Perbandingan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang visi dan strategi politik NU

(1)

PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN

YUSUF HASYIM

TENTANG VISI DAN STRATEGI POLITIK NU

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Pemikiran Politik Islam

Untuk memenuhi syarat mencapai Gelar Sarjana Sosial ( S.Sos)

Oleh

HENDRI JULIANTO Nim: 103033227817

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN

YUSUF HASYIM

TENTANG VISI DAN STRATEGI POLITIK NU

KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... iv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

... 5

C. Tujuan dan Fungsi Penulisan

... 5

D. Metode Penulisan

... 5

E. Sistematika Penulisan

... 6

BAB II NU, IDEOLOGI KEAGAMAAN DAN PAHAM

KEBANGSAAN

A. Visi Kelahiran NU

... 8 B. Faham Ahlusunnah wal Jama’ah dan Paham Kebangsaan NU

... 12

C. Sejarah Politik NU Masa Lalu

... 20

D. Politik NU dan Khittah NU 1926


(3)

BAB III PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TENTANG VISI POLITIK NU

A. Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid

... 31

B. Pandangan Abdurrahman Wahid Tentang NU, Islam dan Negara

.. 36

C. Abdurrahman Wahid dan Misi Perjuangan Politik PKB

... 41

D. Sketsa Biografi Yusuf Hasyim

... 46 E. Pandangan Yusuf Hasyim Tentang NU, Islam dan Negara

... 51

F. Yusuf Hasyim dan Misi Perjuangan Politik PKU

... 57

BAB IV PERBANDINGAN, ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TENTANG KEBANGSAAN

A. Pandangan Kebangsaan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim

.. 60

B. Analisa Perbandingan Strategi Politik NU Abdurrahman Wahid

Dan Yusuf Hasyim

... 66 BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan...76 B. Saran-saran ...79


(4)

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mencermati dinamika internal yang terjadi dalam jam'iyah Nahdlatul Ulama beberapa periode kepemimpinan Abdurrahman Wahid, berkembanglah fenomena politik, yaitu munculnya wacana pemikiran dialektis yang dalam kurun waktu ini dirasakan oleh sebagian orang telah menghilang dari tradisi NU. Munculnya wacana pemikiran dialektis tersebut, salah satunya disebabkan oleh polemik antar geneologis “Darah Biru” NU sendiri, yaitu antara KH. Abdurrahman Wahid dan KH. Yusuf Hasyim.

Dalam hal ini Greg Fealy dan Greg Barton menyatakan; Yusuf Hasyim merupakan anak terakhir pendiri NU Hasyim Asy'ari yang masih hidup (sekarang telah meninggal) dan oleh karena itu merupakan paman dari Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid sendiri adalah anak tertua dari kakak tertua Yusuf Hasyim, yaitu Wachid Hasyim. Hubungan antara paman dan keponakan, yang secara teoritis bisa membuat klaim-klaim yang bertetangan untuk menjadi penerus Hasyim Asy'ari yang sah, sangatlah kompleks, bahkan diantara keduanya jarang harmonis.1

Tema yang menjadi perdebatan antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim sebenarnya kompleks, salah satunya mengenai visi dan strategi perjuangan politik NU, yaitu menyangkut hubungan agama dan negara serta

1

Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, (Yogyakarta: Lkis, 1998), ha1. 123.


(6)

pilihan impelementasi model dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang paling memungkinkan untuk diterapkan. Tema yang menjadi perdebatan sehubungan dengan masalah ini, sebenarnya bukan masalah baru, karena sudah sering dijadikan bahan perdebatan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Setiap kali bangsa Indonesia menghadapi wacana politik bersinggungan dengan wilayah keagamaan, selalu saja muncul ke permukaan, yang bernuansa baru hanyalah pelakunya saja. Tampilnya dua saudara, antara paman dan keponakan bersama-sama dibesarkan dan merupakan keturunan pendiri NU, memberi nuansa tersendiri. Akan tetapi selama ini yang muncul di permukaan lebih berupa konflik. Meskipun jika dilakukan pendalaman masih banyak titik temunya. Seperti penjelasan Pak Ud sendiri; “Sebenarnya disamping perbedaan pendapat, antara kami banyak pula persamaannya. Sayang, yang banyak diekspos adalah perbedaan kami”.2

Sejak tampil pertama kali dalam kepememimpinan NU, Abdurrahman Wahid telah mencoba menghidupkan tradisi pemikiran kritis di kalangan NU serta membangun wacana pemikiran keagamaan baru. Begitu besarnya concern Abdurrahman Wahid untuk membangkitkan tradisi pemikiran kritis dikalangan NU, terutama di kalangan anak muda NU.

Teramat kuatnya posisi Abdurrahman Wahid sebagai inspirator gagasan besar dikalangan NU, tanpa disadari telah menciptakan keseragaman wacana pemikiran, sehingga harapan Abdurrahman Wahid agar terjadi dialektika yang sehat di kalangan NU tidak terpenuhi. Sehingga muncul dinamika pemikiran yang

2


(7)

berlangsung intensif di kalangan warga NU. Jika dicermati yang terjadi adalah wacana monologis, dengan pemikiran Abdurrahman Wahid sebagai landasan terminologinya. Dalam bentuk yang ekstrim, bisa disebutkan nyaris terjadi. Penyikapan pengabsolutan setiap gagasan yang muncul dari Abdurrahman Wahid selalu terjadi, tanpa ada upaya mengimbangi dengan gagasan alternatif.

Meski baru serta terbatas pada substansi gagasan tertentu, tampilnya Yusuf Hasyim dengan dialog melalui media massa yang terkesan berseberangan dengan pemikiran Abdurrahman Wahid, telah memberikan “keseimbangan“ wacana pemikiran di kalangan warga NU. Tampilnya Yusuf Hasyim sebagai antitesa terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid diharapkan menciptakan iklim yang mendukung bagi munculnya tradisi dialog yang sehat, sehingga nantinya dapat memunculkan sintesa baru dan lebih mencerahkan. Peran yang dilakukan Yusuf Hasyim itu, bukanlah tanpa mengandung resiko. Melihat kemajemukan pola pikir masyarakat kita, terutama warga NU, apa yang dilakukan Yusuf Hasyim sebagai pihak beroposisi berseberangan (sebagian) terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid, berpeluang mengkondisikan dan respon berbeda yang sama besarnya, sikap tidak setuju dan mendukung.

Sikap tidak setuju akan muncul dari kalangan yang beranggapan bahwa perseteruan tersebut akibat masalah internal Bani Hasyim sendiri,3 atau mereka yang tidak rela menghadapi tokoh Abdurrahman Wahid dikritisi orang lain. Sedangkan sikap mendukung, lahir dari mereka yang merasa ada angin segar bagi munculnya pemikiran yang selama ini tidak disadari telah terbelenggu di kalangan

3


(8)

NU. Apalagi selama kurun waktu tertentu memimpin NU (Abdurrahman Wahid) nyaris tidak ada pihak yang berani secara terbuka bersikap demikian. Posisi Yusuf Hasyim sebagai paman jelas menjadi faktor yang menghapuskan barrier tersebut, sehingga bisa melakukan perdebatan secara bebas dengan keponakan. Yusuf Hasyim, dengan segala kelebihan dan kekurangannya dinilai cukup punya nyali menghadapi Abdurrahman Wahid.

Dalam pandangan Yusuf Hasyim, berkomitmen menjadikan siyasah (politik) sebagai alat untuk tegaknya Syari'ah Islam dalam batas yang wajar dan sejalan dengan kepentingan nasional.4

Sebaliknya dalam pandangan Abdurrahman Wahid, perjuangan syari'ah tidak harus melalui hukum-hukum dan simbol agama secara formal, melainkan sebagai ruh yang menjiwai setiap produk hukum positif yang dibuat oleh negara. Substansi syari'ah Islamiyah ini juga bisa terwujud melalui gerakan demokrasi atau menegakkan negara dan bangsa.5

Meskipun persoalan polemik antar keduanya sudah berlalu, bukan berarti masyarakat khususnya warga NU akan tinggal diam. Mereka justru penasaran mencari jawaban yang sebenarnya. Mereka akan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di antara keduanya.

Diharapkan penulisan skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM MENGENAI VISI DAN STRATEGI POLITIK NU”, dapat memberikan kontribusi untuk ikut mendudukkan persoalan keduanya sesuai porsinya, bukan sebagai upaya

4

H.M. Yusuf Hasyim, “PKU dan Siyasah Menuju Syari'ah,” Jawa Pos, 3 November 1998. 5


(9)

melakukan upaya pembenaran atas berbagai tindakan dan pernyataan keduanya. Lebih dari itu, hal ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan atas segala makna dan warna yang ada di balik peristiwa, serta sebagai upaya penempatan masalah sesuai proporsinya dari polemik keduanya yang memiliki nilai historis. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembahasan pada skripsi ini adalah masalah sosial yang bersifat dinamis maka penulis membatasi penulisan ini melalui visi politik NU, yang lebih difokuskan pada perbandingan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang pola hubungan agama dan negara melalui misi perjuangan politik PKB dan PKU. Dari pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang pola perjuangan politik?

2. Apakah perbedaan dan persamaan pandangan antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang pola hubungan agama dan negara tersebut ? C. Tujuan Dan Fungsi Penulisan

Tujuan dari penulisan ini ialah untuk memberikan sedikit gambaran serta penjelasan tentang pemikiran Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang pola hubungan agama dan negara melalui misi perjuangan politik PKB dan PKU. Penulisan ini memperkaya khazanah Pemikiran Politik Islam.

Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Oleh karena objek penelitian ini adalah pemikiran Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang pola hubungan agama dan negara melalui misi perjuangan


(10)

politik PKB dan PKU, maka skripsi ini disusun berdasarkan studi kepustakaan (Library Reseach) yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan yang relevan dengan menelusuri buku-buku atau tulisan-tulisan yang dibuat oleh Abdurrahman Wahid maupun Yusuf Hasyim serta beberapa tulisan yang mendukung ketajaman analisis.

Sedangkan dalam menguraikan permasalahan, penulis menerapkan metode deskriptif, kemudian dilakukan secara analisis dengan interpretasi tentang substansi kedua tokoh ini serta membangun beberapa korelasi yang dianggap signifikan. Data-data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan studi komparatif. Sehingga penulis dapat menjelaskan perbandingan dari dua fenomena pandangan politik antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim.

Sedangkan teknik penulisan skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat , Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2003 / 2004.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari V bab, perinciannya adalah sebagai berikut: Bab I tentang Pendahuluan. Diawali dasar pemikiran penulis mengangkat tema ini sebagai bahan penyusunan skripsi, dilanjutkan dengan pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan fungsi penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan

Bab II bab ini, menguraikan tentang visi dan orientasi awal. kelahiran NU. serta uraian sejarah perjalanan politik NU serta gerakan-gerakan strategis yang


(11)

dilalakukan NU, baik ketika Ormas ini menjadi Ormas keagamaan maupun ketika menjadi Partai Politik.

Bab III akan membahas penggambaran seorang Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim, serta pandangan-pandangan keduanya terhadap NU, Islam dan Negara meliputi strategi perjuangan keduanya.

Bab IV membahas mengenai perbandingan, Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim khususnya yang berkaitan dengan kebangsaan dan semangat perjuangan keduanya.

Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan-kesimpulan dan saran saran penulis berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan penulisan skripsi ini.


