Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Narkotika

dilakukan berdasarkan suka sama suka tidak ada paksaan, tetapi dalam perspektif nilai-nilai masyarakat, perbuatan tersebut tetap dianggap sebagai perbuatan tercela. Perbuatan yang dilakukan oleh Shan Thie dan Shan Thaw dianggap sebagai perbuatan yang merusak tata nilai dan susila masyarakat. Perbuatan mereka dapat dikatakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.

B. Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Narkotika

1. Kesalahan Schuld dalam Hukum Pidana Pembahasan masalah kesalahan schuld dalam hukum pidana merupakan pembahasan yang sangat urgen mengingat, kesalahan merupakan “dasar” penjatuhan pidana bagi orang yang melakukan tindak pidana. Masalah “kesalahan” dipertimbangkan sebagai dasar untuk penjatuhan pidana yang berawal dari berkembangnya arah studi hukum pidana yang tidak hanya berorientasi pada persoalan “perbuatan orang” daad strafrecht, tetapi juga berorientasi pada persoalan “orang” atau “pelaku tindak pidana” dader strafrecht. Pergeseran orientasi hukum pidana dari hukum pidana yang hanya berorientasi pada “perbuatan” pidana ke arah hukum pidana yang berorientasi pada ‘orang” yang melakukan perbuatan pidana, merupakan titik awal masuknya “kesalahan” sebagai dasar pertimbangan dalam penjatuhan pidana yang sampai sekarang tetap dianut. 133 istri dan dipandang sebagai melanggar hak suaminya. Hukum Islam pun menganggap yang melakukan zina itu hanya kaum istri, karena kaum laki-laki diperbolehkan kawin lebih dari seorang perempuan poligami. 133 Tongat, Op. Cit. hlm. 219. Universitas Sumatera Utara Lahirnya konsepsi baru ini dalam hukum pidana modern, maka seseorang yang dipidana tidaklah hanya cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang bersifat melawan hukum perbuatantindak pidana. Apabila seseorang melakukan perbuatan dimana perbuatannya tersebut memenuhi rumusan tindak pidana delik dalam undang- undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belumlah memenuhi syarat untuk dijatuhkannya pidana kepada orang itu. Orang yang melakukan tindak pidana itu dapat dijatuhi pidana, maka dalam pengertian dimintai pertanggungjawaban pidananya, masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana itu mempunyai “kesalahan” atau “bersalah”. Dengan kata lain, orang yang melakukan perbuatan pidana itu harus dapat dipertanggungjawaban atas perbuatannya. Dengan logika yang demikian, maka sekalipun seseorang telah melakukan tindak pidana, kepadanya tidak dapat dijatuhi pidana apabila kemudian ternyata, bahwa orang melakukan perbuatan pidana tersebut adalah orang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. 134 Hukum pidana berlaku apa yang kemudian lazim disebut sebagai asas kesalahan asas culpabilitas yang menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”. Bahasa Belanda asas ini dirumuskan dengan rumusan : “Geen starf zonder schuld” atau ”nulla poena sine culpa”. Negara-negara Anglo Saxon asas ini nampak dengan adanya maxim : “Actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau lazim disebut dengan asas “mens rea”. Asas tiada pidana tanpa kesalahan mempunyai arti bahwa untuk dapatnya diminta pertanggungjawaban pidana, yaitu 134 Ibid. hlm. 220. Universitas Sumatera Utara dengan penjatuhan pidana, haruslah dapat dibuktikan, bahwa dalam diri seseorang yang telah melakukan tindak pidana itu ada “kesalahan”. Orang yang dalam dirinya tidak ada kesalahan, maka orang yang telah melakukan tindak pidana itu tidak dapat dijatuhi pidana. Dengan kata lain, orang itu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. 135 Perkembangan hukum pidana yang terjadi di beberapa negara Anglo Saxon mengenal asasprinsip “pidana tanpa kesalahan” strict liability. Prinsip strict liability merupakan bentuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang tidak membutuhkan adanya kesalahan. Prinsip ini menyatakan untuk penjatuhan pidana tidak diperlukan adanya kesalahan, cukup apabila perbuatan pidananya atau akibatnya telah terjadi. Prinsip ini biasanya diberlakukan pada beberapa jenis tindak pidana tertentu misalnya pada jenis tidak pidana yang tidak terlalu berat atau pada tindak pidana yang menggangu ketertibankepentingan umum. 136 KUHP yang berlaku sekarang tidak memuat secara tertulis asas tiada pidana kesalahan. Berlakunya asas ini hanya didasarkan pada hukum yang tidak tertulis, yaitu nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sekalipun asas kesalahan ini tidak dirumuskan secara tertulis dalam undang-undang, tetapi berlakunya asas kesalahan dalam hukum pidana ini telah menjadi pandangan universal yang diakui masyarakat di belahan manapun. Konsep rancangan KUHP baru tahun 2008, asas kesalahan asas culpabilitas akan dirumuskan secara eksplisit, yaitu 135 Ibid. 136 Ibid. hlm. 221. Universitas Sumatera Utara dalam Pasal 37 yang menyatakan, ”tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana tanpa kesalahan”. 