d. Dalam Bidang Agama
Sebelumnya telah peneliti jelaskan di atas, tentang misogini agama
terhadap kaum
perempuan.Sebuah lembaga
yang dianggapsakral yaitu agama pun turut andil dalam pemojokkan kaum
perempuan. Menurut Fakih 2008: 137, penafsiran agama telah meletakkan
kaum perempuan dalam kedudukan dan martabat yang subordinatif terhadap kaum laki-laki. Hal ini tergambar dari kalimat Lieschen: “Im
Sünderhemdchen Kirchbuß tun” Goethe, 1982: 112-113“Dalam kemeja dosa membuat denda gereja”.
Menurut latar belakang sejarah gereja, pada abad ke 18 masih terdapat tradisi denda kepada umat yang berbuat dosa Wispi, 1999:
254-255, dalam pengertian ini adalah Bärbelchen yang melakukan dosa. Di mata agama dan masyarakat, iaadalah pihak yang disalahkan
dan harus membayar denda kepada gereja. Fakih 2008: 132-134 juga berpendapat, tafsir keagamaan
memegang peranan penting dalam melegitimasi dominasi atas kaum perempuan. Interpretasi terhadap ajaran agama sangat dipengaruhi
oleh kaca mata pandang yang digunakan oleh penafsirnya, yang seringkali juga berkaitan dengan seberapa jauh keuntungan spiritual
dan material yang bisa diperoleh: artinya tafsir agama erat kaitannya dengan aspek ekonomi, politik, kultural, dan juga idiologi. Seluruhnya
saling tergantung dan terkait satu sama lain. Yang menjadi titik keprihatinan adalah semua aspek tersebut lebih banyak merugikan
kaum perempuan. Kalimat Lieschenberikut juga memiliki makna yang sama, yaitu
perendahan martabat perempuan di hadapan gereja: “Das Kränzel reißen die Buben ihr,Und Häckerling streuen wir vor die Tür”
Goethe, 1982: 113“Buaya itu menaburinya dengan kalung bunga, Dan kita menaburkan kalung rumput di depan pintu gereja”.
Menurut penjelasan Wispi 1999: 255, kalung bunga Das Kränzeldan
kalung rumput
Häckerling memiliki
makna ketidakadilan bagi kaum perempuan. Menurut kebiasaaan lama, gadis-
gadis yang telah menyerahkan keperawanannya kepada kekasihnya sebelum menikah tidak boleh mengenakan kalung bunga di kepalanya
pada hari perkawinannya. Jika dia masih memakai tanda keperawanan itu, maka ketika dia memasuki pintu gereja, kalung bunga tersebut
dicabut dan diganti dengan kalung rumput. Fakih 2008: 157 menambahkan, hambatan ideologis seperti bias gender menyebabkan
sistem masyarakat justru menyalahkan korban.
C. Bentuk-bentuk Dominasi Tokoh Laki-laki terhadap Tokoh Perempuan
dalam Drama Faust I
Dominasi meliputi poin-poin, di antaranya yang terjadi pada tokoh Faust terhadap Margarete; Valentin terhadap Margarete, sang suami
terhadap Frau Marthe, dan sang pemuda terhadap Bärbelchen.
1. Dominasi Tokoh Faust terhadap Margarete
Laki-laki kerapkali memandang sebuah hubungan dalam paradigma dominasi.Mereka selalu menginginkan superiorisasi atas
perempuan dalam sebuah logika penaklukan.Kutipan perkataan Faust seperti di bawah ini juga mencerminkan hal tersebut.
FAUST: “O selig der, dem er im Siegesglanze
Die blutgen Lorbeern um die Schläfe windet, Den er, nach rasch durchrastem Tanze,
In eines Mädchens Armen findet” Goethe, 1982: 51 “Oh, berbahagialah dia yang mendapat kilau kemenangan
Karangan bunga berdarah dikalungkan di kening dan pelipis, Dia yang segera sesudah putaran tarian,
Berada dalam pelukan seorang gadis”
Faustberanggapan bahwa perempuan Mädchens Armen: pelukan seorang gadis dapat menegaskan kemenangan Siegesglanze:
kilau kemenangan
seorang laki-laki.
Untuk memperoleh
kemenangan, seseorang harus melakukan usaha untuk menaklukkan. Dalam kutipan dialog di bawah ini, Mephistopheles menunjukkan
usaha penaklukan Margarete lewat permata karena dianggapnya perempuan akan menyukai perhiasan.