BAB IV PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF
HASYIM TENTANG KEBANGSAAN
A. PANDANGAN KEBANGSAAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM
Runtuhnya rezim Orde Baru serta naiknya Orde Reformasi pada tanggal 21 Mei 1998, yang ditandai oleh lengsernya Soeharto dari singgasana kepresidenan
diganti oleh BJ. Habibie, telah memberi implikasi determinan terhadap konstelasi perpolitikan Indonesia. Terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam tatanan
kehidupan bernegara, terutama dalam dimensi politik. Gejala euphoria politik dengan hasrat yang meluap-luap untuk mendirikan partai politik adalah satu
indikasi dalam era perubahan ini. Di tengah hiruk pikuknya panggung politik Orde Reformasi, ternyata
berimplikasi juga terhadap eksistensi NU sebagai gerakan keagamaan dalam merespon perkembangan. Persoalan tampak menjadi dilematik betapa konsep
Kembali Khittah 26, seolah dirusak oleh kalangan internal NU sendiri. Di senggement
NU dengan politik melalui “konsep khittah” relatif gagal, karena konflik yang tajam terjadi diantara elite NU sendiri, Jamiyah NU ternyata gagal
dengan munculnya partai-partai di tengah warga Nahdliyin. Kelompok realis menjadi sumber ketidakpercayaan kalangan kelompok idealisme yang tetap
berpihak pada ciri-ciri NU.
Fenomena ini dapat dilihat ketika terjadi tarik menarik antara penggagas partai di Rembang tanggal 6 Juni 1998 terkait dengan sifat terbuka atau
tertutupnya partai di kalangan ini. Sebagian kelompok menghendaki partai terbuka, tanpa embel-embel Islam, yang berarti dapat menampung aspirasi
segenap kelompok bangsa. Dan sebagian kelompok lain, menghendaki partai yang bersifat tertutup yang khusus mewadahi umat Islam, lebih spesifik warga NU
sendiri. Meskipun akhirnya dikalangan NU lahir beberapa partai baik yang bersifat terbuka maupun tertutup.
Apabila penulis perhatikan tentang pandangan visi dan startegi perjuangan politik NU baik oleh Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim sebetulnya sesuai
dengan watak dasar NU. Paham Ahlussunnah wal Jamaah yang menjunjung tinggi sikap tawassuth moderat, tawazun proporsional dan tasamuh toleran,
serta sejalan dengan tatanan sosial politik dan ekonomi NU berdasarkan prinsip- prinsip adalah adlah keadilan, syuro permusyawaratan dan musawah
persamaan yang merupakan modal dasar bagi Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim untuk dikembangkan dalam membangun wawasan kebangsaan.
Masalahnya mengapa visi dan strategi perjuangan politik NU antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tidak bisa dipersatukan? Dalam hal ini
jika penulis menyimak pandangan keduanya melalui misi perjuangan politik PKB dan PKU, tampak bahwa problem yang diperdebatkan dapat dikotakkan pada
domain sektarian Islam, seperti menyangkut legislasi syariat Islam seperti legislasi hukum perkawinan Islam dalam hukum positif dan lain-lain yang
jumlahnya sangat terbatas. Diluar itu tidak ada perbedaan yang signifikan.
Sepertinya pandangan Abdurrahman Wahid tentang gagasan “sekulerisme” di Indonesia, untuk memecahkan problem fundamental keislaman dan
keIndonesiaan dilatarbelakangi oleh setting sosial yang terjadi di Indonesia, sama persis dengan kondisi yang melatarbelakangi munculnya sekulerisme di Turki.
Terjadinya kemerosotan moral yang hampir pada semua aspek kehidupan. Kepemimpinan yang tidak amanah, moral korup, budaya kekerasan, manipulasi
agama, tidak pekanya umat beragama terhadap isu-isu kemanusiaan sebagaimana pernah terjadi di Turki pada masa peralihan menuju sekulerisme, juga dapat
dirasakan di sini. Kondisi itu sama-sama menjadi keprihatinan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim.
Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim sama-sama gelisah menghadapi problem fundamental yang dialami dalam kehidupan keberagamaan dan
kebangsaan di Indonesia. Hanya perbedaannya, Yusuf Hasyim tidak menjadikan pola hubungan agama dengan negara di Indonesia sebagaimana yang berlaku
selama ini sebagai penyebab timbulnya masalah. Solusinya, menurut Yusuf Hasyim, akomodasi negara terhadap mainstream Islam politik merupakan sebuah
keharusan. Untuk menghindari ketegangan disatu sisi, sekaligus memperkuat legitimasi negara di mata umat di sisi lain atau dalam bahasa Yusuf Hasyim
formalisasi agama diperlukan sebagai identitas Islam yang mayoritas di Indonesia.
103
Sebaliknya, Abdurrahman Wahid menganggap bahwa hubungan agama dan negara formalisme agama tidak diperlukan, karena tidak sesuai
struktur kebangsaan lndonesia yang majemuk. Menurutnya dengan menggunakan
103
KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998. Lihat juga wawancara, Pak Ud, Sabili No 13 Tahun VI, 6 Januari 1999, hal. 49.
terminologi keagamaan seperti asas, idiom, simbol-simbol formal keagamaan akan mudah dituduh melakukan politisasi agama. Sehingga tidak aneh kalau
solusi yang ditawarkan Abdurrahman Wahid adalah dalam bentuk mensekulerkan negara, alasannya menurutnya karena Indonesia bukanlah negara agama.
104
Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim, meskipun garis pemikirannya berbeda, sama-sama mendasarkan gagasannya demi kepentingan Jamiyah NU
dan bangsanya, hanya yang satu melalui jalur formal kebangsaan, sedangkan satunya tidak. Dan meskipun keduanya mempunyai pemikiran yang berbeda
secara diamental, semua gagasannya diabdikan untuk kepentingan dan eksistensi Nahdlatul Ulama.
104
Gus Dur, “PKB, Sayriah dan PKU”, Jawa Pos, 30 Oktober 1998. Lihat juga Rumadi, “Kegamangan Politik Kyai NU”, Aula no.05 tahun XXIII, Mei 2001.hal.71-72.
Perbedaan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang Visi dan Strategi Politik NU.
Perbedaan Pemikiran Abdurrahman Wahid
Yusuf Hasyim
Basis pergumulan di NU Kecenderungan
paradigma pemikiran dan gerakan
Interprestasi khittah NU 1926
Isu-isu agama dan politik Latar belakang pendirian
partai Intelektual
105
Berpijak pada paradigma berangkat
dari agama
menyelesaikan masalah
bangsa intregrasi Islam dalam
bangsa tanpa
menampakkan bentuk-
bentuk yang
eksklusif Islam
106
Mengarah pada kebebasan untuk memilih atau tidak
memilih partai politik dan tidak mengidentifikasikan
dengan
sebutan NU
dikenal dengan politik kultural
107
Pemisahan antara agama dan politik
108
PKB, mewadahi aspirasi warga nahdliyin sejak NU
tidak menjadi
partai politik atau sejenak NU
termaginalkan secara
politis
109
Politisi praktis
tidak menunjukan latar belakang
yang jelas
juga tidak
berangkat dari tradisi NU yang kuat
110
Berpijak pada paradigma berangkat dengan agama
menyelesaikan masalah
bangsa kelompok yang berharap menguasai posisi
strategis kekuasaan
sehingga sebagian besar kekuatannya
mampu diserap oleh negara
111
Mengarah pada pelepasan untuk memilih PPP, tetapi
tidak memilih
PDI-P dengan
Golkar serta
menginginkan NU tampil sebagai
partai politik
sendiri dikenal dengan khittah plus
112
Politik harus diikuti dengan agama
113
PKU, tidak terceminkan keislamannya dalam PKB,
keberatan atas dukungan PKB terhadap Megawati
yang dicitrakan sebagai warga
NU sebagai
nasionalis sekuler
114
105
Musfihir Dahlan, “Meluruskan Tradisi NU, Mingguan Mutiara edisi 9, 22 Juni 1982.
