Teori Retributif Teori Absolut

Usaha menemukan alasan philosopis tujuan hukum pidana ini, maka akan membawa kita pada pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan pemidanaan dari sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan hukum saat ini. Pembahasan tentang tujuan pemidanaan ini dapat diuraikan berdasarkan teori absolut, relatif, teori gabungan, treatment dan social defence. 63

a. Teori Retributif Teori Absolut

Teori absolut atau teori retributif atau dikenal juga dengan teori pembalasan vergerlingstheori. Tokoh Teori Retributif adalah Immanuel Kant 1724-1804 dan Hegel 1770-1831. Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan. 64 Tindakan pembalasan ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik disandarkan bahwa setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang sama. Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas penghukuman tersebut, dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara tidak proporsional terhadap kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakan 63 Ibid.,hlm. 68. 64 Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, 2010, Politik Hukum Pidana Terhadap kejahatan Korporasi, , PT Softmedia, Medan, hlm. 93. Universitas Sumatera Utara kunci dari konsep teori pembalasan setimpal. Ukuran yang utama dari proporsionalitas ini adalah semua ukuran dari tingkatan pemidanaan ini tidak boleh melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan suatu perbuatan. 65 Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Hegel: 66 “Punishment is the right of criminal. It is an act of his own will. The violation of right has been proclaimed by the criminal as his own right. His crime is the negation of right. Punishment is the negation of his negation, and, consequently an affirmation of right, solicited and farced upon the criminal by him self.” Duff dan Garland memaparkan bahwa paham retributif ini dalam teori normatif tentang pemidanaan disebut juga sebagai non-consequentialist. Sedangkan teori relatif atau utilitarian disebut consequentialist. Paham non- consequentialist menuntut dengan tegas bahwa suatu perbuatan, apakah itu benar atau salah, hakikatnya terletak pada hati nurani seseorang, dan bersifat bebas dari konsekuensinya. Hal ini dijelaskan secara tegas oleh tuntutan penganut retributif bahwa yang bersalah dan hanya yang bersalah yang berhak untuk mendapat pidana, serta pembenaran pemidanaan ini terletak pada timbulnya penderitaan yang pantas pada orang bersalah tersebut. 67 Nigel Walker mengemukakan bahwa alitran retributif ini terbagi menjadi dua macam, yaitu nteori retributif murni dan teori retributif tidak murni. 65 Ibid. 66 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op. Cit. hlm. 70. 67 Ibid. Universitas Sumatera Utara Retributivist murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan dengan kesalahan pelaku. Sedangkan Retributivist yang tidak murni dapat dibagi menjadi menjadi dua golongan, yaitu: 68 1. Retributivist terbatas the limitating retributivist, yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan kesalahan si pelaku; 2. Retributivist yang distribusi retribution in distribution, yang berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang bersalah. Berdasarkan pembagian aliran retributif di atas, maka hanya the pure retributivist yang mengemukakan dasar pembenaran dijatuhkannya pidana. Oleh karena itu golongan ini disebut juga “punisher” atau penganut teori pemidanaan. Sedangkan penganut golongan lainnya tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan pidana, melainkan mengajukan dasar-dasar pembatasan pidana. Paham retributif yang tidak murni lebih dekat dengan paham non-retributif. Kebanyakan KUHP disusun berdasarkan paham non-retributif yang the limitating retributivist yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batasan maksimum tersebut. 69 68 Ibid. hlm. 70-71. 69 Ibid. Universitas Sumatera Utara Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif ini, menurut Romli Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut: 70 1. Dijatuhkan pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative; 2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setipa perbuatan yang merugikan orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness; 3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut proportionality.

b. Teori Deterrence Teori Relatif