(12)

BAB II

NAHDLATUL ULAMA, IDEOLOGI KEAGAMAAN DAN PAHAM KEBANGSAAN

A. Latar Belakang Kelahiran NU

Untuk memahami jati diri NU, KH. Syamsul Arifin, sang mediator antara KH. M. Cholil (Bangkalan) dan Hadratussyekh Hasyim Asy'ari (Tebuireng) menyatakan bahwa ketika seseorang akan memahami NU, belum cukup kalau hanya melihat sisi formal, semenjak lahir ternyata mengalami perkembangan hingga kini. Seseorang harus mempelajari kondisi yang melatarbelakangi mengapa organisasi ini dibentuk, arah mana tujuan yang hendak dituju, cara dan proses apa yang harus ditempuh dan bagaimana asumsi dan lain sebagainya6.

Ada hal yang mendasar disaat kelahiran NU, menurut Kyai As’ad, sebelum para ulama memberangkat delegasi yang tergabung dalam Komite Hijaz7 berangkat ke Saudi Arabia, mereka cukup dipusingkan dengan identitas yang akan diberikan kepada delegasi tersebut dalam organisasi disertai nama dan kegiatannya.

6

Sinansuri, Encip, NU Dalam Tantangan, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, (Surabaya: Sahabat Ilmu, 1994). hal. 3.

7

Komite Hijaz, dibentuk di Surabaya Dalam rapat pembentukan ini dihadiri para Alim Ulama antara lain KH. Hasyim Asy'ari (Tebuireng), KH. Bisri Samsuri (Denanyar), KH. Ridlwan (Semarang), KH Nawawi (Pasuruan), KH. R. Asnawi dan KH. R. Hambali (Kudus), KH. Nachrowi (Malang), KH. Doromuntoha -menantu Kyai Cholil Bangkalan. Rapat ini mernutuskan tujuan Komite Hijaz; pertama mengirim utusan ke Makkah atas nama Ulama Indonesia untuk menghadiri Kongres Dunia Islam, dengan tugas memperjuangkan hukum-hukum ibadat dalam madzhab empat. Komite inilah yang diubah menjadi organisasi yang bersifat sosial keagamaan dengan nama NU ( Nahdlatul Ulama ) pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 atau Rajab 1344 Hijriyah. Lihat, H. A. Bassit Adnan, Kemelut di NU, Antara Kyai dan Politisi, ( CV. Mayasari, Solo: 1992) hal.12.


(13)

Setelah para ulama meraih kesepakatan mengenai nama organisasi serta kegiatannya, mereka menyerahkan amanat peresmian kepada KH. Hasyim Asy’ari. Akan tetapi beliau tidak gegabah dalam mengambil keputusan, beliau langsung meminta petunjuk Allah melalui isthikarrah. Ternyata, Allah memberikan jawaban berupa petunjuk dan dibenarkan oleh gurunya Kyai Cholil Bangkalan. Selanjutnya Kyai Cholil melalui Kyai As’ad memberi pesan berupa bacaan ayat Al Qur’an, surat Thaha ayat 17 sampai dengan 238. Dalam keterangan lain diberitakan Kyai As’ad juga memberikan sebuah tongkat dan tasbih kepada Kyai Hasyim.9

Riwayat di atas merupakan simbol yang mengandung filosofi berupa amanat kepada Kyai Hasyim sehingga muncullah cikal bakal pendirian organisasi Nahdlatul Ulama. Organisasi ini mengembangkan kepemimpinan pada tiga jalur.

8

!" # $ %& '

()* +, -./012 3 46# -./8 92 ' " :;< 9= ./1 >?" @ A$ BCDE- GHIJK -L

GM IJK N ) O P

!" # Q.R S TUV2W XH #Z6[ \] ^) _ (

# `Z 6' a

G 1Bba

92= c[ )

X

0d ^ )

;M `

92= I

S : e

Uf'BJ

gh \LJZ

^i

10B;<

?gj a

k. ) g

A$ BCDE-XX

1'l K

^i

: m ) g

$ 10KgAJK )

Xn Terjemah:

17. Apakah itu yang di tangan kananmu, Hai Musa?

18. Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, Aku bertelekan padanya, dan Aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”.

19. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, Hai Musa!”

20. Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, Maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.

21. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula,

22. Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula),

23. Untuk kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan kami yang sangat besar. Lihat QS Thaha Al Qur’an .

9

KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, (Surabaya: Sahabat Ilmu, 1994) hal. 34-35.


(14)

Pertama, jalur pendidikan yang diisyaratkan dengan adanya transfer ilmu dari Kyai Cholil ke Kyai Hasyim. Kedua yaitu jalur sosial, bisa dilihat dari isi surat Thaha. Ketiga, jalur spiritual yang dilukiskan dengan pemberian tasbih kepada Kyai Hasyim, jalur ini bisa disebut dengan dakwah. Ketiga jalur inilah yang menjadikan kegiatan utama pada awal-awal berdirinya NU.10

Sebenarnya NU telah melengkapi diri untuk menjadi jami’yah atau organisasi yang maju. Persyaratan untuk menjadikan jami’yah pertama-tama mempunyai pandang yang jelas tentang target yang akan dicapai di masa depan dengan kejelasan visinya.

Visi NU tertuang dalam Muqaddimah al Qonuuni al Asaasi (anggaran dasar) yang telah disusun oleh Rois Akbar. Jam’iyah NU, KH. M. Hasyim Asy'ari. Program jam'iyah ini menjadi prinsip dasar dalam berbagai konsep pengembangan organisasi yang dibicarakan setiap kali NU menyelenggarakan Muktamar.

Anggaran dasar formal (Statuen) NU yang dibuat pada muktamar 1928, NU menetapkan tujuannya, yaitu mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah Waljama'ah dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam. Pasal kunci 2 dan 3 berbunyi sebagai berikut :

Fatsal 2. Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: "Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam empat, jaitoe lmam Moehammad bin Idris Asj-Sjafi'i: Imam Malik bin Anas, Imam Aboe

10

Nama Nahdlatul Ulama diberikan oleh KH. A. Wahab Hasbullah karena beliau terinspirasi oleh ulama yang mengatakan “ Janganlah kamu bergaul dengan orang-orang yang perilakunya tidak membangkitkan kamu kepada Allah dan kata-katanya tidak menunjukkan kepada kamu ke jalan Allah”. Harapan beliau dengan memberi nama NU ini dapat membangkitkan (melalui kegiatannya) kepada Allah . Lihat Gus Dur, “Perluasan Cakupan Dakwah”,Aula No.01 tahun XIV (Januari 1994) hal.63-64.


(15)

Hanifah An-Noe'man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam".

Fatsal 3. Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diadakan ichtiar:

a. mengadakan perhoeboengan di antara Oelama-oelama jang bermazhab terseboet dalam fatsal 2.

b. memeriksa kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitabnja Ahli Sunnah Wal Djama'ah atau kitab-kitabnja Ahli Bid'ah.

c. Menjiarkan Agama Islam di atas mazhab sebagai terseboet dalam fatsal 2, dengan dijalankan apa sadja jang baik.

d. Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama Islam.

e. Memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masjid2, langgar2, dan pondok2, begitoe djoega dengan hal-ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin.

f. Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan, dan peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara' Agama Islam.11

Pada awal berdirinya NU sebagai ormas keagamaan, di mana keberadaannya merupakan manifestasi dari obsesi “Founding Fathers” yang menghendaki lestarinya tradisi-tradisi sunni di Indonesia. Namun demikian, dalam permulannya dengan realitas (problem) kebangsaan, dimensi politik juga tak luput dari kiprahnya. Terutama, karena para pendirinya dahulu aktif dalam pergerakan, penggalangan Nasionalisme di tengah-tengah iklim kolonial pada saat itu, seperti Kyai Hasyim aktif di beberapa organisasi yang ikut dalam anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Pergulatan praktik NU dalam perjalanannya ini menjadi problem tersendiri. Secara internal, salah satunya karena seluruh “sumber daya” tercurahkan dalam aktivitas politik, apa yang menjadi tanggung jawab NU sebagaimana visi awal kelahirannya menjadi terabaikan. Pada sisi yang lain, ketika terjadi perubahan

11

Statuen Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama, dalam Martin Van Bruinessen, NU Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: Lkis, 1994), hal. 42


(16)

dalam tata kehidupan politik, kekuatan NU terasa mandul, langkah-langkahnya lebih banyak bersifat sporadis dan partisan di dalam “rekayasa” politik, misalnya pada masa Orde Baru. Terasa seolah-olah Pemerintahan kurang dapat menerima keberadaan NU, sebagai kekuatan yang turut bermain di dalam sistem kekuasaan, NU tergiring dalam posisi marginal dalam pergulatan politik nasional. Marginalisasi itu pun terus berlanjut sampai muncul kesadaran baru untuk bangkit dari keterpurukan dan melakukan perubahan dasar dalam tubuh NU, yaitu dengan kembali ke Khittah 1926. Kesadaran yang dimaksud adalah kembali melakukan peran sebagaimana awal berdirinya, dimana orientasinya adalah merekontruksi internal, yaitu jami’yah yang orientasinya banyak mengarah pada politik menjadi Diniyah Ijtima’iyah (Sosial Keagamaan).

B. Paham Ahlusunah wal Jama’ah dan Paham Kebangsaan NU

Semenjak awal NU menunjukkan jati dirinya sebagai penganut paham Ahlussunnah12 Wal Jama'ah, yaitu sebuah paham keagamaan yang dikalangan NU berumber padn Al Qur’an, Al Sunnah, Al Ijma', dan Al Qiyas. Tetapi, dalam hal ini Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri satu kelompok aliran, ada beberapa sub aliran. Oleh sebab itu Dr. Jalal M. Musa mengatakan, istilah Ahlusunnah tersebut menjadi rebutan banyak kelompok, yang masing-masing menyatakan bahwa dialah Ahlussunnah wal Jama’ah dan dimasukkan kata “Al Jamaa’ah” dalam istilah ini oleh Abdul Mudhoffar al-Isfarayini disebutkan bahwa

12

Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak langkah yang berasal dari nabi Muhammad SAW dan membelanya. Lihat Muhammad Tholhah Hasan,

AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH Dalam Persepsi dan Tradisi NU, 2nd ed. (Jakarta: Lantabora Press, 2004),hal.3.


(17)

mereka memiliki alasan yang sama karena menggunakan “Ijma” dan “Qiyas” sebagai dalil syariah yang fundamental, disamping Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul.13 Seperti Muhammadiyah dan organisasi lain yang mendasarkan pada Islam, juga menganut paham tersebut sehingga secara umum tidak bisa dianggap salah, sebab kegiatan yang mereka lakukan sesuai dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Karena hendak mempertahankan dan mengembangkan paham inilah, NU dilahirkan. Di mana secara harfiah Ahlussunnah Wal Jama'ah, berarti penganut sunnah Nabi dan Sahabat-sahabatnya.14

Dalam pengertian yang lebih rinci dan ini yang dianut oleh NU, sedangkan dilain hal KH. Bisri Mustafa menafsirkan Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagai suatu paham yang harus dipegang sebagai tradisi:

1. Dalam bidang hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i. Dalam praktik NU banyak mengikuti faham yang diajarkan oleh Syafi’i.

