POLITIK NU DAN KHITTAH 1926

Khittah NU menempuh strategi “politik tanpa panggung”, artinya dalam kehidupan politik NU menciptakan panggung permainannya sendiri dan pada saat yang sama mengabaikan panggung yang telah disediakan pemerintah Orba. Pelepasan jaket politik struktural Orba ini tidak menurunkan karir politik NU.

D. POLITIK NU DAN KHITTAH 1926

Hubungan antara NU dan Negara kini menunjukkan perkembangan menarik. Setelah sekian lama jami’yah yang berbasis massa desa ini berada di luar pemerintahan, sekarang mulai masuk di dalam pemerintahan. Posisi yang berubah ini tentu menimbulkan “kegagapan-kegagapan” tertentu. Misalnya, bagaimana organisasi ini harus memposisikan dirinya ketika harus berhadapan dengan negara yang dipimpin putra terbaik NU Abdurrahman Wahid. 39 Muktamar NU ke-30 yang diselenggarakan di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, mempunyai arti strategis. Siap atau tidak, dalam perhelatan akbar kali ini NU dituntut untuk melakukan pemikiran ulang atas apa yang telah dilakukannya selama ini. Belum tentu yang dihasilkan pada Muktamar kali ini adalah segala sesuatu yang bersifat baru. Bisa saja yang muncul justru peneguhan- peneguhan atas apa yang pernah digelutinya pada lima belas tahun terakhir. Pada masa-masa itulah NU mengalami transformasi sangat penting. Tidak saja organisasi sosial-keagamaan terbesar di Nusantara ini memperoleh injeksi kepemimpinan orang sekaliber Abdurrahman Wahid, tetapi juga karena keadaan harus merumuskan ulang format dirinya dalam kaitannya dengan kekuatan- 39 Bahtiar Effendy, Gus Dur dan pupusnya DWI TUNGGAL Jakarta: Ushul Press, 2005, h.11. kekuatan politik disatu pihak, dan dalam hubungannya dengan pemerintah atau negara di pihak lain. Dalam hal ini penting untuk dicatat, bahwa selama lebih kurang tiga dasawarsa, NU mengalami proses penjauhan dari negara. Meskipun tidak bersifat clear cut benar, lembaga-lembaga politik-keagamaan Orde Baru kosong dari kemungkinan partisipasi kalangan nahdliyin. Baik Partai Persatuan Pembangunan PPP, Majelis Ulama Indonesia MUI, Departemen Agama, dan kemudian Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia ICMI sekalipun “bebas” dari keterlibatan strategis tokoh-tokoh NU. Memang untuk waktu yang cukup panjang, pemerintah Orde Baru lebih memberi peluang kepada kalangan Islam “sekolahan”. Tentu ada penjelasan yang bersifat rasional tentang konfigurasi politik keagamaan seperti ini. Mungkin saja, kemampuan administratif kalangan Islam “sekolahan” tadi bersifat komplementer dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang menekankan stabilitas politik dan pembangunan. Meski begitu, tetap saja secara emosional-keorganisasian, kalangan NU merasa terpinggirkan. Karenanya, masuk akal ucapan Abdurrahman Wahid beberapa waktu lalu, ketika Presiden Soeharto turun, NU tidak ikut bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat oleh Orde Baru. Situasi inilah yang antara lain menjadi faktor reposisi NU pada Muktamar Situbondo. Lewat tangan-tangan dingin tokoh-tokoh NU seperti KH Asad Syamsul Arifin, KH Achmad Shiddiq, KH Ali Maksum, dan Abdurrahman Wahid, organisasi ini menggulirkan semangat “Kembali ke Khittah 1926”. Kurang lebih, dengan itu NU ingin menyatakan bahwa NU kembali ke garis asalnya jamiyah sosial-keagamaan. Karenanya kaitan NU dengan politik bersifat ada jarak dan mengambangkan warganya untuk bergabung dengan siapa mereka suka. Inilah yang pernah dikeluhkan Mahbub Djunaidi, yang dalam pandangannya tak rela melihat NU yang jumlah anggotanya