C. Bentuk-bentuk Dominasi Tokoh Laki-laki terhadap Tokoh Perempuan
dalam Drama Faust I
Dominasi meliputi poin-poin, di antaranya yang terjadi pada tokoh Faust terhadap Margarete; Valentin terhadap Margarete, sang suami
terhadap Frau Marthe, dan sang pemuda terhadap Bärbelchen.
1. Dominasi Tokoh Faust terhadap Margarete
Laki-laki kerapkali memandang sebuah hubungan dalam paradigma dominasi.Mereka selalu menginginkan superiorisasi atas
perempuan dalam sebuah logika penaklukan.Kutipan perkataan Faust seperti di bawah ini juga mencerminkan hal tersebut.
FAUST: “O selig der, dem er im Siegesglanze
Die blutgen Lorbeern um die Schläfe windet, Den er, nach rasch durchrastem Tanze,
In eines Mädchens Armen findet” Goethe, 1982: 51 “Oh, berbahagialah dia yang mendapat kilau kemenangan
Karangan bunga berdarah dikalungkan di kening dan pelipis, Dia yang segera sesudah putaran tarian,
Berada dalam pelukan seorang gadis”
Faustberanggapan bahwa perempuan Mädchens Armen: pelukan seorang gadis dapat menegaskan kemenangan Siegesglanze:
kilau kemenangan
seorang laki-laki.
Untuk memperoleh
kemenangan, seseorang harus melakukan usaha untuk menaklukkan. Dalam kutipan dialog di bawah ini, Mephistopheles menunjukkan
usaha penaklukan Margarete lewat permata karena dianggapnya perempuan akan menyukai perhiasan.
MEPHISTOPHELES: “Hier ist ein Kästchen leidlich schwer,
Ich habs wo anders hergenommen. Stellts hier nur immer in den Schrein,
Ich schwör Euch, ihr vergehn die Sinnen; Ich tat Euch Sächelchen hinein,
Um eine andre zu gewinnen.” Goethe, 1982: 86 “Ini ada permata yang bukan main beratnya,
Aku membawanya dari suatu tempat ke sini. Letakkan saja dalam peti;
Aku bersumpah kepadamu dia akan sangat tergoda; Aku lakukan ini untukmu,
Agar dapat memenangkan dia.”
Masyarakat, terutama laki-laki, memiliki kriteria fisik tertentu untuk dipenuhi oleh perempuan, misalnya ada tuntutan bahwa
perempuan harus cantik, memiliki tubuh yang berlekuk halus, kulit yang lembut, lemah gemulai, ramping, bila perlu seksi. Tuntutan-
tuntutan ini tidak diumumkan secara nyata dan gamblang, tetapi mendesak perempuan secara halus, misalnya dengan pujian jika
perempuan tersebut memiliki keunggulan-keunggulan fisik yang diharapkan oleh kanon estetika.
Perempuan tidak memiliki pilihan lain selain memenuhi tuntutan-tuntutan tadi karena ia hidup dalam masyarakat, yang
didominasi oleh kaum yang menentukan tuntutan-tuntutan tersebut. Dengan kata lain, karena perempuan adalah kaum yang terdominasi, ia
akan takluk pada berbagai jenis intimidasi yang dilakukan oleh kaum dominan. Ia tak memiliki hak dan kuasa dalam budaya patriarkhi.
Maka satu-satunya yang dapat ia lakukan adalah membuktikan eksistensinya dengan menuruti semua aturan estetika yang dibuat oleh