137 Asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam hukum pidana lazimnya dipakai dalam arti tiada pidana tanpa kesalahan subjektif atau kesalahan tanpa dapat dicela. Hukum pidana juga, orang tidak dapat berbicara tentang kesalahan tanpa adanya perbuatan yang tidak patut, karena itu asas kesalahan diartikan sebagai tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut yang objektif yang dapat dicelakan pada pelaku. Asas kesalahan ini adalah merupakan asas yang fundanmental dalam hukum pidana demikian fundamentalnya sehingga meresap dan mengema dalam hampir semua ajaran dalam hukum pidana. 138 Simons menyatakan kesalahan adalah keadaan batin psychis yang tertentu dari si pembuat dan hubungan antara keadaan batin dari si pembuat tersebut dengan perbuatannya yang demikian rupa, sehingga si pembuat dapat dipertanggunjawabkan atas perbuatannya. Sedangkan Van Hamel menyatakan kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis, berhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum. Karni, menggunakan istilah “salah dosa” untuk menyebut istilah “kesalahan” mengatakan, bahwa pengertian salah dosa mengandung celaan. Celaan ini menjadi tanggung jawab terhadap hukum pidana, Selanjutnya dikatakan, bahwa jika perbuatan dapat dan patut dipertanggungjawabkan atas si pembuat, si pembuat harus boleh dicela karena perbuatan itu, pebuatan itu mengandung 137 Ibid. 138 D. Scraffmeister, N. Keijzer, E. Ph. Sutorios Editor penerjemahan: J.E. Sahetapy, 1995, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, hlm. 82. Universitas Sumatera Utara perlawanan hak, perbuatan itu harus dilakukan baik dengan sengaja maupun dengan lalai. 139 Kesalahan schuld adalah unsur mengenai keadaan atau gambar batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan. Kesalahan ini selalu melekat pada diri pelaku pelaku dan bersifat subjektif. Kesalahan berbeda dengan unsur melawan hukum yang dapat bersifat objektif dan dapat bersifat subjektif, bergantung pada reaksi rumusan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak pidana tersebut. Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum dengan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsur tadi dengan keadaan batin pembuatnya inilah, pertanggungjawaban dapat dibebankan pada orang itu. 140 Unsur-unsur yang terdapat dalam kesalahan oleh para ahli hukum antara lain: 141 1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti si pelaku dalam keadaan sehat dan normal; 2. Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, baik yang disengaja dolus maupun karena kealpaan culpa; 3. Tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan. 139 Teguh Praseyto, Op. Cit., hlm. 79. 140 Adami Chazawi, Op Cit. hlm. 91. 141 Bambang Poernomo, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 137. Universitas Sumatera Utara Roeslan Saleh menyatakan dalam bukunya “Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana” bahwa tiga unsur kesalahan itu tidak dapat dipisah- pisahkan, yang satu tergantung pada yang lain berturut-turut. 142 2. Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana Prinsip pertanggungjawaban sebagaimana telah disinggung di atas bahwa pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan asas culpabilitas yang secara tegas menyatakan bahwa tiada pidana tanpa kesalahan yang berarti seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana karena telah melakukan perbuatan melawan hukum apabila dalam diri orang itu terdapat “kesalahan”. Seseorang yang dalam dirinya tidak ada “kesalahan”, maka terhadap orang itu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. 143 Menurut Simons, 144 “kemampuan bertanggung jawab” dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis demikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum maupun dari orangnya. Menurut Simons, 145 seseorang dianggap “mampu” bertanggung jawab, apabila jiwanya “sehat” yaitu apabila: 1. Dia mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum. 2. Dia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut. 142 Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 79. 143 Tongat, Op. Cit., hlm. 225. 144 Bambang Poernomo, Op. Cit., 144. 145 Ibid. Universitas Sumatera Utara Menurut Van Hamel, “kemampuan bertanggung jawab” adalah suatu keadaan normal dan suatu kedewasaan secara psikis yang membuat seseorang itu mempunyai tiga macam kemampuan, yaitu: 146 1. Mampu untuk mengerti akan maksud yang sebenarnya dari apa yang ia lakukan; 2. Mampu untuk menyadari, bahwa tindakannya itu dapat atau tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat; 3. Mampu untuk menentukan kehendak terhadap apa yang ingin ia lakukan. Menurut Satochid Kartanegara, 147 untuk adanya kemampuan bertangggung jawab pada seseorang diperlukan adanya tiga syarat, yaitu: 1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga ia dapat mengerti atau tahu akan nilai dari perbuatannya itu, sehingga dapat juga mengerti mengerti akibat perbuatannya; 2. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukannya itu; 3. Orang itu harus sadar, insaf, bahwa perbuatan yang dilakukannya itu adalah perbuatan yang terlarang atau tidak dapat dibenarkan, baik dari sudut hukum, masyarakat, maupun dari sudut tata susila. Menurut Satochid Kartanegara, 148 tiga syarat untuk adanya kemampuan bertanggung jawab tersebut di atas harus terpenuhi untuk adanya kemampuan bertanggung jawab pada seseorang. Tiga syarat yang ada di atas oleh Satochid 146 Ibid. 147 Tongat, Op. Cit., hlm. 228. 