231
lebih rendah. Sekitar 8 kekayaan global atau setara dengan USD7,6 triliun ditenggarai disimpan di negara yang dikategorikan tax haven. Dana yang
berpindah-pindah tersebut pada dasarnya bisa saja berasal dari aktivitas ilegal dan dana yang sengaja disembunyikan illicit financial flow ataupun murni real
economic activity.
Sayangnya, karena dana tersebut berada di ranah ‘area yang penuh kerahasiaan’ sulit bagi otoritas untuk memisahkan mana yang
merupakan real economic activity dan yang bukan. Oleh karena itu, penegakan hukum
bagi dana-dana tersebut cenderung sulit untuk
diimplementasikan.
2. OPSI KEBIJAKAN DAN PILIHAN YANG REALISTIS
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai kondisi sektor pajak di Indonesia dan persoalan-persoalan yang menyertainya. Lalu, apakah pilihan
kebijakan yang tersedia dan dapat diambil oleh pemerintah guna memperbaiki hal-hal tersebut? Di bawah ini akan dijelaskan kebijakan-kebijakan pajak yang
dapat diambil, yaitu sebagai berikut:
2.1. Penegakan Hukum
Opsi kebijakan pertama adalah penegakan hukum untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Sejatinya, terdapat banyak faktor yang memengaruhi
kepatuhan pajak, yang pada dasarnya bisa diupayakan melalui dua hal, yaitu: secara sukarela voluntary compliance maupun secara ‘paksaan’ enforced
compliance
. Kepatuhan sukarela berasal dari suatu rasa percaya dan keinginan untuk berkontribusi tanpa suatu paksaan. Hal ini tercipta dari
bagaimana perlakuan pemerintah terhadap wajib pajak dalam penyediaan barang publik maupun kemampuan Ditjen Pajak dalam hal pelayanan dan
pemberian pemahaman sosialisasi.
Sedangkan enforced compliance bisa dilakukan dengan suatu paksaan dan penegakan hukum dari otoritas pajak untuk menilai tingkat kepatuhan wajib
pajak. Kepatuhan melalui penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh besaran sanksi serta kemungkinan untuk terdeteksi melalui pemeriksaan audit.
Di Indonesia, tingginya angka hard-to-tax sector serta rendahnya tingkat coverage
pemeriksaan hingga di bawah 5, telah menciptakan ketidakmampuan dalam mengoptimalkan kepatuhan wajib pajak. Kapasitas
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
232
Ditjen Pajak dalam menegakkan kepatuhan hukum pajak ditenggarai menjadi salah satu penyebabnya. Di tahun 2014, rasio antara petugas pajak terhadap
jumlah penduduk adalah sebesar 1: 7.884, artinya 1 petugas pajak harus melayani 7.884 penduduk tiap tahunnya. Rasio ini berada jauh di bawah rasio
di negara-negara maju, yang berkisar antara 1 : 732 penduduk Jerman hingga 1 : 3.666 Amerika Serikat. Isu keterbatasan kapasitas ini tidak dapat
dilepaskan dari minimnya otonomi kewenangan yang dimiliki Ditjen Pajak dalam bidang SDM, organisasi, dan penganggaran.
Kapasitas lembaga Ditjen Pajak sendiri belumlah cukup. Data akan sangat dibutuhkan dalam memetakan perilaku kepatuhan dari wajib pajak compliance
behavior
. Kemauan mengungkap data sebagai wujud dari transparansi juga
merupakan elemen penting dari enhanced relationship, yaitu suatu hubungan yang dibangun atas dasar rasa saling percaya mutual trust antara wajib pajak
dan otoritas pajak. Otoritas pajak membutuhkan suatu data yang relevan, terkini, dan andal dalam implementasi risk management yang kemudian dapat
dipergunakan sebagai alat memetakan potensi penerimaan, alat verifikasi dalam pemeriksaan, hingga upaya penagihan wajib pajak. Informasi mengenai
harta wajib pajak juga dapat digunakan sebagai basis cross-referencing maupun kesesuaian data data matching untuk mendeteksi adanya perilaku
tax evasion
atau juga praktik pencucian uang yang melibatkan tax fraud. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika terdapat korelasi positif antara ketersediaan data dan tingkat kepatuhan
. Dalam konteks Indonesia, tidak adanya integrasi data keuangan,
kependudukan, serta perpajakan telah membuat Ditjen Pajak sulit untuk membuktikan kebenaran SPT PPh Tahunan wajib pajak. Lebih lanjut lagi,
upaya mengakses data perbankan untuk kepentingan pajak terbentur persoalan hukum dan penolakan dari publik.
