Pandangan Moderat dipertahankan oleh Marc Ancel Perancis yang menamakan alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvelle” atau “New Social
Defence” atau “Perlindungan Sosial Baru”. Menurut Ancel, tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang
tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang
besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum.
100
Beberapa konsep pandangan moderat:
101
1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-
konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. 2.
Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari
kehidupan masyarakat itu sendiri; 3.
Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan tekniks-tekniks yuridis yang terlepas dari
kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik. Aliran moderat ini juga lahir sebagai jawaban terhadap kegagalan aliran
positif dengan paham rehabilisionisnya.
C. Kebijakan Non Penal Non Penal Policy
Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu,
sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
100
Ibid. hlm. 89.
101
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan
kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan
memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.
102
Pernyataan di atas juga didukung oleh berbagai hasil dari Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela menyatakan dalam
pertimbangan resolusinya mengenai Crime Trends and Crime Prevention Strategies, antara lain:
103
1. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas
kehidupan yang layak bagi semua orang the crime impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people;
2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan
sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan crime prevention strategies should be based upon the elemination of causes and
condition giving rise to crime; 3.
Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejahatan diberbagai negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan
diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebodohan diantara sebagain besar penduduk the main causes of crime in
many countries are social inequality, ratial and national discrimination,
102
Ibid. hlm. 55.
103
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
low standar of living, unemployment and illiteracy among broad section of the population.
Setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, maka dalam resolusi itu dinyatakan bahwa menghimbau semua anggota PBB untuk mengambil tindakan
dalam kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan menyebabkan kejahatan, yang meliputi
masalah pengangguran, kemiskinan, kebutahurufan kebodohan, diskriminasi rasial dan nasional serta bermacam-macam bentuk dari ketimpangan sosial.
104
Di dalam Dokumen ACONF. 121L9 mengenai Crime Prevention in the Context Of Development Kongres PBB ke-7 Tahun 1985 di Milan, Italia
ditegaskan bahwa upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan yang
mendasar. Strategi pencegahan kejahatan yang mendasar ini harus dicarikan untuk menghilangkan penyebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan suatu kejahatan.
Akhirnya di dalam Guiding Principles yang dihasilkan oleh Kongres PBB ke-7 ini, ditegaskan bahwa berbagai kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan
peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosio-ekonomi, dimana kejahatan sering
merupakan suatu gejala semata symptom.
105
Kongres PBB ke-8 tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders yang berlangsung di Havana, Cuba, menekankan,
pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu
104
Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 41.
105
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op. Cit., hlm. 56.
Universitas Sumatera Utara
faktor penting dalam pencapaian strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Oleh karena aspek-aspek social dalam kontek pembangunan ini harus
mendapat prioritas yang utama. Kongres ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek sosial yang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab
timbulnya kejahatan. Hal ini disebutkan dalam Dokumen ACONF. 144L.3, yaitu sebagai berikut:
106
1. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang
layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok; 2.
Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek harapan karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpangan-
ketimpangan sosial; 3.
Mengendornya ikatan sosial dan keluarga; 4.
Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;
5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan
adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan;
6. menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang
mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga;
106
Ibid., hlm. 56-57.
Universitas Sumatera Utara
7. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk
berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya;
8. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga
diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas; 9.
meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian;
10. dorongan-dorongan khususnya oleh media massa mengenai ide-ide dan
sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap-sikap tidak toleran.
Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor yang menyebabkan timbulnya kejahatan seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah
yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung dengan pendekatan non
penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.
107
Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan prevention without
punishment, yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat community planning mental health, kesehatan mental masyarakat secara
nasional national mental health, social worker and child welfare kesejahteraan
107
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
anak dan pekerja social, serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi administrative civil law.
