar pada plot penelitian adalah 19,35 m2/ha. Potensi plot penelitian dapat dilihat dari besarnya volume yang terdapat pada plot penelitian yaitu 198,55 m3/ha. Data kondisi tegakan sebelum dilakukannya kegiatan pemanenan kayu pada plot penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Kondisi tegakan plot penelitian sebelum pemanenan

Plot Kerapatan Tegakan (phn/ha) Lbds Volume

20-29 cm 30-39 cm >40 cm Jumlah (m2/ha) (m3/ha)

A 53 59 26 138 12,77 127,58

B 91 76 55 222 27,74 275,52

C 48 62 21 131 12,89 116,50

D 90 59 26 175 19,35 207,12

E 107 87 37 231 20,96 213,34

F 73 58 43 174 20,56 217,79

G 72 66 26 164 15,04 134,51

H 86 59 42 187 23,57 258,25

I 88 68 57 213 26,80 290,05

J 58 40 28 126 13,79 144,89

Rata-rata 76,60 63,40 36,10 176,10 19,35 198,55

Std. Error 6,04 3,92 4,05 11,90 1,77 20,35

Dari Tabel 8 diketahui bahwa kerapatan pohon yang paling tinggi berada pada plot E sebanyak 231 pohon/ha, sedangkan kerapatan pohon yang paling rendah berada pada plot J sebanyak 126 pohon/ha. Jika dilihat berdasarkan klasifikasi kelas diameternya, maka kerapatan tegakan pohon yang paling tinggi berada pada kelas diameter 20-29 cm sebanyak 76,60 pohon/ha. Luas bidang dasar yang paling tinggi berada pada plot B sebesar 27,74 m2/ha sedangkan yang paling rendah berada pada plot A sebesar 12,77 m2/ha. Luas bidang dasar


(41)

dipengaruhi oleh besarnya ukuran diameter pohon yang terdapat pada plot penelitian sehingga semakin besar ukuran diameter pohon maka akan semakin besar pula luas bidang dasarnya. Semakin tinggi kerapatan pohon tidak selalu mengakibatkan semakin besar pula potensi volume nya, meskipun kerapatan pohon paling tinggi berada pada plot E namun potensi volume yang paling besar justru berada pada plot I yang memiliki potensi volume sebesar 290,05 m3/ha. Hal ini dapat diakibatkan oleh keadaan pohon-pohon pada plot I yang memiliki diameter dan tinggi yang lebih besar dibandingkan pada plot E. Potensi volume terendah berada pada plot C yaitu 116,50 m3/ha.

5.2 Kegiatan Pemanenan Kayu 5.2.1 Metode Pemanenan

Sistem pemanenan kayu yang dilaksanakan di IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber merupakan sistem pemanenan mekanis. Kegiatan pemanenan kayu pada plot penelitian dilakukan secara tebang – tarik. Dalam kegiatan ini dilakukan penebangan pohon terlebih dahulu pada plot penelitian, namun sebelum kegiatan penebangan pohon tersebut selesai seluruhnya, dilakukan juga kegiatan penyaradan terhadap pohon-pohon yang telah ditebang pada plot penelitian tersebut. Ketika kegiatan penebangan pohon telah berpindah dari satu plot penelitian ke plot penelitian yang lain maka kegiatan penyaradan pun dilakukan terhadap pohon-pohon pada plot penelitian yang telah selesai ditebang. Sehingga kegiatan penyaradan dilakukan tidak menunggu hingga kegiatan penebangan tersebut telah selesai dilakukan pada seluruh areal/petak tebangan dan kemudian kegiatan penyaradan dilaksanakan.

Kegiatan penebangan dilakukan oleh regu chainsaw dengan sistem borongan. Setiap regu chainsaw menebang pada petak tebangan yang telah ditentukan oleh pengawas tebangan yang biasanya dibatasi oleh bentang alam, sungai maupun jalan. Seorang operator chainsaw dibantu oleh seorang helper, sebelum melakukan penebangan mula-mula operator chainsaw mempersiapkan alat tebang seperti chainsaw, pengisian BBM, pelumas rantai dan mesin, serta mengkikir rantai. Sebelum proses penebangan biasanya operator melihat keadaan pohon terlebih dahulu untuk menentukan boleh atau tidaknya pohon tersebut ditebang, ketentuan itu dilihat dari diameter, kondisi fisik serta kondisi kesehatan


(42)

pohon. Operator chainsaw tidak akan menebang pohon yang cacat dan pohon yang berdiameter dibawah 40 cm. Kemudian dilanjutkan dengan pembersihan tumbuhan yang melilit pada pohon agar tidak menahan pohon yang akan ditebang serta mencegah pohon melintang dan menyandar, pembuatan jalur keselamatan yang dilakukan untuk memudahkan operator chainsaw dan helper menghindari pohon tumbang, penentuan arah rebah dan terakhir adalah kegiatan penebangan pohon.

