50
pajak sesungguhnya. Sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan penggalian potensi penerimaan melalui profiling dan bencmarking wajib pajak
potensial. Profiling dilakukan untuk mengetahui profil setiap wajib pajak dan akan dikelompokan berdasarkan jenis usaha yang sama, sehingga Ditjen
Pajak memilliki acuan benchmark mengenai kondisi usaha dan laba yang diperoleh wajib pajak disektor tertentu. Kegiatan ini seharusnya lebih di
intensifkan sehingga dapat memetakan potensi setiap wajib pajak, berapa tingkat optimum pajak yang mampu mereka bayar.
Namun pada kenyataannya selama ini, kebijakan pajak lebih mengarah pada target penerimaan setinggi-tingginya maksimalisasi. Hal ini tentunya dapat
memberatkan masyarakat, yang pada akhirnya merusak fungsi pembinaan dan menurunkan kepercayaan masyarakat akan pajak.
B. P embangunan
sistem pajak yang tidak mengarah pada cita-cita pajak bangsa.
1. Arah
kebijakan yang bertumpu pada target penerimaan
Dari tahun
ke tahun pembuat kebijakan lebih berfokus pada pencapaian target penerimaan. Ada kecendrungan pembuat kebijakan lebih fokus pada
bagaimana menaikan target penerimaan. Perangkat hukum tinggal disiapkan agar kebijakan tersebut menjadi legal.
Tentu saja tolok ukur target penerimaan, pada akhirnya menjadikan
masyarakat menjadi fihak yang paling dirugikan. Karena masyarakat sebagai fihak yang memiliki kewajiban membayar pajak. Masyarakat menjadi fihak
yang harus menanggung beban atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Bahkan disaat target penerimaan pajak tercapai dan dianggap sebagai suatu
keberhasilan maka tahun berikutnya, target penerimaan akan ditetapkan lebih tinggi. Begitu pula sebaliknya akan lebih memberatkan masyarakat, jika
target penerimaan pajak tidak tercapai dan dianggap sebagai kegagalan. Karena pemerintah akan melakukan berbagai upaya, yang intinya akan
menaikan target penerimaan pajak. Pada akhirnya masyarakat hanya dipandang sebagai objek pengenaan pajak. Potensi pajak masyarakat yang
sesungguhnya tidak pernah tergali, bahkan cenderung menjadi semakin menjauh.
2. Sistem pajak Indonesia tidak memiliki Grand Design.
Dari hasil penelusuran serta wawancara mendalam, terbukti sejak tax reform
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
51
tahun 1983 sampai saat ini, sistem pajak Indonesia tidak pernah memiliki Grand Design
sebagai cetak biru blue print dalam penyelenggaraan dan pemungutan pajak. Sistem pajak Indonesia, tidak memiliki arah yang jelas dan
strategi dalam pencapaian cita-cita pajak bangsa.
Hal ini menjadikan tidak ada pedoman yang dapat dijadikan dasar dalam merancang kebijakan pajak. Pada akhirnya secara pragmatis, terminologi tax
ratio
dan maximum budget menjadi dasar dalam proses pembuatan kebijakan. Begitu pula seringkali menjadikan pembenahan pajak Indonesia kurang tepat.
Bahkan tidak jarang menimbulkan masalah baru, yang seringkali menambah rumitnya permasalahan yang terjadi. Permasalahan pajak Indonesia juga
menjadi semakin sulit untuk dipetakan saat lembaga pajak terkait stakeholders tidak memiliki data yang secara akurat dapat dijadikan acuan
dalam pembuatan kebijakan pajak.
3. Cita-cita pajak bangsa dan Grand Design
Bila mengacu pada keterangan di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tatacara Perpajakan maka tertuang harapan serta
cita-cita bangsa Indonesia di bidang pajak. Cita-cita tersebut seharusnya menjadi tujuan bagi pemerintah dalam membangun sistem pajak Indonesia.
Cita-cita tersebut harus dituangkan dalam suatu Grand Design.
Suatu Grand Design
pajak akan memuat rancangan besar sistem pajak Indonesia yang akan membawa sistem pembangunan pajak Indonesia menuju cita-cita pajak
bangsa. Grand design nantinya akan menjadi induk utama sebagai dasar dalam membangun dan menyelenggarakan sistem pajak Indonesia.
Dengan adanya Grand Design memudahkan dalam merancang pedoman
serta perbaikan tata kelola sistem perpajakan Indonesia. Sehingga sistem perpajakan Indonesia memiliki peta jalan Road Map, yang berisi rencana
operasional tahapan serta langkah-langkah strategi yang berkelanjutan, dalam pencapaian sasaran pembangunan cita-cita pajak Indonesia.
