Kebijakan Non Penal Non Penal Policy

Pandangan Moderat dipertahankan oleh Marc Ancel Perancis yang menamakan alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvelle” atau “New Social Defence” atau “Perlindungan Sosial Baru”. Menurut Ancel, tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. 100 Beberapa konsep pandangan moderat: 101 1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi- konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. 2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri; 3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan tekniks-tekniks yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik. Aliran moderat ini juga lahir sebagai jawaban terhadap kegagalan aliran positif dengan paham rehabilisionisnya.

C. Kebijakan Non Penal Non Penal Policy

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya 100 Ibid. hlm. 89. 101 Ibid. Universitas Sumatera Utara kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. 102 Pernyataan di atas juga didukung oleh berbagai hasil dari Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai Crime Trends and Crime Prevention Strategies, antara lain: 103 1. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang the crime impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people; 2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan crime prevention strategies should be based upon the elemination of causes and condition giving rise to crime; 3. Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejahatan diberbagai negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebodohan diantara sebagain besar penduduk the main causes of crime in many countries are social inequality, ratial and national discrimination, 102 Ibid. hlm. 55. 103 Ibid. Universitas Sumatera Utara low standar of living, unemployment and illiteracy among broad section of the population. Setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, maka dalam resolusi itu dinyatakan bahwa menghimbau semua anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan menyebabkan kejahatan, yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan, kebutahurufan kebodohan, diskriminasi rasial dan nasional serta bermacam-macam bentuk dari ketimpangan sosial. 104 Di dalam Dokumen ACONF. 121L9 mengenai Crime Prevention in the Context Of Development Kongres PBB ke-7 Tahun 1985 di Milan, Italia ditegaskan bahwa upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan yang mendasar. Strategi pencegahan kejahatan yang mendasar ini harus dicarikan untuk menghilangkan penyebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan suatu kejahatan. Akhirnya di dalam Guiding Principles yang dihasilkan oleh Kongres PBB ke-7 ini, ditegaskan bahwa berbagai kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosio-ekonomi, dimana kejahatan sering merupakan suatu gejala semata symptom. 105 Kongres PBB ke-8 tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders yang berlangsung di Havana, Cuba, menekankan, pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu 104 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 41. 105 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op. Cit., hlm. 56. Universitas Sumatera Utara faktor penting dalam pencapaian strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Oleh karena aspek-aspek social dalam kontek pembangunan ini harus mendapat prioritas yang utama. Kongres ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek sosial yang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan. Hal ini disebutkan dalam Dokumen ACONF. 144L.3, yaitu sebagai berikut: 106 1. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok; 2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek harapan karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpangan- ketimpangan sosial; 3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga; 4. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; 5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan; 6. menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga; 106 Ibid., hlm. 56-57. Universitas Sumatera Utara 7. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya; 8. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas; 9. meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian; 10. dorongan-dorongan khususnya oleh media massa mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap-sikap tidak toleran. Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor yang menyebabkan timbulnya kejahatan seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung dengan pendekatan non penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat. 107 Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan prevention without punishment, yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat community planning mental health, kesehatan mental masyarakat secara nasional national mental health, social worker and child welfare kesejahteraan 107 Ibid. Universitas Sumatera Utara anak dan pekerja social, serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi administrative civil law. 108 Dalam kontek ini, informasi yang diperoleh melalui disiplin lain, misalnya sosiologi, antropologi dan psikologi, sangat membantu untuk merumuskan kebijakan sosial, perencanaan kesehatan mental masyarakat sehingga memberikan pengaruh preventif terhadap terjadinya kejahatan. Selain itu juga, program- program untuk mengatasi tekanan stress dalam kehidupan bermasyarakat perlu mendapat perhatian dalam penanggulangan kejahatan, antara lain, kesejahteraan anak-anak serta rehabilitasi dan kesehatan pekerja sosial. Berdasarkan berbagai keterangan di atas, maka telah diungkap bahwa kejahatan berakar dari faktor- faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu perlu langkah-langkah penanggulangan yang didasarkan pada penguatan sumber daya yang ada di dalam masyarakat community crime prevention. 109 Menurut Tim Hope, pencegahan kejahatan oleh masyarakat community crime prevention mengarah kepada tindakan-tindakan yang diharapkan dapat merubah kondisi sosial yang mendukung terjadinya kejahatan di kedia man masyarakat. Fokus perhatiannya dikonsentrasikan pada kemampuan institusi sosial lokal untuk mengurangi angka kejahatan. Institusi lokal ini mewadahi anggota masyarakat dalam suatu komunitas untuk bekerjasama secara sungguh- sungguh, memberikan bimbingan dan mengatur etika berprilaku, khususnya bagi anak-anak muda. Community crime prevention ini dapat didekati melalui dua 108 Ibid. hlm. 58. 109 Ibid. Universitas Sumatera Utara dimensi, pertama, melalui dimensi horizontal dari hubungan sosial antara orang- orang dan group-group dalam masyarakat. Kedua, melalui dimensi vertikal dari relasi sosial yang menghubungkan institusi lokal dengan komunitas yang lebih luas dari civil society. 110 Program-program dari community crime prevention ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 111 1. Community organization, tipe ini ditujukan membangun sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada kerjasama dalam penanggulangan kejahatan. Kerjasama ini juga dibina melalui sekolah-sekolah lokal, tempat-tempat ibadah. Program ini juga menyediakan sarana yang efektif bagi anak-anak muda untuk bersosialisasi dalam suatu pergaulan yang positif; 2. Community defence, program pada tipe ini ditujukan untuk mencegah terjadinya viktimisasi melalui pencegahan terhadap pelaku kejahatan. Strategi yang digunakan adalah pencegahan kejahatan melalui mendesain lingkungan crime prevention through environmental design CPTED, defensible space measures, dan organisasi pengawasan masyarakat melalui neighbourhood watch. 3. Order-maintenance, pendekatan ini dilakukan untuk mengontrol pengrusakan sarana fisik, ancaman terhadap kehidupan bertetangga dan perilaku kasar di jalanan. 110 Ibid. hlm. 63-64. 111 Ibid. hlm. 65. Universitas Sumatera Utara 4. Risk-based program, merupakan program yang menggunakan pendekatan untuk mencari faktor-faktor yang beresiko dalam komunitas kehidupan masyarakat, mengidentifikasi yang paling beresiko dan menyediakan upaya pencegahan khusus bagi mereka. Program ini meliputi pendekatan terhadap seseorang yang kemungkinan menjadi target korban kejahatan dan strategi ditujukan untuk melindungi korban dan pencegahan supaya tidak terjadi pengulangan menjadi korban repeat victimization. 5. Community development, strategi yang digunakan adalah membangun kembali tatanan kehidupan sosial, fisik dan perekonomian lingkungan tempat tinggal. 6. Structural change, tujuan yang ingin dicapai hampir sama dengan community development, yaitu strategi yang dibangun adalah perubahan yang utama di dalam kehidupan masyarakat yang dapat mereduksi terjadinya kejahatan. Pendekatan yang dilakukan berupa penerapan kebijakan di level makro pembangunan ekonomi dan ketenagakerjaan, perumahan yang layak, pendidikan, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan serta pelayanan sosial. Universitas Sumatera Utara BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA A. Ajaran Sifat Melawan Hukum Pembahasan tentang persoalan sifat melawan hukum dalam hukum pidana merupakan pembahasan yang sangat urgen dan sangat mendasar. Urgensi pembahasan “sifat melawan hukum” dalam hukum pidana bertolak dari kenyataan, bahwa dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan- perbuatan yang bersifat melawan hukum saja. Perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana, yang dalam konteks hukum pidana disebut dengan perbuatan pidana atau tindak pidana. Konstruksi pemikiran yang menyatakan dilarangnya suatu perbuatan baik oleh hukum tertulis undang- undang maupun oleh hukum tidak tertulis itulah yang menjadi dasar untuk menentukan apakah perbuatan itu dikatakan bersifat melawan hukum atau tidak. Suatu perbuatan yang tidak dilarang baik oleh hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis tidak dapat dianggap sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum. 112 Konteks hukum pidana “melawan hukum” atau wederrechtelijk weder = bertentangan dengan, melawan; recht = hukum merupakan salah satu unsur tindak pidana. Sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur tindak pidana, merupakan penilaian objektif terhadap perbuatan, bukan terhadap si pembuat. Untuk melihat apakah suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum atau tidak, 112 Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, hlm. 193. Universitas Sumatera Utara harus dilihat secara penilaian objektif bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang maupun oleh hukum yang tidak tertulis. 