108
Dalam kontek ini, informasi yang diperoleh melalui disiplin lain, misalnya sosiologi, antropologi dan psikologi, sangat membantu untuk merumuskan
kebijakan sosial, perencanaan kesehatan mental masyarakat sehingga memberikan pengaruh preventif terhadap terjadinya kejahatan. Selain itu juga, program-
program untuk mengatasi tekanan stress dalam kehidupan bermasyarakat perlu mendapat perhatian dalam penanggulangan kejahatan, antara lain, kesejahteraan
anak-anak serta rehabilitasi dan kesehatan pekerja sosial. Berdasarkan berbagai keterangan di atas, maka telah diungkap bahwa kejahatan berakar dari faktor-
faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu perlu langkah-langkah penanggulangan yang didasarkan pada
penguatan sumber daya yang ada di dalam masyarakat community crime prevention.
109
Menurut Tim Hope, pencegahan kejahatan oleh masyarakat community crime prevention mengarah kepada tindakan-tindakan yang diharapkan dapat
merubah kondisi sosial yang mendukung terjadinya kejahatan di kedia man masyarakat. Fokus perhatiannya dikonsentrasikan pada kemampuan institusi
sosial lokal untuk mengurangi angka kejahatan. Institusi lokal ini mewadahi anggota masyarakat dalam suatu komunitas untuk bekerjasama secara sungguh-
sungguh, memberikan bimbingan dan mengatur etika berprilaku, khususnya bagi anak-anak muda. Community crime prevention ini dapat didekati melalui dua
108
Ibid. hlm. 58.
109
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dimensi, pertama, melalui dimensi horizontal dari hubungan sosial antara orang- orang dan group-group dalam masyarakat. Kedua, melalui dimensi vertikal dari
relasi sosial yang menghubungkan institusi lokal dengan komunitas yang lebih luas dari civil society.
110
Program-program dari community crime prevention ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
111
1. Community organization, tipe ini ditujukan membangun sebuah komunitas
masyarakat yang didasarkan pada kerjasama dalam penanggulangan kejahatan. Kerjasama ini juga dibina melalui sekolah-sekolah lokal,
tempat-tempat ibadah. Program ini juga menyediakan sarana yang efektif bagi anak-anak muda untuk bersosialisasi dalam suatu pergaulan yang
positif; 2.
Community defence, program pada tipe ini ditujukan untuk mencegah terjadinya viktimisasi melalui pencegahan terhadap pelaku kejahatan.
Strategi yang digunakan adalah pencegahan kejahatan melalui mendesain lingkungan crime prevention through environmental design CPTED,
defensible space measures, dan organisasi pengawasan masyarakat melalui neighbourhood watch.
3. Order-maintenance, pendekatan ini dilakukan untuk mengontrol
pengrusakan sarana fisik, ancaman terhadap kehidupan bertetangga dan perilaku kasar di jalanan.
110
Ibid. hlm. 63-64.
111
Ibid. hlm. 65.
Universitas Sumatera Utara
4. Risk-based program, merupakan program yang menggunakan pendekatan
untuk mencari faktor-faktor yang beresiko dalam komunitas kehidupan masyarakat, mengidentifikasi yang paling beresiko dan menyediakan
upaya pencegahan khusus bagi mereka. Program ini meliputi pendekatan terhadap seseorang yang kemungkinan menjadi target korban kejahatan
dan strategi ditujukan untuk melindungi korban dan pencegahan supaya tidak terjadi pengulangan menjadi korban repeat victimization.
5. Community development, strategi yang digunakan adalah membangun
kembali tatanan kehidupan sosial, fisik dan perekonomian lingkungan tempat tinggal.
6. Structural change, tujuan yang ingin dicapai hampir sama dengan
community development, yaitu strategi yang dibangun adalah perubahan yang utama di dalam kehidupan masyarakat yang dapat mereduksi
terjadinya kejahatan. Pendekatan yang dilakukan berupa penerapan kebijakan di level makro pembangunan ekonomi dan ketenagakerjaan,
perumahan yang layak, pendidikan, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan serta pelayanan sosial.
Universitas Sumatera Utara
BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGATURAN
TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA A.