Kegiatan penyaradan dilakukan dengan menggunakan bulldozer Komatsu D85ESS-2 dimana jenis ini memiliki mesin 4 silinder yang dapat menghasilkan tenaga sebesar 215 tenaga kuda, berat bulldozer ini adalah sekitar 21 ton. Ukuran lebar blade dari bulldozer ini adalah 4 meter dan memiliki winch pada bagian belakangnya yang digunakan untuk menyarad kayu, panjang winch berkisar 20 meter. Sebelum melakukan kegiatan penyaradan, bulldozer terlebih dahulu membuat TPn kemudian dilanjutkan dengan bulldozer membuat jalan sarad. Setelah dibuat jalan sarad, bulldozer kemudian masuk ke petak tebangan mencari kayu yang telah ditebang. Setelah menemukan kayu yang telah ditebang maka seorang helper akan turun untuk mengaitkan choker pada kayu tersebut, kemudian

bulldozer menyarad mengikuti jalan sarad yang telah dibuat, sesampainya di TPn kayu lalu ditumpuk dan disusun.

5.2.2 Intensitas Pemanenan

Kegiatan ITSP yang dilakukan pada plot penelitian juga dapat digunakan untuk mengetahui besarnya potensi pohon layak tebang yang terdapat pada plot penelitian tersebut. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan intensitas pemanenan pada kegiatan pemanenan kayu. Potensi pohon yang layak untuk ditebang pada plot penelitian adalah sebanyak 34,50 pohon/ha dengan potensi volumenya sebesar 122,74 m3/ha. Pohon-pohon yang termasuk kedalam kategori layak tebang ini merupakan pohon-pohon komersial yang berdiameter lebih dari 40 cm. Besarnya intensitas pemanenan pada plot penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.


(43)

Tabel 9 Intensitas pemanenan pada plot penelitian Plot

Potensi Pohon Layak Tebang Pohon yang Ditebang

Jumlah Volume Jumlah Volume ITSP Volume Log

(phn/ha) (m3/ha) (phn/ha) (m3/ha) (m3/ha)

A 25 56,24 13 37,34 33,99

B 48 186,39 18 64,11 59,56

C 20 54,80 10 34,52 31,98

D 24 128,15 13 75,90 73,32

E 36 97,46 10 32,10 30,50

F 43 150,91 12 50,11 47,93

G 26 66,02 8 23,46 21,42

H 41 176,87 9 77,03 76,00

I 55 217,57 16 113,49 104,72

J 27 93,03 8 46,43 41,61

Rata-rata 34,50 122,74 11,70 55,45 52,10

Std. Error 3,74 18,43 1,07 8,67 8,24

Pada Tabel 9, volume ITSP merupakan volume pohon yang dipanen dalam plot penelitian jika disesuaikan dengan data pohon hasil ITSP sebesar 55,45 m3/ha, sedangkan volume log merupakan volume pohon yang sebenarnya dipanen dalam plot penelitian yang diketahui dengan melakukan pengukuran kembali terhadap dimensi pohon yang telah ditebang, adapun volume log nya sebesar 52,10 m3/ha. Volume pohon yang dipanen dalam penelitian ini adalah 52,10 m3/ha atau sebesar 42,45% dari rata-rata volume pohon yang dapat dipanen per hektar nya. Jika dilihat dari besarnya persentase pemanenan kayu tersebut maka kegiatan pemanenan kayu yang telah dilakukan masih tergolong baik karena masih berada dibawah 56% yang merupakan jatah penebangan tahunan yang telah ditetapkan. Volume pohon yang dipanen paling besar berada pada plot I sebesar 104,72 m3/ha dan terendah berada pada plot G sebesar 21,42 m3/ha.

