Pembaharuan-pembaharuan KH. Ahmad Dahlan

48 tertarik ia mendatangi rumah-rumah guna membujuk anak-anak agar mau sekolah serta meminta bantuan keuangan pada anggota-anggota Boedi Oetomo. Usaha ini tidaklah sia-sia hal ini terbukti dengan bertambahnya dua puluh murid selama enam bulan terakhir. 22 Di dirikannya madrasah Muhammadiyah tersebut merupakan terobosan baru yang berusaha memadukan model pendidikan pesantren dan Barat. Karena itu lembaga pendidikannya berbeda dengan pesantren. Perbedaanya adalah sebagai berikut: 23 a. Cara belajar-mengajar: Jika sistem belajar mengajar di pesantren menggunakan sistem weton dan sorogan, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem klasikal sebagaimana sekolah Barat. b. Bahan pelajaran: Sumber belajar di pesantren diambil dari kitab-kitab agama yang umumnya ditulis oleh para ulama klasik. Di Madrasah Muhammadiyah bahan pelajaran di ambil dari buku-buku pengetahuan umum dan juga kitab- kitab agama yang ditulis oleh para ulama klasik dan ulama pembaharu. c. Rencana pelajaran: Pendidikan pesantren tidak mengembangkan, bahkan tidak mengenal rencana pelajaran. Madrasah Muhammadiyah mengembangkan rencana pelajaran supaya lebih teratur dan efisien. d. Pendidikan diluar kegiatan formal: pesantren tidak memberikan perhatian serius terhadap hal tersebut akan tetapi Madrasah Muhammadiyah mulai memperhatikan hal tersebut dan mengatur dengan baik kegiatan diluar pelajaran formal. e. Pengasuh dan guru: Pengasuh dan guru dipesantren hanyalah mereka yang menguasai agama saja. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah mulai merintis pengembangan guru dibidang studi yang mengajar berdasarkan keahliannya. f. Hubungan guru-murid: Di pesantren guru-murid terkesan otoriter karena para Kiai dan ustadz memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid akrab. 22 Ibid 23 www.goggle.com, di akses pada tanggal 28 Maret 2014, Pukul 20.00 WIB 49 Lebih lanjut perkembangan pondok pesantren Muhammadiyah yang tidak selalu menggunakan nama pondok atau pesantren atau pondok pesantren dapat diuraikan sebagai berikut: 24

a. Madrasah Muallimin

Mulai berdiri di tahun 1918 di Yogyakarta, dengan nama Qismul Arqa, bermurid sepuluh orang, di pimpin langsung oleh K.H. Ahmad Dahlan, diselenggarakan disatu bagian dari rumah tempat tinggal beliau. Disekolah ini yang kemudian berganti nama menjadi Kweek School Islam dan kemudian lagi berganti nama menjadi Kweekschool Muhammadiyah atau Kweekschool Mualimin Muhammadiyah. Karena jumlah murid bertambah terus maka tempat sekolah berpindah-pindah hingga kemudian menetap di gedung sendiri yang terletak di Ketanggungan, lengkap dengan asrama yang dapat menampung seratus lima puluh orang murid. Mula-mula asrama itu disebut pondok yang menggunakan rumah tempat tinggal, juga berpindah-pindah. Di sekolah tersebut diajarkan ilmu pengetahuan umum dan fak-fak seperti yag diajarkan pada Kweekschool tetapi dengan bahasa pengantar Melayu, dan kemudian disejajarkan denga kurikulum Norma School, sekolah calon guru untuk sekolah rakyat. Disamping bahasa Indonesia Melayu diajarkan pula bahasa Belanda, bahasa Inggris yag tersebut dua terakhir ini tidak banyak , dan bahasa Arab serta ilmu alat lainnya yang sangat penting untuk pelajaran Al- Qur’an, Tafsir Hadist dan sebagainya. Sekolah ini lama belajarnya lima tahun, sesudah sekolah Standard SD enam tahun dan adapula anak-anak tamatan HIS yang masuk di Muallimin. boleh dikatakan dahulu bibit yang masuk ke Muallimin itu bibit yang lebih berbobot dari pada tamatan SD biasa. Di standar scool itu juga diberi pelajaran bahasa Belanda sekedarnya. 24 K.H.S Pradjokusumo, Pemasyarakatan Tradisi, Budaya dan Politik Muhammadiyah, Jakarta: Perkasa Press, 1995, h.116 50