Ajaran Sifat Melawan Hukum
Pembahasan tentang persoalan sifat melawan hukum dalam hukum pidana merupakan pembahasan yang sangat urgen dan sangat mendasar. Urgensi
pembahasan “sifat melawan hukum” dalam hukum pidana bertolak dari kenyataan, bahwa dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-
perbuatan yang bersifat melawan hukum saja. Perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana, yang dalam konteks hukum pidana disebut
dengan perbuatan pidana atau tindak pidana. Konstruksi pemikiran yang menyatakan dilarangnya suatu perbuatan baik oleh hukum tertulis undang-
undang maupun oleh hukum tidak tertulis itulah yang menjadi dasar untuk menentukan apakah perbuatan itu dikatakan bersifat melawan hukum atau tidak.
Suatu perbuatan yang tidak dilarang baik oleh hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis tidak dapat dianggap sebagai perbuatan yang bersifat melawan
hukum.
112
Konteks hukum pidana “melawan hukum” atau wederrechtelijk weder = bertentangan dengan, melawan; recht = hukum merupakan salah satu unsur
tindak pidana. Sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur tindak pidana, merupakan penilaian objektif terhadap perbuatan, bukan terhadap si pembuat.
Untuk melihat apakah suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum atau tidak,
112
Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
UMM Press, Malang, hlm. 193.
Universitas Sumatera Utara
harus dilihat secara penilaian objektif bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang maupun oleh hukum yang tidak
tertulis.
113
Pengertian melawan hukum atau wederrechttelijk dalam kepustakaan istilah melawan hukum mempunyai beberapa arti antara lain melawan hukum
tegen het recht, tanpa hak sendiri zonder eigen recht, bertentangan dengan hak orang lain tegen eens anders recht, bertentangan dengan hukum objektif tegen
het objektieve recht, bertentangan dengan hukum pada umumnya in strijd met recht in het algemee.
114
KUHP kadangkala menggunakan istilah melawan hukum dalam beberapa arti tegen het objectieve recht bertentangan dengan hukum
objektif dipakai dalam Pasal 333 KUHP; zonder eigen recht tanpa hak sendiri dipakai dalam Pasal 406; in strijd met het recht bertentangan dengan hukum
dipakai dalam Pasal 167, 378, 522 KUHP.
115
Bila melihat dari segi undang-undang, suatu perbuatan tidak mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang
wederrechttelijk dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada
dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan. Berpegang pada pendirian ini, setiap perbuatan yang ditetapkan yang dilarang dengan mencantumkannya dalam
peraturan perundang-undangan menjadi tindak pidana, tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu dicantumkan atau tidak dalam rumusan, maka rumusan
113
Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana : Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 132.
114
Teguh Praseyto, Op. Cit., hlm. 67.
115
Andi Hamzah, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana itu sudah mempunyai sifat melawan hukum. Artinya unsur melawan hukum adalah unsur mutlak dalam tindak pidana.
116
Pandangan ini juga dianut oleh Mahkamah Agung sebagaimana terdapat dalam pertimbangan putusannnya
No. 30KKr1969 tanggal 6 Juni 1970, yang menyatakan bahwa: “dalam setiap tindak pidana selalu ada “unsur melawan hukum“ dari perbuatan-perbuatan yang
dituduhkan walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan”.
117
Mencantumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana
tercermin dalam keterangan risalah penjelasan WvS Belanda, yaitu adanya kekhawatiran bagi pembentuk undang-undang, bahwa jika tidak dimuatnya unsur
melawan hukum di situ, akan dapat dipidananya pula perbuatan pula perbuatan lain yang sama, namun tidak bersifat melawan hukum, ia berhak untuk melakukan
itu. Contoh konkret pasal 362 KUHP, jika tidak dicantumkan unsur melawan hukum dalam rumusan maksud memiliki dengan melawan hukum, orang
mengambil benda-benda di toko swalayan sebelum membayar di tempat kasir dapat dipidana pula walaupun mengambil benda-benda itu tidak bersifat melawan
hukum materil. Artinya jelas bahwa setiap unsur melawan hukum itu dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, sudah pasti ada perbuatan yang sama
yang tidak bersifat melawan hukum, yang jika unsur melawan hukum itu tidak
116
Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 87.