Dengan demikian, opsi penegakan hukum pada dasarnya tidak feasible terutama mengingat kapasitas kelembagaan Ditjen Pajak serta terbatasnya
akses data dan informasi.
2.2. Menunggu Perubahan Lanskap Pajak di Masa yang Akan Datang
Opsi kebijakan yang kedua berangkat dari adanya prospek perubahan lanskap pajak di masa yang akan datang. Adanya keinginan untuk melakukan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
233
reformasi pajak, termasuk adanya transformasi kelembagaan otoritas pajak, serta kerjasama global di bidang pertukaran informasi secara otomatis telah
menciptakan bayangan situasi pajak yang akan lebih baik. Akan tetapi, apakah pilihan kebijakan untuk tidak melakukan sesuatu terobosan business as usual
sembari menunggu datangnya perubahan tersebut perlu untuk dilakukan? Adapun perubahan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
2.2.1. Reformasi Pajak
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2015- 2019, Presiden Joko Widodo telah menetapkan target tax ratio sebesar 16 di
tahun 2019. Hal tersebut akan dilakukan melalui reformasi perpajakan yang komprehensif. Salah satu bentuk reformasi pajak tersebut adalah
penyempurnaan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk insentif pajak untuk mendorong reindustrialisasi yang berkelanjutan dalam rangka
transformasi ekonomi. Selain itu, akan ada pembenahan sistem administrasi perpajakan serta ekstensifikasi dan intensifikasi PPNdan PPh Orang Pribadi
melalui perluasan basis pajak.
Pembahasan mengenai revisi UU KUP, UU PPh dan UU PPN direncanakan akan rampung di tahun 2017. Dengan demikian, pada tahun 2018 terdapat
suatu sistem pajak baru yang akan diterapkan di Indonesia.
2.2.2. Transformasi Kelembagaan
Reformasi administrasi pajak sesungguhnya juga memerlukan upaya reorganisasi administrasi pajak secara permanen dan perbaikan manajemen di
dalam otoritas pajak-.
Kelembagaan memainkan peranan yang penting dalam proses reformasi perpajakan. Apalagi dalam kenyataannya, hukum dan
kebijakan pajak hanya dapat berfungsi dengan baik selama administrasi pajak yang baik tersedia
. Pada tahun 2018, direncanakan kelembagaan otoritas pajak di Indonesia
Ditjen Pajak akan bertransformasi menjadi suatu bentuk yang lebih independen semi otonom di mana terdapat pemberian kewenangan yang
lebih luas semi-autonomous revenue authoritySARA. Kerangka kelembagaan baru tersebut akan bernama Badan Penerimaan Pajak BPP.
Diadopsinya model SARA dalam kelembagaan administrasi perpajakan bermuara pada dua hal: efektivitas dan efisiensi. SARA dinilai mampu
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
234
menjalankan fungsi dasar pemungutan pajak lebih baik daripada model otoritas pajak tradisional. Selain itu, kelembagaan model SARA dapat menjadi
katalisator untuk memungkinkan keberhasilan reformasi administrasi pajak yang lebih luas.
BPP akan menciptakan keluwesan fleksibilitas dalam struktur organisasi, penguatan sistem informasi teknologi, hingga remunerasi yang berbasis
kinerja dan profesionalisme. Hal-hal tersebut merupakan solusi atas hal-hal yang selama ini memperlambat upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak
debottle-necking. Kepatuhan yang bersumber dari aspek pemaksaan misalkan berupa peningkatan kuantitas dan kualitas pemeriksaan serta
kesukarelaan misalkan dari kemauan untuk berpartisipasi karena adanya kepercayaan atas hadirnya transparansi akan meningkat. Singkatnya,
sinyalemen atas kuatnya otoritas pajak sangat jelas di bawah BPP.
