menganggap nasionalisme sebagai bentuk sekularisme. Mereka belum mengerti bahwa nasionalisme seperti yang dipraktekkan di Indonesia
tidaklah sekular, tetapi sangat menghormati peran agama.
59
Gambaran pemikiran Abdurrahman Wahid di atas telah membuat NU menciptakan organisasinya sendiri pada tahun 1926, dan menciptakan partai
politik sendiri pada tahun 1952 ketika kepemimpinan baru Masyumi di bawah Moh. Natsir memutuskan untuk mengurangi peran ulama yang berkumpul di
majlis Syuro. Moh. Natsir, sebagai seorang yang berpendidikan “Islam dan Barat” yang membiarkan ulama NU memutuskan apa yang benar dan apa yang salah
sesuai dengan hukum Islam. Perpecahan instrinsik ini merupakan alasan mengapa para Founding Father
RI memutuskan melawan “bentuk-bentuk” dalam memandang substansi, pada bulan Mei 1945, sebagai cara untuk mempersatukan bangsa yang heterogen ini.
Masyumi pada tahun 1950-an tidak pernah memperjuangkan “bentuk-bentuk” melainkan substansi. Kini, Abdurrahman Wahid mempromosikan nilai-nilai etik
etika sosial bukan pemahaman Islam yang legal-formalistik. Baginya di tempatkan Islam sebagai sebuah nilai-nilai etik dalam konteks kebangsaan dan
keagamaan akan memberi nuansa baru dalam warna dan orientasi dari gerakan Islam dan interpretasi ajarannya, sehingga ketegangan Islam dan negara dapat
dieliminasi demi kebutuhan kemanusiaan.
60
C. ABDURRAHMAN WAHID DAN MISI PERJUANGAN POLITIK PKB
59
Pidato Gus Dur, “Langkah Strategis”, Aula, hal.26.
60
Muhammad AS Hikam, “Negara, Masyarakat Sipil dan gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia” Prisma, No.3 Tahun XX, Maret 1991, hal.89.
Komitmen-komitmen Abdurrahman Wahid seperti yang dijelaskan, dibuktikan dengan hadirnya Partai Kebangkitan Bangsa PKB, sebuah partai
yang bersifat terbuka yang bisa menampung. aspirasi segenap komponen bangsa tanpa membedakan agama, suku maupun golongan. Dalam hal ini ia lebih jauh
menjelaskan ... sebuah pertanyaan mengganggu partai tersebut dalam jangka panjang
mengapa PKB tidak menjadikan kepentingan agama sebagai pijakan, mengapa justru nasionalisme dan demokrasi sebagai dasar pijakannya?
PKB mengutamakan
kepentingan nasional.
Untuk menyesuaikan
kepentingan hukum nasional dengan fiqh, tentu menjadi utama PKB, ... PKB dalam hal ini tentu bertindak mengutamakan substansi hukum Islam
melalui hukum nasional dan bukannya mengutamakan simbol-simbol formal keagamaan. Mengapa? Karena Republik Indonesia adalah sebuah
negara dengan kepentingan nasionalnya sendiri dan bukan sebuah negara agama ...
61
Secara formal organisatoris, memang Mathori Abdul Djalil adalah Ketua Umum PKB. Namun tokoh utama yang berperan penting dalam seluruh proses
gerak dalam percaturan politik PKB di pentas nasional adalah Abdurrahman Wahid. Bayangan Abdurrahman Wahid dalam visi, misi dan perilaku politik PKB
sangatlah dominan. Poster-poster yang manampilkan Abdurrahman Wahid ketika kampanye
berlangsung muncul dimana-mana.