117
Putusan MARI No. 30KKr1969, tanggal 06 Juni 1970, seorang diadili berdasarkan tuduhan penadahan Pasal 480 KUHP yaitu membeli skuter yang berasal dari kejahatan.
Dinyatakan bahwa terdakwa membeli skuter itu di pasar, bahwa surat-suratnya beres dan ketika terdakwa membaca dikoran tentang asal-usul skuter tersebut, dengan segera melaporkan hal itu
kepada kepolisian. Dintakan dalam putusan bahwa tidak ada sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa. Tampaknya yang dimaksudkan ialah sifat melwan hukum formil, persyaratan man tidak
dipenuhi sebagai unsur tertulis dari perumusan delik pasal 480 KUHP, sehingga tidak terdapat unsur dolus maupun culpa.
Universitas Sumatera Utara
dicantumkan dalam rumusan, orang berhak melakukan tadi akan dipidana pula. Hal ini tidak dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.
118
Ajaran sifat melawan hukum yang diakui selalu menjadi unsur perbuatan pidana maka tidak berarti bahwa itu harus selalu dibuktikan adanya unsur-unsur
oleh penuntut umum. Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan
nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik tersebut tidak dinyatakan maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada umumnya dalam perundang-undangan di Indonesia, lebih
banyak delik yang tidak memuat unsur melawan hukum di dalam rumusannya.
119
Konsekunsi daripada pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap delik adalah jika unsur melawan hukum
tidak tersebut dalam rumusan delik, maka unsur itu dianggap dengan diam-daim ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa. Konsekuensi yang
lain juga adalah jiak hakim menjadi ragu-ragu untuk menetukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka hakim tidak boleh menetapkan adanya
perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana. Menurut Vos, Jonkers, dan Lamgemeyer dalam hal itu terdakwa harus dilepas dari segala
tuntutan hukum onslag van rechtsvervolging.
120
Hukum pidana mengenal dua teori atau ajaran tentang sifat melawan hukum, yaitu:
118
Adami Chazawi, Loc. Cit.
119
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana: Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 145.
120
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
a. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formil
Ajaran ini menyatakan suatu perbuatan dikatakan melawan hukum, apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik atau
tindak pidana dalam undang-undang.
121
Pandangan formil terhadap sifat melawan hukum dianut oleh Simons yang berpendapat, bahwa untuk dapat dipidana maka
peristiwa yang dilakukan harus dicakup oleh uraian undang-undang, sesuai dengan isi delik berdasarkan ketentuan pidana di dalam undang-undang.
122
Suatu perbuatan dapat dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut
telah mencocoki atau memenuhi larangan undang-undang. Menurut paradigma ini apabila suatu perbuatan tidak dapat dianggap bersifat melawan hukum apabila
perbuatan tersebut tidak eksplisit dirumuskan dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana, sekalipun perbuatan tersebut sangat merugikan masyarakat. Ukuran
untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum atau tidak adalah undang-undang. Paradigma ini menentukan bahwa dasar untuk patut atau
tidaknya suatu perbuatan dipidana hanyalah undang-undang.
123
Pemahaman ini menyatakan letak melawan hukumnya suatu perbuatan telah terlihat dari sifat melanggarnya perbuatan tersebut terhadap undang-
undang.
124
Menurut ajaran ini, melawan hukum berarti melawan undang-undang atau bertentangan dengan undang-undang. Pemahaman ini bertolak dari asumsi
dasar, bahwa hukum adalah undang-undang.
125
121
Ibid. hlm. 133.
122
Zainal Abidin Farid, 2007, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 242.
123
Tongat, Op.Cit., hlm. 194.
124
Ibid.