banyak itu, semata-mata menjadi “hostes politik.” Terlepas dari kekecewaan seorang Mahbub, terbukti dengan itu kalangan NU bisa masuk ke mana-mana. Pada tahap inilah, NU sebenarnya telah memberi makna atas apa yang dapat disebut sebagai diversifikasi politik Islam. Yaitu, bahwa alat dan medium politik itu beragam. Dengan negara sekalipun, karena situasinya seperti diisyaratkan di atas, ia menjaga jarak. Bahkan dikenal sebagai mewakili kekuatan kritis. Konstruk seperti inilah yang kemudian mengantarkan NU untuk mengembangkan wacana tentang berpolitik secara budaya tentang Civil Society sesuatu yang sangat diminati oleh kalangan muda NU hingga kini. Masa uzlah NU dengan politik dan negara berakhir sudah. Terutama sejak periode reformasi lahir, dan orang pun mulai bergairah untuk ramai-ramai mendirikan partai. Seperti tak ada beban dengan semboyan “Kembali ke Khittah 1926”, warga NU mengikatkan kembali hubungan emosional-kelembagaannya dengan partai politik. Meskipun secara organisasi hal ini bisa dijelaskan, dan dipercaya tidak bertentangan dengan Khittah, tak urung hal itu menimbulkan kecemasan. Reformasi telah merubah alur politik NU, dari Ormas tahun 1926 menuju ke Parpol tahun 1955 kemudian masuk kembali ke Ormas dengan dalih Khittah ’26 di 1984 berlanjut merubah arah rotasi politik dengan menggunakan jaket politiknya tahun 1998 era reformasi dengan mendirikan Parpol yang bertajuk partainya orang NU bersifat terbuka untuk siapapun. Ternyata alibi yang dibuat Abdurrahman Wahid menjadi sebuah kenyataan luar biasa. Jauh dari perkiraan warga NU, PKB menjadi partai yang kuat dari akar rumput sampai kalangan moderat NU. Sebuah sosialisasi dan jurus politik terbaik yang dilakukan oleh kalangan elit NU. Tanpa basa-basi, Abdurrahman Wahid telah menjadi ikon besar. Dia telah merubah pragmatisme politik NU, melalui koalisi dengan partai sekuler yang dikenal dengan Poros Tengah. Abdurrahman Wahid mempunyai kekuatan penuh yang takkan diperkiraan sebelumnya dengan puncak menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4 hasil votting anggota parlemen. Ini merupakan sebuah prestasi politik NU terbaik pada masa reformasi. Semula NU hanya mempunyai panggung sendiri dalam hal politik, maka pada masa reformasi NU bukan lagi ikut dalam panggung politik yang telah disediakan pemerintah. Tetapi NU langsung meminang garis depan dan mengkordinir serta memegang peranan penuh politik negara. Jarak NU dengan kekuasaan pupus. Disadari atau tidak, NU telah terintegrasikan ke dalam negara. Inilah persoalan yang sangat ingin dinafikan mau tidak mau NU harus melihatnya kembali pada Muktamar kali ini. Secara formal, NU tetap akan berada pada posisi Kembali ke Khittah 1926. Secara substansial dan emosional, duduknya Abdurrahman Wahid di kursi kepresidenan merupakan sesuatu yang harus ditata ulang dalam kerangka berpikir dan bertindak NU. Kegalauan semacam ini semakin kuat walaupun bukan tidak disertai oleh kegembiraan tertentu dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Dalam konteks inilah diharapkan pada Muktamar selanjutnya akan memilih seseorang yang bukan carbon copy Abdurrahman Wahid. Bukan saja yang terakhir ini unik dan fenomenal di NU, bahkan mungkin juga di Tanah Air, tetapi tantangan NU ke depan lebih terfokus pada pengembangan kelembagaan. Karena itu, yang diperlukan adalah seseorang yang mempunyai kemampuan manajerial, dalam bahasa Herbert Feith “ administrator”. Kualitas seperti ini akan membawa NU pada garis yang “semestinya.” Yaitu sebagai organisasi sosial keagamaan , para ulamalah sebenarnya yang mengendalikan gerak organisasi. Kepada siapa harapan ini dapat diletakkan? Bachtiar Effendi mengungkapkan bahwa kiranya warga NU jauh lebih paham, dibanding siapa pun yang berada di luar lingkungan mereka, siapa itu Hasyim Muzadi, Agil Siradj, Salahudin Wahid, Achmad Bagdja, atau Fajrul Falaakh. 40 Tetapi prestasi orang-orang NU untuk mengembangkan sayap politik patut di acungkan jempol. Konsep yang berbuah matang pun berhasil diraih. Sehingga, dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merah, NU dan politik takkan pernah lepas baik dari awal berdiri sampai sekarang. Karena politik adalah salah satu organ pelengkap hidup NU. Itu tidak bisa dipungkiri, sejarah awal NU lah yang telah memberikan jawaban itu semua. Jika NU bergerak tanpa diimbangi dengan politik maka pincanglah NU. 40 Bahtiar Effendy, Gus Dur dan pupusnya DWI TUNGGAL Jakarta: Ushul Press, 2005, h.7-10. KHITTAH NU 1926 Khittah NU 1926 merupakan era baru orientasi perjuangan NU. Keberadaan Khittah ini merupakan reorientasi perjuangan NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam hal pengelolaan umat untuk kepentingan pembangunan. Keberadaan khittah NU 1926 merupakan titik balik perjuangan NU, dari perjuangan sektor politik menuju perjuangan yang lebih memberikan perhatian pada aspek sosial kemasyarakatan, persis misi pada saat didirikannya organisasi sosial keagamaan ini pada tahun 1926. Lahirnya Khittah 1926 ini di samping diilhami oleh kondisi obyektif bahwa perjuangan di bidang politik ternyata lebih besar mudharat kerugian, dari pada manfaatnya, artinya pengorbanan yang harus diberikan NU lebih besar dari manfaat yang dapat diraih kasus paling nyata dapat dilihat dari marginalisasi peran NU di PPP. Dalam sisi lain perjuangan di bidang politik ternyata telah menyita perhatian, dengan konsekuensi terampasnya perhatian dan energi fungsionaris dan aktivis NU yang semestinya menjadi porsi untuk umat anggota. Akhirnya NU melontarkan umatnya yang mestinya mendapat perhatian dan arahan, justru kian mendapatkan umatnya pada posisi tertinggal dalam hal kualitas diri, dibanding umat lain. Disinilah muncul kesadaran baru yang memandang perlunya dilakukan perubahan-perubahan mendasar dalam tubuh NU. Kembali ke Khittah 1926 adalah kesadaran yang dimaksud, tiada lain merupakan titik balik dimana NU kembali kepada semangat dasarnya. Babak awal mulai dilakukan untuk perubahan secara mendasar, baik pada aspek kepemimpinan dengan segala perangkat struktural organisasinya, maupun aspek politik berkaitan dengan visi, misi dan strategi perjuangan nya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Khittah 1926 yang ditetapkan melalui Muktamar ke-27 di Situbondo 1984, sebagai refleksi kritis terhadap perjalanan NU. Dengan demikian, telah mengembalikan arah perjuangannya dari politik kepada sosial keagamaan. Disinilah kemudian, NU memasuki wilayah baru, yakni Perjuangan Kemasyarakatan Semesta. 41 41 Ini adalah periode sesuai dengan yang dikemukakan oleh Gus Dur, merupakan periode ketiga NU 1984-sekarang. sebelumnya adalah periode dimana NU hanya menjadi jami’yah Diniyah 1926-1936, serta perjuangan politik politik idealistik 1936-1955, dan NU menjadi kekuatan politik 1955-1984. M. Masyhur amin, Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Politik, Yogyakarta:LKPSM,1993, hal.151-152. BAB III PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TERHADAP VISI PERJUANGAN POLITIK NU

A. SKETSA BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID