BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Mencermati dinamika internal yang terjadi dalam jamiyah Nahdlatul Ulama beberapa periode kepemimpinan Abdurrahman Wahid, berkembanglah fenomena
politik, yaitu munculnya wacana pemikiran dialektis  yang dalam kurun waktu ini dirasakan  oleh  sebagian  orang  telah  menghilang  dari  tradisi  NU.  Munculnya
wacana pemikiran dialektis tersebut, salah satunya disebabkan oleh polemik antar geneologis “Darah Biru” NU sendiri,  yaitu antara KH. Abdurrahman Wahid dan
KH. Yusuf Hasyim. Dalam  hal  ini  Greg  Fealy  dan  Greg  Barton  menyatakan;  Yusuf  Hasyim
merupakan anak terakhir pendiri NU Hasyim Asyari yang masih hidup sekarang telah meninggal dan oleh karena itu merupakan paman dari Abdurrahman Wahid.
Abdurrahman Wahid sendiri adalah anak tertua dari kakak tertua Yusuf Hasyim, yaitu  Wachid  Hasyim.  Hubungan  antara  paman  dan  keponakan,  yang  secara
teoritis  bisa  membuat  klaim-klaim  yang  bertetangan  untuk  menjadi  penerus Hasyim  Asyari  yang  sah,  sangatlah  kompleks,  bahkan  diantara  keduanya  jarang
harmonis.
1
Tema  yang  menjadi  perdebatan  antara  Abdurrahman  Wahid  dan  Yusuf Hasyim  sebenarnya  kompleks,  salah  satunya  mengenai  visi  dan  strategi
perjuangan  politik  NU,  yaitu  menyangkut  hubungan  agama  dan  negara  serta
1
Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan  NU dan Negara, Yogyakarta: Lkis, 1998, ha1. 123
.
pilihan impelementasi model dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang paling  memungkinkan  untuk  diterapkan.  Tema  yang  menjadi  perdebatan
sehubungan  dengan  masalah  ini,  sebenarnya  bukan  masalah  baru,  karena  sudah sering  dijadikan  bahan  perdebatan  oleh  tokoh-tokoh  sebelumnya.  Setiap  kali
bangsa  Indonesia  menghadapi  wacana  politik  bersinggungan  dengan  wilayah keagamaan,  selalu  saja  muncul  ke  permukaan,  yang  bernuansa  baru  hanyalah
pelakunya  saja.  Tampilnya  dua  saudara,  antara  paman  dan  keponakan  bersama- sama  dibesarkan  dan  merupakan  keturunan  pendiri  NU,  memberi  nuansa
tersendiri. Akan tetapi selama ini yang muncul di permukaan lebih berupa konflik. Meskipun  jika  dilakukan  pendalaman  masih  banyak  titik  temunya.  Seperti
penjelasan Pak Ud sendiri;  “Sebenarnya disamping perbedaan pendapat, antara kami  banyak  pula  persamaannya.  Sayang,  yang  banyak  diekspos  adalah
perbedaan kami” .
2
Sejak  tampil  pertama  kali  dalam  kepememimpinan  NU,  Abdurrahman Wahid telah mencoba menghidupkan tradisi pemikiran kritis di kalangan NU serta
membangun  wacana  pemikiran  keagamaan  baru.  Begitu  besarnya  concern Abdurrahman  Wahid  untuk  membangkitkan  tradisi  pemikiran  kritis  dikalangan
NU, terutama di kalangan anak muda NU. Teramat  kuatnya  posisi  Abdurrahman  Wahid  sebagai  inspirator  gagasan
besar  dikalangan  NU,  tanpa  disadari  telah  menciptakan  keseragaman  wacana pemikiran,  sehingga  harapan  Abdurrahman  Wahid  agar  terjadi  dialektika  yang
sehat di kalangan NU tidak terpenuhi. Sehingga muncul dinamika pemikiran yang
2
KH Yusuf Hasyim,”Kami Sering Guyon Kok,” Jawa Pos, 23 November 1997.
berlangsung  intensif  di  kalangan  warga  NU.  Jika  dicermati  yang  terjadi  adalah wacana  monologis
,  dengan  pemikiran  Abdurrahman  Wahid  sebagai  landasan terminologinya.  Dalam  bentuk  yang  ekstrim,  bisa  disebutkan  nyaris  terjadi.
Penyikapan pengabsolutan setiap gagasan yang muncul dari Abdurrahman Wahid selalu terjadi, tanpa ada upaya mengimbangi dengan gagasan alternatif.
