42
IMF mencatat jumlah uang haram yang beredar di dunia mencapai 5 dari Gross Domestic Product
GDP Dunia. Pada Pasal 20 yang memasukan frasa “Pidana Lain” menciptakan
inkonsistensi terhadap rezim UU Perpajakan, kemudian pada Pasal 21 ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 menunjukan upaya tidak kooperatif dalam
membangun transparansi untuk kepentingan perpajakan maupun perdagangan internasional dimana di hukum perdagangan internasional
terdapat salah satu prinsip Transparency. Disamping itu, seharusnya pasal tersebut bertentangan dengan kesepakatan dari negara-negara OECD bahwa
di tahun 2018 akan ada upaya untuk merevisi prinsip kerahasiaan Bank Bank
Sacrecy yang dianggap menghambat laju keterbukaan informasi. Serta pasal
22 yang mengesankan imunitas hukum pejabat Negara dalam hal pelaksanaan pengampunan pajak ini yang mencederai semangat equality
before the law
. Eksistensi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan
Pajak serta PMK yang mengatur mengenai Special Purpose Vehicle SPV memberikan ancaman serius bagi aktifitas perdagangan internasional. Perlu
diingat bahwa perdagangan internasional terjadi baik antara pemerintah G dengan pemerintah G, pemerintah G dengan swasta B, atau bahkan
swasta B dengan swasta B.
Produk hukum domestik yang tidak mendorong kesepakatan internasional dalam membangun harmonisasi perdagangan akan menyulut instabilitas
perdagangan baik bilateral maupun multilateral. Konsekuensinya dapat terjadi ketidakpastian perdagangan jika terbukti dalam perdagangan tersebut
ditemukan aspek-aspek pelanggaran yang diatur di masing-masing Negara.
Padahal, perdagangan diciptakan untuk mendorong nilai ekonomi pada suatu komunitas besar yang disebut negara. Masyarakat termasuk di dalamnya bisa
ikut menikmati tumpahan ekonomi dari proses ini. Oleh karena itu, Ahli berharap, majelis hakim dapat mempertimbangkan keterangan ahli ini sebagai
bagian untuk mencegah degradasinya perdagangan Indonesia di masa depan.
2. Dr. Eva Achjani Zulfa.,S.H.,M.H.
Inti Permasalahan yang dimintakan pendapatnya kepada saya yaitu berkenaan dengan gugatan mengajukan permohonan pengujian perkara
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
43
pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut sebagai “Undang-Undang Pengampunan
Pajak”
terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
yang untuk selanjutnya disebut sebagai “Undang-Undang Dasar”, terutama terhadap pengujian Pasal-pasal sebagai berikut:
1 Pengujian Materiil Pasal 1 ayat 1, Pasal 1 ayat 7, Pasal 3, Pasal 4, dan
Pasal 5 Undang-Undang Pengampunan Pajak terhadap Pasal 23A Undang-Undang Dasar;
2 Pengujian Materiil Pasal 19 ayat 1 dan Pasal 19 ayat 2 Undang- Undang Pengampunan Pajak terhadap Pasal 24 ayat 1
Undang-Undang Dasar; 3 Pengujian Materiil Pasal 11 ayat 2, Pasal 11 ayat 3, Pasal 11 ayat
5, Pasal 20, dan Pasal 22 Undang-Undang Pengampunan Pajak terhadap Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar;
4 Pengujian Materiil Pasal 1 ayat 7, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang- Undang Pengampunan Pajak terhadap Pasal 28D ayat 1 Undang-
Undang Dasar;
5 Pengujian Materiil Pasal 21 ayat 2 dan Pasal 23 Undang- Undang Pengampunan Pajak terhadap Pasal 28F Undang-Undang
Dasar;
Di antara materi-materi yang dimohonkan untuk diuji, maka berdasarkan kompetensi dan pengetahuan yang saya miliki dan dimintakan kepada saya
untuk dijelaskan sesungguhnya terutama berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak dimana rumusan dalam
ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: “Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya
yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan
sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, danatau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.”
Ketentuan ini sesungguhnya memiliki dampak yang luas bukan hanya dalam penegakan hukum dibidang perpajakan tetapi penegakan hukum terutama
hukum pidana secara keseluruhan. Harus disadari bahwa penegakan hukum dibidang perpajakan adalah
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
44
terutama harus dimaknai sebagai bentuk penegakan hukum dibidang administrasi. Karena Undang-undang Pajak adalah Undnag-Undang
Administratif yang bersanksi pidana. Tujuan dari penegakan hukum pajak adalah untuk mendapatkan pendapatan negara semaksimal mungkin dari
sektor pajak. Sehingga hal ini menjadi berbed dari tujuan penegakan hukum utamanya dalam hukum pidana yaitu menjaga ketertiban umum dan
ketentraman dalam masyarakat. Dalam konteks kebijakan tentang Tax Amnesty, maka hal ini dapat dimaklumi
manakala adanya pembatasan kewenangan penuntutan oleh Jaksa penuntut umum. Filosofi dalam hukum pidana sebagai “ultimum remedium”
sesungguhnya memberikan pesan bahwa penggunaan sarana hukum pidana selayaknya digunakan dengan hati-hati. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Pajak pada dasarnya sudah memberikan jalan adanya mekanisme administratif yang dapat menyebabkan kewenangan penyidikan
menjadi hapus manakala dengan itikad baik wajib pajak “dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan
disertai pelunasan”, yang artinya tanpa suatu kebijakan tentang Tax Amnesti, sutau penghentian proses peradilan pidana dalam bidnag perpajakan sudah
merupakan mekanisme kebijakan yang dipilih dengan mengedepankan filosofi hukum pidana sebagai ultimum remedium.
Akan tetapi, kebijakan ini agak menjadi suatu semangat yang “berlebihan, ketika dirumuskan dalam bentuk rumusan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 20 tersebut di atas. Harus dipahami bahwa sesungguhnya ranah penegakan hukum pidana dibidang perpajakan tidak hanya berjalan sendirian.
Tindak pidana ini tidak jarang berhubungan juga dengan tindak pidana lainnya misalnya dengan pemalsuan surat atau dokumen Pasal 263, Pasal 264
atau Pasal 266 KUHP misalnya atau dengan tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, illegal fishing, illegal loging, tindak pidana
pertambangan atau tindak pidana lainnya. Oleh karenanya pembatasan status dimana dinyatakan bahwa status dokumen yang bersumber dari Surat
Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain tidak dapat menjadi dasar dilakukannya
penyelidikan, penyidikan, danatau penuntutan pidana, membuat ketentuan ini berimbas pada kualitas dari dokumen yang akan menjadi alat bukti
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
45
atau barang bukti dalam proses penyidikan atau penuntutan bukan hanya dalam tindak pidana perpajakan tetapi juga pada tindak pidana
lainnya. Berkaitan dengan hal itu maka mohon kiranya kepada majelis hakim untuk menyatakan bahwa rumusan dalam Pasal 20
Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dapat
dinyatakan sebagai ketentuan yang “unconstitutional condition”, dan karenanya menjadi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi untuk
mempertimbangkan keberlakukan atas ketentuan tersebut.
3. Drs. Basuki Widodo