113 Pengertian melawan hukum atau wederrechttelijk dalam kepustakaan istilah melawan hukum mempunyai beberapa arti antara lain melawan hukum tegen het recht, tanpa hak sendiri zonder eigen recht, bertentangan dengan hak orang lain tegen eens anders recht, bertentangan dengan hukum objektif tegen het objektieve recht, bertentangan dengan hukum pada umumnya in strijd met recht in het algemee. 114 KUHP kadangkala menggunakan istilah melawan hukum dalam beberapa arti tegen het objectieve recht bertentangan dengan hukum objektif dipakai dalam Pasal 333 KUHP; zonder eigen recht tanpa hak sendiri dipakai dalam Pasal 406; in strijd met het recht bertentangan dengan hukum dipakai dalam Pasal 167, 378, 522 KUHP. 115 Bila melihat dari segi undang-undang, suatu perbuatan tidak mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang wederrechttelijk dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan. Berpegang pada pendirian ini, setiap perbuatan yang ditetapkan yang dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan perundang-undangan menjadi tindak pidana, tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu dicantumkan atau tidak dalam rumusan, maka rumusan 113 Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana : Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 132. 114 Teguh Praseyto, Op. Cit., hlm. 67. 115 Andi Hamzah, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara tindak pidana itu sudah mempunyai sifat melawan hukum. Artinya unsur melawan hukum adalah unsur mutlak dalam tindak pidana. 116 Pandangan ini juga dianut oleh Mahkamah Agung sebagaimana terdapat dalam pertimbangan putusannnya No. 30KKr1969 tanggal 6 Juni 1970, yang menyatakan bahwa: “dalam setiap tindak pidana selalu ada “unsur melawan hukum“ dari perbuatan-perbuatan yang dituduhkan walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan”. 117 Mencantumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana tercermin dalam keterangan risalah penjelasan WvS Belanda, yaitu adanya kekhawatiran bagi pembentuk undang-undang, bahwa jika tidak dimuatnya unsur melawan hukum di situ, akan dapat dipidananya pula perbuatan pula perbuatan lain yang sama, namun tidak bersifat melawan hukum, ia berhak untuk melakukan itu. Contoh konkret pasal 362 KUHP, jika tidak dicantumkan unsur melawan hukum dalam rumusan maksud memiliki dengan melawan hukum, orang mengambil benda-benda di toko swalayan sebelum membayar di tempat kasir dapat dipidana pula walaupun mengambil benda-benda itu tidak bersifat melawan hukum materil. Artinya jelas bahwa setiap unsur melawan hukum itu dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, sudah pasti ada perbuatan yang sama yang tidak bersifat melawan hukum, yang jika unsur melawan hukum itu tidak 116 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 87. 117 Putusan MARI No. 30KKr1969, tanggal 06 Juni 1970, seorang diadili berdasarkan tuduhan penadahan Pasal 480 KUHP yaitu membeli skuter yang berasal dari kejahatan. Dinyatakan bahwa terdakwa membeli skuter itu di pasar, bahwa surat-suratnya beres dan ketika terdakwa membaca dikoran tentang asal-usul skuter tersebut, dengan segera melaporkan hal itu kepada kepolisian. Dintakan dalam putusan bahwa tidak ada sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa. Tampaknya yang dimaksudkan ialah sifat melwan hukum formil, persyaratan man tidak dipenuhi sebagai unsur tertulis dari perumusan delik pasal 480 KUHP, sehingga tidak terdapat unsur dolus maupun culpa. Universitas Sumatera Utara dicantumkan dalam rumusan, orang berhak melakukan tadi akan dipidana pula. Hal ini tidak dikehendaki oleh pembentuk undang-undang. 118 Ajaran sifat melawan hukum yang diakui selalu menjadi unsur perbuatan pidana maka tidak berarti bahwa itu harus selalu dibuktikan adanya unsur-unsur oleh penuntut umum. Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik tersebut tidak dinyatakan maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada umumnya dalam perundang-undangan di Indonesia, lebih banyak delik yang tidak memuat unsur melawan hukum di dalam rumusannya. 119 Konsekunsi daripada pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap delik adalah jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik, maka unsur itu dianggap dengan diam-daim ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa. Konsekuensi yang lain juga adalah jiak hakim menjadi ragu-ragu untuk menetukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka hakim tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana. Menurut Vos, Jonkers, dan Lamgemeyer dalam hal itu terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum onslag van rechtsvervolging. 