Keabsahan Perjanjian Baku Aspek Hukum Pelaksanaan Perjanjian Baku oleh Developer Properties (Studi pada PT. Multi Cipta Property)

PT. Multi Cipta Property sendiri menganut paham yang menyatakan “pembeli adalah raja”. Dalam bidang bisnis dan ekonomi paham ini adalah paham utama dan sangat penting diaplikasikan dalam melakukan usaha perdagangan. Berasaskan pada paham ini PT. Multi Cipta Property tidak memiliki unsur atau niat merugikan konsumen dan hanya melakukan bisnis yang sehat. Perlindungan konsumen yang diberikan diterangkan pihak PT. Multi Cipta Property memang tidak secara langsung, namun dipastikan dalam pembuatan perjanjian jual-beli pihak PT. Multi Cipta Property juga memperhatikan sisi konsumen. Sebagai pelaku usaha PT. Multi Cipta Property menerangkan mengerti akan persaingan bisnis yang sehat dan menerapkannya dalam melakukan bisnis. Oleh karenanya adapun kaitannya dengan konsumen secara terbuka dijelaskan bahwa PT. ini melakukan bisnis yang jujur dan tidak menyalahgunakan kuasa dalam pembuatan perjanjian.

B. Keabsahan Perjanjian Baku

Perjanjian baku sudah sangat dikenal dalam kehidupan berbisnis sekarang ini. Keefektifan dan kepraktisan penggunaan perjanjian baku menjadi daya tarik bagi para pelaku usaha untuk menghemat waktu dan biaya. Namun yang menjadi permasalahan adalah sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai perjanjian baku. Perjanjian baku itu sendiri telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato 423- 347 SM menyebutkan pada masa itu praktik penjualan menetapkan harga yang sama atas suatu barang tanpa melihat perbedaan kualitas. Dengan berkembangnya jaman maka praktik perjanjian baku juga mulai meluas dan Universitas Sumatera Utara berkembang. Namun tidak ada pengaturan yang mengatur dengan pasti mengenai praktik perjanjian baku ini. KUHPerdata sendiri tidak memiliki pasal mengenai perjanjian baku. KUHPerdata hanya memuat pasal-pasal mengenai ketentuan terjadinya suatu perikatan atau perjanjian. Tidak ada pemaparan mengenai perjanjian baku maupun klausula eksonerasi atas perjanjian baku. Oleh karenanya tiak diketahui bagaimana kepastian hukum atas adanya perjanjian baku. Namun, dalam KUHPerdata Pasal 1313 dinyatakan unsur dari suatu perjanjian adalah antara satu orang atau lebih terhadap satu orang atau lebih lainnya terjadi suatu perikatan. Pasal 1320 KUHPerdata juga memaparkan syarat- syarat sah nya suatu perikatan. Dan dinyatakan dalam Pasal 1321 bahwa suatu perjanjian dapat dibatalkan hanya apabila ditemukan keadaan: a. Kekhilafan kesesatan dwaling, Pasal 1322 KUHPerdata; b. Paksaan dwang, Pasal 1324, Pasal 1325, Pasal 1326, dan Pasal 1327 KUHPerdata; c. Penipuan bedrog, Pasal 1328 KUHPerdata; Melihat keadaan ini, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan suatu perjanjian baku adalah sah. Dalam perjanjian baku terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri atas suatu perjanjian. Dalam pengesahannya tidak dilakukan pemaksaan terhadap konsumen. Konsumen memiliki hak untuk menerima atau tidak. Sejauh ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata maka keberadaan perjanjian baku sama sekali tidak melanggar aturan perundang-undangan yang ada. Universitas Sumatera Utara Undang-Undang Perlindungan Konsumen kemudian memberikan suatu tambahan ketentuan atas perjanjian baku ini. Adapun keterangan yang diberikan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini adalah mengenai pemakaian klausula baku. Pasal 18 Undang-Undanng Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa dalam pembuatannya, pengusaha dilarang menggunakan klausula baku yang dapat membebankan berat konsumen atau menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Adapun klausula baku yang dilarang apabila berisikan: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha b. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen c. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yng dibeli oleh konsumen d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada pengaturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang dibuat Universitas Sumatera Utara sepihak oelh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen seccara angsuran Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini telah jelas memaparkan delapan larangan penggunaan klausula baku. Namun, jika diperhatikan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga tidak ditemukan pengaturan pasti mengenai perjanjian baku. Undang-undang ini hanya memaparkan mengenai pengertian klausula baku dan larangan atas beberapa keadaan klausula baku. Adapun yang dapat dilihat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini ialah adanya pengaturan hak dan kewajiban baik dari segi pelaku usaha maupun konsumen itu sendiri. Hal ini diharapkan dapat memberikan keseimbangan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai pembinaan dan pengawasan atas praktik-praktik perdagangan agar tetap berjalan adil dan tidak merugikan pihak konsumen, yang diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Melihat pengaturan yang dikemukakan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen maka tidak ditemukan adanya pernyataan dilarang nya pemakaian suatu perjanjian baku dalam prkatik usaha. Selama perjanjian baku yang diberikan tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang yang tertulis di Universitas Sumatera Utara dalam Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen maka suatu perjanjian tidak dianggap melanggar aturan. Adapun hubungan yang diatur dalam undang- undang ini antara pelaku usaha dan konsumen adalah ketentuan terhadap itikad baik personal dalam melakukan perjanjian. Berdasarkan analisa atas peraturan perundang-undangan yang ada, maka perjanjian baku adalah perjanjian yang sah dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Namun, seperti yang diketahui semakin berkembangnya jaman maka penggunaan perjanjian baku semakin digemari. Melihat hal ini, adalah ada baiknya apabila pemerintah memberikan suatu pengaturan atas perjanjian baku sehingga memberikan suatu kepastian hukum. Adanya kesewenangan pelaku usaha atas keberadaan perjanjian baku tidak dapat dielakkan. Para pelaku usaha dalam membuat perjanjian baku tidak sedikit yang memanfaatkan untuk kepentingan sendiri. Oleh karenanya, meskipun perjanjian baku itu adalah suatu perjanjian yang sah, namun tetap harus memiliki suatu aturan tetap, dan konsumen sendiri diharapkan lebih aktif dan teliti dalam melakukan perjanjian terutama suatu perjanjian baku. Pelaku usaha sendiri hendaknya beritikad baik untuk menjelaskan dan menerangkan suatu keadaan yang tertera dalam perjanjian, sehingga tidak menimbulkan suatu keadaan yang dianggap berupa penipuan. Melihat semakin berkembangnya jaman, maka konsumen diajak untuk lebih bijaksana dalam melakukan suatu perjanjian, terutama apabila perjanjian itu bersifat baku. Universitas Sumatera Utara

C. Prosedur Pembuatan Perjanjian Baku