Sehubung dengan konsep paham unilitarian ini, Curzon menyatakan paham utilitarian merupakan suatu filosofi moral yang mendefinisikan kebenaran
suatu perbuatan dalam hubungannya dengan pemberian kontribusi yang besar untuk kebahagian secara umum dan menganggap kebaikan yang paling pokok
adalah untuk kebahagian sebesar-besarnya bagi keseluruhan warga masyarakat the greatest happiness of the greatest number.
84
Paham utilitarian dapat dilihat sebagai lawan dari teori retributif. Unsur kesalahan dan legitimasi moral pembalasan setimpal dalam pandangan paham
utilitarian tidak memainkan peranan yang penting dalam pemidanaan. Pembenaran pemidanaan menurut paham utilitarian hanya jika pemidanaan
tersebut membawa konsekuensi yang diinginkan dan melahirkan keuntungan yang lebih banyak. Tujuan pemidanaan menurut pandangan utilitarian ini adalah untuk
meningkatkan jumlah kumulatif cumulative amount dari kemanfaatan utility atau kepuasan hati satisfaction.
85
c. Teori Gabungan
Teori ini menitikberatkan kepada suatu kombinasi dari teori absolut dan relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana untuk pembalasan kepada si pelaku juga
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban. Grotius memandang, pidana berdasarkan keadilan absolut berwujudkan
pembalasan terbatas kepada apa yang berfaedah bagi masyarakat. Teori gabungan yang menitikberatkan pada perlindungan masyarakat, mengadopsi pemikiran
84
Ibid. hlm. 76.
85
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bahwa secara prevensi umum terletak pada ancaman pidananya. Teori gabungan ini dipelopori oleh Vos.
86
d. Teori Treatment Teori Relatif
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku
kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan treatment dan perbaikan
rehabilitation kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah
orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation.
87
Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casare Lombroso 1835-1909, Enrico Ferri 1856-1928, dan Raffaele Garofalo 1852-
1934. Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi,
psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh
perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam ajaran Locke dan Hume, teori Darwin tentang “biological determinisme”, teori
sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx.
88
86
Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Op. Cit. 96-97.
87
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Op. Cit. hlm. 79.
88
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
August Comte 1798-1857 seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial
melalui bukunya yang berjudul “Cours de Philosophie Positive” atau “Course in Positive Philosophy”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan
bahwa “There could be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist scientific approach”. Perkembangan ilmu pengetahuan saat
itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin 1809-1892 dengan teori evolusinya. Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untu menjelaskan hubungan
antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia. Lombroso menerbitkan bukunya yang berjudul “L’uomo Delinquente” atau “The Criminal Man” pada tahun 1876,
yang menandai bahwa terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang abstrak philosopis ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan
metode ilmiah.
89
Lombroso dengan teorinya born criminal menyatakan bahwa ada suatu kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic Stigmata yang membedakan manusia
kriminal dengan yang bukan kriminal, yang dapat dilihat dari bentuk fisik seseorang. Ketiga tokoh ini menolak doktrin free will dan menggantinya dengan
konsep determinisme.
90
Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya
dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan
89
Ibid.
90
Ibid., hlm. 80.
Universitas Sumatera Utara
kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor
lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan treatment untuk resosialisasi dan
perbaikan si pelaku.
91
Secara lebih rinci, Reid mengemukakan ciri-ciri aliran positif ini sebagai berikut:
92
1. Rejected legal definition of crime;
2. Let the punishment fit the criminal;
3. Doctrin of determinism;
4. Abolition of death penalty;
5. Empirical research, inductive method;
6. Indeterminate sentence.
Gerber dan McAnany menyatakan bahwa munculnya paham rehabilitasionis dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi
penjara. Melalui pendekatan kemanusiaan, maka paham ini melihat bahwa sistem pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian nasib
seseorang. Berdasarkan pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha membuat jelas dan melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku
kejahatan sebagai tema sentral mengenyampingkan semua tujuan lain dari pemidanaan. Jadi gerakan rehabilitionist merupakan paham yang menentang
91
Ibid.
92
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan retributif, maupun tujuan deterrence.
93
Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model
yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi
suatu perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Aliran positif menolak setiap dasar pemikiran aliran hukum pidana klasik dan menurut aliran ini
masyarakat perlu mengganti standar hukum, pertanggungjawaban moral dan kehendak bebas free will dengan treatment dan perhatian digeser dari perbuatan
ke pelakunya.
94
Paham rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam perjalanannya tidak semulus yang diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritikan.
Kritikan pertama, ditujukan pada kenyataannya bahwa hanya sedikit negara yang mempunyai fasilitas untuk menerapkan program rehabilitasi pada tingkat dan
kebijakan yang menekankan penggunaan tindakan untuk memperbaiki treatment atas nama penahanan. Kritikan kedua, adanya tuduhan yang serius bahwa
pendekatan yang digunakan oleh paham rehabilitasi adalah pendekatan yang mengundang tirani individu dan penolakan hak asasi manusia. Misalnya dalam hal
proses pelaksanaan rehabilitasi ini tidak seseorang pun yang dapat memprediksi berapa lama pengobatan akan berlangsung ketika seorang tahanan segera
diserahkan kepada dokter untuk disembuhkan atau diobati sebelum tahanan itu
93
Ibid. hlm. 81-82.
94
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dibebaskan. Dalam hal ini juga sulit untuk mengontrol otonomi keputusan dokter. Menurut Lewis sebagaimana yang dikemukakan oleh Gerber McAnany bahwa
sebagian besar metode treatment yang dilakukan dengan penuh kebaikan dan atas nama kemanusiaan, namun akhirnya tidak terkontrol.
95
Helbert L. Packer mengajukan suatu varian yang berdasarkan pandangan aliran klasik yang disebutnya sebagap behavioralisme. Pandangan Behavioral ini
merupakan suatu yang tepat dan oposisi yang lengkap dan tepat untuk paham retributif serta menyelesaikan dilema yang mengancam hukum pidana saat ini,
maka terdapat empat pokok pikiran behavioralisme ini, yaitu:
96
1. Kehendak bebas free will adalah suatu ilusi saja karena tingkah laku
manusia ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang untuk mengubahnya;
2. Tanggung jawab moral juga merupakan suatu ilusi karena dosa tidak dapat
dibebankan pada suatu tingkah laku yang kondisinya dibentuk; 3.
Tingkah laku manusia seharusnya dipelajari secara ilmiah dan dikendalikan; dan
4. Fungsi hukum pidana secara murni dan sederhana, seharusnya membawa
seseorang menuju suatu proses pengubahan kepribadian dan tingkah laku mereka yang telah melakukan kejahatan perbuatan anti sosial sehingga
mereka tidak akan kembali melakukan kejahatan pada masa yang akan datang, atau jika semua tujuan ini gagal, maka untuk menahan mereka
95
Ibid. hlm. 83.
96
Ibid hlm. 87.
Universitas Sumatera Utara
untuk melakukan kejahatan dengan penggunaan paksaan, misalnya dengan pidana kurungan.
Bertolak dari pokok-pokok pikiran di atas, aliran ini menegaskan bahwa tantangan yang harus dihadapi dalam mempertahankan dan menyelamatkan
Hukum Pidana dalam kedudukan dan perspektif retributivisme atau meninggalkan setiap upaya untuk memberikan beban tanggung jawab pidana terhadap
kejahatan.
97
e. Teori Social Defence Perlindungan Sosial