Pada data tersebut terlihat bahwa intensitas pemanenan besarnya berbeda-beda pada setiap plot penelitian. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah pohon layak tebang yang berbeda pada setiap plot, keadaan topografi plot penelitian dan dipengaruhi juga oleh keadaan fisik dari pohon layak tebang tersebut. Jumlah pohon yang paling banyak ditebang pada plot penelitian berada pada plot B sebanyak 8 pohon/ha dan pohon yang paling sedikit ditebang berada pada plot G dan J sebanyak 8 pohon/ha. Rata-rata intensitas penebangan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah 11,70 pohon/ha dimana intensitas penebangan tersebut masih


(44)

lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Indriyati (2010) di pulau Siberut, Sumatera Barat, yang intensitas penebangannya 7,20 pohon/ha dan juga masih lebih tinggi jika dibandingkan penelitian Feldpausch et al. (2005) di Amazonia Selatan yang intensitas penebangannya berkisar 1,1-2,6 pohon/ha. Hasil penelitian lain oleh Aryono (2010) di Kalimantan Tengah menunjukkan besar intensitas penebangan pada tegakan rapat adalah 15 pohon/ha dan pada tegakan rawang adalah 9 pohon/ha. Perbedaan intensitas penebangan ini disebabkan karena perbedaan potensi pohon layak tebang yang terdapat pada lokasi-lokasi tersebut. 5.3 Kerusakan Tegakan Pasca Pemanenan

5.3.1 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan

Kerusakan tegakan tinggal terjadi karena tertimpanya pohon pada tegakan oleh pohon yang ditebang. Robohnya suatu pohon dapat menyebabkan kerusakan pada pohon di sekitarnya. Kerusakan tegakan tinggal itu sendiri terbagi menjadi beberapa kategori tingkat kerusakan yaitu tingkat kerusakan ringan, sedang dan berat, selain itu kerusakan tegakan tinggal juga terbagi kedalam beberapa bentuk kerusakan yang dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Bentuk kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan

Bentuk Kerusakan Tingkat Kerusakan (pohon) Persentase

Ringan Sedang Berat Jumlah (%)

Rusak Tajuk 73 66 33 172 57,53

Luka Batang 7 7 3 17 5,69

Patah Batang 0 0 50 50 16,72

Pecah Batang 0 0 27 27 9,03

Roboh, Miring <45⁰ 0 0 29 29 9,70

Condong, Miring >45⁰ 0 1 0 1 0,33

Rusak Banir 3 0 0 3 1,00

Total 83 74 142 299 100

Rata-rata 8,30 7,40 14,20 29,90

Persentase 27,76 24,75 47,49 100

Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa bentuk kerusakan yang paling sering ditimbulkan akibat kegiatan penebangan adalah bentuk kerusakan rusak tajuk sebesar 57,53% dan patah batang sebesar 16,72%. Kerusakan ini disebabkan oleh banyaknya liana yang saling melilit dan besarnya hempasan ketika pohon yang ditebang menimpa individu pohon lainnya. Hasil ini tidak jauh berbeda


(45)

2,80 3,80 1,70 2,90 3,50 1,00 8,20 5,30 0,70 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00

20-29 cm 30-39 cm ≥40 cm

Rata -r at a K er u sak an ( p h n /h a)

Kelas Diameter (cm)

Ringan Sedang Berat dengan hasil penelitian Elias (1995) dimana kerusakan terbesar akibat penebangan terdapat pada bentuk rusak tajuk sebesar 49,45% dan patah batang sebesar 23,08%. Pada penelitian Indriyati (2010) kerusakan terbesar akibat penebangan terdapat pada bentuk kerusakan patah batang sebesar 31,18% dan rusak tajuk sebesar 27,96%.

Tingkat kerusakan yang paling tinggi terjadi pada tingkat kerusakan berat sebanyak 14,20 pohon/ha atau sebesar 47,49% dari total seluruh kerusakan pohon akibat penebangan. Pada penelitian Elias (1995) kerusakan akibat penebangan yang paling tinggi terdapat pada tingkat kerusakan berat sebesar 82,12% dan penelitian Indriyati (2010) menyatakan kerusakan akibat penebangan yang paling tinggi juga terdapat pada tingkat kerusakan berat sebesar 67,74%. Pada tingkat kerusakan berat akibat kegiatan penebangan, bentuk kerusakan yang paling sering terjadi adalah bentuk kerusakan patah batang yaitu sebanyak 50 pohon.