b. Madrasah Muallimat

Sekolah yang sama seperti Madrasah Muallimin hanya khusus untuk putri, didirikan resmi tahun 1927 di Yogyakarta Muridnya menginap di pondok yang pada awalnya dibina langsung oleh Ibu Hajjah Nyai Dahlan. Seperti halnya dengan Muallimin sekolah ini juga maju pesat dan tempat belajar pun berpindah- pindah hingga mempunyai gedung sendiri yaitu gedung yag sekarang ditempati berlokasi ditengah-tengah kampung Notoprajan tidak jauh dari Gedung PP Muhammadiyah Yogyakarta. Mengenai kurikulumnya sama, ditambah dengan keputrian. Sekolah ini sebenarnya adalah Pondok Pesantren Putri tapi bertahan untuk tidak memakai nama itu.

c. Madrasah Zu’ama

Sekolah ini berdiri disekitar tahun 1937 di Yogyakarta, mula-mula bertempat di Kp. Notoprajan, kemudian pindah ke Demak Ijo yaitu menyewa gedung bekas perumahan Pabrik Gula yang sudah tutup, 15 KM dari kota Yogya. Sekolah ini cepat berkembang muridnya sebagian besar dari luar Jawa. Pelajarannya menitikberatkan kepada pengetahuan agama, pelajaran umum relatif sedikit, kurang dari Muallimin. Lama belajarnya empat tahun, yag diterima adalah minimal dari ibtidaiyah diutamakan tsanawiyah atau sederajat dan dari pesantren. Tamatan sekolah ini banyak yang telah dapat mengembangkan dirinya sebagai pemimpin, mubaligh, ulama dan guru agama.

d. Tabligh School Muhammadiyah

Di Yogyakarta sekitar tahun tiga puluh lima, berkembang sekolah agama sorediniyah sore, dengan tingkatan Ibtidaiyahtiga tahun, Wutsha tiga tahun, Taligh school dua tahun. Di Tabligh School diajarkan pula kitab kuning. Jika Ibtidaiyah belajaranya dari ba’da ashar hingga Maghrib, maka Wustha dari ba’da Isya hingga pukul 21.00 dan Tabligh School dari ba’da Isya hingga pukul 22.00 seminggu enam hari. 51

