Sistematika Penulisan Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

H. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi dalam empat bab yang disusun dengan sistematis untuk menguraikan masalah yang akan dibahas dengan urutan sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN: Bab ini memuat latar belakang, rumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan yang berisi pengertian kebijakan kriminal, pengertian tindak pidana, pengertian narkotika, tindak pidana narkotika, yang diakhiri dengan metode penelitian serta sistematika penulisan. BAB II KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA: Bab ini membahas konsep kebijakan hukum pidana dalam kebijakan penanggulangan kejahatan yakni kebijakan kriminal, kebijakan hukum pidana, dan kebijakan non penal pidana. BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA : Bab ini membahas ajaran sifat melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana narkotika, perbuatan-perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana narkotika dan jenis sanksi yang terdapat dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Universitas Sumatera Utara BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Bab terakhir ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan bab ini memberikan saran-saran dari penulis berkaitan dengan masalah yang dibahas. Universitas Sumatera Utara BAB II KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN A. Kebijakan Kriminal Criminal Policy Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu: 34 1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; 2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi dan; 3. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Sudarto mengemukakan defenisi singkat, bahwa kebijakan kriminal adalah merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan atau selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan. 35 Defenisi ini diambil oleh dari defenisi Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the rational organization of the control of crime by society”. Bertolak dari pengertian yang dikemukakan oleh Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social 34 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 1. 35 Ibid. Universitas Sumatera Utara reaction to crime”. Berbagai defenisi lainnya yang dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels ialah: 36 a. Criminal policy is the science of responses; b. Criminal policy is the science of crime prevention; c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime; d. Criminal policy is arational total of the responses to crime. Istilah Criminal Policy yang dipergunakan oleh Hoefnagels bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut sebagai “kebijakan kriminal”. Istilah ini agaknya kurang pas karena seolah-olah mencari suatu kebijakan untuk membuat kejahatan kriminal. Istilah ini lebih tepat digunakan sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan. 37 Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defence dan upaya mencapai kesejahteraan social welfare. Kebijakan penanggulangan kejahatan atau bisa disebut juga politik kriminal memiliki tujuan akhir atau tujuan utama yaitu “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Kebijakan penanggulangan kejahatan criminal policy itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum law enforcement policy. Kebijakan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan social social policy dan termasuk juga dalam kebijakan legislatif legislative policy. Politik 36 Ibid., hlm. 2. 37 Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, hlm. 51. Universitas Sumatera Utara kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. 38 Kebijakan penegakan hukum law enforcement policy harus melihat cakupan yang luas yang terkandung dalam suatu sistem hukum legal system. Menurut Friedman bahwa sistem hukum adalah memiliki cakupan yang lebih luas dari hukum itu sendiri. Kata “hukum” sering mengacu hanya pada aturan dan peraturan. Sedangkan sistem hukum membedakan antara aturan dan peraturan itu sendiri, serta struktur, lembaga dan proses yang mengisinya. Oleh karena itu, bekerjanya hukum di dalam suatu sistem menurut Friedman ditentukan oleh tiga unsur, yaitu struktur hukum legal structure, substansi hukum legal substance, dan budaya hukum legal culture. 39 a. Struktur Hukum Legal Structure Struktur hukum merupakan suatu kerangka yang memberikan definisi dan batasan dan bentuk bagi bekerjanya sistem tersebut dalam batasan-batasan yang telah ditentukan secara keseluruhan. Hal ini sebagai mana dikemukakan oleh Friedman; “The structure of a system is its skeletal framework, it is the permanent shape, the institutional body of system, the thought, rigid bones that keep the process flawing within bound“. Jadi struktur hukum dapat dikatakan sebagai institusi yang menjalankan penegakan hukum dengan segala proses yang berlangsung di dalamnya. Institusi ini dalam penegakan hukum pidana, tergabung dalam system peradilan pidana criminal justice system, yang terdiri atas 38 Barda Nawawi Arief, Loc. Cit. 39 Bahan-bahan kuliah Politik Hukum Pidana Fakultas Hukum USU tahun 2011. Universitas Sumatera Utara kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang menjamin berjalannya proses peradilan pidana. 40 b. Substansi Hukum legal substance Substansi hukum legal substance adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem tersebut. Substansi hukum juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada di dalam sistem hukum itu, baik berupa keputusan yang mereka keluarkan, maupun juga aturan-aturan baru yang mereka susun. Penting di ingat bahwa substansi hukum ini tidak hanya terpusat pada hukum yang tertulis saja law in the book, tetapi juga mencakup hukum yang hidup di masyarakat the living law. 41 c. Budaya hukum legal culture Budaya hukum legal culture adalah sebagai sikap manusia dalam hal ini masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum itu sendiri. Sikap masyarakat ini menyangkut kepercayaan, nilai-nilai dan ide-ide, serta harapan mereka tentang hukum dan sistem hukum. Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum masyarakat. Budaya hukum juga merupakan suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau bahkan disalahgunakan. Budaya hukum mempunyai peranan yang besar dalam sistem hukum, sehingga tanpa budaya hukum, maka sistem hukum akan kehilangan kekuatannya, seperti ikan mati yang terkapar di kerancangnnya, bukan ikan hidup 40 Ibid. 41 Ibid. Universitas Sumatera Utara yang berenang di lautan without legal culture, the legal system is inert - a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea. 42 Ketiga unsur sistem hukum ini mempunyai hubungan dan peranan yang tak terpisahkan. Ketiganya adalah satu kesatuan yang menggerakan sistem hukum tersebut sehingga dapat berjalan dengan lancar. Struktur hukum dapat diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu. Substansi hukum adalah sesuatu yang dihasilkan oleh mesin tersebut. Sedangkan budaya hukum adalah siapa yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin dan membatasi penggunaan mesin tersebut. Jadi apabila salah satu dari ketiga unsur sistem hukum ini sakit, maka akan menyebabkan sub sistem lainnya terganggu. 43 Menurut Hoefnagels kebijakan penanggulangan kejahatan criminal policy dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana criminal law application, pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana prevention without punishment dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa influencing views of society on crime and punishment mass media. 44 Teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels di atas, maka kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara. Pertama, kebijakan penal penal policy yang biasa disebut dengan “criminal law application.” Kedua, kebijakan non-penal non-penal policy yang terdiri dari “prevention without punishment” dan “influencing views of society on crime and 42 Ibid. 43 Ibid. 44 Ibid. Universitas Sumatera Utara punishment mass media.” 45 Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana. 46

B. Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy