Cara pandang NU seperti ini juga diabsahkan oleh ideologi dasar yang dianut NU seperti penjelasan diawal, fleksibilitas NU terbukti dengan mudahnya
diterima dan membaur dalam komponen bangsa, baik kelompok muslim maupun non muslim, juga mudah menerima faham pemikiran baru. Sehingga keberadaan
NU dianggap sebagai titik temu antar semua ideologi, kekuatan politik, dan pluralitas kebudayaan bangsa ini.
C. SEJARAH POLITIK NU MASA LALU
Sejarah formal NU diawali sejak didirikan oleh Hadratus Syeikh KH.Hasyim Asyari
26
di Surabaya, 31 Januari 1926 bersama ulama KH. Wahab Hasbullah dan beberapa ulama pesantren lain. Sesuai dengan namanya NU
merupakan perkumpulan ulama yang bangkit serta membangkitkan para pengikutnya bersama kaum muslimin di tengah masyarakat bangsa.
Sebagai organisasi sosial keagamaan Jamiyah Diniyah dalam laju pertumbuhan berikut perkembangan NU tak lepas dari hiruk pikuk politik yang
ada, dikarenakan NU mempunyai potensi politik yang tidak bisa dianggap kecil.
27
Babak awalpun dimulai pada tahun 1939 NU bergabung dengan Majlis Islam Ala
26
Peran KH. Hasyim Asy’ari tersebut dalam beberapa tulisan, yaitu sebagai pemberi legitimasi atas pemebentukan organisasi NU. Kyai Wahab maupun KH. Hasim Asy’ari selalu
tampil dengan peran yang berbeda, tetapi secara mutualistik saling memerlukan dalam keberhasilan membentuk NU. Kyai Wahab menawarkan konsep dan kemampuan organisatoris,
sementara Kyai Hasyim memberi legitimasi keagamaan. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, Yogyakarta:LkiS,1999
, hal.11.
27
Dilihat dari segi hubungannya dengan politik dan pemerintah, sejarah NU bisa di bagi dalam lima periode. 1 1926-1942, ketika NU menetapkan sikap non politik dan non kooperatif
yang ketat vis-à-vis pemerintah kolonial Belanda; 2 1942-1945, ketika NU dipaksa bekerja sama dengan pemerintah jepang; 3 1945-1952, ketika NU berpartisipasi dalam pemerintahan Replublik
yang baru berdiri, melalui partai Masyumi dimana NU memperoleh status keanggotaan istimewa; 4 1952-1973, ketika NU secara langsung dan bebas berpartisipasi dalam politik dan
pemerintahan atas nama NU sebagai parpol independent; 5 1973-1984, ketika NU melepaskan kegiatan politiknya dan menyerahkan kepada PPP. Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme
Radikal, Persinggungan NU dan Negara
, hal.58.
Indonesia MIAI,
28
yang secara umum MIAI bergerak dibidang keagamaan tetapi dalam setiap aktivitasnya sarat dengan muatan politik.
29
Sebenarnya MIAI ini dibentuk pada tahun 1937 sebagai keinginan untuk memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia, tapi baru dua tahun kemudian
NU turut bergabung di dalamnya.
30
Setelah MIAI membubarkan diri,
31
NU bergabung dengan organisasi Majlis Syura Muslimin Indonesia MASYUMI yang dibentuk pada tahun 1945,
pembentukan Masyumi dikarenakan, pada waktu itu penjajah baru, Jepang membekukan kegiatan politik termasuk MIAI yang berkesan anti kolonial.
Sebenarnya partai masyumi ini dibentuk merupakan buah karya muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945. Dalam muktamar ini,
salah satunya memutuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik bagi Islam Indonesia, serta para aktivis politik Islam yang tergabung di dalam
Masyumi sering disebut sebagai salah satu pelopor demokrasi di Republik ini. Berjalan dengan seiringnya waktu, dalam tubuh Masyumi selalu muncul
konflik diantara tokoh-tokoh elitnya, sehingga NU selalu menemukan kekecewaan. Sebagai contoh pada kabinet Wilopo 3 April 1952 – 30 Juli
28
MIAI yaitu sebuah organisasi Islam gabungan antara NU, Muhammadiyah. Bagi NU, keterlibatanya dalam MIAI merupakan sebuah langkah awal untuk menuju dunia politik dalam arti
terbawa untuk menentukan posisi secara tegas terhadap penjajah Belanda menjelang Perang Dunia II. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, Yogyakarta:LkiS,1999, hal.17
29
Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta:LkiS, 1994,hal.51.
