49
contoh dari upaya ekstensifikasi pajak yaitu melakukan kanvasing atau penyisiran potensi wajib pajak baru. Fenomena kanvasing justru menunjukkan
tingkat kepatuhan perpajakan tax compliance yang rendah karena dalam metode ini lebih menunjukkan upaya fiskus dibandingkan upaya wajib pajak
untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
4. Dampak dari tolok ukur target penerimaan
Dengan target pajak menjadi tolok ukur keberhasilan menjadikan mental yang terbangun mengarah pada cara mengejar target penerimaan setinggi-
tinggina. Untuk memenuhi target, fiskus melakukan berbagai upaya untuk mengejar target tersebut. Para kepala kantor mengakali penerimaan dan
pengeluaran pajak dengan menggunakan modus mempercepat penyelesaiaan kasus pemeriksaan, memaksakan pengenaan pajak yang bersifat grey area,
memajukan angsuran PPh 25, menunda pencairan restitusi, menolak keberatan, menolak permohonan pengurangan angsuran dll, demi pencapaian
target penerimaan tahun ini. Artinya Penerimaan pajak yang menjadi hak tahun depan dimajukan ke tahun sekarang. Sebaliknya pengeluaran tahun ini
di tunda ke tahun berikutnya. Modus ini marak terjadi sebelum reformasi birokrasi.
Target penerimaan yang belum tercapai terkadang juga membuat fiskus bersikap sangat selektif dalam menerima keberatan, terlebih apabila
menyangkut jumlah yang material. Seringkali kasus keberatan di tolak bukan karena tingkat kebenaan kasus tersebut, tapi lebih dikarenakan pertimbangan
dampak terhadap target penerimaan.
Walaupun hal tersebut tidak melanggar aturan, namun cara tersebut tidaklah sesuai dengan prinsip self assessment system. Karena akan
menimbulkan efek negatif terhadap kepatuhan wajib pajak. Selain itu juga dalam jangka panjang dapat menimbulkan kekacauan misalkan potensi
pajak masing-masing KPP sulit terukur, momentum pengenaan pajak menjadi tidak jelas, kesulitan dalam menilai prestasi kerja aparatur pajak,
menyuburkan terjadinya korupsi dll.
5. Maksimalisasi target penerimaan pajak
Dengan prinsip sistem self assessment, target penerimaan seharusnya mengarah pada titik paling optimum yang bisa digali optimalisasi. Idealnya
pemungutan pajak tidak melebihi titik optimum atau bahkan melebihi potensi
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
50
pajak sesungguhnya. Sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan penggalian potensi penerimaan melalui profiling dan bencmarking wajib pajak
potensial. Profiling dilakukan untuk mengetahui profil setiap wajib pajak dan akan dikelompokan berdasarkan jenis usaha yang sama, sehingga Ditjen
Pajak memilliki acuan benchmark mengenai kondisi usaha dan laba yang diperoleh wajib pajak disektor tertentu. Kegiatan ini seharusnya lebih di
intensifkan sehingga dapat memetakan potensi setiap wajib pajak, berapa tingkat optimum pajak yang mampu mereka bayar.
Namun pada kenyataannya selama ini, kebijakan pajak lebih mengarah pada target penerimaan setinggi-tingginya maksimalisasi. Hal ini tentunya dapat
memberatkan masyarakat, yang pada akhirnya merusak fungsi pembinaan dan menurunkan kepercayaan masyarakat akan pajak.
B. P embangunan
sistem pajak yang tidak mengarah pada cita-cita pajak bangsa.
1. Arah
kebijakan yang bertumpu pada target penerimaan
Dari tahun
ke tahun pembuat kebijakan lebih berfokus pada pencapaian target penerimaan. Ada kecendrungan pembuat kebijakan lebih fokus pada
bagaimana menaikan target penerimaan. Perangkat hukum tinggal disiapkan agar kebijakan tersebut menjadi legal.
Tentu saja tolok ukur target penerimaan, pada akhirnya menjadikan
masyarakat menjadi fihak yang paling dirugikan. Karena masyarakat sebagai fihak yang memiliki kewajiban membayar pajak. Masyarakat menjadi fihak
yang harus menanggung beban atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Bahkan disaat target penerimaan pajak tercapai dan dianggap sebagai suatu
keberhasilan maka tahun berikutnya, target penerimaan akan ditetapkan lebih tinggi. Begitu pula sebaliknya akan lebih memberatkan masyarakat, jika
target penerimaan pajak tidak tercapai dan dianggap sebagai kegagalan. Karena pemerintah akan melakukan berbagai upaya, yang intinya akan
menaikan target penerimaan pajak. Pada akhirnya masyarakat hanya dipandang sebagai objek pengenaan pajak. Potensi pajak masyarakat yang
sesungguhnya tidak pernah tergali, bahkan cenderung menjadi semakin menjauh.
2. Sistem pajak Indonesia tidak memiliki Grand Design.