2. Di bidang Tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansyur Al Maturudi.

3. Sedangkan di Tasawufnya, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Qosim Al Junandi.15

Dari doktrin-doktrin Ahlussunnah Wal Jama'ah tersebut di atas banyak melahirkan konsep-konsep NU dalam memandang dimensi kehidupan dengan

13

Muhammad Tholhah Hasan, AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH Dalam Persepsi dan Tradisi NU, hal.3-4.

14

KH. Sirojuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, (Jakarta:Pustaka Tarbiyah,1983), hal.16.

15


(18)

implikasinya dalam pandangan terhadap negara, Islam, demokrasi, dan lain sebagainya.

Dalam kehidupan kenegaraan doktrin ini, melahirkan sikap-sikap normatif yang oleh KH. Ahmad Siddiq diidentifikasi atau menjadi ciri khas NU, yaitu :

1. Tawasuth dan I’tidal, yaitu sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup menjunjung tinggi keharusan berlaku adil ditengah-tengah kehidupan bersama

2. Tasamuh, yaitu sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam soal keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau khilafah. 3. Tawuzuun, yakni sikap seimbang dalam berkhidmat kepada Allah,

manusia, serta lingkungan hidupnya, menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa akan mendatang.16

4. Amar Ma'ruf Nahi Munkar, yakni sikap selalu memiIiki kepedulian untuk mendorong perbuatan yang baik berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang menjurus dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.17

Sikap-sikap normatif yang dimiliki NU inilah yang mempengaruhi prosfektifnya dalam melihat politik kenegaraan.18 Kewajiban hidup bermasyarakat dan bernegara merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar, mentaati

16

KH. Ahmad Siddiq, Khittah Nahdiliyyah, (Surabaya: Balai Pustaka, 1979), hal. 3-11. 17

PBNU, Kembali Ke Khittah 1926, (Bandung: Risalah, 1985), hal.119. 18

Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekrontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orba, ( Bandung: Mizan, 1986), hal. 59.


(19)

pemerintah, juga merupakan kewajiban sepanjang tidak menganjurkan kepada kekufuran.

Tidak mengherankan apabila menghadapi dualisme kepemimpinan Indonesia Suharmadji Marijan Kartosuwiryo (DI/TII), NU mendukung Soekarno dan memandang DI/TII sebagai pemberontak (bhugat). Semua diputuskan dengan berdasarkan kaidah keagamaan (fiqhiyah). Sehingga Gus Dur tidak bisa menerima sebutan Mitsuo Nakamura terhadap NU sebagai “Tradisionalisme Radikal” dan memandang Nakamura kurang tahu secara mendalam nilai-nilai dalam NU yang serba fiqih.19 Lanjutnya, bahwa bidang ilmu fiqih menyangkut segala praktek kehidupan beragam serta termanifestasi dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Dalam menggunakan hukum fiqh, NU berpegangan pada pedoman bahwa hukum-hukum itu timbul karena adanya sebab akibat atau al Hukmu Ma’al Illat.20 Kemudian melahirkan kerangka berfikir sebab akibat dalam merumuskan produk-produk hukum.

Sementara itu, pandangan NU terhadap kehidupan bernegara tercermin dalam tulisan Kyai Achmad Siddiq :

1. Negara nasional (yang didirikan bersama seluruh rakyat) wajib dipeliharanya.

2. Penguasa negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng, memerintah ke arah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah.

19

Gus Dur, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Prisma, 1984). 20


(20)

3. Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah cara mengingatkan lewat tata cara yang sebaik-baiknya.21

Pandangan kenegaraan NU seperti di atas, dipengaruhi madzhab Syafi'i yang diikutinya. Madzhab Syafi'i memilah-milah negara terbagi menjadi tiga jenis, yaitu Dar al Islam (Negara Islam), Dar al Harb (negara perang/negara anti Islam), dan Dar al Sulh (Negara damai). Masyarakat Islam memiliki jenis pertama dan ketiga. Jika jenis pertama tidak tercapai maka umat Islam dapat menerima jenis ketiga, meskipun suatu negara tidak didasarkan pada hukum Islam, akan tetapi masyarakatnya masih melaksanakan ajaran Islam, maka masyarakat tersebut wajib membela negaranya.

Secara sederhana, untuk melihat korelasi antara NU, Islam dan kehidupan kenegaraan, tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar yang ada dalam NU sendiri. Sebagai organisasi keagamaan, NU jelas mempunyai keterikatan terhadap faham Ahlussunnah Wal Jama'ah. Faham ini bisa dikatakan sebagai pondasi (ruh) dan konstruksi NU. Inilah kata kunci untuk melihat pola hubungan NU, Islam, dan negara. Ideologi Ahlussunnah Wal Jama'ah menekankan nilai-nilai moderasi dan harmonis dalam kehidupan. Nilai-nilai tersebut dapat membingkai segala pemikiran NU untuk mencermati berbagai kehidupan, termasuk dalam melihat hubungannya dengan masalah pemikiran keagamaan dan politik .

Dalam wilayah kenegaraan, doktrin Ahlussunnah Wal Jama'ah dirumuskan oleh KH. Achmad Siddiq, dengan sikap politik yang sangat menjunjung tinggi sikap Tawasssuth, Tawazun, Tasamuh, serta tatanan sosial politik dan ekonomi

21


(21)

yang didasarkan pada prinsip-prinsip, Adlah (keadilan), Syura (musyawarah), dan Musawah (persamaan), merupakan modal dasar untuk membangun wawasan kenegaraan. NU sejak dulu dikenal sebagai ormas yang mengedepankan wawasan kenegaraan dan wawasan kebangsaan ketimbang ikatan primordial yang sempit. Cara pandang inilah, perbedaan NU dengan organisasi lainnya, khususnya kelompok Islam modernis perkotaan yang dikenal cukup militan. Rumusan KH. Achmad Siddiq ini memiliki akar dengan teologi Asy'ari yang dianut NU. Substansi teologi Asy'ari lebih menonjolkan kepada model teologi moderat , seperti menjaga nilai-nilai harmonis dan keseimbangan.

Dalam doktrin hubungan dengan negara, teologi Asy'ari mempunyai diktum yang tegas. Misalnya dengan idiom-idiom “Suatu negara yang dipimpin oleh orang kafir yang adil lebih baik dari pada dipimpin seorang muslim yang anarkhis”, “ Kekacauan lebih berbahaya daripada ketidak adilan”, “ 60 tahun pemerintahan dipimpin oleh orang dzalim lebih baik dari pada semalam tanpa pemimpin.” dan seterusnya. Doktrin di atas dapat digunakan sebagai senjata dalam menganalisa pola-pola hubungan NU, Islam, dan negara dengan segala pasang surutnya.

Fenomena penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal seperti yang dicetuskan KH. Ahmad Siddiq dapat dipahami dari implementasi konteks doktrin Aswaja. Dalam konteks penerimaan asas tunggal ini, pertimbangan NU tidak lepas dari konteks keagamaan. Bagi NU, Pancasila adalah ideologi terbuka yang secara teologis ia bersifat inklusif, sedangkan secara prinsipil dapat memaksakan “Islamisasi Politik” dan kekuatan-kekuatan Islam


(22)

politik, atau lebih dari itu sebagai wujud penolakan NU terhadap paham negara Islam.

Mengenai asas tunggal ini, Martin Van Bruinessen, menilai bahwa NU telah menegaskan asas tunggal tanpa sedikitpun mengorbankan komitmen keislamannya, NU telah menegaskan pondasi bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari rumusan pola hubungan Islam dan Pancasila ini, Fajrul Falakh berpendapat, bahwa sekurang-kurangnya dapat disimpulkan terhadap pemahaman agama, konsepsi ideologi dengan pendekatan fiqhiyah yaitu:

1. Pemahaman bahwa Islam adalah fitrah yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan kepada manusia.

2. Pancasila bukanlah agama, tak dapat menggantikan posisi agama.

3. Rumusan ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut pasal 29 ayat (I) UUD '45 yang menjiwai sila-sila lainnya mencerminkan “Tauhid” menurut pengertian keimanan Islam.

4. Bahwa sejarah telah menunjukkan peran Umat Islam (termasuk NU) dalam perjuangan bangsa, mendirikan negara, mempertahankan kemerdekaan dan mengisi pembangunan.

5. Berdasarkan pendekatan fiqh, dinyatakan bahwa negara didirikan dan di jaga karena perintah agama dan untuk kemaslahatan pendukung negara. Maka NU memandang, bahwa Republik Indonesia, merupakan bentuk


(23)

upaya final seluruh nation, terutama kaum muslim, untuk mendirikan negara di wilayah nusantara.22

Penetapan NU terhadap ideologi Pancasila tidak terbatas kepada penerimaan secara take for granted atau untuk kepentingan sesaat. Lebih dari itu, Douglas E. Remage menggambarkan bahwa penerimaan NU terhadap Pancasila hingga batas pembelaannya dari “monopoli” dan “rekayasa” interpretasi Pancasila oleh Rezim Soeharto, dimana ABRI diandaikan sebagai elemen integral dalam negara Pancasila.23 Memakai istilah Remage, Pancasila dipahami sebagai “kawasan sengketa” antara NU dan rezim Orde Baru.

Begitu pula pembelaan NU terhadap ideologi Pancasila dan bentuk negara kesatuan sebagai konsep final tidak hanya sebatas retorika. Digambarkan oleh Robert W. Hafner, bahwa usaha-usaha NU dalam mendukung negara kesatuan begitu tegas dan penuh resiko, khususnya resiko secara politis misalnya termarginalnya NU dari pusat-pusat kekuasaan pada masa rezim Orba.24 Dalam bentuk lain, pembelaan NU terhadap bentuk negara kesatuan dibuktian pada saat negara sedang diambang keretakan (disintegrasi) seperti tahun 50-an atau awal reformasi . Tidak berlebihan apabila Gus Dur dalam sambutan Muktamar ke-30 di Kediri menyatakan bahwa NU adalah kekuatan terakhir yang sanggup mempertahankan keutuhan bentuk negara kesatuan.25

22

M. Fajrul Falakh, NU Dalam Era 1990-an dalam Membangun Budaya Kerakyatan,Kepemimpinan Gus Dur, Gerakan Nasoinal NU, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hal.26.

23

Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.196.

24

Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.200.

25


(24)

Cara pandang NU seperti ini juga diabsahkan oleh ideologi dasar yang dianut NU seperti penjelasan diawal, fleksibilitas NU terbukti dengan mudahnya diterima dan membaur dalam komponen bangsa, baik kelompok muslim maupun non muslim, juga mudah menerima faham (pemikiran) baru. Sehingga keberadaan NU dianggap sebagai titik temu antar semua ideologi, kekuatan politik, dan pluralitas kebudayaan bangsa ini.

C. SEJARAH POLITIK NU MASA LALU

Sejarah formal NU diawali sejak didirikan oleh Hadratus Syeikh KH.Hasyim Asy'ari26 di Surabaya, 31 Januari 1926 bersama ulama KH. Wahab Hasbullah dan beberapa ulama pesantren lain. Sesuai dengan namanya NU merupakan perkumpulan ulama yang bangkit serta membangkitkan para pengikutnya bersama kaum muslimin di tengah masyarakat bangsa.

Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam'iyah Diniyah) dalam laju pertumbuhan berikut perkembangan NU tak lepas dari hiruk pikuk politik yang ada, dikarenakan NU mempunyai potensi politik yang tidak bisa dianggap kecil.27 Babak awalpun dimulai pada tahun 1939 NU bergabung dengan Majlis Islam A'la

26

Peran KH. Hasyim Asy’ari tersebut dalam beberapa tulisan, yaitu sebagai pemberi legitimasi atas pemebentukan organisasi NU. Kyai Wahab maupun KH. Hasim Asy’ari selalu tampil dengan peran yang berbeda, tetapi secara mutualistik saling memerlukan dalam keberhasilan membentuk NU. Kyai Wahab menawarkan konsep dan kemampuan organisatoris, sementara Kyai Hasyim memberi legitimasi keagamaan. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, (Yogyakarta:LkiS,1999), hal.11.

27

Dilihat dari segi hubungannya dengan politik dan pemerintah, sejarah NU bisa di bagi dalam lima periode. (1) 1926-1942, ketika NU menetapkan sikap non politik dan non kooperatif yang ketat vis-à-vis pemerintah kolonial Belanda; (2) 1942-1945, ketika NU dipaksa bekerja sama dengan pemerintah jepang; (3) 1945-1952, ketika NU berpartisipasi dalam pemerintahan Replublik yang baru berdiri, melalui partai Masyumi dimana NU memperoleh status keanggotaan istimewa; (4) 1952-1973, ketika NU secara langsung dan bebas berpartisipasi dalam politik dan pemerintahan atas nama NU sebagai parpol independent; (5) 1973-1984, ketika NU melepaskan kegiatan politiknya dan menyerahkan kepada PPP. Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.58.


(25)

Indonesia (MIAI),28 yang secara umum MIAI bergerak dibidang keagamaan tetapi dalam setiap aktivitasnya sarat dengan muatan politik.29

Sebenarnya MIAI ini dibentuk pada tahun 1937 sebagai keinginan untuk memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia, tapi baru dua tahun kemudian NU turut bergabung di dalamnya.30

Setelah MIAI membubarkan diri,31 NU bergabung dengan organisasi Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) yang dibentuk pada tahun 1945, pembentukan Masyumi dikarenakan, pada waktu itu penjajah baru, Jepang membekukan kegiatan politik termasuk MIAI yang berkesan anti kolonial.

Sebenarnya partai masyumi ini dibentuk merupakan buah karya mukta'mar Islam Indonesia di Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945. Dalam muktamar ini, salah satunya memutuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik bagi Islam Indonesia, serta para aktivis politik Islam yang tergabung di dalam Masyumi sering disebut sebagai salah satu pelopor demokrasi di Republik ini.

Berjalan dengan seiringnya waktu, dalam tubuh Masyumi selalu muncul konflik diantara tokoh-tokoh elitnya, sehingga NU selalu menemukan kekecewaan. Sebagai contoh pada kabinet Wilopo ( 3 April 1952 – 30 Juli

28

MIAI yaitu sebuah organisasi Islam gabungan antara NU, Muhammadiyah. Bagi NU, keterlibatanya dalam MIAI merupakan sebuah langkah awal untuk menuju dunia politik dalam arti terbawa untuk menentukan posisi secara tegas terhadap penjajah Belanda menjelang Perang Dunia II. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, (Yogyakarta:LkiS,1999), hal.17

29

Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru,

(Yogyakarta:LkiS, 1994),hal.51. 30

Penggabungan NU kedalam MIAI , NU mempunyai alasan bahwa yakin kaum perubahan tidak mendominasi penggabungan dalam organisasi ini. Andree Feillard, NU vis a vis Negara, hal.17

31

Karena secara implisit keberadaan MIAI dan organisasi lain, selain NU dan Muhammadiyah tidak diakui Jepang. Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi,Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta:LkiS, 1994),hal.54. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, hal.29.


(26)

1953)32, dalam jabatan Menteri Agama, menurut NU jabatan tersebut adalah bagian NU ini berlangsung sejak awal kemerdekaan. NU menilai dirinya sebagai cermin dari mayoritas umat Islam Indonesia dilihat dari segi ilmu, aqidah, dan amaliyahnya. Namun ternyata jabatan itu diberikan pada Muhammadiyah (Faqih Usman). Merasa kecewa, NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai politik independent.33

Ketika NU menjadi Parpol, sejarah membuktikan bahwa partai NU yang masih baru pada Pemilu 1955 menempati urutan ketiga.34 Prestasi ini memberikan posisi kuat untuk NU. Hal ini tercermin dalam kabinet koalisi. Namun rupanya periode Kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua ( 24 Maret 1956 – 09 April 1957 ) yang masuk masa Demokrasi Liberal ini tidak berumur panjang. Padahal kala itu NU memperoleh empat jabatan menteri, yakni Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, dan Menteri Perekonomian.35

Apa daya, kabinet itu hanya berumur setahun kemudian diganti oleh Kabinet Juanda atau Kabinet Karya (09 Maret 1957 – 10 Juli 1959).36 Pada akhirnya, perubahan sistem politik Indonesia terjadi, setelah munculnya Dekrit 5 Juli 1959 maka muncul Era Demokrasi Terpimpin, yang membawa peran partai politik merosot tajam.

32

Greg Fealy, IJTIHAD POLITIK ULAMA Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967. (Yogyakarta: LkiS, 2007).hal.372.

33

Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional (Jakarta: Grafiti Pers, 1987).hal.79-94. 34

Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi,Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru

(Yogyakarta: LkiS, 1994),hal.69 35

Greg Fealy, IJTIHAD POLITIK ULAMA Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967. (Yogyakarta: LkiS, 2007).hal.374.

36

Kabinet Juanda atau Kabinet Karya adalah merupakan koalisi antara PNI-NU. Andree Feillard, NU vis a vis Negara, hal.53.


(27)

Tak terkecuali Masyumi yang termasuk disingkirkan. Karena keterlibatan tokoh-tokohnya dalam pemberontakan PKI dan di sisi lain NU dengan sikap akomodatifnya mampu bertahan. Dengan lengsernya Masyumi menjadikan NU sebagai partai Islam terbesar, dengan demikian NU terus menggalang persatuan umat Islam mengimbangi kekuatan PKI.

Melalui Subhan ZE37, NU menggalang pemuda-pemuda untuk menandingi PKI yang telah meluas mengkader para pemuda dengan latihan dan disertai persenjataan yang lengkap. Pada akhirnya prahara politik yang dilancarkan PKI pada tahun 1965 telah menandai awal proses Demokrasi Terpimpin telah berakhir.

Adanya percobaan kudeta yang dinamakan G 30 S PKI ini, memunculkan perasaan anti komunis di kalangan masyarakat. Dari penggalangan yang dilakukan Subhan ZE, menghasilkan sikap anti komunis sehingga terbentuk KAP-Gestapu, yaitu kekuatan aksi pengganyangan G 30 S PKI pada akhirnya menuntut pembubaran PKI.

Dinamika politik terus berjalan seiring kekuasaan negara jatuh ditangan Soeharto atas mandat Presiden Soekarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Bersama TNI-AD Pak Harto terus mengembangkan sayap politik dengan mendirikan partai Golkar (Golongan Karya) pada tanggal 20 Oktober 1964

37

Subchan Z.E adalah pengusaha muda kaya dari Kudus, Jawa Tengah. Bergaya hidup

cosmopolitan, bertentangan dengan hidup Puritan yang dianut sebagian besar Kyai di kalangan NU. Subhan juga sering memunculkan gagasan radikal, ia ingin menjadikan NU sebagai partai kader dan modern, membatasai peran ulama hanya dalam wilayah keagamaan, bukan urusan politik. Dengan sikap politiknya yang reformis, Subchan sangat popular di kalangan politisi muda NU pada waktu itu. Di tubuh NU, subchan memiliki jabatan yang dituigaskan kepadnya diantaranya; Ketua IV Pengurus Besar harian hasil pemilihan muktamar tahun 1962-1967, dengan surat ‘Penetapan Pengurus besar NU’, PBNU (56/Tanf/Pgs/II-1963) 4 Februari 1963 AN 96. Lihat Abdul Wahid, SANG PEJUANG SEJATI K.H Muhammad Yusuf Hasyim Di Mata Sahabat Dan santri,(Jombang: PUSTAKA IKAPETE, 2007), hal24-25.Lihat juga Greg Fealy, IJTIHAD POLITIK ULAMA Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LKis, 2007).hal.383-385.


(28)

dengan nama Sekber Golkar. Golkar pada masa awal berdirinya tidak mempunyai basis massa, kemudian mengunakan taktik buldoser untuk mengalihkan suara-suara partai lama. Tidak heran jika Golkar dapat memenangkan Pemilu pada tahun 1971. Sedangkan partai-partai lain umumnya tertindih, tetapi NU tetap mampu bertahan dari sinilah peran Kyai dan pesantren menjadi faktor utama penentu prestasi NU.

Berikutnya, pada tanggal 5 Januari 1973 NU berfusi dengan tiga partai politik lain kedalam PPP. Hal ini terjadi atas kebijakan Pak Harto untuk mengelompokan partai-partai dengan tujuan mempermudah kampanye Pemilu dan sistem administrasi seperti fraksi di DPR.38

Namun perjalanan politik NU di tubuh PPP sering mendapat kekecewaan, pada akhirnya NU menyatakan untuk kembali ke Khittah 1926 yang ditetapkan dalam MUNAS Alim Ulama NU di pondok pesantren Salafiyah Syafi'iyah Asembagus Situbondo. Keputusan ini akhirnya diimbuhkan pada Muktamar NU setahun kemudian di tempat yang sama. Dengan keputusan Muktamar tentang Khittah ini secara otomatis NU keluar dari PPP.

Momentum kembali ke Khittah 1926 tersebut, telah mengubah hampir semua tatanan kehidupan komunitas NU, terutama yang berkaitan dengan orientasi gerakannya. Kembali ke Khittah 1926 bukan semata-mata berarti meninggalkan kehidupan politik, tetapi lebih sebagai perubahan orientasi gerakan politik. Jika sebelumnya NU menempuh strategi politik panggung, politik struktural yang disediakan oleh pemerintah Orba, maka dengan kembali ke

38

Lance Castles, TUJUH MESIN PENDULANG SUARA Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999 (Yogyakarta:LkiS, 1999), hal.xvi.


(29)

Khittah NU menempuh strategi “politik tanpa panggung”, artinya dalam kehidupan politik NU menciptakan panggung permainannya sendiri dan pada saat yang sama mengabaikan panggung yang telah disediakan pemerintah Orba. Pelepasan jaket politik struktural Orba ini tidak menurunkan karir politik NU.

D. POLITIK NU DAN KHITTAH 1926

Hubungan antara NU dan Negara kini menunjukkan perkembangan menarik. Setelah sekian lama jami’yah yang berbasis massa desa ini berada di luar pemerintahan, sekarang mulai masuk di dalam pemerintahan. Posisi yang berubah ini tentu menimbulkan “kegagapan-kegagapan” tertentu. Misalnya, bagaimana organisasi ini harus memposisikan dirinya ketika harus berhadapan dengan negara yang dipimpin putra terbaik NU Abdurrahman Wahid.39

Muktamar NU ke-30 yang diselenggarakan di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, mempunyai arti strategis. Siap atau tidak, dalam perhelatan akbar kali ini NU dituntut untuk melakukan pemikiran ulang atas apa yang telah dilakukannya selama ini. Belum tentu yang dihasilkan pada Muktamar kali ini adalah segala sesuatu yang bersifat baru. Bisa saja yang muncul justru peneguhan-peneguhan atas apa yang pernah digelutinya pada lima belas tahun terakhir.