30
Penggabungan NU kedalam MIAI , NU mempunyai alasan bahwa yakin kaum perubahan tidak mendominasi penggabungan dalam organisasi ini. Andree Feillard, NU vis a vis
Negara , hal.17
31
Karena secara implisit keberadaan MIAI dan organisasi lain, selain NU dan Muhammadiyah tidak diakui Jepang. Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi,Relasi Kekuasaan,
Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta:LkiS, 1994,hal.54. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis
Negara , hal.29.
1953
32
, dalam jabatan Menteri Agama, menurut NU jabatan tersebut adalah bagian NU ini berlangsung sejak awal kemerdekaan. NU menilai dirinya sebagai
cermin dari mayoritas umat Islam Indonesia dilihat dari segi ilmu, aqidah, dan amaliyahnya. Namun ternyata jabatan itu diberikan pada Muhammadiyah Faqih
Usman. Merasa kecewa, NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai politik independent.
33
Ketika NU menjadi Parpol, sejarah membuktikan bahwa partai NU yang masih baru pada Pemilu 1955 menempati urutan ketiga.
34
Prestasi ini memberikan posisi kuat untuk NU. Hal ini tercermin dalam kabinet koalisi. Namun rupanya
periode Kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua 24 Maret 1956 – 09 April 1957 yang masuk masa Demokrasi Liberal ini tidak berumur panjang. Padahal kala itu
NU memperoleh empat jabatan menteri, yakni Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, dan Menteri Perekonomian.
35
Apa daya, kabinet itu hanya berumur setahun kemudian diganti oleh Kabinet Juanda atau Kabinet Karya 09 Maret 1957 – 10 Juli 1959.
36
Pada akhirnya, perubahan sistem politik Indonesia terjadi, setelah munculnya Dekrit 5
Juli 1959 maka muncul Era Demokrasi Terpimpin, yang membawa peran partai politik merosot tajam.
32
Greg Fealy, IJTIHAD POLITIK ULAMA Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967. Yogyakarta: LkiS, 2007.hal.372.
33
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional Jakarta: Grafiti Pers, 1987.hal.79-94.
34
Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi,Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru Yogyakarta: LkiS, 1994,hal.69
35
Greg Fealy, IJTIHAD POLITIK ULAMA Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967. Yogyakarta: LkiS, 2007.hal.374.
36
Kabinet Juanda atau Kabinet Karya adalah merupakan koalisi antara PNI-NU. Andree Feillard, NU vis a vis Negara, hal.53.
Tak terkecuali Masyumi yang termasuk disingkirkan. Karena keterlibatan tokoh-tokohnya dalam pemberontakan PKI dan di sisi lain NU dengan sikap
akomodatifnya mampu bertahan. Dengan lengsernya Masyumi menjadikan NU sebagai partai Islam terbesar, dengan demikian NU terus menggalang persatuan
umat Islam mengimbangi kekuatan PKI. Melalui Subhan ZE
37
, NU menggalang pemuda-pemuda untuk menandingi PKI yang telah meluas mengkader para pemuda dengan latihan dan disertai
persenjataan yang lengkap. Pada akhirnya prahara politik yang dilancarkan PKI pada tahun 1965 telah menandai awal proses Demokrasi Terpimpin telah berakhir.