2.2.3. Era Pertukaran Informasi secara Otomatis
Mencermati adanya perencanaan pajak yang agresif, praktik offshore tax evasion,
serta meningkatnya kompetisi pajak yang tidak sehat; terdapat kebutuhan global untuk menciptakan lebih banyak transparansi, khususnya di
sektor keuangan dan perpajakan. Salah satunya diwujudkan melalui pertukaran informasi secara otomatis Automatic Exchange of
Information
AEoI yang diinisasi oleh Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes
, yang didukung oleh OECD dan G20. Sejauh ini sudah 104 negara sudah berkomitmen untuk saling
mempertukarkan informasi data nasabah negara lain kepada otoritas pajak melalui penandatanganan Multilateral Convention on Mutual Administrative
Assistance in Tax Matters . Indonesia sendiri baru akan memulai hal tersebut di
tahun 2018. Adanya transparansi data perbankan untuk tujuan pajak ini berdampak pada
dua hal. Pertama, adanya pertukaran informasi secara otomatis jelas akan memperbaiki alatpendeteksi atas penggelapan pajak yang dilakukan dengan
menyembunyikan dana di negara lain. Kedua, negara-negaratax haven semakin kehilangan keunggulan komparatif sebagai tempat ‘berlabuhnya’
aliran dana dari negara lain.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
235
Lalu, apakah datangnya ketiga era baru tersebut cukup layak untuk ditunggu, sehingga tidak diperlukan kebijakan terobosan lain? Situasi sektor pajak di
masa yang akan datang memang sangat menjanjikan, namun pemerintah tidak bisa menunggu seluruh wajib pajak untuk patuh karena hal tersebut
tidak dapat diprediksi.
Selama menunggu hal tersebut maka akan terdapat free rider
dalam sistem fiskal, yang justru akan memberikan beban yang lebih tinggi bagi honest tax payers.
2.3. Pengampunan Pajak sebagai Kebijakan Terobosan
Opsi kebijakan berikutnya adalah melakukan suatu kebijakan yang sifatnya terobosan
, extra effort, dan tidak mengulang kebijakan-kebijakan yang sudah dilakukan. Salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah pengampunan pajak.
2.3.1. Konsep Pengampunan pajak dapat diartikan sebagai kemauan untuk
memaafkanatau mengampuni dari sisipemerintah kepada wajib pajak
atas kesalahan di masa lalu . Upaya memafkan tersebut hanya diberikan
jika wajib pajak menuruti atau mau ‘menebusnya’
dengan suatu jumlah
yang telah ditentukan exchange. Bentuk pengampunan yang diberikan pemerintah dapat saja berupa pengurangan ataupun penghapusan pajak
terutang maupun sanksi administrasi dan pidana pajak ataupun tidak dilakukannya pemeriksaan. Terakhir, pengampunan pajak hanya diberikan
secara khusus
dalam waktu terbatas dan bagi kelompok wajib pajak dengan kriteria tertentu
. Pada umumnya, terdapat empat tujuan utama dilakukannya pengampunan
pajak sebagai berikut ini:
i Meningkatkan penerimaan dalam jangka pendek dan dalam waktu yang relatif cepat. Permasalahan penerimaan pajak yang stagnan atau
cenderung menurun seringkali menjadi faktor pendorong diberikannya pengampunan pajak. Hal ini berdampak pada keinginan pemerintah yang
berkuasa untuk memberikan pengampunan pajak dengan harapan pajak yang dibayar oleh wajib pajak selama program pengampunan pajak akan
meningkatkan penerimaan pajak;
ii Meningkatkan kepatuhan pajak di masa yang akan datang. Permasalahan kepatuhan pajak merupakan salah satu penyebab pemberian
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
236
pengampunan pajak. Para pendukung program ini umumnya berpendapat bahwa kepatuhan sukarela akan meningkat setelah
pengampunan pajak dilakukan. Hal ini didasari pada harapan bahwa setelah pengampunan pajak dilakukan, Wajib Pajak atau penghasilan
dan kekayaannya yang sebelumnya berada di luar sistem administrasi perpajakan akan masuk menjadi bagian dari sistem administrasi
perpajakan;
iii Transisi ke era perpajakan yang baru. Pengampunan pajak dapat dijustifikasi ketika digunakan sebagai alat transisi menuju sistem
perpajakan yang baru;
iv Mendorong adanya repatriasi modal atau aset. Pemberian pengampunan pajak atas pengembalian modal yang diparkir di luar negeri ke dalam
negeri dipandang perlu karena akan memudahkan otoritas pajak dalam meminta informasi tentang data kekayaan wajib pajak kepada bank di
dalam negeri. Selain itu, tujuan untuk merepatriasi modal juga kerap kali berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kegiatan menggerakkan aktivitas
ekonomi dalam negeri dengan adanya reinvestasi.
Khusus untuk upaya memberikan suatu fasilitas pengampunan untuk memanggil dan mengungkapkan dana yang disimpan di luar negeri, banyak
negara kini kerap menggunakan kebijakan Offshore Voluntary Disclosure
Program OVDP. OVDP dapat dikategorikan sebagai salah satu varian dari
pengampunan pajak. Program tersebut dilakukan dengan cara memberikan fasilitas pajak bagi dana yang akan direpatriasi ke dalam negeri. Hingga saat
ini lebih dari 40 negara telah melakukan OVDP atau pengampunan pajak yang bertujuan untuk pendeklarasian serta repatriasi harta. Untuk menjamin
produktivitas dana yang direpatriasi tersebut, pada umumnya pemerintah memberikan suatu tawaran investasi yang menarik dan memberikan kepastian
return.
