42
BAB III PERTUNJUKAN TARI
GALOMBANG PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU
3.1 Asal Usul Tari Galombang
Tari Galombang merupakan tari tradisional masyarakat Minangkabau yang sudah menjadi adat istiadat mereka. Tari Galombang yang menjadi topik penulisan
ini mengalami perubahan. Diduga hal ini berdampak dari proses urbanisasi dari pengembangan kampung halaman masyarakat Minangkabau.
Berbicara tari Galombang pada masa awalnya dulu, tari ini disebutkan sebagai pagar nagari atau pagar kampung yang diatur oleh sistem-sistem adat. Dimana
dalam semiotik makna Galombang ini diambil dari lautan, yakni gelombang yang dibentuk dari ombak. Kehidupan manusia itu ada arus naik turun layaknya ombak
laut, dan ada juga yang menafsirkan bahwa dalam benak mereka tarbayang gelombang lautan yang diikuti gelombang perasaan di dalam hati yang terwujud
dalam gerakan tubuh. Digunakan untuk tari penyambutan tamu oleh beberapa lelaki seperti layaknya
pendekar, dikatakan seperti itu karena gerakannya berupa pencak silat. Karena gerakan berupa gerakan pencak silat, menyebabkan dulunya dalam tatanan
masyarakat, perempuan tidak dijadikan penari. Pesilat itu semuanya memakai pakaian hitam dan celana longgar selayaknya pakaian pesilat biasanya yang kita
ketahui. Dimana pesilat ini merupakan parewa, yaitu orang pilihan di kampung yang memang benar-benar tau silat. Makna pencak silat itu dibuat menandakan
ketangkasan orang Minangkabau, dan melindungi dari gangguan jahat.
Universitas Sumatera Utara
43
Dimana dulunya tarian ini ada yang ditampilkan dalam bentuk satu arah menghadap kepada tamu, ada juga yang dua arah dalam bentuk dua kumpulan yang
saling berlawanan dengan penempatan jarak 10 meter. Kemudian jarak antar penari semakin lama semakin mendekat dan selanjutnya diakhiri dengan pertarungan silat.
Setelah itu ada penuguhan carano kepada tamu Zulkifli, 2003, Hartati, 1999. Untuk melihat catatan sejarah kapan jelasnya tari Galombang tersebut
mengalami perubahan-perubahan masih sulit didapat, hal ini dijelaskan bapak Wimbrayardi. Dulunya tari ini sempat vakum, dikarenakan anggapan yang mubajir
bagi nagari oleh gubernur Asambasinduin, dimana saat itu beliau adalah gubernur nagari. Beliau memutuskan tidak boleh ada lagi acara seremonial dalam bentuk
apapun. Lamanya vakum ini diperkirakan ada sekitar 2 tahun lamanya. Banyak para peneliti terdahulu mengangkat tentang tari Galombang ini dalam
tulisan mereka. Seperti Risnawati 1993, Sawanismar 1994, Maryeliwati 1995 meneliti tari Galombang pada nagari yang berlainan, mereka semua menyatakan
bahwa tari Galombang ditarikan oleh penari laki-laki dengan gerakan pencak silat, yang berfungsi untuk menyambut tamu di lapangan terbuka, tidak pernah
ditampilkan di dalam ruangan. Ada penelitian yang memunculkan permasalahan tentang perubahan tari
Galombang yang berkembang di kota Padang Nerosti Adnan, 2007 menyatakan bahwa perubahan tari Galombang ini memiliki kepentingan untuk sebuah pesta atau
acara yang erat hubungannya dengan status sosial masyarakatnya dalam penggunaannya. Tari Galombang ini berkembang di kota Padang sebagai ibukota
Sumatera Barat dimana merupakan tanah masyarakat Minangkabau, sudah ditarikan oleh perempuan, hal ini dikarenakan karena para laki-laki diutamakan untuk
merantau sehingga menyebabkan para kaum wanita pun jadi dibekali bakat bersilat,
Universitas Sumatera Utara
44
namun hanya gerakan-gerakan variatif dari gerak silat sesungguhnya. Tari Galombang tampil sebagai penyambutan tamu dalam segala aktivitas masyarakat
seperti acara pemerintah, dan penyambutan pengantin dalam pesta perkawinan. Begitu pula yang terjadi di Kota Medan sebagai salah satu kota perantauan
masyarakat Minangkabau. Tari Galombang yang dipakai juga sudah yang diperbaharui dan dikreasikan kembali. Dimana tari Galombang ini yang
menarikannya adalah perempuan dan laki-laki. Laki-laki melakukan mancak atau gerakan silat, dan penari perempuannya berdiri sejajar diposisikan dibelakang laki-
lakinya menarikan tari Galombang yang diambil dari gerakan-gerakan bungo silek dengan keindahan. Ditampilkan sebagai penyambutan marapulai dalam upacara
perkawinan.
3.2 Perkawinan Pada Masyarakat Minangkabau