e. Tabligh School Istri

Disamping Tabligh School di atas, pada tahun 1938, berdiri pula Tabligh School Isteri di Yogyakarta, dengan masa belajar sama, yaitu dua tahun, dengan setiap harinya delapan jam pelajaran, yang diterima di Tabligh School putri adalah tamatan dari Madrasah Tsanawiyah putri, sehingga dengan demikian, Tabligh School Putri ini sama dengan Muallimin di Yogyakarta. Sekolah-sekolah tersebut di zaman pendudukan dan di zaman revolusi ditutup dan dibuka kembali setelah Indonesia resmi merdeka. Dengan perubahan keadaan yang juga menyentuh dunia pendidikan, maka sekolah Muhammadiyah juga mengalami perubahan. Dan perubahan-perubahan itu berjalan terus, hingga akhirnya lahirlah SKB Tiga Menteri dalam periode 1950 hingga berlakunya SKB Tiga Menteri, Madrasah Muallimin, Muallimat di Yogyakarta, dan Kulliyatul Mubalighin mengalami pasang naik dan pasang surut, tetapi banyak surutnya. Dengan didirikannya madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, PGA Negeri, masyarakat mempunyai lebih banyak pilihan, diluar Muallimin dan Kuliyatul Mubalighin untuk mempertahankan identitasnya, sehingga tidak mau menerapkan kurikulum Tsanawiyah dan Aliyah negeri, berakibat, kedua sekolah tersebut izasahnya tidak diakui sama dengan madrasah negeri. Setelah berlakunya SKB Tiga Menteri maka tiada pilihan lain kecuali mengikuti kurikulum Negeri, jika ingin dapat bertahan hidup. Dengan Muhammadiyahnya K.H. Ahmad Dahlan berhasil mengembangkan lembaga pendidikan yang beragam dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dan dari yang berbentuk sekolah agama hingga yang berbentuk sekolah umum. berhasil dan memperkenalkan manajemen pendidikan modern ke dalam sistem pendidikan yang dirancangkannya. 3. Bidang Dakwah Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada 52 perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka- pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen. 25 4. Bidang Organisasi Di bidang Organisasi, pada tahun 1918, K.H. Ahmad Dahlan membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, K.H. Ahmad Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu, sekarang dikenal dengan nama Pramuka dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang. Selanjutnya adalah jasa-jasa besar K.H. Ahmad Dahlan dapat diuraikan sebagai berikut: 26 1. Mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut semestinya. Umumnya Masjid-masjid dan langgar-langgar di Yogyakarta menghadap ke timur dan orang-orang shalat menghadap ke arah barat lurus. Pada hal kiblat yang sebenarnya menuju Ka’bah dari tanah Jawa miring ke utara kurang lebih dua puluh empat derajat dari sebelah barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang ilmu falaq itu, orang tidak boleh menghadap kiblat menuju barat lurus, melainkan harus miring ke utara dua puluh empat derajat. Oleh sebab itu K.H. Ahmad Dahlan mengubah bangunan pesantrennya sendiri, supaya menuju kearah kiblat yang betul. Perubahan yang diadakan oleh K.H. Ahmad Dahlan 25 http:tmsi. smangat.org.kyai-ahmad-dahlan di akses pada tanggal 29 Maret 2014 26 Abuddin Nata. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2005, h. 106-108. 53 itu mendapat tantangan keras dari pembesar-pembesar masjid dan kekuasaan kerajaan 2. Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam dengan popular, bukan saja di pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain dan mendatangi berbagai golongan. Bahkan dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah bapak muballigh Islam di Jawa Tengah, sebagaimana Syekh M. Jamil Jambek sebagai bapak muballigh di Sumatera Tengah. 3. Memberantas bid’ah- bid’ah dan khurafat serta adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. 4. Mendirikan perkumpulanpersyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912 M yang tersebar di seluruh Indonesia sampai sekarang. Pada permulaan berdirinya, Muhammadiyah mendapat halangan dan rintangan yang sangat hebatnya, bahkan K.H.Ahmad Dahlan dikatakan telah keluar dari mazhab, meninggalkan ahli sunnah wal jama’ah. Bermacam-macam tuduhan dan fitnahan yang dilemparkan kepadanya, tetapi semuanya itu diterimanya dengan sabar dan tawakal, sehingga Muhammadiyah menjadi satu perkumpulan yang terbesar di Indonesia serta berjasa kepada rakyat dengan mendirikan sekolah-sekolah, sejak dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Ke-empat faktor di atas merupakan kontribusi yang monumental dalam hal keagamaan, karena dengan kehadiran dan sumbangsih K.H. Ahmad Dahlan pada saat itu, ritus-ritus keagamaan dapat diluruskan oleh beliau dengan tetap berlandaskan kepada Al- Qur’an dan hadis. Jasa termashur selanjutnya yang diberikan beliau kepada Islam Idonesia adalah pendirian organisasi sosial keagamaan, yakni Persyarikatan Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan salah satu tokoh pendidikan Islam yang terkenal. Beliau hidup pada zaman Belanda. Beliau hidup di tengah-tengah keluarga yang alim ilmu agama. K.H. Ahmad Dahlan adalah tokoh penting yang tidak mengenyam pendidikan formal, meski seperti itu 54 beliau gigih dalam belajar dan memperjungkan pendidikan Islam sehingga Ia mampu mendirikan suatu gerakan yang diberi nama Muhammadiyah. 27 Adapun Faktor-faktor yang mendorong berdirinya Muhammadiyah dilatarbelakangi oleh ada dua faktor, yakni: 28 1. Faktor Subjektif Faktor yang pertama ini bersifat subjek yang dapat diartikan bahwa pelakunya sendiri, dan ini merupakan faktor sentral. Artinya kalau mau mendirikan Muhammadiyah maka harus dimulai dari orangnya sendiri. Lahirnya Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan K.H. Ahmad Dahlan, tokoh kontroversial pada zamannya. Dengan pemahaman agama Islam yang mendalam, maka semua ilmu agama yang selama ini diperoleh baik di Indonesia maupun di Mekkah, maka beliau menyebarkan ilmunya itu melalui persyarikatan Muhammadiyah yang didirikannyan itu. Paham dan keyakinan agama K.H. Ahmad Dahlan yang dilengkapi dengan penghayatan dan pengamalan agamanya, inilah yang membentuk K.H. Ahmad Dahlan sebagai subjek yang mendirikan amal jariah Muhammadiyah. 