Pada masa-masa itulah NU mengalami transformasi sangat penting. Tidak saja organisasi sosial-keagamaan terbesar di Nusantara ini memperoleh injeksi kepemimpinan orang sekaliber Abdurrahman Wahid, tetapi juga karena keadaan harus merumuskan ulang format dirinya dalam kaitannya dengan

39

Bahtiar Effendy, Gus Dur dan pupusnya DWI TUNGGAL (Jakarta: Ushul Press, 2005), h.11.


(30)

kekuatan politik disatu pihak, dan dalam hubungannya dengan pemerintah atau negara di pihak lain.

Dalam hal ini penting untuk dicatat, bahwa selama lebih kurang tiga dasawarsa, NU mengalami proses penjauhan dari negara. Meskipun tidak bersifat clear cut benar, lembaga-lembaga politik-keagamaan Orde Baru kosong dari kemungkinan partisipasi kalangan nahdliyin. Baik Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Departemen Agama, dan kemudian Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) sekalipun “bebas” dari keterlibatan strategis tokoh-tokoh NU.

Memang untuk waktu yang cukup panjang, pemerintah Orde Baru lebih memberi peluang kepada kalangan Islam “sekolahan”. Tentu ada penjelasan yang bersifat rasional tentang konfigurasi politik keagamaan seperti ini. Mungkin saja, kemampuan administratif kalangan Islam “sekolahan” tadi bersifat komplementer dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang menekankan stabilitas politik dan pembangunan. Meski begitu, tetap saja secara emosional-keorganisasian, kalangan NU merasa terpinggirkan. Karenanya, masuk akal ucapan Abdurrahman Wahid beberapa waktu lalu, ketika Presiden Soeharto turun, NU tidak ikut bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat oleh Orde Baru.

Situasi inilah yang antara lain menjadi faktor reposisi NU pada Muktamar Situbondo. Lewat tangan-tangan dingin tokoh-tokoh NU seperti KH As'ad Syamsul Arifin, KH Achmad Shiddiq, KH Ali Maksum, dan Abdurrahman Wahid, organisasi ini menggulirkan semangat “Kembali ke Khittah 1926”. Kurang lebih, dengan itu NU ingin menyatakan bahwa NU kembali ke garis


(31)

asalnya jam'iyah sosial-keagamaan. Karenanya kaitan NU dengan politik bersifat ada jarak dan mengambangkan warganya untuk bergabung dengan siapa mereka suka. Inilah yang pernah dikeluhkan Mahbub Djunaidi, yang dalam pandangannya tak rela melihat NU yang jumlah anggotanya banyak itu, semata-mata menjadi “hostes politik.”

Terlepas dari kekecewaan seorang Mahbub, terbukti dengan itu kalangan NU bisa masuk ke mana-mana. Pada tahap inilah, NU sebenarnya telah memberi makna atas apa yang dapat disebut sebagai diversifikasi politik Islam. Yaitu, bahwa alat dan medium politik itu beragam. Dengan negara sekalipun, karena situasinya seperti diisyaratkan di atas, ia menjaga jarak. Bahkan dikenal sebagai mewakili kekuatan kritis. Konstruk seperti inilah yang kemudian mengantarkan NU untuk mengembangkan wacana tentang berpolitik secara budaya tentang Civil Society sesuatu yang sangat diminati oleh kalangan muda NU hingga kini.

Masa uzlah NU dengan politik dan negara berakhir sudah. Terutama sejak periode reformasi lahir, dan orang pun mulai bergairah untuk ramai-ramai mendirikan partai. Seperti tak ada beban dengan semboyan “Kembali ke Khittah 1926”, warga NU mengikatkan kembali hubungan emosional-kelembagaannya dengan partai politik. Meskipun secara organisasi hal ini bisa dijelaskan, dan dipercaya tidak bertentangan dengan Khittah, tak urung hal itu menimbulkan kecemasan.

Reformasi telah merubah alur politik NU, dari Ormas tahun 1926 menuju ke Parpol tahun 1955 kemudian masuk kembali ke Ormas dengan dalih Khittah ’26 di 1984 berlanjut merubah arah rotasi politik dengan menggunakan jaket


(32)

politiknya tahun 1998 era reformasi dengan mendirikan Parpol yang bertajuk partainya orang NU bersifat terbuka untuk siapapun. Ternyata alibi yang dibuat Abdurrahman Wahid menjadi sebuah kenyataan luar biasa. Jauh dari perkiraan warga NU, PKB menjadi partai yang kuat dari akar rumput sampai kalangan moderat NU. Sebuah sosialisasi dan jurus politik terbaik yang dilakukan oleh kalangan elit NU.

Tanpa basa-basi, Abdurrahman Wahid telah menjadi ikon besar. Dia telah merubah pragmatisme politik NU, melalui koalisi dengan partai sekuler yang dikenal dengan Poros Tengah. Abdurrahman Wahid mempunyai kekuatan penuh yang takkan diperkiraan sebelumnya dengan puncak menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4 hasil votting anggota parlemen. Ini merupakan sebuah prestasi politik NU terbaik pada masa reformasi. Semula NU hanya mempunyai panggung sendiri dalam hal politik, maka pada masa reformasi NU bukan lagi ikut dalam panggung politik yang telah disediakan pemerintah. Tetapi NU langsung meminang garis depan dan mengkordinir serta memegang peranan penuh politik negara. Jarak NU dengan kekuasaan pupus. Disadari atau tidak, NU telah terintegrasikan ke dalam negara.

Inilah persoalan yang sangat ingin dinafikan mau tidak mau NU harus melihatnya kembali pada Muktamar kali ini. Secara formal, NU tetap akan berada pada posisi Kembali ke Khittah 1926. Secara substansial dan emosional, duduknya Abdurrahman Wahid di kursi kepresidenan merupakan sesuatu yang harus ditata ulang dalam kerangka berpikir dan bertindak NU. Kegalauan semacam ini semakin kuat walaupun bukan tidak disertai oleh kegembiraan


(33)

tertentu dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden.

Dalam konteks inilah diharapkan pada Muktamar selanjutnya akan memilih seseorang yang bukan carbon copy Abdurrahman Wahid. Bukan saja yang terakhir ini unik dan fenomenal di NU, bahkan mungkin juga di Tanah Air, tetapi tantangan NU ke depan lebih terfokus pada pengembangan kelembagaan. Karena itu, yang diperlukan adalah seseorang yang mempunyai kemampuan manajerial, dalam bahasa Herbert Feith “ administrator”.

Kualitas seperti ini akan membawa NU pada garis yang “semestinya.” Yaitu sebagai organisasi sosial keagamaan, para ulamalah sebenarnya yang mengendalikan gerak organisasi. Kepada siapa harapan ini dapat diletakkan? Bachtiar Effendi mengungkapkan bahwa kiranya warga NU jauh lebih paham, dibanding siapa pun yang berada di luar lingkungan mereka, siapa itu Hasyim Muzadi, Agil Siradj, Salahudin Wahid, Achmad Bagdja, atau Fajrul Falaakh.40

Tetapi prestasi orang-orang NU untuk mengembangkan sayap politik patut di acungkan jempol. Konsep yang berbuah matang pun berhasil diraih. Sehingga, dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merah, NU dan politik takkan pernah lepas baik dari awal berdiri sampai sekarang. Karena politik adalah salah satu organ pelengkap hidup NU. Itu tidak bisa dipungkiri, sejarah awal NU lah yang telah memberikan jawaban itu semua. Jika NU bergerak tanpa diimbangi dengan politik maka pincanglah NU.

40

Bahtiar Effendy, Gus Dur dan pupusnya DWI TUNGGAL (Jakarta: Ushul Press, 2005), h.7-10.


(34)

KHITTAH NU 1926

Khittah NU 1926 merupakan era baru orientasi perjuangan NU. Keberadaan Khittah ini merupakan reorientasi perjuangan NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam hal pengelolaan umat untuk kepentingan pembangunan. Keberadaan khittah NU 1926 merupakan titik balik perjuangan NU, dari perjuangan sektor politik menuju perjuangan yang lebih memberikan perhatian pada aspek sosial kemasyarakatan, persis misi pada saat didirikannya organisasi sosial keagamaan ini pada tahun 1926.

Lahirnya Khittah 1926 ini di samping diilhami oleh kondisi obyektif bahwa perjuangan di bidang politik ternyata lebih besar mudharat (kerugian), dari pada manfaatnya, artinya pengorbanan yang harus diberikan NU lebih besar dari manfaat yang dapat diraih kasus paling nyata dapat dilihat dari marginalisasi peran NU di PPP.

Dalam sisi lain perjuangan di bidang politik ternyata telah menyita perhatian, dengan konsekuensi terampasnya perhatian dan energi fungsionaris dan aktivis NU yang semestinya menjadi porsi untuk umat (anggota). Akhirnya NU melontarkan umatnya yang mestinya mendapat perhatian dan arahan, justru kian mendapatkan umatnya pada posisi tertinggal dalam hal kualitas diri, dibanding umat lain. Disinilah muncul kesadaran baru yang memandang perlunya dilakukan perubahan-perubahan mendasar dalam tubuh NU.

Kembali ke Khittah 1926 adalah kesadaran yang dimaksud, tiada lain merupakan titik balik dimana NU kembali kepada semangat dasarnya. Babak awal mulai dilakukan untuk perubahan secara mendasar, baik pada aspek


(35)

kepemimpinan dengan segala perangkat (struktural) organisasinya, maupun aspek politik berkaitan dengan visi, misi dan strategi (perjuangan) nya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Khittah 1926 yang ditetapkan melalui Muktamar ke-27 di Situbondo (1984), sebagai refleksi kritis terhadap perjalanan NU.

Dengan demikian, telah mengembalikan arah perjuangannya dari politik kepada sosial keagamaan. Disinilah kemudian, NU memasuki wilayah baru, yakni Perjuangan Kemasyarakatan Semesta.41

41

Ini adalah periode sesuai dengan yang dikemukakan oleh Gus Dur, merupakan periode ketiga NU (1984-sekarang). sebelumnya adalah periode dimana NU hanya menjadi jami’yah Diniyah (1926-1936), serta perjuangan politik (politik idealistik) (1936-1955), dan NU menjadi kekuatan politik (1955-1984). M. Masyhur amin, Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Politik, (Yogyakarta:LKPSM,1993), hal.151-152.


(36)

BAB III

PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TERHADAP VISI PERJUANGAN POLITIK

NU

A. SKETSA BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID

Abdurrahman Wahid lahir 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil, ia telah melewati proses pematangan pemikiran dan pengembangan intelektual yang cukup panjang dan dalam.42 Abdurrahman Wahid tumbuh dan berkembang di tengah keluarga santri beraliran Sunni. Kakeknya KH. Hasyim Asy’ari, adalah pendiri NU. Ayahnya, KH. A. Wahid Hasyim, adalah Menteri Agama RI pertama dan aktif dalam Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta.

KH. A. Wahid Hasyim memberikan nama Abdurrahman ad Dakhil bagi putra pertamanya yang lahir pada Agustus 1940. Nama itu diambilkan dari nama tokoh Islam terkemuka dimasa Dinasti Umayah. Secara leksikal, ia berarti “Abdurrahman sang penakluk” Idealisme KH. A. Wahid Hasyim adalah tentu agar putra pertamanya juga menjadi seorang “penakluk”, seperti pemilik asli nama itu ratusan tahun silam. Namun dikemudian hari sang putra lebih suka menuliskan namanya sebagai Gus Dur. Orang-orang secara akrab memanggilnya Gus Dur. Barangkali karena itulah, karena tidak pernah menuliskan kata ad

42

Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institut, 2006), hal.ix.


