BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang pesat saat ini memicu permintaan yang besar atas pemukiman. Seperti yang kita ketahui bahwa tempat tinggal adalah salah satu
kebutuhan dasar manusia. Hal ini tercantum pula pada Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman pada pasal 4 huruf a yang
menyatakan bahwa penataan perumahan dan pemukiman bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia.
Rumah pada masa sekarang ini tidak hanya menjadi kebutuhan dasar basic need, tetapi juga menjadi gaya hidup life style dikarenakan adanya
perkembangan jaman dalam era globalisasi. Permintaan yang tinggi oleh jumlah populasi masyarakat yang besar memaksa pemerintah untuk berupaya memenuhi
kebutuhan akan perumahan di tengah keadaan seperti keterbatasan lahan. Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh dunia bisnis. Mereka yang melihat
kesempatan ini mulai membangun perusahaan- perusahaan perumahan yang memberikan tawaran atas rumah yang diinginkan masyarakat. Pengadaan
perumahan ini dapat dinikmati oleh kelas ekonomi masyarakat dari kalangan bawah sampai strata elite. Dalam hal ini, developer properties memberikan
tawaran atas perumahan yang bervariasi mulai dari subsidi sampai perumahan yang bersifat luxury.
Universitas Sumatera Utara
Melihat peningkatan dalam kebutuhan dan permintaan atas perumahan, untuk keefektifan dan keefesienan maka dalam jual- beli digunakan perjanjian baku.
Perjanjian baku pada masa sekarang ini menjadi instrumen yang banyak diminati oleh pelaku usaha perdagangan dan bisnis. Tujuan dibuatnya perjanjian baku ini
adalah untuk memberikan kemudahan kepraktisan bagi para pihak yang bersangkutan
1
Namun pada kenyataanya yang dapat dilihat adalah pelaksanaan perjanjian baku ini mendominasi dan memberi kekuatan lebih pada produsen, sedangkan
konsumen berada pada posisi yang tidak berimbang. Perjanjian baku tidak melibatkan pihak konsumen dan konsumen tidak diberikan suatu pilihan alternatif
lain, melainkan hanya menerima ketentuan dan prasyarat yang diberikan oleh pelaku usaha.
.
Dalam perjanjian baku sering terjadi pelaku usaha mengalihkan kewajiban- kewajiban yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya kepada konsumen
sehingga memberatkan atau bahkan cenderung merugikan konsumen. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa materi kalusula baku bukanlah hasil suatu kesepakatan
melainkan hasil pemaksaan kepada pihak lain untuk menerima atau tidak menerima sama sekali sehingga dapat menimbulkan suatu kondisi yang tidak
seimbang antara pelaku usaha dengan konsumen
2
.
1
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesis, Grasindo, Jakarta, 2000.
2
H.P Panggabean, Praktik Standard Contract Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, PT Alumni, Bandung, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Sluyter mengemukakan ciri-ciri standaard contract adalah sebagai berikut
3
a. Bahwa isinya telah terlebih dahulu ditetapkan secara tertulis;
:
b. Bahwa standaard contract itu selalu menyimpang dari hukum yang
mengatur regelent recht; c.
Bahwa standaard contract sebagai “adhesiecontract” lebih bersifat dipaksakan berdasarkan kekuatan ekonomi
Konsumen sendiri memiliki keterbatasan dalam pemahaman isi perjanjian baku terutama di bidang jual-beli perumahan. Bahkan, sebahagian besar
masyarakat tidak memahami dan hanya menerima begitu saja. Bagi konsumen keadaan ini seperti take it or leave it. Tidak sedikit konsumen yang tidak ingin
ambil pusing, bahkan tidak membaca isi perjanjian. Hal ini dapat menjadi suatu pemicu semakin berkembangnya penggunaan perjanjian baku dengan klausula-
klausula yang lebih menguntungkan produsen. Kurangnya pemahaman masyarakat dalam bidang hukum dan pemikiran untuk tidak ingin menyulitkan
diri dalam dunia hukum dalam hal ini pengadilan, mengakibatkan enggan nya masyarakat untuk melaporkan atau membawa ke ranah hukum untuk ditinjau
apabila terjadi sengketa setelah kesepakatan yang terjadi atas perjanjian baku. Jika ditinjau perjanjian baku ini tidaklah melanggar asas kebebasan
berkontrak pasal 1320 jo. 1338 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Bagaimanapun konsumen diberi kebebasan menyetujui atau menolak. Hanya saja
yang perlu dilihat adalah klausula eksonerasi di dalamnya, dimana klausula ini
3
H.P Panggabean, Praktik Standard Contract Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, PT Alumni, Bandung, 2012.
Universitas Sumatera Utara
mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus tanggung jawab yang seharusnya dibebankan pada pihak penjual atau produsen. Dalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak dijelaskan mengenai definisi perjanjian baku, tetapi merumuskan klausula baku sebagai berikut:
“Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan atau perjanjian uang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Apakah konsumen adalah pihak yang lemah? Dalam konteks ini jika kita berpikir lebih mendalam, konsumen memiliki kekuatan untuk menegakkan hak-
hak nya. Namun, sebahagian besar pihak konsumen hanya memahami jual- beli sebatas penyerahan uang dan penerimaan barang saja, tanpa mengerti dan
memahami isi dari perjanjian baku. Sehubungan dengan kondisi tersebut, perlu dilakukan kajian dan telaah dalam
pelaksanaan jual-beli rumah menggunakan perjanjian baku. Oleh karenanya penulis menganggap penting mengangkat pembahasan mengenai penggunaan
perjanjian baku, khususnya dalam bidang jual-beli rumah.
B. Perumusan Masalah