2. Faktor Objektif Faktor objektif yang dimaksud adalah keadaan dan kenyataan yang berkembang saat itu. Apa yang ada dalam pikiran K.H. Ahmad Dahlan merupakan kesadarannya, dinyatakan, disulut dengan api yang ada di dalam masyarakat. Faktor objektif ini dibagi dalam dua bagian yakni internal umat Islam, dan eksternal umat Islam. Faktor internal di kalangan umat Islam adalah kenyataan bahwa ajaran agama Islam yang masuk ke Indonesia, kemudian menjadi agama umat Islam, ternyata sebagai akibat perkembangan agama Islam pada umumnya, sudah tidak utuh dan tidak murni lagi. Tidak murni artinya tidak diambil dari sumber yang sebenarnya. Hanya bagian-bagian tertentu yang difahami, dipelajari, kemudian diamalkan. Kalau ajaran sudah tidak murni, tidak diambil dari 27 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, h. 123-124 28 Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Muhammadiyah, Sejarah Pemikiran dan Amal Usaha, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang dan PT Tiara Wacana Yogya, 1994, h. 4-9 55 sumbernya yang asli, sudah dicampur dengan ajaran-ajaran yang lain, maka ketika Islam dipahami dan dilaksanakan seperti itu, maka sudah tidak tidak bisa memberikan manfaat yang dijanjikan oleh Islam terhadap pemeluknya. Faktor objektif yang seperti itulah, K.H. Ahmad Dahlan segera mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah untuk dijadikan sarana memperbaiki agama dan umat Islam Indonesia. a. Faktor Objektif Eksternal Pemerintah Hindia Belanda merupakan keadaan objektif ekstern umat Islam pertama yang melatar belakangi berdirinya persyarikatan Muhammadiyah. Pemerintah Hindia Belanda memegang kekuasaan yang menentukan segala- galanya. Agama pemerintah Belanda menurut resminya adalah Protestan, dengan demikian sudah tidak menghendaki agama Islam. Demi kelangsungan kekuasaannya di Indonesia, pemerintah penjajah Hindia Belanda berpendirian bahwa ajaran agama Islam yang utuh dan murni tidak boleh hidup dan tidak boleh berkembang di tanah jajahan. Maka ajaran agama Islam yang tidak utuh dan tidak murni itulah yang dikehendaki pemerintah Hindia Belanda. Belanda mempunyai keyakinan, kalau umat Islam di tanah jajahan bisa memahami Islam yang sebenarnya, meyakini agama Islam berdasarkan pahamnya yang benar, kemudian bisa melaksanakan ajaran Islam yang benar, maka pemerintah penjajah Belanda tidak akan bisa bertahan. Usaha mereka adalah menjauhkan umat Islam dari Al- Qur’an, menjauhkan dari As-Sunnah,, menjauhkan dari kesanggupan memahami Islam yang sebenarnya dan mampu menggunakan akal pikiran serta akal budinya untuk memahami Islam. b. Faktor Objektif di luar Umat Islam lainnya Dari angkatan muda antek-antek Belanda yang sudah mendapat pendidikan Barat, lalu mengadakan gerakan-gerakan untuk memusuhi apa yang menjadi maksud gerakan Muhammadiyah. c. Faktor lainnya 56 Gerakan-gerakan kristenisasi pada waktu itu sangatlah marak, salah satu contohnya adalah Kaum nasrani pada waktu itu mendapatkan bantuan dari pemerintah Belanda untuk mengadakan kegiatan-kegiatan atau melakukan tindakan-tindakan yang pada tujuan akhirnya sangat tidak sefaham dan bahkan menentang gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Setelah mengetahui latar belakang didirikannya, maka selanjutnya akan disampaikan maksud dan tujuan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Adapun maksud dan tujuannya yang dibawa oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam pendirian Persyarikan Muhammadiyah adalah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar- benarnya. Usaha untuk mencapai maksud dan tujuan ini adalah dengan: 1. Mengadakan dakwah Islam. 2. Memajukan pendidikan dan pengajaran. 3. Menghidup suburkan masyarakat tolong menolong. 4. Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf. 5. Mendidik dan mengasuh anak-anak dan pemuda-pemuda, supaya kelak menjadi orang orang Islam yang berarti. 6. Berusaha dengan segala kebijkasanaan, supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat. 7. Berusaha kearah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam. 29 Amal usaha di ataslah yang menjadi ciri khas bagi Persyarikatan Muhammadiyah. Dimana jika disimpulkan, dakwah dan pendidikan yang menjadi sentral amal dan usaha yang dilaksanakan sampai detik ini. Karena amal dan usaha tersebut memang sesuai dengan apa yang dibawa oleh K.H. Ahmad Dahlan. Menurut beliau pendidikan yang akan dikembangkan adalah pendidikan modern yang tidak melupakan nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam Al- Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Oleh karena itu, pendidikan dalam Persyarikatan Muhammadiyah sangat mementingkan pendidikan dan pengajaran yang 29 H. Suja, Muhammadiyah dan Pendirinya, Yogyakarta: Majelis Pustaka, 1989, h. 46- 48 57 berdasarkan Islam, baik pendidikan di sekolahmadrasah ataupun pendidikan dalam masyarakat. Oleh sebab itu tidak heran, bila Muhammadiyah sejak mulai berdirinya membangun sekolah-sekolahmadrasah-madrasah dan mengadakan tabligh-tabligh, bahkan menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah yang berdasarkan Islam. Dengan melakukan hal-hal yang sudah pernah dilakukan K.H. Ahmad Dahlan seperti yang telah disebutkan di atas, maka dengan sendirinya pendidikan Islam akan mengalami kejayaan seperti pada masa lalu. Sehingga pendidikan Islam kembali diminati oleh masyarakat karena dipercaya akan mampu mengantarkan perserta didik sesuai dengan harapan mereka, yakni memiliki keluasan ilmu dan kematangan professional yang siap tampil mengisi kekosongan-kekosongan yang selama ini menjadi kebutuhan masyarakat. 62 BAB IV HASIL PENELITIAN ANALISA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT KH. AHMAD DAHLAN

