Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan

35 pesantren tersebut tidak mendapatkan respon dan bahkan di anaktirikan oleh pemerintah penjajah dengan alibi akan mempersempit ruang gerak mereka dalam menguasai bangsa Indonesia. Meskipun demikian pondok pesantren tersebut kian lama kian meningkat di beberapa daerah yang sudah disebutkan diatas. Secara umum sistem dan prinsip pendidikan yang digunakan dalam lembaga pendidikan pada masa VOC terdiri dari: 1. Pendidikan Dasar 2. Sekolah Latin 3. Seminarium Theologicum Sekolah Seminari 4. Academieder Marine Akademi Pelayanan 5. Sekolah Cina 6. Pendidikan Islam Adapun prinsip yang digunakan oleh pemerintah Belanda yang diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain adalah sebagai berikut: 1. Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu. 2. Memerhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial. 3. Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa. 4. Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. 13 Sangat terlihat jelas bahwa pendidikan yang digawangi oleh pemerintahan Belanda lebih bercorak politis. Dimana output yang dikehendaki adalah sebagai pekerja yang siap mengabdikan dirinya pada pemerintah Belanda yang pada akhirnya tidak memberikan peluang kepada masyarakat Indonesia untuk menikmati pendidikan pada masa itu. Disamping itu, pendidikan yang di tanamkan oleh pemerintah Belanda bersifat elitis, dimana masyarakat yang tingkat perekonomiannya pada taraf menengah kebawah tidak diperbolehkan masuk 13 Ibid, h. 106 36 dalam lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Selanjutnya adalah pendidikan pada masa penjajahan Jepang. Jika melihat realitas yang terjadi pada masa penjajahan Belanda, maka itu sangat berbeda pada masa penjajahan Jepang. Menurut sejarahnya, Jepang pada masa itu sedang dihadapkan pada usaha untuk memenangkan perangnya, sehingga memaksakan dirinya untuk mendekati umat Islam. bahwa dapat dikatakan kedudukan Jepang di Indonesia sangat bergantung pada bantuan umat Islam dalam menghadapi luasnya daerah yang telah diduduki oleh sekutu dan antara umat Islam dan Jepang mempunyai kepentingan yang sama yaitu menghadapi penjajahan Barat. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang dimulai pada tahun 1942-1945 yang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait bidang pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan dalam upaya menggantikan bahasa Belanda. 2. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda. Kebijakan di atas merupakan kebijakan yang menguntungkan bangsa Indonesia. Karena tidak disadari bahwa pada waktu itu keberadaan bangsa Indonesia sudah diakui oleh Jepang dengan terbukti seluruh lembaga pendidikan yang dalam naungan pemerintahan Jepang harus menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidik. Kemudian tidak ada diskriminasi pendidikan, dimana seluruh masyarakat baik yang miskin maupun yang kaya Indonesia di perbolehkan mengikuti atau mengenyam pendidikan. Akan tetapi, penjajah tetaplah penjajah. Tanpa disadari oleh bangsa Indonesia, bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jepang pada waktu itu adalah sebuah bentuk desain politik. Dimana pada masa itu, Jepang dalam usaha memenangkan peperangan dengan penjajah Barat. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan masyarakat dengan memberikan kebijakan yang berpihak pada mereka, agar masyarakat Indonesia memberikan simpatinya dan bahkan rela bekerja sama dalam rangka 37 melawan penjajah Barat. Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: 1. Mengubah kantor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. 2. Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pemerintah Jepang. 3. Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin. 4. Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta. 5. Mengizinkan kepada ulama dan nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air PETA yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan. 6. Mengizin kan Majelis Islam A’la Indonesia MIAI terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan kemudian diganti dengan Majlis Syuro Muslim Indonesia Masyumi yang menyertakan dua ormas Islam Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. 14 Terlepas dari tujuan semula bekerja sama untuk mengalahkan penjajahan Barat, pemerintah Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas pemuda Islam pada waktu itu, sehingga dapat dilihat perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapai kemerdekaan. Namun apapun yang melatarbelakanginya, sesungguhnya kaum penjajah itu sama saja, baik itu pada masa penjajah Portugis, Inggris, Belanda, atau Jepang, pada intinya mereka tidak senang pendidikan Islam berkembang pada masa pemerintahan mereka. Hal ini terbukti, pada akhir abad ke 19, pernah beberapa kali mengusulkan pondok pesantren dapat dijadikan sebagai model pendidikan untuk seluruh penduduk Bumi Putera, akan tetapi usulan tersebut ditolak oleh pemerintahan Belanda. Padahal, selama ini pondok pesantren secara finansial mampu ditopang secara mandiri kaum muslimin dan tidak pernah 14 Ibid, h. 108 38 meminta bantuan dari pemerintah penjajah. Logikanya, keberadaan pondok pesantren selama ini tidak memberatkan dan merepotkan mereka, namun karena didasari rasa kekhawatiran kalau pesantren akan berkembang pesat, justru akan menjadi kekuatan perlawanan terhadap kaum penjajah, sehingga posisinya terancam, maka hal itu tidak diluluskan oleh pemerintah Jepang. Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak biasa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi dunia secara realitis. Pendidikan Pada Masa Imperialis Belanda sampai dengan 1945 Belanda menduduki Nusantara Indonesia sebelum merdeka selama kurang lebih 3,5 abad. Selama pendudukan Belanda banyak masyarakat pribumi yang mengalami penderitaan jasmani maupun rohani. Penderitaan jasmani berupa kelaparan, kurang sandang maupun papan. Sementara penderitaan rohani berbentuk kurangnya asupan gizi dalam hati dan fikiran pendidikan sehingga mengakibatkan keterbelakangan mental. Lemahnya mental ini mengakibatkan tidak ada daya saing yang cukup untuk menyadari dirinya sebagai manusia unggul. Pendidikan pada masa imperialisme Belanda hanya dikonsumsikan dihidangkan secara khusus bagi dirinya sendiri dan putra-putra priyayi pribumi. Hal demikian untuk menjembatani adanya pelanggengan kekuasan penjajahan di Nusantara. Pendidikan adalah alat untuk menyadarkan syaraf-syaraf eksistensi diri yang sedang membeku. Ulama pribumi yang pernah mangalami kekalahan dalam angkat senjata melawan Belanda banyak yang beralih dengan mendirikan lembaga pendidikan seperti pondok pesantren yang digunakan untuk menjaga budaya dan moral bangsa dari penetrasi budaya barat. Belanda menduduki Nusantara Indonesia sebelum merdeka tidak banyak menyumbangkan pendidikan melainkan hanya merongrong kemakmuran yang 39 ada. Pemerintah Belanda ketika menduduki Nusantara Indonesia sebelum merdeka mengadakan politik cultuurstelsel yang mewajibkan tanam paksa dan hasil sepenuhnya untuk kemakmuran Negeri Belanda. Cultuurstelsel tanam paksa dinilai oleh Belanda sangat mencolok dalam menekan masyarakat maka kemudian diubah menjadi politik pintu terbuka, dengan cara mengundang pemilik modal asing bangsa Eropa untuk mengurusi pabrik-pabrik yang dulu diurusi oleh pemerintah Belanda secara langsung. Hal ini justru menjadikan banyak ketimpangan sehingga melahirkan kasta baru dalam masyarakat. Kasta tersebut terbagi menjadi tiga lapisan yaitu: 1. The rulling caste yang terdiri dari penguasa kolonial dan pemilik modal asing, 2. Kelas menengah sebagai alat pemerintah kolonial yang terdiri dari penguasa pribumi dan orang-orang Timur asing khususnya Cina, 3. Kelas paling bawah