120 Hukum pidana mengenal dua teori atau ajaran tentang sifat melawan hukum, yaitu: 118 Adami Chazawi, Loc. Cit. 119 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana: Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 145. 120 Ibid. Universitas Sumatera Utara a. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formil Ajaran ini menyatakan suatu perbuatan dikatakan melawan hukum, apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik atau tindak pidana dalam undang-undang. 121 Pandangan formil terhadap sifat melawan hukum dianut oleh Simons yang berpendapat, bahwa untuk dapat dipidana maka peristiwa yang dilakukan harus dicakup oleh uraian undang-undang, sesuai dengan isi delik berdasarkan ketentuan pidana di dalam undang-undang. 122 Suatu perbuatan dapat dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah mencocoki atau memenuhi larangan undang-undang. Menurut paradigma ini apabila suatu perbuatan tidak dapat dianggap bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut tidak eksplisit dirumuskan dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana, sekalipun perbuatan tersebut sangat merugikan masyarakat. Ukuran untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum atau tidak adalah undang-undang. Paradigma ini menentukan bahwa dasar untuk patut atau tidaknya suatu perbuatan dipidana hanyalah undang-undang. 123 Pemahaman ini menyatakan letak melawan hukumnya suatu perbuatan telah terlihat dari sifat melanggarnya perbuatan tersebut terhadap undang- undang. 124 Menurut ajaran ini, melawan hukum berarti melawan undang-undang atau bertentangan dengan undang-undang. Pemahaman ini bertolak dari asumsi dasar, bahwa hukum adalah undang-undang. 125 121 Ibid. hlm. 133. 122 Zainal Abidin Farid, 2007, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 242. 123 Tongat, Op.Cit., hlm. 194. 124 Ibid. 125 Ibid. Universitas Sumatera Utara b. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materill Menurut ajaran ini sifat melawan hukumnya perbuatan itu tidak hanya didasarkan pada undang-undang saja atau hukum tertulis saja, tetapi harus juga dilihat asas-asas hukum yang tidak tertulis. Artinya sifat melawan hukumnya perbuatan itu bisa didasarkan pada hukum tertulis undang-undang dan hukum yang tidak tertulis. Menurut ajaran ini, sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata telah diatur dalam undnag-undang dapat hapus baik karena ketentuan undang-undang mamupun aturan-aturan yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya adalah menentangmelawan dengan undang-undang maupun hukum yang tidak tertulis nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat ayaitu tata susila, nilai kepatutan, nilai moral, nilai agama dan sebagainya. 126 Suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Contoh ilustrasi ajaran sifat melawan hukum materill yakni seorang ayah yang memukul seorang pemuda yang memperkosa anak gadisnya. Perbuatan sang ayah yang memukul seorang pemuda bertentangan dengan pasal 351 KUHP penganiayaan. 127 Artinya apa yang yang dilakukan oleh sang ayah terhadap pemuda itu bertentangan dengan pasal 351 KUHP. Tetapi, sifat melawan hukumnya perbuatan sang ayah terhadap pemuda tersebut oleh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dianggap tidak ada. Masyarakat akan 126 Ibid. hlm.197. 127 Pasal 351 KUHP ayat 1 berbunyi:”Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500.-. Ayat 2: bila mengalami luka berat dihukum penjara selama-lamnya lima tahun. Ayat3: bila mengalami kematian dipenjara selama-lamanya tujuh tahun. KUHP R. Soesilo. Universitas Sumatera Utara mengatakan, bahwa perbuatan sang ayah memukul sang pemuda tersebut merupakan perbuatan yang wajar atau patut, berhubung pemuda itu memperkosa anak gadisnya. Sekalipun dalam konteks ini tetap haurs dilihat, sampai seberapa jauh dampak atau akibat pukulan sang ayah tersebut pada pemuda itu. Apabila pukulan itu sampai berakibat luka atau luka berat bahkan kematian, maka tidak menutup kemungkinan atau bahkan pasti, perbuatan sang ayah itu tetap dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Artinya masyarakat mungkin tidak lagi menganggap sebagai perbuatan yang wajar atau patut, sehingga karenanya sang ayah tetap dapat dianggap “telah” melakukan tindak pidana. 128 Ajaran sifat melawan hukum materill ini dalam perkembangan doktrin hukum pidana terbagi atas dua jenis yaitu: 129 1. Ajaran sifat melawan hukum materill dalam fungsinya yang negatif yakni yang berpandangan, bahwa hal-hal atau nilai-nilai yang berada di luar undang-undang hanya diakui kemungkinannya sebagai hal yang dapat menghapus atau menegatifkan sifat melawan hukunya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang dapat “hapus” atau “hilang” sifat melawan hukumnya karena nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat norma-norma yang tidak tertulis. Contohnya pasal 283 ayat 1 KUHP melarang memperlihatkan alat pencegah kehamilan atau alat kontrasepsi seperti kondom pada seseorang yang belum cukup umurbelum dewasa. 