106
Ishomudidin Hadziq, “Landasan Teologis Gerakan Sosial NU”, Taswirul Afka No. 1
,Tahun 1994. hal.37
107
Marzuki Wahid dkk, Geger Di Republik NU, Perebutan wacana, Tafsir Sejarah, Tafsiran Makna,
Jakarta: Kompas-Lakspedam, 1999, hal.216-217.
108
Abdurrahman Wahid, “ Masih Perlukah Formalisme Agama di Perlukan”, Jawa Pos, 3 November 1998.
109
Sahar L. Hasan dkk ed, Memilih Partai Islam, Jakarta: Gema Insani, 1998, hal.24.
110
Musfihir Dahlan, “Meluruskan Tradisi NU, Mingguan Mutiara edisi 9, 22 Juni 1982
Komitmen terhadap
partai Pola hubungan agama
dan negara Negara
yang dicita-
citakan Pandang terhadap visi
politik NU wawasan keagamaan
Untuk melindungi
pluralitas atau
lebih mengutamakan
kepentingan nasional
115
Intregasi Islam dalam kegiatan bangsa
116
Negara demokrasi yang tidak
ada fundamentalisme Islam
117
Bagi NU Syariat Islam berlaku sebagai konvensi
bukan aturan formal
118
Untuk melindungi syari’ah atau menjadikan siyasah
politikuntuk memperjuangkan
syari’ah
119
Formulasi hukum
Islam yang
relevan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara
120
Negara demokrasi
masyarakat madani dengan representasi politik Islam
sebagai umat mayoritas atau semua kelompok diorganisir
secara seimbang
121
Bagi NU, berbagai hal yang menyangkut masalah publik
yang termasuk didalamnya adalah masalah kenegaraan
dan kebangsaan merujuk fiqh sebagai implementasi
lahiriah dari syariah
122
Persamaan Visi dan Startegi Perjuangan Politik NU Antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim
111
Ishomudidin Hadziq, “Landasan Teologis Gerakan Sosial NU”, Taswirul Afka No. 1
,Tahun 1994. hal.37.
112
Ummu Risalah, “Cara Pak Ud memprotes manajer kesebelasan yang tidak kompak”, Aula
, Agustus 1988, hal.13-14.
113
Yusuf Hasyim, “Wawancara”, Sabili No.4 tahun VI, 2 September 1998,hal.57-58.
114
Yusuf Hasyim, “Romantrisme PKB”, Republika, 10 Agustus 1998.
115
Abdurrahman Wahid, “PKB, Syariah,PKU”, Jawa Pos, 30 Oktober 1998.
116
Ibid.
117
Abdurrahman Wahid, “ Masih Perlukah Formalisme Agama di Perlukan”, Jawa Pos, 3 November 1998.
118
Abdurrahman Wahid, “PKB, Syariah,PKU”, Jawa Pos, 30 Oktober 1998.
119
KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998.
120
Ibid.
121
Yusuf Hasyim, “Wawancara”, Sabili No.4 tahun VI, 2 September 1998,hal.40.
122
KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998.
1. Islam sebagai agama pembebasan sepenuhnya kompatibel dengan visi politik NU
2. Kehadiran negara Islam di Indonesia, ditolak bukan semata-mata karena tidak adanya perintah langsung dari al Qur’an dan Hadist untuk melahirkan itu, tetapi
kehadirannya juga bisa tidak bermakna kondusif bagi upaya mempertahankan intregitas bangsa yang pluralistik
3. Penerimaan negara yang demokrasi diterima sebagai sistem yang paling rasional dan realistis untuk mewujudkan terbentuknya suatu tatanan masyarakat
yang adil, egaliter sebagaimana dicita-citakan oleh Islam.
B. ANALISA