148 Ibid. Universitas Sumatera Utara kartanegara, maka tidak dapat diharapkan dari seseorang anak yang masih sangat muda anak-anak yang berumur delapan tahun ke bawah untuk mengerti nilai perbuatannya. Seorang anak yang masih sangat muda tidak diharapkan untuk mengerti akan nilai dari akibat perbuatannya. Seseorang yang menderita sakit jiwa atau orang gila juga tidak diharapkan untuk dapat mengerti untuk mengerti akan nilai perbuatan dan nilai akibat perbuatannya. Suatu pertanggungjawaban pidana tidak terlepas dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Seseorang tidak akan mungkin dimintai pertanggungjawaban pidananya apabila tidak melakukan perbuatan pidana. Sue Titus Reid mengemukakan gambaran lebih rinci mengenai elemen pertanggungjawaban pidana elements of criminal liability bahwa untuk adanya suatu pertanggungjawaban dalam hukum pidana, maka terlebih dahulu harus memenuhi unsur-unsur, yaitu melakukan perbuatan pidana, baik perbuatan aktif maupun tidak aktif, adanya kesalahan, dalam situasi tertentu, menyebabkan kerugian pada orang lain. 149 Pandangan ahli hukum mengenai perbuatan pidana dan pertanggung- jawaban pidana terbagi dalam dua macam yakni, pandangan hukum monistis dan pandangan hukum dualistis. Pandangan monistismonisme adalah pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan pidana dengan unsur- unsur mengenai diri orangnya kemampuan bertanggung jawab. Pandangan ini banyak dianut oleh ahli hukum seperti Simons, Van Hamel, Vos, J.E. Jonkers, Wirjono Prodjodikoro, dan lain-lain. Sedangkan Pandangan dualistisdualisme 149 Teguh Prasetyo, Op. Cit., hlm. 88. Universitas Sumatera Utara adalah pandangan yang memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan pidana dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya kemampuan bertanggung jawab. Para ahli hukum yang menganut paham dualisme adalah Pompe, R. Tresna, Roeslan Saleh, A.Z. Abidin, dan lain-lain. 150 Pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana diperlukan beberapa syarat yakni: 1. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan; 2. Adanya pembuat yang mampu bertanggung jawab; 3. Tidak ada alasan pemaaf; 4. Tidak ada alasan pembenar. Pasal 44 ayat 1 KUHP merumuskan: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak pidana”. Menurut pasal tersebut, maka hal tidak mampu bertanggung jawab adalah karena hal-hal tertentu, yaitu jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, dan sebagai akibatnya, ia tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Ada dua hal yang perlu diperlukan, yaitu: 151  Menentukan bagaimana keadaan jiwa si pelaku, hal ini selayaknya ditetapkan oleh seorang ahli, dalam hal ini seorang psikiater, jadi ditetapkan secara deskritif 150 Ibid. 151 Ibid. hlm. 89. Universitas Sumatera Utara  Menentukan hubungan sebab-akibat antara keadaan jiwa tersebut dengan perbuatannya, penentuan ini oleh seorang hakim, jadi secara normatif. Praktik yang terjadi dalam pengadilan terhadap pasal 44 ayat1 KUHP dilaksanakan demikian rupa, yaitu pertama-tama seorang ahli diminta untuk menentukan apakah benar orang yang melakukan tindak pidana itu keadaan jiwanya tidak tumbuh dengan sempurna atau mendapat gangguan penyakit, jadi secara deskritif. Hakim menentukan apakah orang tersebut berdasar atas hal-hal tertentu dan dikaitkan dengan hubungan sebab-akibat dapat dipertanggungjawabkan, jadi secara normatif. Keterangan ahli yang deskritif tersebut hanya merupakan nasihat belaka, dan hakim tidak terikat untuk harus menggunakannya, walaupun dalam praktik biasanya hakim juga memperhatikan hal ini. 152 3. Kesengajaan Dolus dan Kelalaian Culpa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Crimineel Wetboek Tahun 1809 dicantumkan: “Sengaja adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”. Memore van Toelichting MvT menteri Kehakiman sewaktu pengajuan Criminiel Wetboek 1881 yang menjadi Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Indonesia Tahun 1915,dijelaskan: “Sengajakesengajaan atau willens en watens” diartikan: “dengan sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”. 153 152 Ibid. hlm. 90 153 P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Adiyta Bakti, Bandung, hlm. 280. Universitas Sumatera Utara Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. 154 Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B; A adalah “sengaja” apabila A benar-benar menghendaki kematian B. Sedangkan teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat membayangkan atau menggambarkan adanya suatu akibat. “Sengaja” adalah apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si pembuat, ialah apa yang terjadi pada waktu ia berbuat. 155 Moeljatno lebih cenderung pada teori pengetahuan atau membayangkan. Moeljatno beralasan adalah karena dalm kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan gambaran tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu juga dikehendaki olehnya. Lagi pula kehendak adalah arah, maksud atau tujuan perbuatannya. Konsekuensinya ialah, bahwa untuk 154 Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Jakarta, hlm. 103. 