2.3.2. Pengalaman di Berbagai Negara
Hingga saat ini, sedikitnya sudah 38 negara yang telah mengimplementasikan kebijakan pengampunan pajak. Yaitu: Amerika Serikat, Australia, Argentina,
Austria, Afrika Selatan, Bolivia, Brazil, Belanda, Belgia, Chile, Irlandia, Honduras, Uruguay, Peru, Panama, Yunani, Kosta Rika, Kolombia, Filipina,
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
237
Turki, Swiss, Sri Lanka, Spanyol, Rusia, Portugal, Selandia Baru, Meksiko, Malaysia, Pakistan, Jerman, Finlandia, Kanada, India, Hungaria, Ekuador,
Perancis, dan Italia. Selain itu, 45 dari 50 negara bagian di Amerika Serikat bahkan telah mengimplementasikan pengampunan pajak 90.
Sedangkan, pada tahun 2014-2016, terdapat 8 negara lain yang sedang mengimplementasikan kebijakan pengampunan pajak yaitu: Argentina, Fiji,
Gibraltar, Honduras, Korea Selatan, Pakistan, Thailand serta Trinidad Tobago. Lima negara lainnya fokus hanya untuk pengungkapan aset atau
harta yang berada di luar negeri, yaitu: Brazil, India, Israel, Malaysia, dan Rusia.
Hal ini pada dasarnya menandakan bahwa kebijakan pengampunan pajak adalah sesuatu yang lumrah dilakukan sebagai kebijakan terobosan
dalam memperbaiki sistem pajak di berbagai negara. Lebih lanjut lagi, banyaknya negara yang saat ini juga mengimplementasikan pengampunan
pajak maupun juga kebijakan pengungkapan harta yang disimpan di luar negeri merupakan indikasi kebijakan tersebut semakin diperlukan sebagai
transisi menuju era pertukaran informasi secara otomatis
. Masa transisi sebelum era keterbukaan informasi tersebut dibutuhkan baik
oleh otoritas maupun wajib pajak. Bagi wajib pajak, pengampunan pajak dapat dijadikan suatu peringatan serta kesempatan ‘terakhir’. Bagi otoritas pajak,
pengampunan pajak dianggap sebagai transisi yang efektif dan efisien, namun sekaligus mengantisipasi adanya kemungkinan bahwa tidak seluruh negara
berpartisipasi dalam program pertukaran informasi.
Sebagai contoh, walaupun akan menghadapi era pertukaran informasi dengan negara lain, Argentina justru melaksanakan program pengampunan pajak yang
dilaksanakan antara 18 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017. Tujuannya tidak lain memberikan kesempatan kepada wajib pajak, terlebih karena tingkat
kepatuhan di Argentina sangat rendah. Rendahnya kepatuhan tersebut lebih disebabkan karena rendahnya tingkat kepercayaan terhadap otoritas pajak.
Selain itu, akan datangnya era pertukaran informasi justru dianggap sebagai meningkatnya kemungkinan keberhasilan program pengampunan pajak. Hal
yang sama juga mendorong dilakukannya pengampunan pajak di Brazil dan Korea Selatan.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
238
Kebijakan pengampunan pajak di antara negara-negara tersebut justru seringkali tidak berorientasi pada penerimaan semata, namun berangkat dari
upaya memperbaiki tingkat kepatuhan pajak, penyelesaian persoalan administrasi pajak, memperluas basis pajak, atau mengidentifikasi informasi
yang belum sepenuhnya diungkap. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Malherbe, bahwa kepatuhan jangka panjang merupakan kriteria
keberhasilan utama dari pengampunan pajak
. Oleh sebab itu, menurutnya, lebih baik meningkatkan penerimaan pajak secara perlahan tapi pasti dalam
jangka panjang daripada meningkatkan penerimaan dalam jangka pendek secara cepat dan menurun setelahnya
Mencermati ketiga pilihan kebijakan tersebut: i penegakan hukum; ii menunggu datangnya era perubahan di masa yang akan datang; serta iii
melakukan kebijakan terobosan melalui pengampunan pajak; maka pengampunan pajak sejatinya merupakan pilihan rasional di tengah
kebuntuan
untuk memperbaiki situasi pajak di Indonesia. Hal ini akan dijelaskan pada bagian berikutnya.
3. PENGAMPUNAN PAJAK: JUSTIFIKASI DI INDONESIA