(37)

Dakhil, putra KH. A. Wahid Hasyim ini sedikit kepayahan untuk menampilkan diri sebagai seorang penakluk, bahkan dalam lingkungan NU yang dipimpinnya.

Meskipun berasal dari keluarga santri, sebagian jenjang pendidikan formal Abdurrahman Wahid ditempuh di sekolah-sekolah sekuler. Ia lulus dari Sekolah Rakyat (SR) di Jakarta tahun 1953. Tahun 1953 - 1957, ia belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Yogyakarta. Di Yogyakarta ini ia tinggal di rumah salah seorang Majlis Tarjih Muhammadiyah, KH. Junaid. Dari tahun 1957–1959 ia belajar di pesantren tegalrejo Magelang dan kemudian pindah ke Pesantren Mu’allimat Bahrul Ulum Jombang, sampai tahun 1963. Kemudian ia pindah ke Pesantren Krapyak Yogyakarta dan menetap di rumah tokoh NU terkemuka, KH. Ali Ma'shum.43

Tahun 1964, Abdurrahman Wahid berangkat ke Kairo untuk belajar di Universitas al Azhar. Namun, sebagian besar waktunya di Mesir dihabiskan di ruang perpustakaan, terutama American University Library, sebuah perpustakaan terlengkap di kota itu. Dari Mesir ia pindah ke Universitas Baghdad mengambil Fakultas Sastra.

Dengan latar belakang pendidikan, pergaulan, dan perkenalannya dengan dunia keilmuan yang cukup kosmopolitan itu, Abdurrahman Wahid mulai naik ke permukaan percaturan intelektual Indonesia dengan pemikiran-pemikiran briliannya. Pada tahun 1970-an, ketika ia mulai aktif di beberapa lembaga sosial, LSM, dan forum-forum diskusi. Kendati latar belakang pendidikan formalnya tidak ada yang ditempuh di Barat, menurut Greg Barton. Abdurrahman Wahid

43


(38)

secara intelektual jauh lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam, dan masyarakat Muslim. Studinya di Baghdad telah memberikan dasar yang baik mengenai pendidikan bercorak liberal dan bergaya Barat serta sekuler.44

KH. Ali Ma'shum (alm) pengasuh Pondok Pesantren al Munawwir Krapyak Yogyakarta pernah menyatakan “ Gus Dur itu pancen nyeleneh, aneh, ananging beneh (Gus Dur itu membuat kita bingung, bengong, namun nyatanya benar)”. Cerita ini terungkap ketika ada pengadilan terhadap perilaku Abdurrahman Wahid yang dianggap membingungkan atau kontroversial.45

Gagasan-gagasan dan komentarnya dianggap bertentangan dengan aturan yang selama ini dianut oleh kalangan NU atau pemeluk Islam. Tulisan atau perilaku Abdurrahman Wahid membingungkan warga, khususnya ulama NU. Termasuk didalamnya tentang ajaran Marxisme. Didasari terhadap gagasannya, Abdurrahman Wahid sering dituduh sebagai agen orientalisme, zionisme, sekuler, sosialis, dan meremehkan ajaran Islam.46

Sejak melontarkan pemikiran-pemikiran pada pertengahan 1980-an, Abdurrahman Wahid senantiasa mewarnai wacana media massa di tanah air. Berangkat dari dunia pesantren, ia dinilai berhasil menepiskan anggapan sebagian komunitas Islam kota terhadap kejumudan dunia pendidikan Islam tradisional.

44

Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.165-166. Kh Ahmad Siddiq (alm) pernah mengungkapkan kehenarannya ketika Gus Dur yang masih SMEP sudah membaca Das Kapital karya Karl Max. Sewaktu remaja ia juga gemar membaca karya-karya Jean Pul Sartre dan mengagumi pemikiran pemimpin besar India, Mohandas Karamachachand Ghandi. KH. Imron Hamzah dan Choiril Anam, “Gus Dur Diadili Kyai-Kyai”, Jawa Pos, 1989, hal. 11

45

KH. Imron Hamzah dan Choiril Anam, “Gus Dur Diadili Kyai-Kyai”, Jawa Pos, 1989, hal. 3.

46

Sholihin Hidayat dan Sururi al Faruqi “Gus Dur Tokoh Nyeleneh dan Konsisten”, Jawa Pos, 20 April 1999.


(39)

Kolom – kolom awalnya menyadarkan orang akan tidak berdasarnya “stereotip” yang sering dialamatkan kepada para kyai selama ini. Memasuki dasawarsa 1990-an l1990-angkah politiknya lebih ‘gila’ lagi.

Bagi sejumlah komunitas Islam, ia pernah dikecam habis-habisan karena pendapatnya yang berani keluar dari mainstream umat. Kemudian bersama sejumlah tokoh yang ada di pinggir kekuasaan ia mengungkapkan forum Demokrasi. Dengan itu, maka ia telah mengambil resiko yaitu bersebrangan dengan pendukung status quo.

Menjelang pemilu 1997, ia menggandeng Mbak Tutut tanpa meninggalkan Mbak Mega. Masih dalam kesempatan yang sama, bersama Mbak Tutut dan R. Hartono ia melakukan safari politik ke kantong-kantong NU di Jawa Timur. Sebelumnya pada Muktamar NU di Cipasung tahun 1995, ia sempat digoncang oleh kubu Abu Hasan, tapi ia tidak collapse. Setelah itu iklim hubungannya dengan pemerintah sempat agak memanas. Tetapi justru ia bisa bersalaman dengan Pak Harto. Ada yang menyebut peristiwa ini sebagai “salaman politik”. Dengan segala sepak terjangnya itulah benar-benar menjadi sosok kyai yang mewarnai langit intelektual bebas di tanah air. Siapa lagi kalau bukan Gus Dur, panggilan akarab KH. Abdurrahman Wahid, tokoh paling kontroversial di panggung politik Indonesia.

Periode akhir kepemimpinan Abdurrahman Wahid dalam NU, didukung terutama kehidupan politik era reformasi, setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Abdurrahman Wahid telah bermain api di kancah politik nasional. Tidak secara langsung atas lengsernya Pak Harto memberikan kesempatan politik bagi


(40)

banyak pihak, apalagi yang mempunyai dukungan massa besar, untuk dilewatkan begitu saja. Tanpa memperdulikan suara-suara sumbang, tiba-tiba Abdurrahman Wahid membuat kejutan politik, dengan mendirikan partai bagi warga NU, yaitu PKB. Hal ini dilakukan agar NU dapat secara langsung merasakan pahit manisnya politik yang tidak manikmati secara berarti, serta tidak mau hanya berdiri di pinggir jalan. Karena terbentur di Khittah ’26, maka diciptakanlah PKB. Dan, tamsil yang pernah dinyatakan Abdurrahman Wahid pada masa kampanye 1999, bahwa ibarat ayam NU mengeluarkan “telur” dan ”kotoran” menunjukkan tingkat proksimitas PKB dengan NU yang teramat tinggi.

Inilah yang membuat peserta Muktamar merekomendasikan PKB untuk melakukan politik “pulang kandang.” Dengan kata lain, mereka mengamanatkan PKB untuk mengajak para nahdliyin, yang secara politik berada dimana-mana, untuk kembali ke “telur” NU. Karenanya, meskipun diawal pidato, Abdurrahman Wahid sudah menyatakan keharusan untuk memisahkan NU dengan PKB, di dalam pandangan jamaahnya antara NU dan PKB merupakan entitas yang tidak bisa dipisahkan.47

Sampai pada klimaksnya meteor politik Abdurrahman Wahid mencorong ketika dirinya resmi terpilih menjadi Presiden RI ke-4 di bawah mandat MPR. Dengan wakil Megawati selaku rival dalam pemilihan langsung anggota MPR tersebut yang berasal dari “partai wong cilik” (PDI-Perjuangan) yang memperoleh jumlah suara pada urutan setelah Abdurrahman Wahid.

47


(41)

Itulah sebagian kecil sosok Abdurrahman Wahid, yang sekilas terkesan sebagai tokoh multi komplek lengkap dengan segala kenyelenehannya. "Tugas saya sudah usai, mengobrak-abrik NU, yakni mengubah wawasan warga NU”. Itulah salah satu ungkapan ketua PBNU Abdurrahman Wahid saat usai periode kedua dalam kepemimpinan dalam NU.48

B. PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG NU, ISLAM DAN NEGARA

Pendidikan Abdurrahman Wahid mewakili Amalmagasi antar pendidikan Islam tradisional dan pendidikan “barat” modern. Dilihat dari setting ini, akan tampak salah satu dari hasil sintesis kedua pendidikan ini adalah perhatian yang sangat kuat untuk reformasi pemikiran dan politik Islam, sesuatu yang harus diperhatikan oleh modernisme Islam.

Untuk benar-benar memahami pemikiran politik Abdurrahman Wahid, perlu dilihat kehadirannya sebagai representasi generasi pemikir Islam Revolusioner di Indonesia. Greg Barton,49 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi,50 memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai pemikir Neo-Modernis, yang sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, utamanya dalam menerima dan meng-afirmasi pluralisme masyarakat dan menekankan signifikansi toleransi dan harmoni dalam hubungan antar komunal.51 Salah satu

48

Ummurisalah, “Gus Dur di Mata Mereka”, Aula, No. 11/Th.XVI/November 1994, hal.27.

49

Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.195. 50

Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekrontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Cet II, ( Bandung: Mizan, 1990), hal. 171-177.

51


(42)

ciri yang menandai pemikiran Neo-modernis adalah komitmennya pada pluralistik dan nilai-nilai demokratik. Selain itu, nilai-nilai pluralistik ini telah dirajut di dalam struktur Iman (Islam) sebagai nilai inti Islam itu sendiri.52

Berangkat dari pola pemikiran di atas, timbul pertanyaan bagaimanakah Abdurrahman Wahid menempatkan kepentingan nasional dengan kepentingan agama (Islam)?. Bagi Abdurrahman Wahid, kepentingan Islam memang harus diutamakan oleh umat Islam, sebab itu hak Umat Islam telah dijamin oleh perundang-undangan. Tetapi permasalahannya, bagaimana kalau kepentingan Islam itu justru merugikan pihak lain?. Hal demikian menurut Abdurrahman Wahid harus dihindari, karena kepentingan nasional adalah Kepentingan Islam juga, tujuan Islam adalah menciptakan kesejahteraan sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an “ Tiadalah Ku utus engkau ( wahai Muhammad ), kecuali sebagai pembawa Rahmat ( Kesejahteraan )”.

Sehingga kita bisa mengetahui mengapa Abdurrahman Wahid menolak bergabung dengan ICMI. Menurut persepsinya, ICMI cenderung bersifat eksklusif. Apalagi pada kenyataannya, ICMI lebih banyak bernuansa politis daripada nuansa kecendekiawanan. Fenomena ICMI yang kita saksikan tampaknya menjadi sarana “batu loncatan” oleh pihak-pihak tertentu untuk meningkatkan karir politik, dan dengan ICMI negara bisa mengkooptasi atau bahkan menjinakkan para cendekiawan muslim yang semula sangat kritis terhadap negara.53

52

Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.195 53

Nasrullah Ali Fauzi, ICMI Antara Status Quo dan Demokratisasi,(Bandung:Mizan,1995), hal.70.