155 A.Z. Abidin Farid, Op.Cit. hlm. 284. Universitas Sumatera Utara menentukan suatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa maka: 1. Harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motif untuk berbuat dan bertujuan yang hendak dicapai; 2. Antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa. 156 Ilmu hukum pidana pada umumnya membedakan tiga macam kesengajaan, yaitu: 157 1. Kesengajaan sebagai maksud opzet als oogmerk adalah bermakna bahwa si pelaku benar-benar menghendaki melakukan perbuatan tersebut untuk mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana; 2. Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian opzet bij zekerheidsbewustzijn adalah kesengajaan bahwa pelaku dengan perbuatannya itu tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik tetapi si pelaku tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu, kalau hal itu terjadi; 3. Kesengajaan sebagai kemungkinan opzet bij mogelijkheidsbewustzjin adalah bahwa pelaku memandang akibat dari apa yang dilakukannya tidak sebagai suatu hal yang niscaya terjadi, melainkan sekedar sebagai kemungkinan yang pasti. Kelalaian culpa dapat diartikan sebagai akibat kurang kehatian secara tidak sengaja sesuatu terjadi. Contonya Pasal 231 ayat 4 KUHP yang berbunyi: “Jika salah satu perbuatan dilakukan karena kealpaan penyimpan barang, ancaman 156 Moeljatno, Op. Cit., hlm. 172-173. 157 P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hlm. 309-314. Universitas Sumatera Utara pidananya adalah kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak seratus dua puluh rupiah”. 4. Alasan yang Menghapuskan Pidana Dasar penghapusan pidana yang dapat dipergunakan dalam hukum pidana menurut KUHP adalah sebagai berikut: 158 1. Menderita sakit jiwa Pasal 44; 2. Overmacht daya paksa Pasal 48; 3. Pembelaan diri karena terpaksa Pasal49; 4. Melaksanakan ketentuan undang-undang Pasal 50; 5. Melaksanakan perintah jabatan Pasal 51. Alasan yang menghapus pidana ini bersifat subjektif dan melekat pada diri si pembuat, khususnya sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat. Alasan yang menghapus pidana adalah alasan pemaaf dan pembenar. 5. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Perkembangan mengenai konsep korporasi sebagai subjek hukum pidana merupakan dampak dari besarnya peranan korporasi dalam segala bidang kehidupan seperti dalam pembangunan terutama dalam bidang ekonomi, perdagangan dan teknologi yang berlangsung di negeri ini. Perubahan demikian tidak hanya perubahan mengenai modal usaha yang dijalankan secara perorangan menjadi usaha bersama, tetapi juga perubahan orientasi nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perlaku masyarakat dalam menjalankan kegiatan usaha. Perkembangan dan perubahan di bidang kegiatan sosial ekonomi ditandai dengan adanya 158 Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 75. Universitas Sumatera Utara penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan dan membahayakan masyarakat, seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam, manipulasi pajak, pencucian uang, eksploitasi terhadap buruh, penipuan terhadap konsumen. 159 Konsep ”badan hukum” bermula dari konsep dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatannya yang diharapkan lebih berhasil. Badan hukum sebenarnya hanyalah sekedar ciptaan hukum , yaitu dengan menunjuk adanya suatu badan yang diberi status sebagia subjek hukum, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah natuurlijk persoon. Diciptakan suatu pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini sekedar suatu badan, namun badan ini dianggap dapat menjalankan tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu. Dan harta itu harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi- pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya. Jika dari perbuatan itu timbul kerugian, maka kerugian ini pun hanya dapat dipertanggungjawabakan semata- mata dengan harta kekayaan yang ada dalam badan yang bersangkutan. 160 Tahun 1984 terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia dimana terjadi bencana kimiawi akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicon Carbide India Limited, di Bhopal India. Tragedi tersebut dikarenakan akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan penghematan biaya yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, efek dari perusahaan dirasaka hingga 20 tahun. Tragedi ini merupakan peristiwa kecil yang dilakukan oleh korporasi di dunia. Di Indonesia mungkin peristiwa yang masih hangat yaitu peristiwa 159 Muladi dan Dwija Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 35. 160 Ibid. Universitas Sumatera Utara munculnya sumber lumpur di Sidoarjo yang diidentifikasi disebabkan oleh kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas. Akibat kejadian tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat terendam lumpur, dan juga industri-industri disekitar semburan lumpur yang harus ditutup akibat tidak berproduksi yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan pekerjaannya. 