Meski baru serta terbatas pada substansi gagasan tertentu, tampilnya Yusuf Hasyim dengan dialog melalui media massa yang terkesan berseberangan dengan
pemikiran  Abdurrahman  Wahid,  telah  memberikan  “keseimbangan“  wacana pemikiran  di  kalangan  warga  NU.  Tampilnya  Yusuf  Hasyim  sebagai  antitesa
terhadap  pemikiran  Abdurrahman  Wahid  diharapkan  menciptakan  iklim  yang mendukung  bagi  munculnya  tradisi  dialog  yang  sehat,  sehingga  nantinya  dapat
memunculkan  sintesa  baru dan  lebih  mencerahkan.  Peran  yang  dilakukan  Yusuf Hasyim itu, bukanlah  tanpa mengandung resiko. Melihat kemajemukan pola pikir
masyarakat kita, terutama warga NU, apa  yang dilakukan Yusuf Hasyim sebagai pihak  beroposisi  berseberangan  sebagian  terhadap  pemikiran  Abdurrahman
Wahid,  berpeluang  mengkondisikan  dan  respon  berbeda  yang  sama  besarnya, sikap tidak setuju dan mendukung.
Sikap  tidak  setuju  akan  muncul  dari  kalangan  yang  beranggapan  bahwa perseteruan  tersebut  akibat  masalah  internal  Bani  Hasyim  sendiri,
3
atau  mereka yang  tidak  rela  menghadapi  tokoh  Abdurrahman  Wahid  dikritisi  orang  lain.
Sedangkan sikap mendukung, lahir dari mereka yang merasa ada angin segar bagi munculnya pemikiran yang selama ini tidak disadari telah terbelenggu di kalangan
3
“ NU Pasca Pemilu,” Kompas, 24 Agustus 1999.
NU. Apalagi selama kurun waktu tertentu memimpin NU Abdurrahman Wahid nyaris tidak ada pihak yang berani secara terbuka bersikap demikian. Posisi Yusuf
Hasyim sebagai paman jelas menjadi faktor yang menghapuskan barrier tersebut, sehingga  bisa  melakukan  perdebatan  secara  bebas  dengan  keponakan.  Yusuf
Hasyim,  dengan  segala  kelebihan  dan  kekurangannya  dinilai  cukup  punya  nyali menghadapi  Abdurrahman Wahid.
Dalam  pandangan  Yusuf  Hasyim,  berkomitmen  menjadikan  siyasah politik  sebagai  alat  untuk tegaknya  Syariah  Islam  dalam  batas  yang  wajar  dan
sejalan dengan kepentingan nasional.
4
Sebaliknya  dalam  pandangan  Abdurrahman  Wahid,  perjuangan  syariah tidak  harus  melalui  hukum-hukum  dan  simbol  agama  secara  formal,  melainkan
sebagai ruh yang menjiwai setiap produk hukum positif  yang dibuat oleh negara. Substansi  syariah  Islamiyah  ini  juga  bisa  terwujud  melalui  gerakan  demokrasi
atau menegakkan negara dan bangsa.
5
Meskipun  persoalan  polemik  antar  keduanya  sudah  berlalu,  bukan  berarti masyarakat  khususnya  warga  NU  akan  tinggal  diam.  Mereka  justru  penasaran
mencari  jawaban  yang  sebenarnya.  Mereka  akan  bertanya-tanya  apa  yang sebenarnya terjadi di antara keduanya.
Diharapkan  penulisan skripsi
yang  berjudul “PERBANDINGAN
ABDURRAHMAN  WAHID  DAN  YUSUF  HASYIM  MENGENAI  VISI  DAN STRATEGI
POLITIK NU”
,  dapat  memberikan  kontribusi  untuk  ikut mendudukkan  persoalan  keduanya  sesuai  porsinya,  bukan  sebagai  upaya
4
H.M. Yusuf  Hasyim, “PKU dan Siyasah Menuju Syariah,” Jawa Pos, 3 November 1998.
5
Abdurrahman Wahid, “PKB, Syariah dan PKU,” Jawa Pos, 30 Oktober 1998.
melakukan  upaya  pembenaran  atas  berbagai  tindakan  dan  pernyataan  keduanya. Lebih  dari  itu,  hal  ini  dimaksudkan  untuk  memberikan  penjelasan  atas  segala
makna  dan  warna  yang  ada  di  balik  peristiwa,  serta  sebagai  upaya  penempatan masalah sesuai proporsinya dari polemik keduanya yang memiliki nilai historis.
B.  Pembatasan dan Perumusan Masalah