125
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materill
Menurut ajaran ini sifat melawan hukumnya perbuatan itu tidak hanya didasarkan pada undang-undang saja atau hukum tertulis saja, tetapi harus juga
dilihat asas-asas hukum yang tidak tertulis. Artinya sifat melawan hukumnya perbuatan itu bisa didasarkan pada hukum tertulis undang-undang dan hukum
yang tidak tertulis. Menurut ajaran ini, sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata telah diatur dalam undnag-undang dapat hapus baik karena ketentuan
undang-undang mamupun aturan-aturan yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya adalah menentangmelawan dengan undang-undang maupun hukum
yang tidak tertulis nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat ayaitu tata susila, nilai kepatutan, nilai moral, nilai agama dan sebagainya.
126
Suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau bertentangan dengan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat. Contoh ilustrasi ajaran sifat melawan hukum materill yakni seorang ayah yang memukul seorang pemuda yang memperkosa
anak gadisnya. Perbuatan sang ayah yang memukul seorang pemuda bertentangan dengan pasal 351 KUHP penganiayaan.
127
Artinya apa yang yang dilakukan oleh sang ayah terhadap pemuda itu bertentangan dengan pasal 351 KUHP. Tetapi,
sifat melawan hukumnya perbuatan sang ayah terhadap pemuda tersebut oleh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dianggap tidak ada. Masyarakat akan
126
Ibid. hlm.197.
127
Pasal 351 KUHP ayat 1 berbunyi:”Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500.-. Ayat 2:
bila mengalami luka berat dihukum penjara selama-lamnya lima tahun. Ayat3: bila mengalami kematian dipenjara selama-lamanya tujuh tahun. KUHP R. Soesilo.
Universitas Sumatera Utara
mengatakan, bahwa perbuatan sang ayah memukul sang pemuda tersebut merupakan perbuatan yang wajar atau patut, berhubung pemuda itu memperkosa
anak gadisnya. Sekalipun dalam konteks ini tetap haurs dilihat, sampai seberapa jauh dampak atau akibat pukulan sang ayah tersebut pada pemuda itu. Apabila
pukulan itu sampai berakibat luka atau luka berat bahkan kematian, maka tidak menutup kemungkinan atau bahkan pasti, perbuatan sang ayah itu tetap dianggap
sebagai perbuatan melawan hukum. Artinya masyarakat mungkin tidak lagi menganggap sebagai perbuatan yang wajar atau patut, sehingga karenanya sang
ayah tetap dapat dianggap “telah” melakukan tindak pidana.
128
Ajaran sifat melawan hukum materill ini dalam perkembangan doktrin hukum pidana terbagi atas dua jenis yaitu:
129
1. Ajaran sifat melawan hukum materill dalam fungsinya yang negatif yakni
yang berpandangan, bahwa hal-hal atau nilai-nilai yang berada di luar undang-undang hanya diakui kemungkinannya sebagai hal yang dapat
menghapus atau menegatifkan sifat melawan hukunya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang dapat “hapus” atau “hilang” sifat
melawan hukumnya karena nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat norma-norma yang tidak tertulis. Contohnya pasal 283 ayat 1 KUHP
melarang memperlihatkan alat pencegah kehamilan atau alat kontrasepsi seperti kondom pada seseorang yang belum cukup umurbelum dewasa.
130
128
Tongat, Op.Cit., hlm. 198.
129
Ibid.
130
Pasal 283 ayat 1 KUHP R. Soesilo berbunyi:”Dengan hukuman penjara selama- lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.9000,- dihukum barangsiapa
menawarkan, menyerahkan buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyampaikan tangan atau mempertunjukkan kepada orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan ini sampai sekarang belum dicabut, sehingga secara formal ketentuan pasal 283 ayat 1 KUHP tersebut masih berlaku. Artinya,
perbuatan mempertontonkan alat kontrasepsi kepada anak yang belum dewasa tersebut secara formal tetap dianggap sebagai perbuatan yang
bersifat melawan hukum. Perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dengan terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat tersebut dimana
masyarakat tidak lagi memandang bahwa memperlihatkan atau mempertontonkan alat kontrasepsi kepada anak yang belum dewasa itu
sebagai suatu perbuatan patut dipidana. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat inilah merupakan nilai-nilai yang berada di luar undang-
undang yang diakui dapat menghapus atau menegatifkan sifat melawan hukumnya perbuatan yang secara formal dirumuskan dalam pasal 283 ayat