161 Pemikiran tentang kejahatan korporasi, banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan ahli hukum, khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin universitas delinguere non potest yaitu korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana , ini dipengaruhi pemikiran bahwa keberadaan korporasi dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum, sehingga tidak mempunyai nilai moral yang diisyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana unsur kesalahan. Padahal dalam suatu delik tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan mens rea selain adanya perbuatan actus reus. 162 Tindak pidana crime dapat diidentifikasi dengaan timbulnya kerugian, yang kemudian mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban atau criminal liability. Ini pada akhirnya mengundang perdebatan adalah bagaimana korporasi mempertanggungjawabkan atau corporate liability mengingat bahwa dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Indonesia yang dianggap sebagai subjek hukum pidana adalah orang perorangan dalam konotasi biologis yang alami 161 Pertanggungjawaban Korporasi, http:www.ensiklopedia indonesia.mnt,diakses terakhir tanggal 3 Juli 2012, hlm.1 162 Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya hhtp:www.google.com, diakses tanggal 3 Juli 2012. Universitas Sumatera Utara naturlijkee persoon. Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi ini dikenal adanya beberapa asas utama yang menjadi dasar teori atau falsafah pembenaran dalam dibebankannya pertanggungjawaban pidana pada korporasi yaitu Doktrin Strict Liability dan Doktrin Vicarious Liability. 163 Belanda ditetapkan bahwa badan hukum dalam hukum pidana dapat melakukan tindak pidana, oleh karena itu dapat dituntut dan dijatuhi hukuman, tetapi melalui tiga tahap tentang diakuinya badan hukum sebagai subjek hukum pidana: 164 1. Tahap Pertama Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan badan hukum dibatasi pada perorangan naturlijk persoon, sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam suatu lingkungan badan hukum maka suatu tindak pidana dianggap dilakukan oleh pengurus badan hukum tersebut. Dalam tahap ini berlaku asas “ Universitas delinguere non potest”yaitu badan hukum tidak dapat melakukan suatu tindak pidana. Pertanggungjawaban disini hanya berkaitan dengan kewajiban memelihara yang dilakukan oleh pengurus. 163 Ibid. Strict liability adalah merupakan pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan kesengajaan atau kelalaian pada pelakunya. Sering disebut dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Sedangkan vicarious liability adalah pertanggungjawaban hukum seseorang atas perbuatan dan kesalahan yang dilakukan oelh orang lain atau sering disebut dengan pertanggungjawaban pengganti. 164 Muladi dan Dwija Priyatno, Op. Cit. hlm. Hlm. 52-57. Universitas Sumatera Utara 2. Tahap Kedua Tahap ini bahwa suatu tidak pidana dapat dilakukan oleh badan hukum, tetapi tanggungjawab telah dibebankan kepada pengurus badan hukum tersebut. Perumusan khusus untuk badan hukum tersebut adalah apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh atau karena suatu badan hukum, tuntutan pidana dan hukuman pidana harus dijatuhkan pada pengurus. Jadi dalam hal ini orang bersikap bahwa seolah-olah badan hukum dapat melakukan tindak pidana tetap secara riel yang melakukan perbuatan adalah menusia sebagai wakil-wakilnya. 3. Tahap Ketiga Tahap ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung badan hukum, secara kumulatif badan hukum dapar dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana disamping mereka sebagai pemberi perintah mereka yang sebagai pemberi perintah atau pemberi pimpinan yang nyata telah berperan pada tindak pidana itu. Hal ini terjadi pertama kali untuk “Ondering Strafrecht” yaitu keputusan pengendalian harga dari tahu 1941, kemudian dalam “Wet op de Economische Delicten”Undang- Undang Tindak Pidana Eknomi Tahun 1950. Namun pembentukan Undang-Undang yang tersebar ini telah bertindak sejak ditetapkannya Hukum Pidana Umum Belanda pada tahun 1976 Di negara Indonesia, badan hukum dijadikan subjek hukum tertulis pidana mulai dikenal pada tahun 1951, yaitu terdapat pada Undang-Undang Universitas Sumatera Utara Penimbunan Barang-Barang, Undang-Undang No. 171951, yang sekarang tidak berlaku lagi berdasarka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 8 Tahun 1962, setelah itu dikenal lebih luas pada tahun 1955, yaitu dengan keluarnya Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang-Undang No. 7Drt1955, dan Undang-Undang Tindak Pidana Subversi, Undang-Undang No. 11PNPS1963. Dengan demikian mulai tahun 1955 maka dalam bidang- bidang tertentu di luar KUHPidana tindak pidana khusus badan hukum yang melakukan tindak pidana serta dijadikan subjek hukum pidana sudah dikenal dan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan oleh karena dapat dituntut dan dijatuhkan sanksi pidana. 165 Menurut Muladi pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan hal-hal berikut: 166 1. Atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu yang diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. 2. Atas dasar kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. 3. Untuk memberantas anomie of success sukses tanpa aturan. 4. Untuk perlindungan konsumen. 5. Untuk kemajuan teknologi. Subjek hukum yang bukan manusia dinamakan badan hukum legal person .Badan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum 165 Ibid. hlm. 58. 