Seruan dari
kampanye Abdurrahman Wahid “Maju tak gentar, membela yang benar bersama PKB”
menggema berulang-ulang, baik dalam media massa maupun dalam kampanye. Di berbagai kota di mana Abdurrahman Wahid melakukan kampanye, para
pendukung, simpatisan dan jamaah NU berbondong-bondong mendengarkan kampanyenya. Di hadapan publik, Abdurrahman Wahid menjelaskan visi, misi
dan tujuan perjuangan partainya. Kiranya tak berlebihan bahwa keberhasilan PKB
61
Gus Dur, “PKB Syariah dan PKU” Jawa Pos, 30 Oktober 1998
tidak bisa dilepaskan dari peran-peran Abdurrahman Wahid. Berangkat dari sinilah kekuatan tawar menawar politik Abdurrahman Wahid pun sangat
diperhitungkan, misalnya keputusannya untuk berkoalisi dengan partai politik yang “sekuler” dibawah pimpinan Megawati, dalam hal ini dia di dalam partai
PDI Perjuangan. Berkenaan dengan keputusan Abdurrahman Wahid yang masuk dalam
golongan Poros Tengah untuk berkoalisi dengan Megawati, sebenarnya ada titik temu dengan pemikiran politik Abdurrahman Wahid atau perjuangan yang selama
ini ditekuninya, yakni demokrasi. Douglas E. Remage menjelaskan, bahwa pemikiran politik Gus Dur di dasarkan pada visi politik yang demokratis, sekuler
dengan nasionalis, salah satu keyakinan intinya adalah bila Indonesia benar-benar akan menjadi civil society yang demokratis, aspirasi politik masyarakat tidak
boleh disalurkan melalui agama.
62
Hal tersebut mengingatkan kita pada kedekatan politik Soekarno dan Natsir pada akhir masa revolusi dan awal 1950-an. Hubungan politik Natsir dan
Soekarno mengalami pasang surut. Tempo-tempo mereka terlibat di dalam perdebatan sengit, seperti dalam hal Islam sebagai dasar negara sampai ihwal
mencuci anggota tubuh yang terkena jilatan anjing. dan sesekali mereka menjalin hubungan personal yang sangat hangat. Ketika Soekarno dibuang ke Endah,
adalah Natsir dan A. Hassan Pimpinan Persatuan Islam yang rajin berkirim surat berdiskusi mengenai kaitan Islam dan politik, dan mengirim kacang jambu mete
mede. Begitu pula pada awal-awal pemerintahan Republik, Soekarno
62
Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit, hal.194.
mempercayakan Natsir untuk memimpin Kementrian Penerangan. Dalam konteks ini, menurut cerita Soekarno hampir-hampir tak pernah
membacakan teks pidatonya kecuali yang telah diparaf Natsir. Puncak kehangatan hubungan politik Natsir dan Soekarno terjalin ketika yang pertama
memelopori mosi integral. Antara lain atas dasar itu, Soekarno menganggap Natsir orang yang paling punya visi untuk menjadi Perdana Menteri pada 1950.
Jika berhasil apa yang tengah diupayakan Poros Tengah dan kubu Megawati, untuk menjalin aliansi politik, merupakan pengulangan sejarah hubungan antara
Natsir dan Soekarno. Baik gedung Dewan Dakwah lslamiyah Indonesia maupun Masjid aI-Azhar, yang menjadi tempat pertemuan antara golongan agama dan
nasionalis yang dimaksud mempunyai kedekatan emosional tertentu dengan Masyumi. Begitu pula dengan tokoh-tokoh politik yang menyertainya.
Kepeloporan M. Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra di dalam proses aliansi ini dapat dianggap sebagai representasi semangat politik ke-Masyumi-an.
63
Bagi Abdurrahman Wahid, gerakan Islam yang bercorak simbolik formal justru tidak strategis. Dalam kondisi bangsa yang plural dengan potensi yang
berderajat tinggi, gerakan Islam yang simbolik formal menurutnya akan menimbulkan self defensive system daya tahan diri dari kelompok lain yang
merasa terancam eksistensinya. Akibatnya dapat menimbulkan ketegangan antara kelompok yang memancing lahirnya masalah besar dalam proses pembangunan
bangsa.
64
Memang ada sekelompok masyarakat Indonesia yang menginginkan
63
Bahtiar Effendy, JALAN TENGAH Politik Islam Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah
Jakarta:Ushul Press, 2005, hal.26.
64
Gus Dur, Pengantar, dalam Greg Fealy dan Greg barton, Op Cit.
berdirinya negara berdasarkan agamanya, ya macam-macamlah ada yang dari ICMI, ada juga dari kelompok lain ... kata Gus Dur suatu ketika.
