Teori Deterrence Teori Relatif

Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif ini, menurut Romli Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut: 70 1. Dijatuhkan pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative; 2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setipa perbuatan yang merugikan orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness; 3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut proportionality.

b. Teori Deterrence Teori Relatif

Teori Deterrence berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua orang tokoh utamanya, yaitu Cessare Beccaria 1738-1794 dan Jeremy Bentham 1748-1832. Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene 1764 bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana pembalasan masyarakat. 71 70 Ibid. 71 Ibid. Universitas Sumatera Utara Christiansen juga memberikan rincian ciri-ciri teori relatif ini sebagai berikut: 72 1. Tujuan pemidanaan adalah untuk pencegahan; 2. Pencegahan ini bukanlah tujuan akhir final aim, tetapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu kesejahteraan masyarakat social welfare; 3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku kejahatan, berupa kesengajaan atau kelalaian, sebagai syarat untuk dijatuhkannya pidana; 4. Penjatuhan pidana harus ditetapkan dengan tujuannya sebagai alat atau sarana untuk pencegahan kejahatan. Terminologi “deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun “the net deterrence effect” dari ancaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. 73 Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif reductivism karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan … the justification for penalizing offences is that this reduces their frequency. Penganut reductivism meyakini bahwa 72 Bahan-bahan kuliah Politik Hukum Pidana Fakultas Hukum USU tahun 2011. 73 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op. Cit., hlm. 72. Universitas Sumatera Utara pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini: 74 1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan deterring the offender, yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan; 2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial deterring potential imitators, dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya; 3. Perbaikan si pelaku reforming the offender, yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana; 4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan; 5. Melindungi masyarakat protecting the public, melalui pidana penjara yang cukup lama. Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagi menjadi pencegahan umum general deterrence dan pencegahan khusus individual or 74 Ibid. hlm., 73. Universitas Sumatera Utara special deterrence, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bentham bahwa: “determent is equally applicable to the situation of the already-punished delinquent and that of other persons at large, distinguishes “particular prevention which applies to the delinquent himself; and general prevention which is applicable to all members of the community without exception.” 75 General prevention menurut T. Mathiesen merupakan sarana komunikasi yang berupa pesan dari negara sebagai pemegang otoritas untuk menjatuhkan pemidanaan kepada masyarakat. Pesan ini terdiri dari: “1 Punishment is a massage which intends to say that crime does not pay deterrence; 2 It is a massage which intends to say that you should avoid certain act because they are morally improper or incorrect moral education; 3 It is a massage which intends to say that you should get into habit of avoiding certain acts habit formation. 76 Tugas untuk menyampaikan pesan negara ini, terutama menjadi tanggung jawab dari komponen-komponen sistem peradilan pidana. Hal ini sebagaimana ditegaskan lebih lanjut oleh T. Mathiesens: 77 “The criminal justice system, comprising the prosecuting authorities, the police, the courts, and the sanctioning apparatus which includes the prison system, may be seen as a large machine having the purpose of communicating this massage to the people. The machine constitutes one of the state’s most important mechanisms for ‘talking’ to the people about the people’s own doing… Andenaes say that ’The communication process from the legislator and the law enforcement agencies to the public is therefore a central link in the operating of general prevention.” 75 Ibid. 76 Ibid., hlm. 74. 77 Ibid. Universitas Sumatera Utara Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawah pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. 78 Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku. 79 Teori tujuan pemidanaan ini biasa disebut juga dengan teori relatif. Sedangkan Duff dan Garland, menamakan paham ini sebagai “Consequentialism”. Penganut paham ini menyatakan bahwa sesuatu yang dianggap benar atau salah dari suatu perbuatan, semata-mata tergantung pada akibat yang ditimbulkannya secara keseluruhan. Suatu perbuatan dianggap benar apabila akibat yang dihasilkannya berupa kebaikan dan sebaliknya dianggap salah bila akibat dari perbuatan tersebut menghasilkan keburukan. 80 Selain Cessare Beccaria, maka tokoh aliran klasik yang juga sepakat dengat tujuan pemidanaan sebagai deterrence, adalah Jeremy Bentham dengan teori utilitarian. Legitimasi penjatuhan pidana dalam pandangan utilitaranism 78 Ibid. 79 Ibid. 80 Ibid., hlm. 75. Universitas Sumatera Utara adalah untuk deterrence, incapacitation, and rehabilitation. Murphy menjelaskan sebagai berikut: 81 “For a utilitarian theory of punishment Bentham’s paradigm must involve justifying punishment in terms of its social result- e. g., deterrence, incapatitation, and rehabilitation. And thus even a guilty man is, on this theory, being punished because of this instrumental value the action of punishment will have in future. He is being use as a means to some future good – e. g., the deterrence of others.” Menurut Ahmad Ali, penganut paham utilitarian menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Pandangan ini didasarkan pada falsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu instrumen untuk mencapai kebahagian tersebut. 82 Selain Jeremy Bentham, paham utilitarian juga didukung oleh James Mile dan John stuart Mile. Jeremy Bentham adalah yang paling radikal pandangannya dibandingkan yang lain. Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum adalah semata-mata ditujukan untuk menggapai kemanfaatan sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Pemikirannya dilatarbelakangi oleh rasa ketidakpuasan terhadap Undang-Undang Dasar Inggris sehingga ia mendesak agar diadakan perubahan dan perbaikan berdasarkan suatu ide yang revolusioner. Ide utilitarian ini diperoleh Bentham dari pemikiran Helvetius dan Cessare Beccaria, yang kemudian dikemukakan kembali oleh Bentham dalam bukunya yang berjudul “Introduction to Moral and Legislation.” 83 81 Ibid. 82 Ibid. 83 Ibid. Universitas Sumatera Utara Sehubung dengan konsep paham unilitarian ini, Curzon menyatakan paham utilitarian merupakan suatu filosofi moral yang mendefinisikan kebenaran suatu perbuatan dalam hubungannya dengan pemberian kontribusi yang besar untuk kebahagian secara umum dan menganggap kebaikan yang paling pokok adalah untuk kebahagian sebesar-besarnya bagi keseluruhan warga masyarakat the greatest happiness of the greatest number. 84 Paham utilitarian dapat dilihat sebagai lawan dari teori retributif. Unsur kesalahan dan legitimasi moral pembalasan setimpal dalam pandangan paham utilitarian tidak memainkan peranan yang penting dalam pemidanaan. Pembenaran pemidanaan menurut paham utilitarian hanya jika pemidanaan tersebut membawa konsekuensi yang diinginkan dan melahirkan keuntungan yang lebih banyak. Tujuan pemidanaan menurut pandangan utilitarian ini adalah untuk meningkatkan jumlah kumulatif cumulative amount dari kemanfaatan utility atau kepuasan hati satisfaction. 85

c. Teori Gabungan