130 128 Tongat, Op.Cit., hlm. 198. 129 Ibid. 130 Pasal 283 ayat 1 KUHP R. Soesilo berbunyi:”Dengan hukuman penjara selama- lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.9000,- dihukum barangsiapa menawarkan, menyerahkan buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyampaikan tangan atau mempertunjukkan kepada orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut Universitas Sumatera Utara Ketentuan ini sampai sekarang belum dicabut, sehingga secara formal ketentuan pasal 283 ayat 1 KUHP tersebut masih berlaku. Artinya, perbuatan mempertontonkan alat kontrasepsi kepada anak yang belum dewasa tersebut secara formal tetap dianggap sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum. Perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dengan terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat tersebut dimana masyarakat tidak lagi memandang bahwa memperlihatkan atau mempertontonkan alat kontrasepsi kepada anak yang belum dewasa itu sebagai suatu perbuatan patut dipidana. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat inilah merupakan nilai-nilai yang berada di luar undang- undang yang diakui dapat menghapus atau menegatifkan sifat melawan hukumnya perbuatan yang secara formal dirumuskan dalam pasal 283 ayat 1 KUHP. 131 2. Ajaran sifat melawan hukum materill dalam fungsinya yang positif, yakni memberikan pandangan bahwa suatu perbuatan tetap dianggap sebagai delik atau tindak pidana, sekalipun perbuatan tersebut tidak secara eksplisit dirumuskan dan diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum atau ukuran- ukuran lain yang berada di luar undang-undang, seperti misalnya nilai kesusilaan, nilai agama dan sebagainya. Pemahaman yang ada dalam ajaran melawan hukum materill dalam fungsinya yang positif berarti disangkanya bahwa orang itu belum cukup umurnya 17 tahun sesuai tulisan, sesuatu gambar atau sesuatu barang yang menyinggung perasaan kesopanan atau cara yang dipergunakan untuk mencegah atau menggangu hamil, jika isi surat itu diketahuinya atau jika gambar, barang dan cara itu diketahuinya. 131 Tongat, Op. Cit. hlm. 201. Universitas Sumatera Utara mengakui hal yang berada di luar undang-undang, yaitu nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat hukum yang tidak tertulis sebgai sumber yang positif. Contoh ajaran sifat melawan hukum ini dalam ilustrasi adalah Shan Thie dan Shan Thaw seorang muda-mudi yang sedang ”jatuh cinta”. Mereka yang sedang “jatuh cinta” akhirnya memutuskan untuk hidup bersama dalam satu apartemen layaknya suami istri. Kehidupan yang mereka jalani “menghasilkan” seorang anak. Perbuatan yang dilakukan Shan Thie dan Shan Thaw ini walaupun didasarkan suka sama suka bila diikuti oleh ajaran sifat melawan hukum materill dalam fungsinya positif maka dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Konteks masyarakat Indonesia pada umumnya baik berdasarkan nilai-nilai agama, nilai-nilai moral mapupun nilai nilai-nilai sosial yang lain tidak membenarkan seorang laki-laki melakukan “hubungan” suami istri dengan seorang perempuan yang bukan istrinya. Perbuatan Shan Thie dan Shan Thaw dalam perspektif nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tetap dianggap sebagai perbuatan “zinah”. 132 Artinya sekalipun perbuatan itu 132 Pasal 284 ayat 1 KUHP R. Soesilo berbunyi:”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya Sembilan bulan: 1.a. laki-laki yang beristri yang berzina sedang diketahuinya , bahwa pasal 27 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata berlaku baginya; b.perempuan yang bersuami yang berzina; 2.a. laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahui bahwa yang turut bersalah itu bersuami; b.perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya, bahwa yang turut bersalah itu beristri dan psal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku bagi yang turut yang bersalah itu. Menurut pengertian umum, zina adalah persetubuhan yang dilakukan laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat perkawinan. Tetapi menurut pasal ini, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Hukum masyarakat Indonesia menganggap bahwa seseorang laki-laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan dianggap telah berbuat zina. Hukum adat dari beberapa daerah di Indonesia menganggap yang melakukan zina itu hanya kaum Universitas Sumatera Utara dilakukan berdasarkan suka sama suka tidak ada paksaan, tetapi dalam perspektif nilai-nilai masyarakat, perbuatan tersebut tetap dianggap sebagai perbuatan tercela. Perbuatan yang dilakukan oleh Shan Thie dan Shan Thaw dianggap sebagai perbuatan yang merusak tata nilai dan susila masyarakat. Perbuatan mereka dapat dikatakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.

B. Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Narkotika