A. Periode Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia.

Pembaharuan Pendidikan Islam tidak terlepas dari adanya pembaharuan pemikiran dalam Islam. Pembaharuan pemikiran dalam Islam di mulai sejak adanya kontak dengan dunia Barat, di mana Barat pada saat itu sedang mengalami kemajuan disegala bidang. Berbeda halnya pada periode klasik, dimana umat Islam maju Barat ada dalam kegelapan 1 Adanya kontak dengan dunia Barat membuka mata para ahli pikir Islam, bahwa umat Islam selama ini dalam keadaan lemah dan terbelakang. Maka timbulah usaha pembaharuan atau modernisasi dalam Islam tidak terkecuali dalam bidang pendidikan, para pemuka Islam mengeluarkan pemikirannya dengan berbagai cara agar umat Islam maju, sebagaimana yang dialami pada periode klasik. Menurut Mahmud Yunus, pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia terbagi tiga fase, yaitu fase pertama dari tahun 1900-1915, fase kedua dari tahun 1915-1930 dan fase ketiga dari tahun1931-1940. 2 Pembagian fase ini tidaklah berdasarkan standar mutlak, karena Mahmud Yunus tidak memberikan keterangan yang jelas bagaimana dengan fase selanjutnya juga tidak dijelaskan.

1. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Fase Pertama 1900- 1915

Banyak para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di luar negeri seperti Makkah, Madinah dan juga Mesir, sekembalinya mereka ke tanah air dengan membawa segudang ilmu dan ide-ide baru kemudian mereka mendirikan pesantren baru sebagai tempat studi ilmu-ilmu agama untk mentarnsfer ilmu-ilmu 1 Harun Nasution, Islam di tinjau dari Berbagai Aspeknya Jakarta: UI Press, 1986, h.89 2 Mahmud Yunus, Pengantar Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1982, h. 26 62 63 yang mereka peroleh kepada santrinya. Diantara mereka adalah KH. Hasyim Asy’ary yang mendirikan pesantren Tebuireng pada tahun 1899 M di Jombang Jawa Timur. 3 Di Sumatera Syekh HM Thaib Umar mendirikan Pesantren tahun 1897 M, Syekh H. Djamil Djambek tahun 1903, Syekh H. Abbas Abdullah tahun 1904, dan Syekh H. Ibrahim Musa tahun 1910 M, mereka masing-masing mendirikan surau atau pesantren sebagai tempat studi ilmu-ilmu agam di Sumatera Barat. 4 S ementara itu itu di Jakarta di dirikan pula perkumpulan Jami’at Khair pada tanggal 17 Juli 1905 oleh Syekh Sayid Muhammad al-Fachir bin Abdurrahman al-Masyur, Syekh Muhammad bin Abdullah bin Syihab, Sayid Idrus bin Ahmad bin Syihab, dan Sayid Sjehan bin Syihab. 5 Kemudian di Yogyakarta K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi sosila keagamaan Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 M atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen. 6 Sistem pendidikan pada saat itu masih sangat tradisional, belum mengenal sistem kelas dan ijazah, lama pendidikannya pun tergantung kecerdasan dan ketekunannya. Tempat pendidikan masih dilaksanakan di surau-surau atau masjid atau pondok-pondok pesantren, belum terbentuk suatu lembaga pendidikan seperti sekolah atau madarasah yang permanen sebagai lembaga pendidikan Islam formal.

2. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Fase Kedua 1915- 1930

Pada masa ini pendidikan Islam sudah mengenal sistem kelas, baik disurau-surau maupun di pesantren. Pendidikan Islam yang semula dilaksanakan dengan sistem tradisional yang tidak mengenal kelas-kelas, tidak pula memakai bangku, meja atau papan tulis. Para murid atau santri hanya duduk sila di atas 3 Ibid, h. 235 4 Ibid, h. 27 5 Deliar Noer, Gerakan Modern dalam Islam di Indonesia: 1900-1942 Jakarta: LP3ES, h. 68 6 Zuhairini, h. 171 64 lantai mendengarkan pelajaran yang disampaikan oleh gurunya. Kemudian lambat laun sedikit demi sedikit mulailah ada perubahan, pendidikan dilaksanakan dengan sistem berkelas yaitu kelas rendah, menengah dan tinggi. 7 Pendidikan Islam yang mula-mula memakai sistem kelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis adalah Sekolah Adabiyah Adabiyah School di Padang dan ini merupakan sekolah pertama di Indonesia yang di dirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. 8 Pada tahun 1915 sekolah ini menerima subsidi dari pemerintah dan berganti nama menjadi Hollandsch Maleissche School Adabiyah dan kepala sekolahnya adalah orang Belanda. 9 Dengan digantinya sekolah tersebut secara tidak langsung merubah orientasi dan misinya , sehingga semangat pembaharuan yang semula bertumpu pada sekolah ini menjadi hilang. 10 Sejak tahun 1915 M tersebarlah madrasah-madrasah pada beberapa kota dan desa di SumateraBarat pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Hampir disetiap desa ada madrasah di samping pesantren. Di Majalengka Jawa Barat Pesatuan Umat Islam PUI di bawah Pimpinan K.H. Abdul Halim mendirikan madrasah Ibtidaiyah yang pertama pada tahun 1917 M. Kemudian di ikuti oleh bermunculnya madrasah-madarasah di Jawa Barat yang banyak mengeluarkan guru-guru agama yang tersebar di seluruh Jawa Barat. 11 Kemudian di Yogyakarta Muhammadiyah mendirikan Madrasah Mualimin, yang semula nama nya Madrasah Muhammadiyah, kemudian di ubah menjadi Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah, sampai sekarang. Lama belajarnya 5 tahun dari kelas satu sampai kelas lima. Demikianlah beberapa madrasah yang didirikan sekitar tahun 1915 sebagai awal pembaharuan pendidikan Islam dalam lembaga pendidikan formal. 7 Deliar Noer, Op. Cit, h. 53 8 Mahmud Yunus, Op.Cit, h. 33 9 Deliar Noer, Op. Cit, h. 52 10 Deliar Noer, Loc. Cit, 11 Mahmud Yunus, Op.Cit, h. 34 65 Di samping bermunculan madrasah-madrasah dan pesantren berdiri pula lembaga dakwah Islamiyah dipelopori oleh Syekh M Jamil Jambek dan di Jawa Tengah dakwah Islamiyah disemangati oleh K.H. Ahmad Dahlan sebagai bapak Mubaligh Islam Jawa Tengah. 12

3. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Fase Ketiga 1931- 1942

Pada fase ini pelajar-pelajar dan guru-guru agama di Indonesia yang belajar di Mekkah sambil menunaikan ibadah haji, mereka melanjutkan studinya untuk menambah wawasan ke Mesir Kairo, selain mempelajari bahasa Arab mempelajari pula ilmu pengetahuan umum. Sekembalinya mereka ke Indonesia, mereka masukan pengetahuan umum itu ke sekolah-sekolah agama. Pelajar-pelajar yang semula hanya belajar ilmu-ilmu agama sekarang sudah dapat menambah pelajarannya dengan mempelajari pengetahuan umum dan ilmu pendidikan. Pada masa ini perguruan tinggi Islam yang pertama adalah Sekolah Islam Tinggi yang di dirikan oleh PGAI Persatuan Guru Agama Islam di Padang. Di Pimpin oleh Mahmud Yunus. Sekolah ini resmi pada tanggal sembilan Desember 1940 dengan memiliki dua fakultas yaitu, Fakultas Syariah dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab. 13 Sekolah tinggi Islam ini berjalan sampai tahun 1942, namun ketika tentara Jepang masuk ke kota Padang dan menjajah Indonesia maka Sekolah Tinggi Islam ini di tutup dan hal ini terjadi pula ditempat lain diseluruh wilayah Indonesia. 14 Demikianlah usaha-usaha para pemuda, pelajar dan cendikiawan Islam dalam membangun dan mengembangkan pendidikan Islam, di mulai dari sistem belajar tradisional sistem wetonan yang hanya duduk bersila, sampai mengembangkan Madrasah Modern hingga Perguruan Tinggi Islam. 12 Mahmud Yunus, Op.Cit, h. 235 13 Ibid, h. 39 14 Ibid, h. 40 66

B. Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut K.H. Ahmad Dahlan

Menurut K.H. Ahmad Dahlan, Pendidikan adalah upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pola pemikiran yang dinamis. 15 Dari definisi tersebut nampak jelas pola berfikir K.H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam, bahwa harapannya dengan menjadikan pendidikan sebagai upaya strategis atau sarana untuk merubah fola pikir masyarakat pada waktu itu yang terkekang oleh penjajahan Belanda dan Jepang. Karena hanya dengan mampu berfikir kritis dan dinamislah masyarakat Indonesia bisa keluar dari pembodohan yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang. Oleh karena itu, tidak menjadi sebuah keheranan jikalau mendengar bahwa beliau adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam pendidikan Islam di Indonesia. Mengenai definisi pendidikan Islam dalam pandangan K.H. Ahmad Dahlan yaitu penyelamatan umat Islam dari kestatisan berfikir. Kalimat tersebut sangat identik dengan slogan”pembaharuan” yang di bawa oleh K.H. Ahmad Dahlan. Kestatisan berfikir akan mengakibatkan produktivitas manusia akan berkurang, bahkan mungkin akan tidak mampu lagi untuk memproduksi baik dalam bentuk ide-ide atau gagasan sampai pada perbuatan dalam keseharian. Ketika manusia tidak lagi mampu untuk berfikir dan berbuat, maka yang terjadi adalah manusia akan menjadi obyek penindasan-penindasan oleh orang-orang yang tidak dapat menggunakan pengetahuannya pada jalan yang sebenarnya. Oleh karena itu, dengan semangat pembaharuan yang dibawah oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan Islam. Pendidikan dijadikan sebagai alat yang mampu memberikan kesadaran pada umat Islam, bahwa betapa pentingnya pendidikan Islam dalam rangka menyelamatkan umat Islam dari keterpurukan. Dan dengan pendidikan yang proses pembelajarannya berjalan dengan baik, maka akan terlahir peserta didik yang akan mampu berfikir dinamis dan sistematis sebagai jawaban dari tantangan globalisasi saat ini. Dualisme pendidikan yang diselenggarakan masing-masing oleh pemerintah kolonial Belanda sistem pendidikan Barat dan oleh umat Islam Indonesia sistem pendidikan pesantren dengan landasan filosofis dan pangkal 15 H. Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat Press, 2002, h. 100 67 tolak dasar pemikiran yang berbeda jelas mengandung kelemahan disamping kelebihan masing-masing. Akibat yang ditimbulkan oleh dualisme pendidikan ini terhadap kehidupan bangsa ialah munculnya konfrontasi yang berkepanjangan dalam tata kehidupan, cara berfikir dan kebudayaan masyarakat yang dihasilkan oleh masing-masing sistem itu. Dengan melihat kedua fenomena di atas K.H. Ahmad Dahlan berusaha menggabungkan kedua sistem pendidikan tersebut sehingga melahirkan anak didik yang berkepribadian utuh, berakhlak mulia dan berguna bagi masyarakat. Kesemuanya itu tercermin dalam cita-cita pendidikan yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan, yaitu terbentuknya manusia muslim yang baik alim dalam ilmu-ilmu agama, luas pandangan alim dalam ilmu-ilmu duniaumum bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya 16 . Dalam penyelenggaraan pendidikan Islam oleh K.H Ahmad Dahlan sudah mulai diperkenalkan sarana fisik dan sistem organisasi administrasi yang berbeda dengan penyelenggara pendidikan sebelumnya yang di modifikasi dari sistem pendidikan Barat. Selain itu juga di ilhami oleh penyelenggaraan madrasah. Di sekolah dan madrasah yang dikembangkan oleh K.H Ahmad Dahlan sudah digunakan sarana fisik, bangku, meja dan papan tulis disamping administrasi dan organisasi yang lebih tertib sebagaimana yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pemerintah. Murid tidak duduk dilantai seperti kebiasaan di pesantren. Demikian pula penjenjangan waktu belajar, bimbingan siswa di luar jam pelajaran dan penilaian dengan ulangan atau ujian dan dilaksanakan secara periodik kepada murid yang telah menamatkan pendidikan diberikan ijazah atau diploma 17 . Sebagai proyek percontohan madrasah model ini ialah Pondok Muhammadiyah yang dikembangkan pada tahun 1920 oleh K.H Ahmad Dahlan sendiri di Yogyakarta. Pondok ini merupakan perguruan tingkat menengah yang pertama kali di kota itu yang memberikan ilmu umum dan agama bersama-sama. 16 Amir Hamzah WS, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam yang diselenggarakan Oleh Muhamadiyah Yogyakarta: Penyelenggara Publikasi Pembaharuan PendidikanPengajaran Islam, 1962. h. 69 17 Ibid, h. 67 68 Demikian pula organisasi sekolah dan tata cara penyelenggaraannya di atur secara modern yang belum pernah dilakukan oleh perguruan-perguruan agama sebelumnya. Untuk memahami lebih jauh penyelenggaraan pendidikan di madrasah tersebut berikut ini dikemukakan perbandingan dengan penyelenggaraan pondok pesantren antara lain: 1. Cara mengajar dan Belajar, Di pondok pesantren lama masih di pakai cara belajar dengan sistem sorogan dan weton, tetapi di pondok Muhammadiyah dipergunakan sistem klasikal dengan memakai cara-cara Barat. 2. Bahan pelajaran di pondok pesantren lama semata-mata hanya bahan pelajaran agama. Kitab karangan pembaharu belum dipakai; di pondok Muhammadiyah, bahan pelajaran yang di pakai tidak hanya bahan pelajaran agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum. Kitab-kitab agama dipergunakan secara luas baik ulama lama maupun ulama baru. 3. Rencana pelajaran. Di pondok pesantren lama belum memiliki rencana pelajaran yang teratur dan integral, sedang di pondok Muhammadiyah sudah teratur dengan rencana kurikulum sehingga efisiensi belajar lebih terjamin. 4. Pendidikan diluar waktu belajar. Di pondok pesantren lama, pendidikan di luar waktu belajar kurang mendapat perhatian. Di pondok Muhammadiyah pendidikan di luar waktu belajar diselenggarakan di dalam asrama dan dipimpin secara teratur. 5. Pengasuhan dan guru Di pondok Pesantren lama, para pengasuh terdiri dari para guru yang berpengetahuan saja, tetapi di pondok Muhammadiyah pengasuh terdiri dari para ahli agama dan guru-guru ilmu pengetahuan umum. Di pondok Muhammadiyah yang mengasuh ilmu agama seperti KH. Hajid, KH. Ibrahim, KH. Hanad dan KH. Ahmad Dahlan sendiri, sedang dalam ilmu pengetahuan umum mereka itu diantaranya ialah R. Ng Djojosugito sejarah, Sosrosugondo bahasa Melayu, Darmowinto menggambar dan Pringgonoto bahasa Inggris.