Adanya percobaan kudeta yang dinamakan G 30 S PKI ini, memunculkan perasaan anti komunis di kalangan masyarakat. Dari penggalangan yang
dilakukan Subhan ZE, menghasilkan sikap anti komunis sehingga terbentuk KAP- Gestapu, yaitu kekuatan aksi pengganyangan G 30 S PKI pada akhirnya menuntut
pembubaran PKI. Dinamika politik terus berjalan seiring kekuasaan negara jatuh ditangan
Soeharto atas mandat Presiden Soekarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Bersama TNI-AD Pak Harto terus mengembangkan sayap politik dengan
mendirikan partai Golkar Golongan Karya pada tanggal 20 Oktober 1964
37
Subchan Z.E adalah pengusaha muda kaya dari Kudus, Jawa Tengah. Bergaya hidup cosmopolitan
, bertentangan dengan hidup Puritan yang dianut sebagian besar Kyai di kalangan NU. Subhan juga sering memunculkan gagasan radikal, ia ingin menjadikan NU sebagai partai
kader dan modern, membatasai peran ulama hanya dalam wilayah keagamaan, bukan urusan politik. Dengan sikap politiknya yang reformis, Subchan sangat popular di kalangan politisi muda
NU pada waktu itu. Di tubuh NU, subchan memiliki jabatan yang dituigaskan kepadnya diantaranya; Ketua IV Pengurus Besar harian hasil pemilihan muktamar tahun 1962-1967, dengan
surat ‘Penetapan Pengurus besar NU’, PBNU 56TanfPgsII-1963 4 Februari 1963 AN 96. Lihat Abdul Wahid, SANG PEJUANG SEJATI K.H Muhammad Yusuf Hasyim Di Mata Sahabat Dan
santri
,Jombang: PUSTAKA IKAPETE, 2007, hal24-25.Lihat juga Greg Fealy, IJTIHAD POLITIK ULAMA Sejarah NU 1952-1967
Yogyakarta: LKis, 2007.hal.383-385.
dengan nama Sekber Golkar. Golkar pada masa awal berdirinya tidak mempunyai basis massa, kemudian mengunakan taktik buldoser untuk mengalihkan suara-
suara partai lama. Tidak heran jika Golkar dapat memenangkan Pemilu pada tahun 1971. Sedangkan partai-partai lain umumnya tertindih, tetapi NU tetap
mampu bertahan dari sinilah peran Kyai dan pesantren menjadi faktor utama penentu prestasi NU.
Berikutnya, pada tanggal 5 Januari 1973 NU berfusi dengan tiga partai politik lain kedalam PPP. Hal ini terjadi atas kebijakan Pak Harto untuk
mengelompokan partai-partai dengan tujuan mempermudah kampanye Pemilu dan sistem administrasi seperti fraksi di DPR.
38
Namun perjalanan politik NU di tubuh PPP sering mendapat kekecewaan, pada akhirnya NU menyatakan untuk kembali ke Khittah 1926 yang ditetapkan
dalam MUNAS Alim Ulama NU di pondok pesantren Salafiyah Syafiiyah Asembagus Situbondo. Keputusan ini akhirnya diimbuhkan pada Muktamar NU
setahun kemudian di tempat yang sama. Dengan keputusan Muktamar tentang Khittah ini secara otomatis NU keluar dari PPP.
Momentum kembali ke Khittah 1926 tersebut, telah mengubah hampir semua tatanan kehidupan komunitas NU, terutama yang berkaitan dengan
orientasi gerakannya. Kembali ke Khittah 1926 bukan semata-mata berarti meninggalkan kehidupan politik, tetapi lebih sebagai perubahan orientasi gerakan
politik. Jika sebelumnya NU menempuh strategi politik panggung, politik struktural yang disediakan oleh pemerintah Orba, maka dengan kembali ke
38
Lance Castles, TUJUH MESIN PENDULANG SUARA Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999
Yogyakarta:LkiS, 1999, hal.xvi.
Khittah NU menempuh strategi “politik tanpa panggung”, artinya dalam kehidupan politik NU menciptakan panggung permainannya sendiri dan pada saat
yang sama mengabaikan panggung yang telah disediakan pemerintah Orba. Pelepasan jaket politik struktural Orba ini tidak menurunkan karir politik NU.
D. POLITIK NU DAN KHITTAH 1926