65
Abdurrahman Wahid mencontohkan kasus dalam negara Turki dan Iran yang bersedia menerima sekularisasi dalam menegakkan demokrasi. Meskipun
Abdurrahman Wahid tidak menjatuhkan secara tegas pilihan bangsa dimasa depan, model Turki atau Iran. Ia hanya mengingatkan bahwa formalisme agama
hukum-hukum agama dalam struktur kenegaraan akan menimbulkan persoalan baru, yakni terhambatnya proses demokrasi di Indonesia. “Bukankah sebaliknya
kata Abdurrahman Wahid; bahwa gerakan Islam harus menghindari formalisme dan memperjuangkan demokrasi dengan menyeluruh konsekuensinya”. Dengan
demikian, menurutnya memperjuangkan demokrasi dengan menampilkan pandangan hukum Islam tentang hak warga negara, perbedaan antar manusia, atau
dengan kata lain, Islam harus menggali sedalam-dalamnya komponen hak asasi manusia dan musyawarah. Cara inilah menurut Abdurrahman Wahid Islam akan
mempunyai relevansi dan perkembangan sosial saat ini.
66
Bagaimanapun menurut Abdurrahman Wahid dalam panggung sejarah peradaban manusia, Islam hanyalah salah satu dari kesekian mata rantai peradaban
manusia. Karenanya sumbangan Islam harus diberikan dalam rangka kebersamaan dengan semua pihak, bukan menyendiri di luar sejarah.
67
Demikian juga dalam konteks wawasan ke Indonesiaan Islam hanyalah salah satu dari sekian agama dan
pandangan hidup yang ada di dalamnya. Pluralitas agama, tradisi, budaya dan
65
Gus Dur, “Wawancara”, NU Aula, No. 3 Tahun XXI Maret 1999. Lihat juga dalam Sabili
, No. 13 Tahun VI, 6 Januari 1999.
66
Gus Dur, “Pencarian Strategi Hal yang Lumrah”, Jawa Pos, 12 Maret 1998.
67
Gus Dur, “Masalah Kultur Kepemimpinan Umat Islam”, Jawa Pos, 13 Maret 1998.
pandangan hidup merupakan sesuatu yang sudah mapan dalam bangunan Indonesia. Karena itu, setiap agama termasuk Islam, seharusnya di
fungsionalisasikan dalam posisi imbang dan timbal balik komplementer. Tidak ada yang mendominasi atau didominasi.
Dengan keyakinan-keyakinan seperti tersebut di atas, Abdurrahman Wahid selalu menegaskan bahwa ia dan NU akan menolak dan melawan segala
perubahan politik yang inskonstitusional. Menurutnya NU sejak dulu dikenal sebagai ormas yang lebih mengedepankan wawasan kebangsaan ketimbang ikatan
primordial yang sempit. Abdurrahman Wahid mencontohkan kasus penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai landasan organisasi serta kasus penerimaan NU
terhadap wacana kenegaraan seperti dalam keputusan muktamar NU di Banjarmasin.
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, kedua keputusan tersebut merupakan keputusan agama fiqih dan bukan keputusan resmi pemerintah yang
harus dijadikan undang-undang negara, hanya kalau sudah menjadi hukum agama, dapat dijadikan keputusan resmi. Semua itu menurut Abdurrahman Wahid
mencerminkan penerimaan hukum dilakukan oleh swakarsa tanpa melalui peran- peran negara. Kekuatannya terletak pada kenyataan bahwa pertimbangan-
pertimbangan lokal selalu menjadi bagian dari NU itu sendiri.
68
Sikap ini yang membuat NU menjadi organisasi yang fleksibel. Umpamanya saja, sikap NU di
dewan konstituante untuk mempertahankan asas atau dasar Islam, tidak pernah dijadikan sikap resmi organisasi dan artinya NU memperjuangkan Syari’ah tidak
68
Gus Dur, “NU dan Islam”, Media Indonesia ,30 Oktober 1998.
selalu hukum-hukum dan simbol-simbol formal, melainkan sebagai ruh yang menjiwai setiap hukum positif yang dibuat oleh negara. Substansi syariah ini juga
bisa terwujud melalui gerakan demokratisasi atau menegakkan negara bangsa. Pikiran-pikiran NU inilah yang akan diperjuangkan melalui PKB dalam kancah
politik praktis .
69
D. SKETSA BIOGRAFI YUSUF HASYIM