38
umpan balik yang membangun pada waktu yang tepat dan menjadi pembimbing yang alami.
16. Katalisator perubahan yaitu kecakapanpemimpin untuk
mengenali kebutuhan akan perubahan, menentang status quo, dan memenangkan aturan baru, menjadi penasihat yang kuat
terhadap perubahan,
membuat argumentasi
yang menyemangati bahkan menemukan cara-cara praktis untuk
mengatasi hambatan. 17.
Pengelolaan konflik yaitu kecakapan pemimpin dalam mengelola konflik dengan cara mengumpulkan semua pihak,
mengangkat konflik kepermukaan, mengerti sudut pandang yang berbeda, mengakui perasaan dan pandangan dari semua
pihak kemudian menemukan dan mengarahkan energi ke arah cita-cita bersama yang dapat disepakati oleh setiap
orang. 18.
Kerjasama tim dan kolaborasi yaitu kecakapan pemimpin dalam menumbuhkan suasana kekerabatan yang ramah dan
memberikan teladan dalam memberikan penghargaan melalui sikap bersedia membantu dan kerjasama, menarik
orang lain dalam komitmen yang aktif dan antusias bagi usaha bersama, dan membangun semangat serta identitas.
2.2.3. Manfaat Kecerdasan Emosional
Goleman 2007 dalam bukunya Working With Emotional Intelligence menuliskan berdasarkan hasil penelitian para neurolog
dan psikologi manusia memiliki dua pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan
intelektual IQ, sedangkan pikiran emosional digerakkan oleh
39
emosi. Kedua pikiran tersebut bersifat saling mempengaruhi dalam membentuk kehidupan mental manusia. Pikiran rasional adalah
model pemahaman yang lazimnya dapat disadari, lebih menonjol kesadarannya, bijaksana, mampu bertindak hati-hati dan merefleksi
sedangkan pikiran emosional memberi respon cepat namun ceroboh, sehingga mengarahkan respons seketika manusia dalam menghadapi
situasi tanpa berpikir sejenak dan mempertimbangkan akibat dari respons sehingga emosi yang lepas kendali atau tidak terkontrol
membuat orang pandai menjadi bodoh Alder, 2001. Interaksi manusia yang berhasil dalam bentuk apa pun
memerlukan kecerdasan emosional. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, Elliott 2003 dan Robins 2001 menyatakan bahwa
kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor penting yang sangat memengaruhi efektivitas kepemimpinan. Dikatakan demikian
karena model kemampuan kecerdasan emosional menyediakan media yang sesuai untuk menguji mengapa para pemimpin
membutuhkan kecerdasan emosional melalui pertanyaan “mengapa
pemimpin dituntut untuk memiliki kemampuan mengidentifikasi, menggunakan, mengerti, dan mengelola emosi
”? Pernyataan ini didukung oleh sejumlah bukti empiris, diantaranya adalah penelitian
yang dilakukan Cooper 1997 menyebutkan bahwa orang dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi lebih berhasil dalam karir,
dapat membangun hubungan personal yang lebih baik, memimpin lebih efektif, dapat menikmati kesehatan lebih baik dan dapat
memotivasi dirinya sendiri dan orang lain. Selanjutnya Cooper menjelaskan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi
dapat meningkatkan kekuatan intuisi, senantiasa memercayai dan
40
dipercayai oleh orang lain, memiliki integritas, dapat memecahkan solusi dalam keadaan yang darurat dan dapat melakukan
kepemimpinan yang efektif. Goleman, Boyatzis, dan McKee 2005 dalam penelitiannya tentang primal leadership menyatakan bahwa
tugas emosi pemimpin itu bersifat primal, karena 1 dalam sepanjang sejarah pemimpin selalu bertindak sebagai pembimbing
emosi kelompok, 2 pemimpin harus bisa menciptakan resonansi dalam kelompok. Artinya pemimpin harus menyelaraskan diri
dengan perasaan orang-orang lain dan menggerakkan perasaan tersebut ke arah yang positif untuk memberdayakan orang-orang
dalam kelompok dalam harmonisan dan kerjasama untuk mencapai tujuan.
Gemmell 2010 dalam tulisannya tentang emotional intelligence and outdoor leadership memberikan simpulan aplikatif
kecerdasan emosional terhadap efektivitas kepemimpinan, dimana Gemmell menyatakan bahwa kecerdasan emosional dapat
meningkatkan pengaruh pemimpin, dapat memfasilitasi aspek pribadi dan kelompok, memiliki kemampuan menafsirkan respon
emosional ketika dihadapkan dengan tekanan atau tantangan besar, peka terhadap kebutuhan pengikut, unggul dalam inisiatif dan
memliliki ketangguhan dalam resolusi konflik, mampu menanggapi krisis dengan efektif. Palmer, Walls, Burgges, Stough 2001
melakukan penelitian
tentang kecerdasan
emosional dan
kepemimpinan yang efektif menemukan adanya hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan kepemimpinan yang
efektif. Mereka menyatakan bahwa aspek-aspek kecerdasan emosional diidentifikasi sebagai dasar efektifivitas kepemimpinan.
41
Senada dengan itu Yukl 2001 mengemukakan bahwa orang-orang yang cerdas secara emosional dapat menyesuaikan diri
dengan lebih baik, tidak mengalami gangguan psikologis, lebih menyadari kekuatan dan kelemahan pribadi, lebih berorientasi pada
pertumbuhan orang, mampu mengendalikan diri dan tidak egois. Pernyataan semakin ditegaskan oleh Chen, Jacobs, dan Spencer
1998 yang menyatakan bahwa hampir 90 persen dari keberhasilan dalam posisi kepemimpinan disebabkan oleh kecerdasan emosional.
Uraian ini menjadi dasar pijakan peneliti mengambil kecerdasan emosional sebagai prediktor terhadap servant leadership.
2.3. KECERDASAN SPIRITUAL