(43)

Kenyataan ICMI tersebut di atas bagi Abdurrahman Wahid dirasa kurang sehat, terlalu banyak membela satu golongan saja (Islam) dan mengabaikan golongan lainnya (non muslim). Hal demikian kurang baik untuk suatu negara semacam Indonesia yang pluralistik serta memiliki komponen yang beranekaragam.54 Ia menegaskan pendapatnya :

Bagi saya “masyarakat Islami” di Indonesia bertentangan dengan konstitusi, karena akan menempatkan non muslim sebagai warga negara kelas dua. Tetapi sebuah masyarakat Indonesia di mana kaum muslimin kuat, kuat yang berarti berfungsi secara baik. Saya pikir itulah yang terbaik. Karena itu, menjadi tugas NU-lah untuk menunjukkan alternatif visi dan kemasyarakatan yang toleransi.55

Dalam menghadapi kebangkitan politik Islam di Indonesia, Abdurrahman Wahid berargumentasi:..

Jauh di lubuk hati saya, saya tidak tahu bahwa tidak mungkin bagi Indonesia diatur oleh satu pihak. Impian dan keyakinan saya bagi sebuah Indonesia yang modern adalah politik yang terbuka, dimana kegiatan politik adalah hal yang biasa dan tidak secara eksklusif berdasarkan agama dan ras. ... Bukankah, sebaliknya bahwa gerakan Islam harus menghindarkan formalisme dan memperjuangkan demokrasi dengan segala konsekuensinya. kalau ini tidak dilakukan bukankah salah satu, kalau kita menghasilkan formalisme Islam yang mengekang demokrasi (seperti di Iran) atau meninggalkan demokrasi dengan meninggalkan Islam? Pertarungan inilah yang tampaknya masih akan mewarnai kehidupan bangsa ini.

Abdurrahman Wahid melihat bahwa wadah untuk pendapatnya sebenarnya sudah ada yaitu Pancasila. Baginya, di dalam Pancasila terdapat unsur toleransi beragama, dan merupakan prasyarat yang sangat penting dalam pembangunan sebuah masyarakat demokratis di Indonesia. Pandangannya mengenai Pancasila

54

Gus Dur, “ ICMI Islam Masjid”, Aula, No. 11/Th.XIV/November 1994, hal.55. 55


(44)

sebagai basis nasionalisme bagi negara penting, karena beberapa muslim memandang Pancasila sebagai ideologi sekuler yang tidak sesuai dengan lslam.

Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid sering kali menunjukkan bahwa, ayahnya Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945, juga sepakat mendukung negara nasional non Islam.56 NU merupakan salah satu organisasi berbasis massa yang pertama kali mengakui keabsahan Orde Baru. Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa tidak ada keharusan dalam ajaran Islam untuk membentuk negara Islam. Itulah sebabnya, ayahnya dan kepemimpinan NU bisa dengan mudah menerima sebuah negara yang tidak secara eksplisit berdasarkan Islam. Baginya Indonesia adalah sebuah negara konsensus dan kompromi ini inhern dalam Pancasila.57

Abdurrahman Wahid seringkali menekankan keyakinan nasionalis NU dengan menegaskan kesetiaan NU pada Pancasila. Ia menjelaskan bahwa pada tahun 1945 Soekarno meminta nasehat pimpinan NU, termasuk ayahnya yang diyakini membantu Soekarno merumuskan Pancasila.58 Selain itu Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme. Islam bisa berkembang secara spiritual dalam sebuah negara nasional yang tidak secara formal berdasarkan pada Islam:

NU berpegang pada konsepsi nasionalisme yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. NU telah menjadi pioner dalam masalah ideologis. Ini hanya satu kasus, karena di seluruh dunia Islam hubungan antara nasionalisme dan Islam masih menjadi persoalan, para penulis sendiri

56

Dapat dilihat dalam pernyataan Wahid Hasyim pada tahun 1945 bahwa dengan “Persatuan bangsa yang tidak dapat dipecah-pecah, posisi Islam yang sehat bisa di jamin”, dikutip dari Harry J. Benda, The Crescent And The Rissing Sun, Indonesian Islam Under Japanese Occupation, (Den Hag: Van Houve Ltd, 1953). hal 189.

57

Gus Dur, “NU dan Islam”, Media Indonesia, 8 Oktober 1998. 58


(45)

menganggap nasionalisme sebagai bentuk sekularisme. Mereka belum mengerti bahwa nasionalisme seperti yang dipraktekkan di Indonesia tidaklah sekular, tetapi sangat menghormati peran agama.59

Gambaran pemikiran Abdurrahman Wahid di atas telah membuat NU menciptakan organisasinya sendiri pada tahun 1926, dan menciptakan partai politik sendiri pada tahun 1952 ketika kepemimpinan baru Masyumi di bawah Moh. Natsir memutuskan untuk mengurangi peran ulama yang berkumpul di majlis Syuro. Moh. Natsir, sebagai seorang yang berpendidikan “Islam dan Barat” yang membiarkan ulama NU memutuskan apa yang benar dan apa yang salah sesuai dengan hukum Islam.

Perpecahan instrinsik ini merupakan alasan mengapa para Founding Father RI memutuskan melawan “bentuk-bentuk” dalam memandang substansi, pada bulan Mei 1945, sebagai cara untuk mempersatukan bangsa yang heterogen ini. Masyumi pada tahun 1950-an tidak pernah memperjuangkan “bentuk-bentuk” melainkan substansi. Kini, Abdurrahman Wahid mempromosikan nilai-nilai etik (etika sosial) bukan pemahaman Islam yang legal-formalistik. Baginya di tempatkan Islam sebagai sebuah nilai-nilai etik dalam konteks kebangsaan dan keagamaan akan memberi nuansa baru dalam warna dan orientasi dari gerakan Islam dan interpretasi ajarannya, sehingga ketegangan Islam dan negara dapat dieliminasi demi kebutuhan kemanusiaan.60

C. ABDURRAHMAN WAHID DAN MISI PERJUANGAN POLITIK PKB

59

Pidato Gus Dur, “Langkah Strategis”, Aula, hal.26. 60

Muhammad AS Hikam, “Negara, Masyarakat Sipil dan gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia” Prisma, No.3 Tahun XX, Maret 1991, hal.89.


(46)

Komitmen-komitmen Abdurrahman Wahid seperti yang dijelaskan, dibuktikan dengan hadirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebuah partai yang bersifat terbuka yang bisa menampung. aspirasi segenap komponen bangsa tanpa membedakan agama, suku maupun golongan. Dalam hal ini ia lebih jauh menjelaskan

... sebuah pertanyaan mengganggu partai tersebut dalam jangka panjang mengapa PKB tidak menjadikan kepentingan agama sebagai pijakan, mengapa justru nasionalisme dan demokrasi sebagai dasar pijakannya? PKB mengutamakan kepentingan nasional. Untuk menyesuaikan kepentingan hukum nasional dengan fiqh, tentu menjadi utama PKB, ... PKB dalam hal ini tentu bertindak mengutamakan substansi hukum Islam melalui hukum nasional dan bukannya mengutamakan simbol-simbol formal keagamaan. Mengapa? Karena Republik Indonesia adalah sebuah negara dengan kepentingan nasionalnya sendiri dan bukan sebuah negara agama ...61

Secara formal organisatoris, memang Mathori Abdul Djalil adalah Ketua Umum PKB. Namun tokoh utama yang berperan penting dalam seluruh proses gerak dalam percaturan politik PKB di pentas nasional adalah Abdurrahman Wahid. Bayangan Abdurrahman Wahid dalam visi, misi dan perilaku politik PKB sangatlah dominan. Poster-poster yang manampilkan Abdurrahman Wahid ketika kampanye berlangsung muncul dimana-mana. Seruan dari kampanye Abdurrahman Wahid “Maju tak gentar, membela yang benar bersama PKB” menggema berulang-ulang, baik dalam media massa maupun dalam kampanye. Di berbagai kota di mana Abdurrahman Wahid melakukan kampanye, para pendukung, simpatisan dan jama'ah NU berbondong-bondong mendengarkan kampanyenya. Di hadapan publik, Abdurrahman Wahid menjelaskan visi, misi dan tujuan perjuangan partainya. Kiranya tak berlebihan bahwa keberhasilan PKB

61


(47)

tidak bisa dilepaskan dari peran-peran Abdurrahman Wahid. Berangkat dari sinilah kekuatan tawar menawar politik Abdurrahman Wahid pun sangat diperhitungkan, misalnya keputusannya untuk berkoalisi dengan partai politik yang “sekuler” dibawah pimpinan Megawati, dalam hal ini dia di dalam partai PDI Perjuangan.

Berkenaan dengan keputusan Abdurrahman Wahid yang masuk dalam golongan Poros Tengah untuk berkoalisi dengan Megawati, sebenarnya ada titik temu dengan pemikiran politik Abdurrahman Wahid atau perjuangan yang selama ini ditekuninya, yakni demokrasi. Douglas E. Remage menjelaskan, bahwa pemikiran politik Gus Dur di dasarkan pada visi politik yang demokratis, sekuler dengan nasionalis, salah satu keyakinan intinya adalah bila Indonesia benar-benar akan menjadi civil society yang demokratis, aspirasi politik masyarakat tidak boleh disalurkan melalui agama.62

Hal tersebut mengingatkan kita pada kedekatan politik Soekarno dan Natsir pada akhir masa revolusi dan awal 1950-an. Hubungan politik Natsir dan Soekarno mengalami pasang surut. Tempo-tempo mereka terlibat di dalam perdebatan sengit, seperti dalam hal Islam sebagai dasar negara sampai ihwal mencuci anggota tubuh yang terkena jilatan anjing. dan sesekali mereka menjalin hubungan personal yang sangat hangat. Ketika Soekarno dibuang ke Endah, adalah Natsir dan A. Hassan (Pimpinan Persatuan Islam) yang rajin berkirim surat berdiskusi mengenai kaitan Islam dan politik, dan mengirim kacang jambu mete (mede). Begitu pula pada awal-awal pemerintahan Republik, Soekarno

62


(48)

mempercayakan Natsir untuk memimpin Kementrian Penerangan.

Dalam konteks ini, menurut cerita Soekarno hampir-hampir tak pernah membacakan teks pidatonya kecuali yang telah diparaf Natsir. Puncak kehangatan hubungan politik Natsir dan Soekarno terjalin ketika yang pertama memelopori mosi integral. Antara lain atas dasar itu, Soekarno menganggap Natsir orang yang paling punya visi untuk menjadi Perdana Menteri pada 1950.

Jika berhasil apa yang tengah diupayakan Poros Tengah dan kubu Megawati, untuk menjalin aliansi politik, merupakan pengulangan sejarah hubungan antara Natsir dan Soekarno. Baik gedung Dewan Dakwah lslamiyah Indonesia maupun Masjid aI-Azhar, yang menjadi tempat pertemuan antara golongan agama dan nasionalis yang dimaksud mempunyai kedekatan emosional tertentu dengan Masyumi. Begitu pula dengan tokoh-tokoh politik yang menyertainya. Kepeloporan M. Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra di dalam proses aliansi ini dapat dianggap sebagai representasi semangat politik ke-Masyumi-an.63

Bagi Abdurrahman Wahid, gerakan Islam yang bercorak simbolik formal justru tidak strategis. Dalam kondisi bangsa yang plural dengan potensi yang berderajat tinggi, gerakan Islam yang simbolik formal menurutnya akan menimbulkan self defensive system (daya tahan diri) dari kelompok lain yang merasa terancam eksistensinya. Akibatnya dapat menimbulkan ketegangan antara kelompok yang memancing lahirnya masalah besar dalam proses pembangunan bangsa.64 Memang ada sekelompok masyarakat Indonesia yang menginginkan

63

Bahtiar Effendy, JALAN TENGAH Politik Islam (Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah) (Jakarta:Ushul Press, 2005), hal.26.