Selain itu juga, melalui Grand Design dapat dirancang cetak biru Blue Print
dari sistem pajak Indonesia. Blue Print menurut definisi Wikipedia diartikan sebagai kerangka kerja terperinci sebagai landasan dalam pembuatan
kebijakan, yang meliputi penetapan tujuan dan sasaran, penyusunan strategi, pelaksanaan program dan fokus kegiatan serta langkah-langkah
implementasi yang harus dilakukan dari setiap lembaga sampai unit kerja
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
52
terkecil dari lembaga-lembaga pajak terkait. Cita
-cita dan harapan pajak Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tatacara Perpajakan tersebut adalah:
1. Wajib pajak merupakan subyek yang harus dibina dan diarahkan agar
mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan.
2. Tuntutan masyarakat terhadap adanya “aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih”.
3. Dengan adanya self assessment system diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis akan dihilangkan.
4. Ketentuan peraturan pajak yang baru akan lebih memperhatikan jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban wajib pajak,
dengan demikian dapat merangsang peningkatan kesadaran dan tanggug jawab perpajakan dimasyarakat.
5. Administrasi perpajakan akan berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas
pembinaan, penelitian, pengawasan dan penerapan sanksi administrasi.
6. Pada akhirnya sistem yang terbangun diharapkan dapat menunjang
sepenuhnya laju pembangunan dan mempercepat terwujudnya perataan pendapatan masyarakat, peningkatan serta perluasan tingkat kesadaran
kewajiban perpajakan, perataan dan perluasan obyek kena pajak dan pengingkatan penerimaan negara sejalan dengan perkembangan nasional
sehingga mempercepat terwujudnuya cita-cita P
roklamasi. Tujuan dan cita-cita bangsa tersebut dipertegas kembali pada revisi Undang-
Undang Pajak Tahun 1994 dan 2000, yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang
Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan. Dimana bukan hanya butir yang disebutkan diatas, tapi lebih diperluas lagi, dalam rangka memenuhi amanat
GBHN :
1. Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan Negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari
penerimaan pajak
2. Menunjang pemerataan pembangunan dan mendorong investasi 3. Menunjang usaha peningkatan ekspor
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
53
4. Menunjang usaha pengembangan usaha kecil 5. Menunjang usaha pengembangan sdm, tehnologi dan ilmu pengetahuan
6. Menunjang usaha pelestarian ekosistem 7. Menunjang usaha meningkatkan keadilan dalam partisipasi masyarakat
dalam pembiayaan pembangunan 8. Menunjang usaha terciptanya aparat pajak yang makin mampu
dan bersih, peningkatan pelayanan, penyederhanaan prosedur, peningkatan pengawasan, serta penegakan hukum yang berlaku
II. Kebijakan Tax Amnesty Semakin Membuat Rapuhnya Sistem
Pajak Indonesia
Tidak adanya pedoman yang bisa dijadikan dasar, menjadikan pembuat kebijakan Tax Amnesty lebih memfokuskan diri pada target penerimaan.
Kebijakan ini tentunya membuat semakin rapuhnya sistem pajak Indonesia :
1. Mengabaikan
prinsip perpajakan Indonesia.
a. Kebijakan yang menakutkan bagi masyarakat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
menjadikan masyarakat menjadi resah sebagai dampak dari salah sasaran. Masih minimnya pengetahuan pajak masyarakat serta lemahnya sosialisasi
yang dilakukan pemerintah akan Undang-undang pengampunan pajak, menjadikan kebijakan ini menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat.
Target pemasukan Tax Amnesty menjadikan aparatur di lapangan menyasar kepada masyarakat untuk ikut Tax Amnesty. Padahal selama ini masyarakat
telah dipotong pajak atas penghasilan yang diperoleh selama ini. Hanya karena harta yang tidak dicantumkan SPT Tahunan menjadikan mereka
sasaran untuk diikutkan TA. Hal ini tentunya menjadikan mereka dikenakan pajak dua kali double taxation.
Hal berbeda bila dibandingkan dengan para pengemplang pajak yang bertahun-tahun memang tidak pernah membayar pajak. Uang tebusan Tax
Amnesty
sebagai cara untuk mengenakan pajak yang selama ini tidak pernah dikenakan.
Tentu saja hal ini selain tidak memenuhi unsur keadilan juga tidak ada kepastian hukum. Karena kebijakan tax amnesty melukai wajib pajak dalam
negeri dan wajib pajak patuh juga adanya kemungkinan untuk dikenakan pajak kembali. Hal ini tentunya menimbulkan efek kurang baik bagi membangun
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id