yaitu rakyat mayoritas yang paling dirugikan. Setelah Belanda menerapka dua metode Cultuurstelsel dan Politik Pintu Terbuka di atas nampaknya ada rasa iba sehingga memunculkan politik etis etische politiek. Politik etis ini pada awalnya mengundang reaksi pemerintah Belanda dimana pada masa itu muncul dua golongan yaitu antara yang setuju dan yang menolak. Politik ini diarahkan bagi penduduk bumi putra untuk memajukan penduduk asli dalam kurun waktu cepat dengan cara mengikuti metode pendidikan barat. Politik etis baru diterapkan ketika Ratu Wilhelmina mengeluarkan pidato di Staten General pada tahun 1901. Mulai saat itu politik etis berlaku di lapangan secara nyata. Pemerintah Belanda setelah mengesahkan politik etis maka mulai membangun sekolah-sekolah di antaranya adalah Volk School Sekolah Desa dengan masa belajar 3 tahun yang kemudian dilanjutkan dengan program Verlvog School Sekolah Lanjutan dengan masa belajar 2 tahun. Lembaga sekolah dalam masa selanjutnya mulai dikembangkan dengan didirikan Meer Uitgebreid Leger Onderwijs MULO, yaitu sebuah sekolah setingkat SMP. Pada zaman ini pula muncul proram Algemeene Middelbare School AMS yang setara dengan SMA. Sekolah yang dibangun Belanda ini berbiaya mahal sehingga murid-muridnya berasal dari priyayi darah biru sedang masyarakat miskin tetap dalam kemiskinannya. Satu hal yang perlu disoroti adalah bahwa pemerintah Belanda 40 tidak tulus untuk meningkatkan pendidikan pribumi tetapi ada maksud lain yaitu mencetak tenaga birokrat kantoran. Sejak tahun 1864 pemerintah Belanda mengadakan ujian Klein Ambtenaars’ Examen yaitu sebuah ujian pegawai rendah untuk dapat diangkat sebagai pegawai pemerintah. Belanda kembali ke negaranya setelah ditaklukkan oleh Jepang. Sejak saat itu Nusantara Indonesia sebelum merdeka menjadi wilayah jajahan Jepang. Pemerintah Jepang mengeluarkan isu pendidikan yang disebut Hakko Ichiu yaitu mengajak bangsa Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya. Realisasi dari Hakko Ichiu ini di mana pelajar setiap hari terutama pagi hari harus mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar Jepang, lalu dilatih kemiliteran. Sistem persekolahan yang dibangun Jepang banyak berbeda dengan penjajahan Belanda. Model serta metode diganti dengan sistem Jepang yang orientasinya untuk persiapan perang. Murid-murid dalam menerima pengetahuan tidak banyak kecuali dalam ilmu kemiliteran. Pendidikan bercorak Islam diawali oleh Ahmad Dahlan dengan menggabungkan mata pelajaran sekolah Belanda dengan pelajaran Islam. Artinya pendidikan ini memuat nilai plus yaitu pendidikan agama Islam. Pendidikan memiliki corak sebagai berikut: 1. Penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah SWT. 2. Pengakuan atas potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian. Pengalaman ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat manusia. Umat Islam dalam sejarahnya memiliki dua lembaga pendidikan yaitu formal dan non formal. Untuk pendidikan formal berupa sekolah yang dikelola secara modern sedang non formal berbentuk pesantren dan Madrasah Diniyah. Mengenai pesantren sudah ada sejak awal, dulunya dimiliki agama Hindu, kemudian diisi oleh pendidikan agama Islam dengan diajarkan kitab-kitab yang sekarang sering disebut kitab kuning. Setelah Nusantara nama Indonesia sebelum merdeka dijajah oleh Portugis dan Belanda yang membawa bentuk pendidikan berbeda, maka oleh ulama Islam ada yang merespons secara positif. Pada Tahun 1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah yang 41 mengadopsi sekolah penjajah tersebut. Dalam lembaga ini siswa tidak hanya dibekali ilmu agama saja tetapi juga ilmu bumiilmu alam. Usaha ini diusahakan untuk mengejar keterpurukan umat Islam. Sejak datangnya kapal Portugis dan kemudian pendudukan penjajahan Belanda, Nusantara nama Indonesia sebelum merdeka mengalami kehidupan yang tertindas. Bangsa