64


(49)

berdirinya negara berdasarkan agamanya, ya macam-macamlah ada yang dari ICMI, ada juga dari kelompok lain ... kata Gus Dur suatu ketika.65

Abdurrahman Wahid mencontohkan kasus dalam negara Turki dan Iran yang bersedia menerima sekularisasi dalam menegakkan demokrasi. Meskipun Abdurrahman Wahid tidak menjatuhkan secara tegas pilihan bangsa dimasa depan, model Turki atau Iran. Ia hanya mengingatkan bahwa formalisme agama (hukum-hukum agama) dalam struktur kenegaraan akan menimbulkan persoalan baru, yakni terhambatnya proses demokrasi di Indonesia. “Bukankah sebaliknya kata Abdurrahman Wahid; bahwa gerakan Islam harus menghindari formalisme dan memperjuangkan demokrasi dengan menyeluruh konsekuensinya”. Dengan demikian, menurutnya memperjuangkan demokrasi dengan menampilkan pandangan hukum Islam tentang hak warga negara, perbedaan antar manusia, atau dengan kata lain, Islam harus menggali sedalam-dalamnya komponen hak asasi manusia dan musyawarah. Cara inilah menurut Abdurrahman Wahid Islam akan mempunyai relevansi dan perkembangan sosial saat ini.66

Bagaimanapun menurut Abdurrahman Wahid dalam panggung sejarah peradaban manusia, Islam hanyalah salah satu dari kesekian mata rantai peradaban manusia. Karenanya sumbangan Islam harus diberikan dalam rangka kebersamaan dengan semua pihak, bukan menyendiri di luar sejarah.67 Demikian juga dalam konteks wawasan ke Indonesiaan Islam hanyalah salah satu dari sekian agama dan pandangan hidup yang ada di dalamnya. Pluralitas agama, tradisi, budaya dan

65

Gus Dur, “Wawancara”, NU Aula, No. 3 Tahun XXI Maret 1999. Lihat juga dalam

Sabili, No. 13 Tahun VI, 6 Januari 1999. 66

Gus Dur, “Pencarian Strategi Hal yang Lumrah”, Jawa Pos, 12 Maret 1998. 67


(1)

Berkenaan dengan mistifikasi terhadap Abdurrahman Wahid, ataupun gagasan-gagasan “gila” yang oleh banyak orang, khususnya nahdliyin selalu mengamini tanpa adanya reserve, menjadi sorotan suatu kekhawatiran Yusuf Hasyim, karena akan berujung pada pengkultusan individu sehingga memicu timbulnya “ideologi Gus Durianisme”.135 Yusuf Hasyim menyadari bahwa pemikiran Abdurrahman Wahid yang membangsa visioner belum sepenuhnya tersosialisasi di lapisan bawah NU,136 komentar Yusuf Hasyim:

Bagi warga NU terutama yang tingkat fanatisme dan patronasenya tinggi, menganggap bahwa Gus Dur adalah Wali Allah yang waskito. Orang lain boleh saja tak menerima ucapan dan tindakannya. Tapi buat mereka, Gus Dur mustahil keliru. Mungkin ini dapat dimaklumi bila yang mengucapkan adalah warga NU di pelosok desa yang tingkat pendidikannya sederhana. Padahal cukup banyak kekeliruan Gus Dur yang sudah terekspos secara luas ... meski demikian, warga NU tetap yakin. Bila perlu, kekeliruan Gus Dur harus ditakwilkan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kebenaran. Bagi mereka Gus Dur bak Nabi Khidzir dan kita adalah Nabi Musa. Anehnya fenomena ini tak cuma menghinggapi konstituen tradisional NU, melainkan juga sejumlah intelektual lokal serta bule yang akrab dengan Gus Dur. Pandangan seperti ini tak pernah terjadi sebelum Gus Dur, tentu bisa menghambat sikap kritis ... lebih dari itu dapat menyemaikan kultus individu.137

Bila ketegangan antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim dilihat dari latar belakang penyebabnya, maka dekripsi di atas menunjukkan keterkaitan fakta penyebab yang satu dengan yang lainnya. ada faktor internal dan faktor eksternal yang saling berinteraksi, yaitu ; Pemikiran reformis dari Abdurrahman Wahid, Pemikiran dan tindakan Abdurrahman Wahid cederung merelatifkan peran lembaga syuriah, merelatifkan peran-peran tokoh sepuh sebelum kepemimpinan dan pemikiran Gus Dur dianggap menyimpang dari tradisi NU selama ini. Adanya

135

“Surat Pembaca”, Aula no. 03 Tahun XX, Maret 1998, hal.4. 136

KH. Yusuf Hasyim, “Romantsime PKB”, Republika, 10 Agustus 1998. 137

KH. Yusuf Hasyim, “Kepemimpinan Gus Dur dan Pesantren”, Gatra, 12 Agustus 2000, hal.22.


(2)

kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang mencoba mengembangkan pemikiran anti tesis dari kecenderungan “negara kuat” serta kecenderungan terbangunnya patronase politik antara tokoh-tokoh NU di kalangan birokrat.

Walaupun demikian bila dicermati latar belakang perbedaan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim secara seksama, menurut hemat penulis, maka kekuatan penuh adalah yang disebut pertama, yakni pemikiran-pemikiran reformis Abdurrahman Wahid. Perbedaan prinsipal antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim yaitu bahwa Abdurrahman Wahid menunjukkan jati dirinya yang ingin melakukan perubahan-perubahan dalam internal NU maupun eksternal NU. Atau tepatnya pemikiran dan tindakan Abdurrahman Wahid cenderung menentang kemapanan. Sementara Yusuf Hasyim melihat kecenderungan itu dianggap akan merusak tatanan kemapanan NU yang selanjutnya akan merusak NU.

Berangkat dari sinilah, wajar jika selama ini Yusuf Hasyim selalu menggugat kemapanan Abdurrahman Wahid. meskipun terlihat bertolak belakang terhadap Abdurrahman Wahid, nampaknya hal ini dilakukan Yusuf Hasyim untuk menghapus barrier bagi nahdliyin agar memiliki keberanian menghadapi kekuatan Abdurrahman Wahid. Pada akhirnya tak berlebihan apa yang dikatakan Samsuddin Haris bahwa Yusuf Hasyim adalah sosok nurani kaum nahdliyin melainkan juga sosok penafsir realitas eksternal bagi NU dan jamiyahnya.


(3)

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Penulisan skripsi ini sesungguhnya masih terlalu sederhana dan belum bisa dikatakan memadai untuk sebuah kajian atau analisis tentang latar belakang kritisme Yusuf Hasyim terhadap kepemimpinan Abdurrahman Wahid, baik dari segi varian maupun karakteristiknya. Apalagi kalau penulisan ini menyertakan pendekatan historis sosiologis yang secara praktis membutuhkan banyak pemikiran untuk merumuskan agar tercapai suatu akurasi dan konsistensi penulisan yang bisa diterima. Meski demikian, penulisan ini mungkin akan tetap berguna setidaknya bagi penulis lain yang ingin mendapatkan beberapa informasi seputar polemik antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim berkenaan dengan NU.

Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim secara geneologis adalah keturunan darah biru Founding Father NU, yang tentu punya tanggung jawab yang sama besar untuk mengembangkan NU ke arah cita-citanya, yakni mampu menjawab tantangan perubahan sosial sekaligus mewariskan nilai-nilai keislaman berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah untuk meningkatkan kualitas spiritual dan menjaga moralitas bangsa.

Baik Abdurrahman Wahid maupun Yusuf Hasyim akhirnya tampil merumuskan pemikiran dan strateginya dengan mengambil segi positif perjalanan serta kiprah NU sebelumnya. Pemikiran politik serta strategi keduanya merupakan


(4)

sintesis dari pergumulan serta kiprah individu masing-masing, baik melalui organisasi NU maupun dunia luar NU. Sehingga, merupakan kenyataan yang wajar jika Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim memberikan pemikiran yang berbeda terhadap cara untuk mewujudkan cita-cita perjuangan NU.

Dalam hal ini, paradigma pemikiran Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim untuk mewujudkan gagasan, strateginya berbeda, Abdurrahman Wahid lebih mendasarkan pada paradigma, dalam istilah Abdurrahman Wahid “Berangkat dari agama untuk menyelesaikan masalah bangsa”, dimana Abdurrahman Wahid ingin mengintegrasikan kegiatan Islam dalam kegiatan bangsa. Secara keseluruhan tanpa menampakkan bentuk-bentuk simbol formal keagamaan atau yang bersifat Islam eksklusif.

Sebaliknya, Yusuf Hasyim mendasarkan pemikiran dan strateginya pada pijakan paradigma “ berangkat dengan agama untuk menyelesaikan masalah bangsa “. Hal ini terlihat jelas kecenderungan Yusuf Hasyim untuk memformilkan Islam dalam kehidupan negara misalnya melalui simbol-simbol serta idiom keislaman yang semuanya lebih mengarah pada eksklusifisme Islam.

Perbedaan paradigma keduanya ini dalam konteks tertentu mempunyai implikasi yang berbeda, khususnya dalam merumuskan hubungan Islam (syariah) dan negara. Meskipun keduanya menolak syariah dijadikan konstitusi negara secara absolut, tetapi lebih menerima dan berhasrat mengislamkan kehidupan bernegara tanpa harus, menimbulkan masalah. Yusuf Hasyim membela Negara Demokrasi untuk melindungi syariah dari penyelewengan atau distorsi, Sedang


(5)

Abdurrahman Wahid mendukung Negara Demokrasi justru lebih sebagai keharusan untuk melindungi plurarisme masyarakat bangsa.

Ada beberapa kemungkinan sikap Yusuf Hasyim yang secara faktual terlihat eksklusif dan bersebrangan dengan Abdurrahman Wahid. Pertama, penggunaan formalisasi Islam melalui idiom-idiom Islam, isu-isu sekuleris yang ditujukan pada Abdurrahman Wahid merupakan strategi perjuangan untuk menggoyahkan Abdurrahman Wahid dan PKB.

Kedua, merupakan puncak rivalitas antara Yusuf Hasyim dengan Abdurrahman Wahid. Selama ini melihat perilaku pemikiran sekuler serta sikap Abdurrahman Wahid yang dianggap menyeleweng dari tradisi NU.

B. SARAN-SARAN

Kepada para akademisi hendaknya dapat mendorong munculnya kelompok-kelompok diskusi. Kelompok ini diharapkan tidak hanya dapat mengiyakan pandangan-pandangan elit NU, tetapi juga mampu melahirkan orang-orang yang mampu mengkritik pandangan-pandangannya termasuk pandangan Abdurrahman Wahid. Mengingat figur Abdurrahman Wahid yang begitu kuat terkadang melahirkan fanatisme yang berlebihan


(6)