1 KUHP.
131
2. Ajaran sifat melawan hukum materill dalam fungsinya yang positif, yakni
memberikan pandangan bahwa suatu perbuatan tetap dianggap sebagai delik atau tindak pidana, sekalipun perbuatan tersebut tidak secara
eksplisit dirumuskan dan diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum atau ukuran-
ukuran lain yang berada di luar undang-undang, seperti misalnya nilai kesusilaan, nilai agama dan sebagainya. Pemahaman yang ada dalam
ajaran melawan hukum materill dalam fungsinya yang positif berarti
disangkanya bahwa orang itu belum cukup umurnya 17 tahun sesuai tulisan, sesuatu gambar atau sesuatu barang yang menyinggung perasaan kesopanan atau cara yang dipergunakan untuk
mencegah atau menggangu hamil, jika isi surat itu diketahuinya atau jika gambar, barang dan cara itu diketahuinya.
131
Tongat, Op. Cit. hlm. 201.
Universitas Sumatera Utara
mengakui hal yang berada di luar undang-undang, yaitu nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat hukum yang tidak tertulis sebgai sumber yang
positif. Contoh ajaran sifat melawan hukum ini dalam ilustrasi adalah Shan Thie dan Shan Thaw seorang muda-mudi yang sedang ”jatuh cinta”.
Mereka yang sedang “jatuh cinta” akhirnya memutuskan untuk hidup bersama dalam satu apartemen layaknya suami istri. Kehidupan yang
mereka jalani “menghasilkan” seorang anak. Perbuatan yang dilakukan Shan Thie dan Shan Thaw ini walaupun didasarkan suka sama suka bila
diikuti oleh ajaran sifat melawan hukum materill dalam fungsinya positif maka dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Konteks
masyarakat Indonesia pada umumnya baik berdasarkan nilai-nilai agama, nilai-nilai moral mapupun nilai nilai-nilai sosial yang lain tidak
membenarkan seorang laki-laki melakukan “hubungan” suami istri dengan seorang perempuan yang bukan istrinya. Perbuatan Shan Thie dan Shan
Thaw dalam perspektif nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tetap dianggap sebagai perbuatan “zinah”.
132
Artinya sekalipun perbuatan itu
132
Pasal 284 ayat 1 KUHP R. Soesilo berbunyi:”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya Sembilan bulan:
1.a. laki-laki yang beristri yang berzina sedang diketahuinya , bahwa pasal 27 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata berlaku baginya;
b.perempuan yang bersuami yang berzina; 2.a. laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahui bahwa yang turut bersalah itu
bersuami; b.perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya,
bahwa yang turut bersalah itu beristri dan psal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku bagi yang turut yang bersalah itu.
Menurut pengertian umum, zina adalah persetubuhan yang dilakukan laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat perkawinan. Tetapi menurut pasal ini, zina adalah
persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Hukum masyarakat Indonesia menganggap bahwa
seseorang laki-laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan dianggap telah berbuat zina. Hukum adat dari beberapa daerah di Indonesia menganggap yang melakukan zina itu hanya kaum
Universitas Sumatera Utara
dilakukan berdasarkan suka sama suka tidak ada paksaan, tetapi dalam perspektif nilai-nilai masyarakat, perbuatan tersebut tetap dianggap
sebagai perbuatan tercela. Perbuatan yang dilakukan oleh Shan Thie dan Shan Thaw dianggap sebagai perbuatan yang merusak tata nilai dan susila
masyarakat. Perbuatan mereka dapat dikatakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
B. Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Narkotika