166 Ibid. Universitas Sumatera Utara yang bukan manusia, yang dapat menuntut dan dapat dituntut subjek hukum lain dimuka pengadilan. Ciri-ciri dari sebuah badan hukum adalah: 167 a. memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang menjalankan kegiatan badan-badan hukum tersebut; b. memiliki hak-hak dan kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang-orang yang menjalanan kegiatan badan hukum tersebut; c. memiliki tujuan tertentu; d. berkesinambungan memiliki kontinuitas dalam arti keberadaannya tidak terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajibannya tetap ada meskipun orang-orang yang menjalankannya berganti. Pengertian korporasi dalam hukum perdata dibatasi, sebagai badan hukum. Sedangkan apabila ditelaah lebih lanjut, pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas. Di Indonesia, perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana terjadi di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, dalam perundang undangan khusus. Sedangkan KUHP sendiri masih tetap menganut subjek tindak pidana berupa “orang” Pasal 59 KUHP. Sedangkan subjek tindak pidana korporasi, dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 13, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 19, yang saat ini sudah diganti dengan Undang- undang Nomor 35 tahun 2009 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, Pasal 1 167 Mochtar Kusumaatmadja dan B.Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Berlakunya Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Alumni, Bandung, hal. 80-81. Universitas Sumatera Utara angka 2 tentang Tindak Pidana Penucuciaan Uang, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 1 angka 1 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada intinya mengatakan :“ Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi dengan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum” 168 Andi Hamzah menyatakan bahwa bila korporasi menjadi subjek pidana, ancaman pidana yang dijatuhkan tentu bukanlah pidana penjara melainkan pidana denda atau ganti kerugian beserta pidana tambahan lainnya. Konsekuensi logis tentang keduduan korporasi sebagai badan hukum, membawa pengaruh terhadap tindak pidana yang dapat dilakukan terhadap beberapa pengecualian. Sehubungan dengan pengecualian tersebut, Barda Nawawi Arief menyatakan, walaupun pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yaitu: 169 1. Dilakukan perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misalnya bigami, perkosaan, sumpah palsu. 2. Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mengkin dikenakan kepada korporasi misal pidana penjara atau pidana mati. Kerugian-kerugian yang ditimbulkan kejahatan korporasi dapat bersifat fisik, ekonomi dan biaya sosial. Kecelakaan tenaga kerja merupakan salah satu konsekuensi yang bersifat fisik. Sedangkan kasus biskuit beracun yang menimbulkan korban merupakan contoh hasil produksi suatu korporasi yang tidak 168 Muladi dan Dwija Priyatno, Op. Cit. hlm. hlm. 59. 169 Barda Nawawi Arief, 2006, Perbandingan Hukm Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 29. Universitas Sumatera Utara aman bagi konsumen, yang sering disebut kelalaian korporsi. Konsekuensi yang bersifat ekonomis tidak diragukan lagi, mengingat profit merupakan motifasi utama terjadinya kejahatan korporasi. Sedangkan yang paling mengancam dan menakutkan yang dianggap kerugian sosial yang timbul karena kejahatan korporasi, adalah dampak merusak terhadap standar moral dari masyarakat bisnis. 170 Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi sebagai berikut: 171 a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab. Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dibatasi pada perorangan. Mengenai pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan, dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawaban terhadap suatu pelanggaran, meainkan selalu penguruslah yang melakukan delik-delik itu.Oleh karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana. 170 Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, 1983, Alumni, Bandung, hlm. 62. 171 Muladi dan Dwija Priyatno, Op. Cit. hlm. hlm. 83-88. Universitas Sumatera Utara b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab; Model ini ditegaskan korporasi sebagai pembuat, penguruslah yang ditunjuk untuk bertanggung jawab. Sistem ini ditandai dengan adanya pengakuan yang timbul bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha korporasi, Akan tetapi tanggung jawab itu menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut. Sehingga apa yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, pada pokoknya tindak pidana dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dan badan hukum tersebut. Menetapkan korporasi sebagai pembuat, dapat dilakukan dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugaas dan pencapaian tujuan badan hukum. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah merupakan perbuatan seseorang sebagai pengurus badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Suatu perbuatan dipandang sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh pegawaipengurus dari korporasi yang memiliki kewenangan untuk bertindak mewakili kepentingan dari korporasi itu sendiri. c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Universitas Sumatera Utara Korporasi sebagai pembuat sebagai dan juga sebagai yang bertanggung jawab motivasinya adalah dengan memerhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, yaitu bahwa ternyata untuk beberapa delik tertentu, ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Dalam delik ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang telah diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat, atau yang diderita oleh saingannya, keuntungan danatau kerugian itu adalah lebih besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh undang-undang itu. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan untuk memidana korporasi, dan pengurus atau pengurus saja. Kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai pelaku tindak pidana tidaklah sama dengan manusia alamiah. Hal ini dikarenakan manusia mempunyai sifat kejiwaan yang melekat dalam dirinya, berbeda dengan korporasi yang tidak mempunyai sifat kejiwaan dalam dirinya. Namun demikian, persoalan ini dapat diatasi dengan diterimanya ajaran atau konsep pelaku fungsional functioneel daderschaap. Universitas Sumatera Utara Menurut Rolling, bahwa badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bilamana perbuatan yang terlarang yang pertanggungjawabannya dibebankan pada badan hukum atau korporasi dalam rangka tugas dan pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Menurutnya, kriteria ini didasarkan pada delik fungsional. Sehubungan dengan hal tersebut, yang dimaksud dengan delik fungsional adalah delik-delik yang berasal dari ruang lingkup atau suasana sosial ekonomi dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktifitas sosial atau ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan terarah atau ditujukan pada kelompok-kelompok fungsionaris tertentu. 172 Mencermati ajaran atau konsep pelaku fungsional yakni perbuatan fisik dari seseorang yang sebenarnya melakukan telah menghasilkan perbuatan fungsional lainnya, maka kemampuan bertanggung jawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabakan korporasi dalam hukum pidana. Korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Dengan demikian kemampuan bertanggung jawab oleh orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dapat dialihkan menjadi kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek tindak pidana. 173 6. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika telah memberikan dampak yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan 172 Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Op. Cit., hlm. 46. 173 Ibid. hlm. 47. Universitas Sumatera Utara negara. Tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama - sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Tindakan atau perbuatan yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang disebabkan oleh peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika ini diperlukan adanya penindakan terhadap pelaku tindak pidana narkotika tersebut. Tindak pidana narkotika ini dapat dilakukan oleh setiap orang baik oleh orang dewasa maupun anak-anak. Tindak pidana narkotika dapat dilakukan oleh korporasi sebagai pelakunya. Setiap orang yang melakukan kesalahan yakni melakukan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika harus dapat dimintai pertanggungjawabannya, begitu juga dengan korporasi yang merupakan subjek tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana dengan mengedepankan dan menetapkan pelaku tindak pidana sebagai subjek hukum pidana dalam ketentuan perundang- undangan agar pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukuman yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannnya kepada orang lain. Dapat dipertanggungjawabkannya subjek hukum pidana tersebut tentunya akan memberikan deterren effect untuk Universitas Sumatera Utara tidak melakukan tindak pidana, sehingga dapat mencegah terjadinya tindak pidana dan secara langsung mencegah korban tindak pidana di kemudian hari. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merumuskan ada dua subjek tindak pidana yang melakukan tindak pidana narkotika yaitu manusia dan korporasi. Manusia sebagai subjek tindak pidana dibagi atas perbuatan yang mereka dilakukan yakni pengedar narkotika dan pengguna narkotika. Jika subjek tindak pidana telah memenuhi syarat untuk dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya, dan di dalam hal ini adalah terkait dengan peredaran gelap yakni mengedarkan narkotika kepada orang lain dengan ilegal, maka seseorang tersebut dapat dijatuhi pidana sesuai dengan ketentuan undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni ketentuan Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 117, 118, 119, 122, 123, 124,125, dan Pasal 129 yaitu: 1. Adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan peredaran gelap narkotika, hal tersebut berarti telah memenuhi unsur sengaja yang merupakan bagian dari unsur adanya kesalahan. 2. Dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya mengedarkan secara ilegal narkotika maksudnya ia ada pada suatu keadaan jiwa pembuat, yang memiliki cukup akal dan kemauan, oleh karena cukup mampu untuk mengerti arti perbuatannya yang telah mengedarkan secara illegal narkotika dan sesuai dengan pandangan itu untuk menentukan kemauannya untuk melakukan perbuatan tersebut. Kemampuan berfikir terdapat pada orang-orang normal dan oleh sebab itu kemampuan berfikir dapat diduga pada si pembuat. Dengan kata lain dapat Universitas Sumatera Utara dipertanggunjawabkan perbuatan pidana itu kepada pelaku peredaran narkotika tersebut apabila pelaku mempunyai kemampuan berfikir dan menginsyafi arti perbuatannya. 3. Pertanggungjawaban pidana memerlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggungjawab, karena tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggungjawab. Simons mengatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan psychis, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum ataupun orangnya. dan dalam hal ini, pelaku dapat dijatuhi pidana peredaran gelap narkotika jika ia berjiwa sehat, yakni apabila: a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya mengedarkan secara ilegal narkotika; b. Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya mengedarkan secara ilegal narkotika bertentangan dengan hukum; c. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. 4. Tidak memenuhi syarat-syarat alasan penghapus pidana, dan dilakukan pemberatan pidana dalam hal peredaran secara ilegal narkotika, apabila pelaku tersebut dengan sengaja mengedarkan Narkotika karena membujuk, memperdaya, menggunakan tipuan, paksaan, danatau ancaman kekerasan terhadap anak yang belum cukup umur, maka sesuai dengan ketentuan Universitas Sumatera Utara Pasal 133 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, pelaku tindak pidana dapat diancam pidana mati atau seumur hidup. Jika subjek tindak pidana telah memenuhi syarat untuk dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya, dan di dalam hal ini adalah terkait dengan penyalahgunaan narkotika yakni menggunakan narkotika untuk diri pribadinya, maka seseorang tersebut dapat dijatuhi pidana sesuai dengan ketentuan undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni ketentuan Pasal 116, 120, 121, 126, dan Pasal 127 yaitu: 1. Adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan penyalahgunaan narkotika, hal tersebut berarti telah memenuhi unsur sengaja yang merupakan bagian dari unsur adanya kesalahan. 2. Dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya menyalahgunakan narkotika maksudnya ia ada pada suatu keadaan jiwa pembuat, yang memiliki cukup akal dan kemauan, oleh karena cukup mampu untuk mengerti arti perbuatannya yang telah menyalahgunakan narkotika dan sesuai dengan pandangan itu untuk menentukan kemauannya untuk melakukan perbuatan tersebut. Kemampuan berfikir terdapat pada orang-orang normal dan oleh sebab itu kemampuan berfikir dapat diduga pada si pembuat. Dengan kata lain dapat dipertanggunjawabkan perbuatan pidana itu kepada pelaku penyalahguna narkotika tersebut apabila pelaku mempunyai kemampuan berfikir dan menginsyafi arti perbuatannya. 3. Pertanggungjawaban pidana memerlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggungjawab, karena tidaklah mungkin seseorang dapat Universitas Sumatera Utara dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggungjawab. Simons mengatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan psychis, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum ataupun orangnya. dan dalam hal ini, pelaku dapat dijatuhi pidana penyalahgunaan narkotika jika ia berjiwa sehat, yakni apabila: a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya menyalahgunakan narkotika; b. Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya menyalahgunakan narkotika bertentangan dengan hukum; c. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. 4. Tidak memenuhi syarat-syarat alasan penghapus pidana, dan dalam hal penyalahgunaan narkotika, apabila pelaku tersebut tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, danatau diancam untuk menggunakan narkotika, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ia merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika yang wajib menjalani rehabilitasi. Manusia yang dikategorikan secara khusus sebagai subjek tindak pidana dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika antara lain: 1. Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur Pasal 128 ayat1; 2. Pecandu belum cukup umur Pasal 128 ayat 2; Universitas Sumatera Utara 3. Pecandu yang sudah cukup umur Pasal 128 ayat3; 4. Keluarga dari pecandu yang sudah cukup umur Pasal 134 ayat2 5. Nahkoda atau Kapten Kapal penerbang Pasal 139; 6. Penyidik PNS, Penyidik Polri, Penyidik BNN Pasal 140 7. Kepala kejaksaan Negeri Pasal 141; 8. Petugas laboratorium Pasal 142; 9. Saksi dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika Pasal 143; 10. Orang yang mengulangi tindak pidana narkotika atau residivis Pasal 144; 11. Orang yang berada di luar wilayah negara RI Pasal 145; 12. Warga negara asing Pasal 146. Badan hukum atau korporasi yang digolongkan secara khusus sebagai subjek tindak pidana dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika antara lain: 1. Korporasi Pasal 130; 2. Pimpinan rumah sakit, pimpinan lembaga ilmu pengetahuan, pimpinan industri farmasi, dan pimpinan pedagang farmasi Pasal 147.

D. Jenis-Jenis Perbuatan yang Dilarang dan Jenis Sanksi Dalam