Belanda mulai menjajah pada tahun 1619 dengan ditandai Jan Pieter Coen menduduki Jakarta yang selanjutnya memperluas wilayah.Tujuan semula bangsa Belanda yaitu mencari rempah-rempah.Yang kemudian berkembang motif sampai ke ekonomi, politik dan agama. Dari sistem penjajah Belanda yang menindas itu maka muncul corak pendidikan pribumi: a. Isolatif-Tradisional Isolatif tradisional disini dalam artian tidak mau menerima apa saja yang berbau barat kolonial dan terhambatnya pengaruh pemikiranpemikiran modern dalam Islam. b. Sintesis Sintesis disini yaitu mempertemukan corak lama pondok pesantren dan corak baru model pendidikan kolonial atau Barat yang berwujud sekolah atau madrasah. Dalam realitasnya corak pemikiran sintesis ini mengandung beberapa variasi pola pendidikan Islam, yaitu: 1 pola pendidikan madrasah mengikuti format pendidikan barat terutama dalam sistem pengajarannya secara klasikal, tetapi isi pendidikan tetap lebih menonjol ilmu-ilmu agama Islam, 2 pola pendidikan madrasah yang mengutamakan pendidikan agama, tetapi pelajaran umum secara terbatas juga diberikan, 3 pola pendidikan madrasah yang menggabungkan secara lebih seimbang antara muatan-muatan keagamaan dan non keagamaan, 4 pola pendidikan yang mengikuti pola Gubernement dengan ditambah beberapa mata pelajaran agama, sebagaimana yang dikembangkan oleh sekolah Adabiyah dan Muhammadiyah. Pendidikan Agama Islam yang berbentuk lembaga mengalami banyak variasinya. Variasi tersebut di antaranya: 1 Madrasah milik masyarakat, 2 Madrasah menerapkan manajemen berbasis sekolah, 3 Madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi din, 4 Madrasah sebagai lembaga kaderisasi dan mobilitas umat. Pendidikan 42 Islam tipe ini memiliki ciri bahwa mencari ilmu bernilai ibadah, setiap individu berhak berkembang dalam satu kepribadian dan pertanggungjawaban kepada Allah dan manusia. Pada perkembangan awal pendidikan Islam bersaing dengan sekolah Belanda. Bagi lembaga yang tidak mampu menyesuaikan dengan gubernement maka akan ditutup. Maka waktu itu menjadi tantangan umat Islam tersendiri. Hal ini menuntut umat Islam untuk cerdas. K.H. Ahmad Dahlan dalam mensiasati lembaga pendidikan yang didirikan bersama pengurus-pengurus Muhammadiyah supaya tetap beroprasi maka lembaga ini menggunakan dua wajah yakni memadukan kurikulum santri dengan kurikulum buatan pemerintah Belanda. Ahmad Tafsir menuliskan bahwa K.H. Ahmad Dahlan senang berdakwah dan mengajarkan agama di sekolahan. Pada tahun 1911 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah sendiri yang diberi nama sekolah Muhammadiyah. Di sini yang perlu ditegaskan bahwa agama yang diajarkan pastilah agama yang menurut pendapatnya telah terbebas dari khurafat dan bid’ah. 15

D. Dasar Pendidikan Islam

Dalam setiap ucapan, prilaku atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia hendaknya mempunyai dasan ataupun landasan yang memperkuan dari setiap ucapan, perilaku dan kegiatan yang dilakukannya. Karena dengan dasar atau landasan itulah ucapan, perilaku dan kegiatan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam memahami agama, K.H. Ahmad Dahlan selalu berpegang pada prinsip Al- Qur’an dan al-Sunnah serta akal yang sehat sesuai dengan jiwa agama Islam, karena hanya dengan itulah nilai-nilai Islam akan termanifestasi dalam kegiatan dalam setiap kehidupan manusia. Dengan berlandaskan pada prinsip pemahaman agama tersebut, maka akan dapat menimbulkan kesadaran yang berupa keyakinan dan cita-cita yang terpancar dari diri K.H. Ahmad Dahlan, sebagaimana yang ditulis Mohammad Riezam sebagai berikut: 15 www. goggle.com, Mutaqqin, Pencerahan Pendidikan Agama Islam di Indonesia dan Aktualisasinya Tesis Program Magister Pendidikan Islam Sekolah Tinggi Agam Islam Negeri Salatiga, 2013. di akses pada tanggal 18 Oktober 2013 43 1. Ajaran agama Islam yang sumbernya Al- Qur’an dan Al-Sunnah itu risalah pesan pengarahan Allah pada manusia. 2. Ajaran agama Islam sebagaimana yang tersebut diatas harus diamalkan dalam arti dan proporsi yang sebenarnya. 16 Dari penjelasan diatas, maka untuk dapat mengamalkan ajaran agama Islam dalam arti dan proporsi yang sebenarnya, orang-orang Islam harus dibina, baik secara individu maupun secara kolektif dan kemudian digerakkan dan diorganisir serta dipimpin untuk mengamalkan ajaran agama yang dimaksud dan memperjuangkan dengan semangat jihad kaffah. Dalam hal ini wadah yang paling representatif dan memungkinkan hal-hal yang diatas dapat tercapai adalah melalui lembaga pendidikan. Karena didalamnya terdapat proses pembinaan untuk menjadi insan yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan didasari dengan nilai- nilai ajaran agama Islam. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya diletakkan pada skala prioritas dalam proses pembangunan umat. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajemukan umat Islam adalah dengan kembali kepada Al- Qur’an dan Al-Sunnah, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan, sehingga peradaban Islam akan terus berkembang dan akan tetap dipandang oleh negara- negara lain. Mengenai pelaksanaan pendidikan, K.H. Ahmad Dahlan memberikan keterangan, bahwa pendidikan Islam hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh yaitu Al-Qur ’an dan Sunnah. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal khaliq maupun horizontal makhluk. Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai `abd Allah dan khalifah fi al- ardh. Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah al-ruh dan al-`aql. Untuk itu, media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar penunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia epada Khaliqnya. Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu 16 Abdul Munir Mulkhan, K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Dalam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, h. 42 44 dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoretis dan metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptannya. 17 Islam menekankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesta, baik alam makro maupun mikro. Meskipun dalam banyak tempat al- Qur`an senantiasa menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al- Qur`an juga juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Ada fenomena yang tak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia. Hal in disebabkan, karena wujud yang ada di alam ini memiliki dua dimensi, yaitu pisika dan metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad. Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik manusia mendayagunakan berbagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi inderawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu, aktifitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan ke semua dimensi tersebut. Pengembangan tersebut merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengtahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip al-Qur`an dan Sunnah, bukan semata-mata dari kitab tertentu. Dari sumber-sumber di atas, dapat dipahami bahwa landasan pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah Al- Qur’an dan hadist, maka dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam juga sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al- Qur’an yaitu sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi, dalam ungkapan lain disebut dengan rehumanisasi yaitu mengembalikan kedudukan manusia kepada kedudukan yang sebenarnya yaitu sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam tersebut, manusia harus mengembangkan potensi dirinya melalui pendidikan. Potensi diri itu sebagaimana yang dianugerahkan oleh Allah antara lain; fitrah beragama, potensi akal, roh, qalbu 17 Hery Sucipto, Op.Cit, h. 120