Gambar 2 Distribusi kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan berdasarkan kelas diameter.

Pada Gambar 2 terlihat bahwa tingkat kerusakan berat pada tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan paling banyak terjadi pada kelas diameter pohon 20-29 cm sebanyak 8,20 pohon/ha, sedangkan untuk tingkat kerusakan ringan dan sedang paling banyak terjadi pada kelas diameter 30-39 cm. Secara fisik pohon-pohon yang memiliki diameter relatif kecil lebih rentan terhadap


(46)

timpaan pohon rebah sehingga kerusakan berat pada pohon-pohon berdiameter kecil menjadi lebih sering terjadi.

Kegiatan penebangan pohon per hektar nya pada plot penelitian mengakibatkan terjadinya kerusakan tegakan tinggal untuk tingkat kerusakan berat sebesar 8,72 %. Adapun kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan

Plot N 20 cm up Intensitas Penebangan Kerusakan Berat

(phn/ha) (phn/ha) (m3/ha) (phn/ha) (m3/ha) (%) (a) (b) (c) (d) (e) (f)

A 138 13 37,34 12 5,60 9,60

B 222 18 64,11 22 10,34 10,78

C 131 10 34,52 10 4,39 8,26

D 175 13 75,90 18 7,23 11,11

E 231 10 32,10 8 5,43 3,62

F 174 12 50,11 14 7,14 8,64

G 164 8 23,46 11 3,39 7,05

H 187 9 77,03 16 15,39 8,99

I 213 16 113,49 21 16,00 10,66

J 126 8 46,43 10 5,14 8,47

Rata-rata 176,10 11,70 55,45 14,20 8,00 8,72

Std. Error 11,90 1,07 8,67 1,54 1,42 0,70

Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa dari kegiatan penebangan sebesar 55,45 m3/ha menyebabkan terjadinya kerusakan berat pada tegakan tinggal sebesar 8 m3/ha. Hal ini berarti bahwa setiap penebangan 1 m3 per hektar nya mengakibatkan terjadinya kerusakan berat pada tegakan tinggal sebesar 0,14 m3 per hektar. Rata-rata intensitas penebangan pada plot penelitian adalah 11,70 pohon/ha yang mengakibatkan kerusakan berat pada tegakan tinggal sebanyak 14,20 pohon/ha. Hal ini berarti bahwa setiap penebangan 1 pohon/ha mengakibatkan kerusakan berat pada tegakan tinggal sebesar 1,21 pohon/ha.

Hasil penelitian Indriyati (2010) menyatakan dari kegiatan penebangan sebanyak 7,20 pohon/ha mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 9,30 pohon/ha yang terdiri dari tingkat kerusakan berat 6,30 pohon/ha, tingkat kerusakan sedang 0,70 pohon/ha dan tingkat kerusakan ringan 2,30 pohon/ha


(47)

sehingga dari penebangan 1 pohon/ha mengakibatkan kerusakan berat pada tegakan tinggal sebesar 0,88 pohon/ha. Penelitian Aryono (2010) menyatakan dari kegiatan pemanenan 1 pohon/ha pada tegakan rapat akan mengakibatkan 19 pohon/ha mengalami kerusakan berat dan dari pemanenan 1 pohon/ha pada tegakan rawang akan mengakibatkan 17 pohon/ha mengalami kerusakan berat. Perbedaan kerusakan tersebut disebabkan karena kerapatan awal dan intensitas penebangan yang berbeda serta adanya perbedaan batas diameter pohon contoh yang diukur dalam penelitian pada lokasi-lokasi tersebut dimana pada penelitian Indriyati (2010) mengambil pohon contoh yang berdiameter diatas 20 cm, sedangkan pada penelitian Aryono (2010) mengambil pohon contoh yang berdiameter diatas 10 cm.

