49
2.4.1. Kecerdasan Emosional danServant Leadership
Dalam  kaitan  dengan  kepemimpinan,  kecerdasan  emosional memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan efektivitas
pemimpin.  Seorang  pemimpin  yang  efektif  menggunakan  pengaruh hubungan  interpersonal  dengan  baik.  Hal  ini  sejalan  dengan  Astuti
2007  yang  telah  melakukan  penelitian  terhadap  pemimpin  The Executive  Club  Jakarta,  metode  yang  digunakan  adalah  penelitian
kuantitatif  dengan  pengumpulan  data  melalui  studi  kepustakaan, wawancara  dan  kuesioner  yang  di  isi  oleh  50  responden.  Hasil
penelitiannya  menyatakan  bahwa  ada  hubungan  yang  signifikan antara  kecerdasan  emosional  dan  efektivitas  kepemimpinan  sebesar
51,70,  sedangkan  sisanya  48,30  dipengaruhi  oleh  faktor-faktor lain. Umiyati 2006 dalam penelitiannya  yang difokuskan terhadap
para pimpinan Pusdiklat Regional Depdagri Yogyakarta menemukan bahwa  ada  hubungan  yang  positif  dan  signifikan  antara  kecerdasan
emosi dengan efektivitas kepemimpinan sebesar 0,403 atau 40,3. Amirusi  2009  melakukan  penelitian  terhadap  41  kepala
sekolah di
Sekolah Dasar
Negeri Kabupaten
Sampang, menggunakan  pendekatan  kuantitatif  dengan  jenis  penelitian
korelasional  correlation  research menemukan  bahwa aspek-aspek kecerdasan  emosional  yaitu  kesadaran  diri,  pengaturan  diri,
motivasi,  empati,  dan  keterampilan  sosial  secara  simultan berpengaruh  signifikan  terhadap  keefektifan  kepemimpinan  kepala
sekolah  dasar  negeri  di  Kabupaten  Sampang  dengan  koefisien korelasi bersama R sebesar 0,729 dan koefisien determinasi atau R
Square  R2  sebesar  53,2.  Artinya  kecerdasan  emosional kesadaran  diri,  pengaturan  diri,  motivasi,  empati  dan  keterampilan
50
sosial  dapat  menjelaskan  korelasi  sebesar  53,2  terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten
Sampang. Sementara sisanya sebesar 46,8 menandakan masih ada variabel  lain  di  luar  pembahasan  penelitian.Wong  dan  Law  2002
menguji  pengaruh  kecerdasan  emosional  pemimpin  dan  bawahan terhadap  kinerja  dan  sikap.  Hasilnya  menunjukkan  bahwa
kecerdasan  emosional  bawahan  berdampak  pada  kinerja  dan kepuasan  kerja,  demikian  juga  kecerdasan  emosional  pemimpin
berdampak  pada  kepuasan  dan  perilaku  pemimpin  dalam menjalankan  peran  kepemimpinan.  Selain  itu,  hasil  penelitian  lain
menunjukkan  kecerdasan emosional  sangat  menentukan kesuksesan manusia dalam membangun interaksi sosial Bar-on, 2006; Brackett,
Warner  dan  Bosco,  2005;  meningkatkan  efektivitas  kerja  Fabiola 2005;  bahkan  kecerdasan  emosional  telah  terbukti  menjadi
prediktor  potensial  efektivitas  kepemimpinan  Goleman,  2000, Duning 2000; Cooper dan Sawaf, 2002.
Jordan,  Askanasy,  Hartel,  dan  Hooper  2002  melakukan penelitian  tentang  hubungan  kecerdasan  emosional  dan  efektivitas
tim, dan fokus tujuan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rata- rata  tingkat  kecerdasan  emosional  dari  anggota  tim  tercermin  dari
awal  kinerja  kelompok.  Kelompok  yang  memiliki  kecerdasan emosional yang rendah menunjukkan kinerja kelompok yang rendah
sementara  kelompok  yang  memiliki  kecerdasan  emosional  yang tinggi  kinerja  kelompok  yang  tinggi  pula.  Darling  dan  Walker
2001  dalam  penelitiannya  menemukan  bahwa  kecerdasan emosional sangat berperan dalam menentukan efektivitas pemimpin
dalam  mengelola  konflik.  Fenwick  2003  menemukan  bahwa
51
kecerdasan  emosional  memainkan  peran  penting  terhadap  kesiapan seseorang dalam mencipta dan berinovasi.
Kellett,  Humphrey,  dan  Sleeth  2002  dalam  penelitiannya menemukan  empati  merupakan  prediktor  penting  dalam  timbulnya
kepemimpinan.  Empati  merupakan  ciri  kunci  yang  menampilkan perilaku  servant  leadership  dalam  melayani,  memberdayakan,  dan
melemparkan visi
kepada para
pengikut. Empati
adalah mempertimbangkan perasaan para pengikut, dan kemudian membuat
keputusan  yang  bijaksana  yang  menggeser  perasaan-perasaan menjadi  respon.  Dan  yang  terpenting  empati  memungkinkan
resonansi,  jika  tidak  ada  empati  maka  pemimpin  akan  bertindak dengan  cara  yang  disonansi  Goleman,  Boyatzis,  dan  McKEE,
2005. Selanjutnya  Rapisarda  2002  mengemukakan  pemimpin
yang  dapat  merasakan  perasaan  orang  lain  akan  lebih  memiliki kemampuan  mengembangkan  ikatan  emosional  dengan  orang  lain.
Pemimpin  pelayan  yang  peduli  dengan  perasaan  pengikut  akan menfasilitasi  pertukaran  kuasa  timbal-balik  yang  memungkinkan
pengikut  masuk  ke  dalam  visi  bersama  sehingga  pengikut  merasa dihargai, dilayani dan solusi yang paling efektif dapat dicapai untuk
kebaikan  yang  lebih  besar.  Page  dan  Wong  2000  menyatakan servant  leader  yang  cerdas  secara  emosi  akan  lebih  tertarik  kepada
hasil yang bermanfaat bagi orang lain seperti halnya dirinya sendiri. Para  servant  leader  melayani  untuk  kebaikan  orang  lain  dengan
tidak  mencari  pengakuan  tetapi  belajar  dari  pengikut,  melayani melampaui  kepentingan  pribadi  dan  melihat  kepemimpinan  sebagai
tanggung  jawab  dan  bukan  melihat  kepemimpinan  sebagai  posisi.
52
Selanjutnya  Schutte  2001  dalam  penelitiannya  menemukan hubungan yang erat antara kecerdasan emosional dengan pelayanan.
2.4.2. Kecerdasan Spiritual dan Servant Leadership