5.3.2 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penyaradan

Kegiatan penyaradan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan tegakan tinggal. Kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penyaradan berasal dari pohon yang mengalami kerusakan ketika pembuatan jalan sarad dan dari pohon yang mengalami kerusakan ketika bulldozer menyarad pohon yang telah ditebang. Sama seperti kerusakan akibat kegiatan penebangan, kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penyaradan juga terdiri dari beberapa kategori tingkat kerusakan dan bentuk kerusakan yang dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Bentuk kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan

Bentuk Kerusakan Tingkat Kerusakan (pohon) Persentase

Ringan Sedang Berat Jumlah (%)

Rusak Tajuk 0 0 0 0 0

Luka Batang 49 25 2 76 41,30

Patah Batang 0 0 3 3 1,63

Pecah Batang 0 0 1 1 0,54

Roboh, Miring <45⁰ 0 0 66 66 35,87

Condong, Miring >45⁰ 0 1 0 1 0,54

Rusak Banir 25 12 0 37 20,11

Total 74 38 72 184 100

Rata-rata 7,40 3,80 7,20 18,40


(48)

2,80 4,00 0,60 1,40 1,60 0,80 5,50 1,60 0,10 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00

20-29 cm 30-39 cm ≥40 cm

Ra ta -r at a K erusak an ( p h n /h a)

Kelas Diameter (cm)

Ringan Sedang Berat Pada Tabel 12 terlihat bahwa bentuk kerusakan yang paling sering ditimbulkan pada tegakan tinggal akibat kegiatan penyaradan adalah bentuk kerusakan luka batang sebesar 41,30% dan roboh sebesar 35,87%. Hasil penelitian Elias (1995) menyatakan kerusakan terbanyak akibat kegiatan penyaradan terdapat pada tipe pohon roboh sebesar 88,32%, yang terjadi karena penyingkiran pohon untuk pembuatan jalan sarad. Pada tingkat kerusakan berat akibat kegiatan penyaradan, bentuk kerusakan yang paling sering terjadi adalah bentuk kerusakan pohon roboh sebanyak 66 pohon. Manuver-manuver bulldozer didalam proses penyaradan pohon dari dalam hutan menuju ke TPn merupakan salah satu faktor penyebab tingginya jumlah pohon yang mengalami tipe kerusakan roboh. Tingkat kerusakan yang paling tinggi terjadi pada kerusakan ringan dan kerusakan berat yang masing-masing sebesar 7,40 pohon/ha (40,22%) dan 7,20 pohon/ha (39,13%) dari total seluruh kerusakan pohon yang diakibatkan oleh penyaradan.

Gambar 3 Distribusi kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penyaradan berdasarkan kelas diameter.

Pada Gambar 3 terlihat bahwa tingkat kerusakan berat pada tegakan tinggal akibat kegiatan penyaradan paling banyak terjadi pada kelas diameter pohon 20-29 cm sebanyak 5,50 pohon/ha, sedangkan untuk tingkat kerusakan ringan dan sedang paling banyak terjadi pada kelas diameter 30-39 cm, dimana hal ini sama seperti pada kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan. Pembuatan jalan sarad pada kegiatan penyaradan pohon umumnya dilakukan


(1)

58

Lanjutan Lampiran 4

Plot Kondisi

Karbon per hektar (ton C/ha)

Total Kelas diameter (cm)

20-29 30-39 ≥40

H

Sebelum pemanenan 16,39 28,76 105,22 150,37

Pohon yang dipanen 0 0 41,06 41,06

Kerusakan akibat penebangan 0,89 3,73 3,68 8,29

Kerusakan akibat penyaradan 1,08 0,59 0 1,66

Pasca pemanenan 14,43 24,44 60,49 99,35

I

Sebelum pemanenan 16,82 30,77 123,45 171,04

Pohon yang dipanen 0 0 64,02 64,02

Kerusakan akibat penebangan 1,30 6,57 1,43 9,29

Kerusakan akibat penyaradan 1,82 0,35 0 2,17

Pasca pemanenan 13,70 23,86 58,00 95,55

J

Sebelum pemanenan 11,02 20,02 48,17 79,21

Pohon yang dipanen 0 0 19,49 19,49

Kerusakan akibat penebangan 1,31 1,00 0,67 2,98

Kerusakan akibat penyaradan 0,13 0,95 2,03 3,11


(2)

Lampiran 5 Pecah batang akibat pemanenan


(3)

60

Lampiran 7 Rusak tajuk akibat pemanenan


(4)

La

mpi

ra

n 9 P

eta a

re

al

IUPHHK

P

T. Sar

mi

ento P

ara

ka

ntj

a Tim

be


(5)

62

La

mpi

ra

n 10 P

eta ke

rja

R

KT 2

010 I

UPHHK

P

T.

S

armie

nto P

ara

ka

ntj

a Ti


(6)

La

mpi

ra

n 11 P

eta plot p

ene

li

ti

an pa

da

pe

ta

k 90V

R

KT 2